Alih-alih membujuk suaminya agar tidak marah, Alina malah mengucapkan kata-kata yang membuat suaminya semakin marah. Ya, Reno marah, saat mendengar Alina malah mengusirnya. Seharusnya, hari ini menjadi hari yang bahagia untuk Reno dan Alina, karena kehamilan Lily. Akan tetapi, sikap Alina malah mengacaukan segalanya. Reno pun mulai membenarkan apa yang dikatakan oleh ibunya, bahwa sebenarnya Alina memang tidak senang dia bahagia.
"Keluar Mas, aku lelah. Aku mau istirahat." Alina mengusir suaminya untuk kedua kalinya, sambil memalingkan wajah dari pria itu. Dia tidak mau kamu sampai Reno melihatnya menangis. Tapi, jika pria itu cukup peka akan perasaannya, mungkin Reno akan bertanya bagaimana perasaan istri pertamanya saat ini. "Keterlaluan kamu Alina! Apa kamu benar-benar nggak suka lihat aku sama Lily bahagia? Bisa-bisanya kamu sikap kayak gini, saat tahu Lily hamil?" Reno mencecar istrinya sambil marah-marah. Dia kecewa karena Alina tidak menunjukkan kebahagiaan atas kabar ini. "Seharusnya kamu bahagia Al. Karena kita juga akan menjadi orang tua dari anak yang dikandung Lily!" ujarnya lagi dengan tegas dan sekaligus menyalahkan Alina. "Aku bahagia untuk kamu dan Lily, Mas. Tapi apa rasa bahagiaku ini harus selalu aku ungkapkan? Aku sedang lelah dan kamu—" Tiba-tiba saja dan tanpa aba-aba, Reno menarik pinggang ramping Alina, kemudian membenamkan bibirnya pada bibir istri pertamanya itu. Tidak hanya sekedar menempel saja, Reno juga memberikan lumatan pada bibir Alina yang rasanya manis, masih sama seperti dulu. Ciuman itu semakin menggebu dan Alina tak mampu untuk menolak kewajibannya sebagai istri. Sudah hampir dua bulan lamanya, sejak Reno menikah dengan Lily, dia tidak mendapatkan sentuhan seperti ini. Tidak ada ciuman, pelukan, sentuhan, apalagi nafkah batin yang di dapatkan Alina dari suaminya. Alina hampir tidak dipedulikan, hampir setiap malam juga di dalam kamar ini, hanya ada dirinya seorang. Jantungnya berdegup kencang, setiap kali Reno di dekatnya, menyentuhnya dengan intim. Tak bisa Alina pungkiri, bahwa cinta itu masih ada di dalam hatinya untuk Reno. Alina akui, dia rindu pada sentuhan ini, dia merasakan kehangatan saat bibirnya bersatu dengan Reno. Namun, kehangatan itu tak berangsur lama saat dia mengingat pernikahan kedua suaminya. Mengingat bahwa suaminya, bukan hanya miliknya seorang lagi. Dadanya kembali merasakan sesak luar biasa dan pada akhirnya air matanya jatuh tak tertahankan. Menyadari buliran basah di pipi Alina yang menyentuh kulit pipinya, Reno pun melepaskan tautan bibirnya. Kedua tangan Reno menangkup pipi Alina, jari-jarinya mengusap basah di pipi itu dan matanya menatap Alina dengan dalam. Melihat Alina menangis, amarah Reno langsung lenyap padanya. "Dengar aku Al. Meskipun Lily sedang hamil, aku akan tetap berusaha adil untuk kamu dan Lily. Aku akan tetap mencintai kamu, mau itu dulu atau sekarang." Pria itu berusaha untuk meyakinkan Alina bahwa cintanya kepada cinta pertamanya itu masih sama seperti dulu. Manis sekali mulut Reno berbicara, sehingga membuat Alina terbawa perasaan dan benteng yang dia pasang menjadi runtuh. Namun, inilah saatnya Alina untuk mengatakan unek-uneknya yang tersimpan dalam benaknya selama ini. "Kamu tetap mencintai aku? Apa itu benar Mas? Kamu akan bisa bersikap adil sama aku dan Lily, apa kamu yakin Mas?" Alina menekan nafasnya yang terasa sesak, berusaha untuk menahan air matanya yang terus merembes