Abimana masih tidak menyangka, kalau semalam ia akan bermimpi seperti itu dengan Alina di dalamnya. Mereka menjadi suami-istri dan bercinta penuh gairah. Ini sangat gila dan ia tidak pernah membayangkan sebelumnya. Sebab, mencintai wanita yang merupakan adik iparnya sendiri juga, merupakan sebuah kemustahilan yang besar. Wanita yang tidak mungkin bisa ia miliki."Pak Abimana?"Seorang pria yang saat ini duduk berhadapan dengan Abimana, memanggilnya. Tapi Abimana masih tenggelam dalam pikirannya sendiri."Pak Abimana?" Pria itu memanggilnya sekali lagi dan barulah Abimana menyahut."A-ah iya Pak Galih?" sahut Abimana yang baru fokus sekarang. Dia melihat ke arah rekan bisnisnya di sana."Bapak kenapa? Apa Bapak tidak enak badan? Dari tadi saya perhatikan Bapak melamun terus dan wajah Bapak juga pucat," tutur pria bernama Galih itu dengan khawatir."Tidak, saya tidak apa-apa, Pak. Maaf barusan saya tidak fokus," kata Abimana dengan sopan, mau minta maaf kepada rekan bisnisnya itu."Haha
Malam itu, Lily sudah berdandan sangat cantik, karena Reno akan membawanya ke pesta. Alina melihat istri kedua suaminya itu sedang bercermin sambil memakai anting di telinganya."Ngapain kamu disitu? Kamu kan nggak diajak sama mas Reno," ketus Lily sambil tersenyum dan berusaha mengejek Alina yang tidak akan pergi ke pesta."Siapa juga yang mau ikut ke pesta? Lagian aku malas kemana-mana."Alina berjalan mendekati Lily dan ini mereka saling berhadapan. Lily menatap Alina dengan tatapan mengejek dan merendahkan. Alina juga melakukan hal yang sama, ia menatap Lily dengan tajam. Ia tidak pernah menduga bahwa sahabatnya adalah maut dalam pernikahannya. Andai saja, dulu Alina tidak pernah memperkenalkan Lily pada Reno, pasti semua ini tidak akan terjadi. Namun, takdir yang sudah terjadi, tidak bisa diubah. Beda halnya dengan nasib."Aku cuma mau ingetin sama kamu. Jangan sampai buat mas Reno malu di pesta," cetus Alina mengingatkan."Aku? Buat malu? Kalau mas Reno ajak kamu ke pesta, baru
"Lily Sayang, apa kamu benar-benar akan pergi ke pesta itu? Reno kan sudah melarang kamu untuk pergi." Weni terlihat gelisah, saat menantu kesayangannya benar-benar akan pergi ke pesta itu, meskipun sudah dilarang oleh putranya. Weni tahu, Reno pasti memiliki alasan yang kuat, mengapa ia tidak jadi mengajak Lily. "Aku akan tetap pergi, Ma. Aku juga istrinya mas Reno dan aku berhak untuk ikut ke pesta itu." Weni menghela napas dan tak tahu harus bagaimana lagi membujuk Lily. Wanita itu tetap nekat ingin pergi ke pesta. "Pokoknya Mama tenang aja ... aku nggak bakal berbuat macam-macam kok. Malah aku akan buat bangga, mas Reno." Lily tersenyum pada ibu mertuanya, lalu ia pun menyalami tangan Weni dengan sopan. "Lily berangkat dulu ya, Ma!" "Ya udah, kamu hati-hati ya Sayang. Hati-hati cucu mama yang ada di dalam sana," ucap Weni lembut pada Lily. Lily benar-benar pergi meninggalkan rumah itu dengan naik taksi, Weni memastikannya sendiri naik taksi itu. Weni harap, agar Lily
