Share

Bab 5. Memegang Janji

Alih-alih membujuk suaminya agar tidak marah, Alina malah mengucapkan kata-kata yang membuat suaminya semakin marah. Ya, Reno marah, saat mendengar Alina malah mengusirnya. Seharusnya, hari ini menjadi hari yang bahagia untuk Reno dan Alina, karena kehamilan Lily. Akan tetapi, sikap Alina malah mengacaukan segalanya. Reno pun mulai membenarkan apa yang dikatakan oleh ibunya, bahwa sebenarnya Alina memang tidak senang dia bahagia.

"Keluar Mas, aku lelah. Aku mau istirahat." Alina mengusir suaminya untuk kedua kalinya, sambil memalingkan wajah dari pria itu. Dia tidak mau kamu sampai Reno melihatnya menangis. Tapi, jika pria itu cukup peka akan perasaannya, mungkin Reno akan bertanya bagaimana perasaan istri pertamanya saat ini.

"Keterlaluan kamu Alina! Apa kamu benar-benar nggak suka lihat aku sama Lily bahagia? Bisa-bisanya kamu sikap kayak gini, saat tahu Lily hamil?" Reno mencecar istrinya sambil marah-marah. Dia kecewa karena Alina tidak menunjukkan kebahagiaan atas kabar ini.

"Seharusnya kamu bahagia Al. Karena kita juga akan menjadi orang tua dari anak yang dikandung Lily!" ujarnya lagi dengan tegas dan sekaligus menyalahkan Alina.

"Aku bahagia untuk kamu dan Lily, Mas. Tapi apa rasa bahagiaku ini harus selalu aku ungkapkan? Aku sedang lelah dan kamu—"

Tiba-tiba saja dan tanpa aba-aba, Reno menarik pinggang ramping Alina, kemudian membenamkan bibirnya pada bibir istri pertamanya itu. Tidak hanya sekedar menempel saja, Reno juga memberikan lumatan pada bibir Alina yang rasanya manis, masih sama seperti dulu.

Ciuman itu semakin menggebu dan Alina tak mampu untuk menolak kewajibannya sebagai istri. Sudah hampir dua bulan lamanya, sejak Reno menikah dengan Lily, dia tidak mendapatkan sentuhan seperti ini. Tidak ada ciuman, pelukan, sentuhan, apalagi nafkah batin yang di dapatkan Alina dari suaminya. Alina hampir tidak dipedulikan, hampir setiap malam juga di dalam kamar ini, hanya ada dirinya seorang.

Jantungnya berdegup kencang, setiap kali Reno di dekatnya, menyentuhnya dengan intim. Tak bisa Alina pungkiri, bahwa cinta itu masih ada di dalam hatinya untuk Reno. Alina akui, dia rindu pada sentuhan ini, dia merasakan kehangatan saat bibirnya bersatu dengan Reno. Namun, kehangatan itu tak berangsur lama saat dia mengingat pernikahan kedua suaminya. Mengingat bahwa suaminya, bukan hanya miliknya seorang lagi. Dadanya kembali merasakan sesak luar biasa dan pada akhirnya air matanya jatuh tak tertahankan.

Menyadari buliran basah di pipi Alina yang menyentuh kulit pipinya, Reno pun melepaskan tautan bibirnya. Kedua tangan Reno menangkup pipi Alina, jari-jarinya mengusap basah di pipi itu dan matanya menatap Alina dengan dalam. Melihat Alina menangis, amarah Reno langsung lenyap padanya.

"Dengar aku Al. Meskipun Lily sedang hamil, aku akan tetap berusaha adil untuk kamu dan Lily. Aku akan tetap mencintai kamu, mau itu dulu atau sekarang."

Pria itu berusaha untuk meyakinkan Alina bahwa cintanya kepada cinta pertamanya itu masih sama seperti dulu. Manis sekali mulut Reno berbicara, sehingga membuat Alina terbawa perasaan dan benteng yang dia pasang menjadi runtuh. Namun, inilah saatnya Alina untuk mengatakan unek-uneknya yang tersimpan dalam benaknya selama ini.

"Kamu tetap mencintai aku? Apa itu benar Mas? Kamu akan bisa bersikap adil sama aku dan Lily, apa kamu yakin Mas?"

Alina menekan nafasnya yang terasa sesak, berusaha untuk menahan air matanya yang terus merembes jatuh tak tertahankan.

"Selama ini aku tidak merasa kalau kamu berbuat adil sama aku, Mas. Kamu berat sebelah. Ya ... aku paham, karena kamu hanya segera memiliki keturunan, makanya setiap malam kamu tidur bersama dengan Lily. Kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengannya, dibandingkan dengan aku. Apa itu yang namanya adil, Mas?" tutur Alina sambil mengusap air matanya sendiri, dia merasa sakit saat mengatakan semua penat di hatinya.