jatuh tak tertahankan. "Selama ini aku tidak merasa kalau kamu berbuat adil sama aku, Mas. Kamu berat sebelah. Ya ... aku paham, karena kamu hanya segera memiliki keturunan, makanya setiap malam kamu tidur bersama dengan Lily. Kamu lebih banyak menghabiskan waktu dengannya, dibandingkan dengan aku. Apa itu yang namanya adil, Mas?" tutur Alina sambil mengusap air matanya sendiri, dia merasa sakit saat mengatakan semua penat di hatinya. "Tidak Al, aku tidak setiap malam tidur dengan Lily!" sanggah Reno tegas. Alina tersenyum getir, dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak Mas. Sudah 2 bulan, kamu tidak datang ke kamar ini dan tidur bersamaku." Jantung Reno kontan saja berhenti saat mendengar perkataan Alina, tentang 2 bulan lamanya dia tidak tidur bersama Alina dan datang ke kamar mereka. Wajah Reno langsung berubah pucat pasi, hatinya bertanya-tanya, karena dia tidak yakin kalau selama itu dia mengabaikan Alina. "Sejak pernikahan kamu dan Lily ... kamu tidak pernah datang ke kamar kita. Padahal sebelum kamu menikahi Lily, kamu sudah janji sama aku ... kalau kamu akan bersikap adil sama aku dan Lily. Tapi apa buktinya Mas? Apa ini adil untuk aku?" Mungkin, dengan Alina mengutarakan penat di dalam hatinya pada Reno, pria itu akan mengerti bagaimana perasaannya. Semoga saja begitu. "Aku ini istri pertama kamu, tapi kenapa aku merasa jadi orang ketiga dalam pernikahan kamu dan Lily, Mas." Desah Alina dengan buliran bening hangat yang masih keluar dari kedua bola matanya itu. Jari Reno menutup bibir Alina yang tampak bergetar itu. Sedangkan satu tangannya lagi, mengusap tangan Alina dengan lembut, sentuhan yang berusaha untuk menenangkannya. "Sayang, kenapa kamu bicara begitu? Kamu istri aku, bukan orang ketiga." "Tapi, sikap kamu yang menunjukkan kalau aku ini orang ketiga dalam pernikahan kita, Mas!" seru Alina kesal. Kedua tangan Reno mengenggam tangan Alina, dia tatap sepasang mata berwarna coklat muda yang tampak menunjukkan kesedihannya itu. "Maaf, kalau kamu merasa begitu Al. Mas, sama sekali nggak bermaksud buat menyakiti kamu, membuat kamu menangis seperti ini. Maafin Mas ya. Mas janji, mas akan menjadi suami yang adil untuk kamu dan Lily. Berikan Mas kesempatan untuk perbaiki diri, ya?" Mohon Reno kepada Alina, agar dia diberikan kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Dia tidak mau kehilangan Alina maupun Lily, mereka berdua sangat berarti untuknya. Alina, cinta pertama yang menemaninya dari nol dan Lily, wanita cantik yang saat ini sedang mengandung keturunannya. Reno tak bisa mengabaikan keduanya dan dia harus berusaha bersikap adil. "Oke ... aku kasih Mas satu kesempatan. Aku akan lihat, apakah kamu bisa bersikap adil sama aku dan Lily!" sahut Alina yang berusaha memberikan kesempatan untuk Reno. 'Dan aku harap ... kamu tidak terpengaruh oleh Mama, Mas' sambung Alina dalam hatinya. "Aku pegang janji kamu, Mas." Mata Alina menatap tajam pada suaminya, sambil berharap kalau janji Reno bukanlah janji palsu. Reno tersenyum, lantas dia menarik istri pertamanya itu ke dalam pelukannya. "Makasih Sayang, mas pasti akan menepati janji. Percaya sama Mas ya?" kata Reno lembut dan Alina berusaha untuk mempercayai suaminya. *** Setelah pembicaraan itu, Reno memberikan keputusan kepada kedua istrinya mengenai pembagian jatah tidur. Bahwa 3 hari dalam seminggu, dia akan tidur dengan Alina dan tiga harinya lagi, dia akan tidur dengan