Melihat istri keduanya datang ke pesta, membuat Reno ketar-ketir. Pasalnya, ia takut kalau Lily berbuat yang macam-macam. Semoga saja, pikirannya tidak benar. Jangan sampai Lily berbicara atau berbuat sesuatu yang bisa memicu pertikaian.Di sisi lain, Alina masih asik bermain dengan anak bosnya Reno yang tidak mau lepas dari gendongannya. Alina terlihat menyukai anak laki-laki berusia 1 tahun itu."Bagaimana ini, Bu Alina? Anak saya tidak mau turun dari gendongan Bu Alina," ucap wanita berusia 40 tahunan yang merupakan istri dari bosnya Reno itu.Alina tersenyum dan dia sama sekali tidak keberatan menggendong anak laki-laki itu. "Tidak apa-apa, Bu. Saya senang kok, gendong anak Ibu.""Aduh ... jadi ngerepotin deh.""Nggak apa-apa, Bu.""Ta .. Ta taya..." anak laki-laki itu berbicara dengan pelafalan yang belum jelas sambil menujuk ke arah tempat stand makanan di sana."Mau kemana Sayang? Ke sana?" tanya Alina dengan lembut kepada anak laki-laki itu.Anak itu pun menjawab. "Ca-na.""Ke
Hadiwijaya terlihat menahan kesalnya pada Alina, di depan banyak orang, ia harus menjaga imagenya. Terlebih lagi, image Lily sebagai putrinya. Jangan sampai orang-orang tahu, kalau Lily adalah istri kedua Reno, manager keuangan di perusahaan yang bisa terbilang perusahaan kecil. Sebenarnya Hadiwijaya malu memiliki menantu seperti Reno dan sempat menolak pernikahan Lily dan Reno. Akan tetapi, Lily sudah hamil duluan dan mau tak mau, Hadiwijaya menerima Reno sebagai menantunya. Sebab, pria itu adalah pria yang Lily inginkan, meski statusnya suami orang, suami sahabatnya sendiri. "Ngomong-ngomong, siapa yang bu Alina maksud sebagai pencuri? Kok dari tadi ngomongin terus pencuri ya?" tanya teman Reno yang sedari tadi terlihat bingung. Alina tersenyum, seraya menatap teman Reno itu. Lalu ia pun berkata, "Ada kacang lupa kulitnya, sama serigala berbulu domba." Lily dan Reno sama-sama tercekat mendengar perkataan Alina yang tepat menyindir hati mereka. Kelakuan mereka berdua dan Alina s
Reno melihat tangannya yang baru saja menampar Alina, tidak, bukan menampar. Lebih tepatnya memukul wajah Alina. Setelah Alina menyebut Lily dengan sebutan pelacur. "A-Alina, a-aku." Reno tergagap saat menyadari sikapnya yang salah terhadap Alina. "Ini juga karena kamu, kenapa kamu pake menghina Lily segala?" ucap Reno yang tidak mau disalahkan sepenuhnya. Alina belum angkat bicara, ia masih berusaha untuk menguatkan dirinya agar tidak menangis di depan Reno setelah kejadian barusan. Meskipun dadanya terasa panas, bergemuruh emosi, rasa sakit dan amarah bercampur menjadi satu. Wanita itu pun mengangkat kepalanya dan Reno bisa melihat pipi Alina yang memerah, bersamaan dengan darah disudut bibirnya. "Al, bibir kamu ... pipi kamu ..." Tangan Reno hendak menyentuh wajah Alina, tapi dengan cepat Alina menghindar dari suaminya. "Kenapa harus aku selalu yang disalahkan, Mas? Apa aku salah, karena sudah mengatakan fakta tentang istri kedua kamu? Kalau dia memang pelacur!" sentak Ali
Reno terdiam setelah mendengar kata-kata Alina tentang talak, bahkan wanita itu berani menantangnya. Di dalam matanya yang terlihat memerah, tersirat kesungguhan dan tekad kuat untuk berpisah dengan Reno. Jantung Reno seakan berhenti berdetak sesaat, ketika Alina menyebut soal perceraian. Hatinya tidak bisa menerima itu. "Kenapa kamu diam, Mas? Bukankah lebih baik kalau kamu menjatuhkan talak kepadaku? Jadi kamu bisa bersama dengan pelacur kamu itu, tanpa gangguan dariku." Padahal sangat mudah bagi Reno untuk menceraikan Alina, jika ia mau, ia bisa saja menceraikan Alina sebelum pria itu menikahi Lily. Tapi Reno tidak melakukan itu dan tetap mempertahankan istri pertamanya. Dengan segala kekurangan yang dimiliki oleh Alina di matanya, kebencian ibunya terhadap Alina, tetap tidak bisa membuat Reno menceraikan istri pertamanya ini. Tangan Reno kembali melayang, rahangnya mengeras saat mendengar kata-kata Alina yang sudah lancang kepadanya dan menghina Lily. Namun, tangannya tertaha