"Tidak Al, aku tidak setiap malam tidur dengan Lily!" sanggah Reno tegas.

Alina tersenyum getir, dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak Mas. Sudah 2 bulan, kamu tidak datang ke kamar ini dan tidur bersamaku."

Jantung Reno kontan saja berhenti saat mendengar perkataan Alina, tentang 2 bulan lamanya dia tidak tidur bersama Alina dan datang ke kamar mereka. Wajah Reno langsung berubah pucat pasi, hatinya bertanya-tanya, karena dia tidak yakin kalau selama itu dia mengabaikan Alina.

"Sejak pernikahan kamu dan Lily ... kamu tidak pernah datang ke kamar kita. Padahal sebelum kamu menikahi Lily, kamu sudah janji sama aku ... kalau kamu akan bersikap adil sama aku dan Lily. Tapi apa buktinya Mas? Apa ini adil untuk aku?"

Mungkin, dengan Alina mengutarakan penat di dalam hatinya pada Reno, pria itu akan mengerti bagaimana perasaannya. Semoga saja begitu.

"Aku ini istri pertama kamu, tapi kenapa aku merasa jadi orang ketiga dalam pernikahan kamu dan Lily, Mas." Desah Alina dengan buliran bening hangat yang masih keluar dari kedua bola matanya itu.

Jari Reno menutup bibir Alina yang tampak bergetar itu. Sedangkan satu tangannya lagi, mengusap tangan Alina dengan lembut, sentuhan yang berusaha untuk menenangkannya.

"Sayang, kenapa kamu bicara begitu? Kamu istri aku, bukan orang ketiga."

"Tapi, sikap kamu yang menunjukkan kalau aku ini orang ketiga dalam pernikahan kita, Mas!" seru Alina kesal.

Kedua tangan Reno mengenggam tangan Alina, dia tatap sepasang mata berwarna coklat muda yang tampak menunjukkan kesedihannya itu.

"Maaf, kalau kamu merasa begitu Al. Mas, sama sekali nggak bermaksud buat menyakiti kamu, membuat kamu menangis seperti ini. Maafin Mas ya. Mas janji, mas akan menjadi suami yang adil untuk kamu dan Lily. Berikan Mas kesempatan untuk perbaiki diri, ya?" Mohon Reno kepada Alina, agar dia diberikan kesempatan untuk memperbaiki dirinya.

Dia tidak mau kehilangan Alina maupun Lily, mereka berdua sangat berarti untuknya. Alina, cinta pertama yang menemaninya dari nol dan Lily, wanita cantik yang saat ini sedang mengandung keturunannya. Reno tak bisa mengabaikan keduanya dan dia harus berusaha bersikap adil.

"Oke ... aku kasih Mas satu kesempatan. Aku akan lihat, apakah kamu bisa bersikap adil sama aku dan Lily!" sahut Alina yang berusaha memberikan kesempatan untuk Reno. 'Dan aku harap ... kamu tidak terpengaruh oleh Mama, Mas' sambung Alina dalam hatinya.

"Aku pegang janji kamu, Mas." Mata Alina menatap tajam pada suaminya, sambil berharap kalau janji Reno bukanlah janji palsu.

Reno tersenyum, lantas dia menarik istri pertamanya itu ke dalam pelukannya. "Makasih Sayang, mas pasti akan menepati janji. Percaya sama Mas ya?" kata Reno lembut dan Alina berusaha untuk mempercayai suaminya.

***

Setelah pembicaraan itu, Reno memberikan keputusan kepada kedua istrinya mengenai pembagian jatah tidur. Bahwa 3 hari dalam seminggu, dia akan tidur dengan Alina dan tiga harinya lagi, dia akan tidur dengan Lily. Sedangkan untuk hari Minggu, Reno akan tidur sendiri. Inilah yang dimaksud Reno dengan sikap adil.

Malam ini, giliran Reno tidur dengan Alina. Alina sudah bersiap-siap mengenakan pakaian tidurnya yang berbahan satin dan menunggu suaminya di dalam kamar.

"Mas, kamu sudah datang?"

Kedua mata Alina berbinar-binar saat dia melihat suaminya sedang berjalan masuk ke kamarnya. Dia menyambut suaminya dengan senyuman terbaiknya.

"Mas? Ada apa?" tanya Alina yang heran melihat Reno terlihat gelisah dan bingung.

"Malam ini Mas nggak bisa tidur sama kamu. Lily lagi nggak enak badan dan aku harus nemenin dia. Aku kesini cuma buat kasih tahu itu, Al."

Alina membeku mendengar penjelasan dari suaminya, kalau pria itu tidak bisa tidur bersama dengannya malam ini. Lagi-lagi Alina harus kecewa dengan keputusan suaminya.

"Aku nggak izinkan kamu ke kamar Lily, Mas."

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status