Lily. Sedangkan untuk hari Minggu, Reno akan tidur sendiri. Inilah yang dimaksud Reno dengan sikap adil. Malam ini, giliran Reno tidur dengan Alina. Alina sudah bersiap-siap mengenakan pakaian tidurnya yang berbahan satin dan menunggu suaminya di dalam kamar. "Mas, kamu sudah datang?" Kedua mata Alina berbinar-binar saat dia melihat suaminya sedang berjalan masuk ke kamarnya. Dia menyambut suaminya dengan senyuman terbaiknya. "Mas? Ada apa?" tanya Alina yang heran melihat Reno terlihat gelisah dan bingung. "Malam ini Mas nggak bisa tidur sama kamu. Lily lagi nggak enak badan dan aku harus nemenin dia. Aku kesini cuma buat kasih tahu itu, Al." Alina membeku mendengar penjelasan dari suaminya, kalau pria itu tidak bisa tidur bersama dengannya malam ini. Lagi-lagi Alina harus kecewa dengan keputusan suaminya. "Aku nggak izinkan kamu ke kamar Lily, Mas." Bersambung ...Kali ini Alina tidak mau mengalah, dia harus bisa membuat Reno bisa tinggal dengannya malam ini. Reno juga sudah berjanji padanya dan bukankah sudah seharusnya Reno menjaga janjinya pada Alina?Selalu aja ada alasan, yang membuat Reno harus bersama Lily. Sampai-sampai Alina tidak punya waktu untuk bersama suaminya sendiri. Alina paham, kalau Lily juga istri suaminya, tapi wanita itu terlalu menguasai waktu Reno. Sehingga Alina tidak mendapatkan waktu bersama Reno."Aku tidak mengizinkanmu pergi, Mas. Malam ini kamu harus bersamaku, itu janji kamu!" ujar Alina tegas. Dia menekankan pada Reno, tentang janji pria itu kepadanya.Melihat suaminya diam saja, Alina kembali berkata. "Kemarin-kemarin seharusnya waktu kamu bermalam denganku, Mas. Tapi lagi-lagi Lily sakit, Lily pengen ditemenin kamu, Lily ngidam lah. Kamu nggak jadi bermalam sama aku. Sekarang aku mau kamu di sini Mas, karena ini waktu aku sama kamu."Wanita itu mengutarakan keluhannya pada suaminya, dia hanya ingin keadilan ya
Kedua mata Abimana menatap Alina dengan sendu dari kejauhan. Kamarnya yang kebetulan bersebrangan dengan kamar Alina, membuat Abimana tanpa sengaja melihat adik iparnya itu di sana.Pintu kamar Alina masih terbuka, menampilkan sosok Alina yang masih berdiri mematung di sana dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Kepalanya sesekali menunduk, jari-jarinya sesekali mengusap sesuatu di pipinya. Abimana tahu apa yang diusap oleh Alina, pasti masih hal yang sama, yaitu air mata."Kasihan sekali kamu, Al." Abimana berucap dengan lirih, merasa iba pada adik iparnya itu.Dia sudah bisa menebak bahwa malam ini, pasti Alina akan menangis lagi seorang diri di kamarnya dan terlihat sembab di pagi hari. Bukan hanya sekali, dua kali, Abimana melihat Alina seperti itu. Selama dua bulan ini, Abimana sering melihat adik iparnya bersedih dan murung. Sejak pernikahan kedua suaminya, wanita itu hampir tak pernah tersenyum. Belum lagi tekanan dari ibunya yang selalu merecoki rumah tangga Alina dan Reno.A
"Uhhh ... " "Aarggh ... " Kedua mata Alina yang semula terpejam, langsung terbuka perlahan, begitu dia mendengar suara-suara aneh dari luar kamarnya. Wanita itu benar-benar terbangun, bertepatan dengan kerongkongannya yang kering dan perlu di basahi. Alina melangkah keluar dari kamarnya, sambil membawa botol minuman kosong, lalu dia berjalan menuju ke arah dapur. Semakin dia melangkah mendekati dapur, suara-suara aneh itu semakin terdengar keras. Namun, suara itu terdengar tidak asing di telinganya. Dia familiar dengan suara tersebut. Alangkah terkejutnya Alina, saat dia melihat dua insan manusia yang tengah memadu kasih, di atas meja dapur dengan sangat intim. Sontak saja, Alina menghentikan langkah dan memalingkan wajahnya, guna menghindari pemandangan tersebut. Niatnya, mengambil air pun menjadi urung. Dia kembali melangkahkan kakinya, menuju ke arah kamar dengan perasaan yang berkecamuk. Hatinya bak dihantam godam berat, sampai dadanya terasa sesak. Sebelum masuk ke dala