Melihat apa yang terjadi diantara Reno dan Alina di Jakarta, membuat Abimana ingin segera kembali ke Jakarta. Ia ingin melihat dan menemani Alina disaat-saat tersulitnya. Apa lagi Reno sudah berani bermain kasar pada istrinya dan ia merasa harus memberikan pria itu pelajaran."Aku harus mengabari Pak Presdir, kalau aku harus kembali ke Jakarta."Demi Alina, ia memasrahkan kesempatan naik jabatannya dengan perjalanan bisnis ini, kepada orang lain. Jabatan bisa didapat lagi nanti, kesempatan juga masih bisa didapat di lain waktu, tapi menemani Alina, tidak bisa ia lewatkan.Abimana tahu, sikapnya ini salah sebagai seorang kakak ipar, apa lagi perasaan cintanya pada wanita itu. Tapi ia tidak bisa membiarkan Alina disakiti oleh adiknya dengan begitu kejam. Setidaknya ia harus ada disisinya, atau mungkin ia akan mengambil langkah nekad untuk wanita itu.***Johan dan istrinya pulang lebih dulu dari pesta, rupanya mereka yang mengajak Alina pulang bersama dan mengantarkannya ke rumah Tira.
Alina dibawa ke rumah sakit setelah dirasa air ketubannya sudah pecah, dibantu oleh orang-orang yang ada di butik. Mereka naik ambulance agar lebih cepat sampai dan bisa menghindari kemacetan. Alina ditemani oleh Tira, sementara bayinya dititipkan pada ibu mertuanya lebih dulu. Disaat-saat seperti ini, Tira harus ada bersama dengan Alina. Bahkan saat Tira melahirkan putranya yang bernama Aksa, Alina ada di sana bersamanya."Bu, apa sudah dihubungi suaminya?" tanya seorang perawat pada Tira."Iya, ini mau saya telpon, Sus." Tira mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Dia bergegas menghubungi Abimana untuk memberitahukan kondisi istrinya.3 kali ditelpon, tapi Abimana tidak kunjung mengangkat telponnya. "Aduh, si pak Abi gimana sih? Biasanya juga gercep angkat telpon. Kok ini mendadak lemot."Hingga akhirnya dia menelpon suaminya, karena dia baru ingat kalau suaminya mungkin saat ini sedang bersama dengan Abimana untuk membahas masalah pekerjaan."Halo Mas Rey!""Ada apa yang?" tan
Apa yang sudah diputuskan Abimana harus terlaksana, apalagi jika itu mengenai istrinya. Siang itu, Abimana sudah berada di depan butik untuk menjemput istrinya. Meski istrinya sudah mengatakan padanya, kalau dia tidak mau pergi ke dokter."Mas, aku kan udah bilang sama Mas. Aku nggak mau periksa ke dokter. Ini cuma asam lambung doang," ucap Alina kesal.Abimana menggeleng-gelengkan kepalanya, wajahnya terlihat datar dan tatapan matanya menunjukkan kalau dia tidak menerima penolakan."Pokoknya kalau aku bilang pergi ke dokter, harus ke dokter.""Aku kan nggak kenapa-napa Mas.""Pokonya ke rumah sakit!" ujar Abimana tegas.Bibir Alina mencebik saat mendengar keras kepala suaminya. Abimana memang sulit diubah pikiran dan tekadnya. Jangan lupa, bahwa pria itu adalah pejuang yang keras kepala. Dia keras kepala dan bersikeras mendapatkan Alina. Dari awal sampai akhir, dia terus berusaha sampai dia bisa mendapatkannya. Inilah dia dan keras kepalanya yang tak bisa diganggu gugat.Dengan terpa