Perkataan Alina itu, sukses membuat suami dan madunya bungkam untuk sesaat. Raut wajah mereka semakin terlihat merasa bersalah. Lily menghampiri kakak madu sekaligus sahabatnya itu dengan wajah melas. Dia mengenggam tangan Alina, matanya berkaca-kaca. "Alina, maafin aku. Ini semua salah aku ... kamu jangan salahkan Mas Reno. Seharusnya aku dan Mas Reno bisa menahan diri dan tidak melakukannya di sana. Tapi kamu tenang aja, mulai malam ini dan seterusnya, Mas Reno akan tidur sama kamu!" Kata-kata yang dilontarkan oleh Lily, seperti sebuah pemberitahuan pada Alina jika mereka semakin mesra dan intim. Setelah 2 bulan ini terus mendiamkan mereka bersikap sesukanya, kini wanita berambut panjang itu pun akhirnya bereaksi. "Aku tahu kok, kalau hubungan kamu sama Mas Reno sangat mesra dan semakin lengket. Udah, nggak usah diperjelas lagi. Aku udah lihat dengan JELAS." Alina tersenyum tipis, dengan atensi tajam tertuju pada madunya itu. Raut wajah Lily langsung berubah, seolah dia ditin
Semua orang terkejut, begitu mereka melihat Lily jatuh tak sadarkan diri. Perdebatan Reno dan Alina, terpaksa harus berhenti karena Lily yang pingsan. Reno dan Weni panik melihatnya, mereka bergerak lebih dulu menghampiri Lily yang sudah tergeletak di atas lantai. Sedangkan Alina dan Abimana, masih berdiri di tempat mereka sambil melihat ke arah Lily."Lily! Sayang! Kamu kenapa?" Reno menepuk-nepuk pelan pipi Lily dan matanya memancarkan kekhawatiran pada istri keduanya itu."Lily ... kamu kenapa, Nak?"Tidak hanya Reno, Weni juga panik, karena sangat mengkhawatirkan menantunya. Padahal masih ada menantunya yang lain, yang harus dia perhatikan juga.Hati Alina hancur, saat dia melihat suaminya sangat mengkhawatirkan istri keduanya. Rasa cemburu itu semakin menggebu, sampai air matanya berdesakan ingin segera keluar dari tempatnya. Namun, sebisa mungkin Alina menahannya agar tidak terlihat menyedihkan di sana."Reno, cepat kamu bawa istri kamu ke rumah sakit!" Titah Weni pada putra ked
Tubuh Alina membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga, manakala dia mendengar kabar tentang kehamilan madunya. Seharusnya ini adalah kabar baik yang bisa membuatnya bahagia, karena suaminya akan memiliki keturunan setelah 5 tahun menunggu. Akan tetapi, hati Alina tidak merasa bahagia dengan kabar ini.Perkataan ibu mertuanya, bagaikan hujan petir yang datang di siang bolong. Mampu meluluhlantakkan perasaannya."Iya, Lily sedang hamil anak Reno. Tadi dokter memeriksanya di rumah sakit dan ternyata dia hamil. Terbukti kan, sekarang? Kalau kamu itu memang mandul?" Sarkas Weni kepada menantu pertamanya itu dan tanpa mempedulikan perasaan Alina sama sekali.Wajah pucat Alina, kedua mata wanita itu yang tampak mengembun, sama sekali tidak membuat Weni bersimpati kepadanya. Dia malah terlihat senang menyudutkan Alina tentang kemandulan."Ma, udah cukup." Reno meminta ibunya untuk tidak bicara lagi, karena sebenarnya hati Reno juga sakit mendengar Alina dihina dan disudutkan