"Mas berangkat duluan ya Sayang." Pria itu memberikan kecupan mesra di kening istrinya seraya berpamitan."Kita barengan aja Mas. Aku juga kan mau ke butik," kata Alina sambil menyimpan gelas air minum yang sudah kosong ke atas meja. Dia juga sudah bersiap-siap untuk pergi ke butik.Abimana malah kembali membuatnya duduk di atas kursi. Padahal Alina sudah berdiri dan siap-siap pergi ke butik. "Kamu berangkatnya agak siangan aja Sayang. Semalam kan kita habis anu, kamu pasti masih capek."Lagi-lagi Abimana mengingatkan mereka akan malam panas mereka semalam. Meski sudah berkali-kali melakukannya dan membahas ini, Alina tetap merasa malu. "Mas...""Kenapa sih? Orang cuma ada kita berdua aja di sini. Kamu masih malu?" goda Abimana seraya memegang dagu sang istri.Matanya menatap istrinya dengan penuh cinta seperti biasa. Dia tidak pernah bosan melihat istrinya setiap hari dan hampir setiap detik, cintanya bertambah terus menerus seakan tak akan pernah habis dan selalu diisi ulang.Inikah
Rey melihat istrinya sedang jongkok sambil memegangi perutnya. Tak hanya itu, kedua mata istrinya berurai oleh cairan bening yang hangat. Suara tangisannya terdengar menyakitkan, sampai ke ulu hati Rey."Sayang? Kamu kenapa di sini?" tanya Rey yang tak kunjung membuat sang istri berhenti menangis dan mau melihat ke arahnya. Tira malah semakin menyembunyikan dirinya dari Rey."Maafin aku ya, Sayang." Pria yang akan segera jadi ayah itu, ikut berjongkok bersama istrinya dan disamping istrinya. Dengan tulus dia meminta maaf, tapi Tira sepertinya tidak mempercayai permintaan maafnya dan malah berkata lain-lain."Ngapain kamu ke sini? Pasti kamu mau marahin aku lagi kan? Sana pergi! Jangan ganggu aku sama bayiku," ujar Tira mengusir suaminya pergi dari sana dengan wajah bad mood."Eh? Kok gitu sih? Bayi kita ya, bukan bayi kamu aja. Orang aku kok yang nanam benihnya," celetuk Rey yang sontak saja mendapatkan pelototan maut dari istrinya. "Kenapa? Aku bicara benar kan? Benihnya dari aku loh
Ketika ibu dan ayah mertuanya menanyakan keadaannya, Tira hanya bisa menangis sambil mengatakan maaf. Mereka jadi kebingungan melihat Tira seperti ini. Hingga akhirnya Rey yang masih setengah sadar, tiba di dapur dan melihat asap mengepul di sana."Ada apa sih? Siapa orang yang masak malam-malam dan bikin dapur kebakar kayak gini?" tanya Rey pada semua orang yang sudah ada di sana.Papa Rey terlihat kesal dengan perkataan putranya. Dia terlihat santai, padahal istrinya bisa saja terluka saat berada di dapur. "Rey! Kamu ini gimana sih? Kenapa kamu biarkan istri kamu ke dapur sendiri hah?""Hah? Istriku ke dapur sendirian?" kata Rey dengan polosnya."Iya, sepertinya dia lagi masak nasi goreng tapi gosong nasinya. Kenapa sih kamu nggak perhatian sama istri kamu?" ucap mamanya kali ini dengan galak."Ma, tolong jangan marah-marah sama Mas Rey. Aku sendiri yang mau ke dapur, ini bukan salah dia." Tira membela suaminya, karena memang dia sendiri yang ingin pergi ke dapur dan membuat makanan
Ketika Alina dan Abimana sedang menikmati masa bulan madu mereka yang indah. Rey dan Tira sedang menikmati masa sebelum mereka menjadi orang tua. Kandungan Tira sudah menginjak bulan ketiga ,dia sudah tidak mengalami mual-mual lagi seperti sebelumnya. Tapi sekarang sikapnya sangat membuat Rey kebingungan. Setiap hari Rey dibuat sibuk dan Tira tidak bisa melihat suaminya diam."Rey, bangun. Rey." Tira menggoyang-goyangkan tubuh suaminya dengan kedua tangannya.Dia mencoba membangunkan suaminya itu. Namun, Rey masih tertidur lelap dan belum ada tanda-tanda mau bangun. Tira semakin jengkel dan akhirnya dia pun mengambil peluit yang ada di dalam lemari nakas. Kemudian dia meniup peluit itu tak jauh dari telinga Rey.Prit... Prit...Suara peluit itu terdengar kencang dan kontan saja membuat kedua mata Rey terbuka lebar. Pemuda itu benar-benar terbangun. "Astaghfirullah! Sayang!" pekik Rey kaget, seraya mengorek-ngorek telinganya yang terasa sakit setelah apa yang dilakukan istrinya barusan
Seakan tidak pernah puas dengan istrinya, Abimana kembali lanjutkan aktivitas suami istri itu pada pagi hari. Hingga mereka berdua baru bisa bersantai pada sore hari. Ketika perut keduanya sama-sama lapar dan ketika Alina ingin pergi jalan-jalan keluar. Dia bosan di dalam kamar, bisa-bisa suaminya terus melakukan ini seharian."Kamu mau jalan-jalan? Memang nggak capek heum?" ucap Abimana seraya mengelus dagu istrinya dengan lembut. Abimana tersenyum pada istrinya itu yang merengek ingin jalan-jalan."Gak. Aku lebih capek kalau terus-terusan berada di kamar ini. Kamu pasti bakal mesum terus sama aku, Mas." Alina mengucapkannya dengan blak-blakan. Kedua tangannya menyilang di dada dan matanya menunjukkan kekesalan."Baiklah. Kita akan keluar. Tapi gantilah dulu bajumu Sayang. Jangan sampai kamu memakai pakaian terbuka saat kita keluar nanti," ucap Abimana yang akhirnya menuruti rengekan istrinya.Seulas senyum manis nan indah, terlihat di bibir Alina dan membuat Abimana turut bahagia."T
Seketika tubuh Alina meremang, kala Abimana memeluknya dan bibir lelaki itu menyentuh tengkuknya dengan lembut, penuh perasaan. Gelayar aneh mulai muncul di dalam dirinya, seakan-akan meledak. Sentuhan Abimana membuat Alina geli, tapi juga merasa bahagia.Kini mereka adalah suami istri dan mereka sudah sah secara hukum negara maupun agama. Bukankah ini saatnya mereka untuk melakukan malam pertama?"Kamu wangi banget, Yang." Suara Abimana terdengar mendesah dan bibirnya masih terus mengecupi leher Alina.Wanita itu terkekeh mendengar perkataan Abimana yang terdengar seperti gombalan. "Mana ada wangi, Mas? Yang ada aku bau keringat, karena seharian di tempat acara resepsi pernikahan kita.""Keringatmu tetap wangi Sayang. Apa lagi saat kita melakukan kegiatan positif di atas ranjang itu yang membuat kita semakin berkeringat, pasti rasanya akan nikmat," ucap Abimana menggoda. Sontak saja Alina terkejut mendengar ucapan suaminya yang ternyata bisa vulgar seperti ini."Mas ..." desah Alina
Suasana di gedung hotel mewah itu menjadi saksi pernikahan Abimana dan Alina. Semuanya sudah disiapkan dengan sebaik-baiknya dan sesempurna mungkin. Pernikahan kedua Alina ini, jelas jauh lebih mewah dari pernikahan sebelumnya yang sederhana. Kalah jauh. Abimana lah yang menginginkan pernikahan ini menjadi pernikahan yang mewah. Ia ingin meratukan wanita yang ia cintai dengan gemerlap kemewahan dan kasih sayang. Apa yang ia lakukan ini menunjukkan betapa besarnya kasih sayang pria itu kepadanya. Semua wanita akan iri kepadanya hari ini, karena ia mendapatkan mempelai pria yang sangat mencintainya. Orang-orang juga akan banyak yang mendoakan agar keduanya bahagia. Sakinah, mawadah warahmah. Angga yang terharu dengan pernikahan kakaknya, tak bisa menahan tangis. Air matanya terus saja keluar, tak terkendali. Tira yang melihat itu pun mencoba membuat Angga berhenti menangis. "Masa kamu nangis sih? Ini hari bahagia kakak kamu loh. Ayo senyum ah! Jelek tahu!" tukas Tira gemas melihat