Share

Bab 4. Aku Lelah, Mas

Tubuh Alina membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga, manakala dia mendengar kabar tentang kehamilan madunya. Seharusnya ini adalah kabar baik yang bisa membuatnya bahagia, karena suaminya akan memiliki keturunan setelah 5 tahun menunggu. Akan tetapi, hati Alina tidak merasa bahagia dengan kabar ini.

Perkataan ibu mertuanya, bagaikan hujan petir yang datang di siang bolong. Mampu meluluhlantakkan perasaannya.

"Iya, Lily sedang hamil anak Reno. Tadi dokter memeriksanya di rumah sakit dan ternyata dia hamil. Terbukti kan, sekarang? Kalau kamu itu memang mandul?" Sarkas Weni kepada menantu pertamanya itu dan tanpa mempedulikan perasaan Alina sama sekali.

Wajah pucat Alina, kedua mata wanita itu yang tampak mengembun, sama sekali tidak membuat Weni bersimpati kepadanya. Dia malah terlihat senang menyudutkan Alina tentang kemandulan.

"Ma, udah cukup." Reno meminta ibunya untuk tidak bicara lagi, karena sebenarnya hati Reno juga sakit mendengar Alina dihina dan disudutkan seperti ini. Alina masih memiliki tempat di ruang hatinya, meskipun dia terkadang suka membentak Alina.

Weni tidak terima dengan sanggahan Reno yang memintanya berhenti bicara. "Kenapa Ren? Mama di sini sedang mengatakan fakta lho. Istri pertamamu ini memang mandul dan nggak ada gunanya jadi istri."

Reno tahu, apa yang dikatakan ibunya memang fakta. Tapi, tidak harus diutarakan begini juga kan?

"Udah ya, Ma. Jangan bicara lagi ... karena aku mau merayakan hari ini dengan istri-istriku. Kabar baik tentang kehamilan Lily patut dirayakan, jadi aku nggak mau ada ribut-ribut." Pria itu memberikan pengertian kepada ibunya untuk tidak membuat keributan di hari yang bahagia ini.

Namun, perkataan Reno agaknya tidak membuat perasaan Alina lebih baik. Sebaliknya, wanita itu malah semakin sakit mendengarnya akan merayakan kebahagiaan atas kabar kehamilan madunya.

"Aku mau ke kamar dulu. Aku capek, maaf." Pamit Alina, yang langsung melangkah pergi dari sana.

Weni menatapnya sinis, dia semakin tidak menyukai Alina. "Dasar si mandul itu ya!"

Lily yang tapinya sedang duduk, kini berjalan menghampiri ibu mertuanya dan mengenggam tangan Weni. "Ma, udah ya. Jangan marah-marah, aku paham kok gimana perasaan Alina. Dia pasti gak senang dengan kabar kehamilan aku." Lily berucap dengan wajah memelas dan hal itu selalu berhasil untuk menarik simpati orang-orang yang di sekitarnya.

"Iya, kamu benar Lily. Mulai sekarang, kamu harus hati-hati dan menjaga kandungan kamu. Jangan sampai dia mencelakai kamu dan calon cucu, Mama!" ujar Weni dengan bersungut-sungut, berpikiran bahwa Alina akan sampai hati mencelakai Lily dan bayinya.

"Hal itu tidak akan pernah terjadi, Ma. Sudahlah, lebih baik Mama diam dan jangan bicara lagi. Aku akan bicara sama Alina," kata Reno sambil berdecak kesal, lantaran ibunya yang terus berbicara buruk tentang istri pertamanya.

Reno pun langkah pergi dan menyusul istrinya yang pasti sekarang sudah ada di dalam kamar mereka. Terlihat Alina baru saja melepaskan blazer hitam yang semula melekat ditubuhnya. Penampilan Alina terlihat rapi dengan setelan hitam putih itu.

"Alina."

Wanita itu tidak menjawab panggilan dari suaminya, tangannya malah sibuk mengeluarkan beberapa kertas yang ada di dalam tasnya.

Reno tak tahan lagi melihat Alina mengabaikannya, lantas dia menarik sikut Alina dan membuat mereka berdiri berhadapan. Mau tak mau, Alina jadi bertatapan suaminya.

"Alina, Mas lagi ngomong sama kamu. Kamu bisa dengerin Mas, nggak?" tanya Reno sambil menahan rasa jengkel pada sikap Alina.

"Aku denger kok Mas. Kalau Mas mau ngomong, ya silahkan. Tapi ... lepasin tangan aku, sakit." Alina berucap dengan dingin. Kemudian Reno melepaskan tangannya dari sikut Alina.

"Maaf, Mas sudah menyakiti kamu. Bisa kita bicara sebentar?" Pria itu mengajak istrinya untuk berbicara. Meskipun Alina malas dan lelah, tapi dia masih memiliki rasa hormat terhadap Reno, suaminya.

Alina dan Reno duduk bersebelahan di atas sudut ranjang. Keduanya terasa asing dan canggung, karena sudah lama mereka tidak duduk berdekatan seperti ini.

"Barang-barang di kamar ini kok jadi sedikit ya, Al? Seingat Mas, ada lemari kosmetik kamu di sana!" tunjuk Reno pada lemari kaca berwarna putih yang di atasnya tampak polos, hanya ada sisir berwarna putih saja di sana.

Setelah diperhatikan oleh Reno, barang-barang di kamarnya dan Alina banyak yang hilang.

Alina tersenyum getir, saat mendengar pertanyaan tentang lemari kosmetik dan barang-barang di kamar itu yang jadi sedikit.

"Mas lupa ya? Lemari kosmetik itu kan ada di kamar Lily."

"Kenapa ada di kamar Lily? Seingatku itu adalah hadiah ulang tahun kamu , Al."

Suara Reno terdengar kesal ditelinga Alina, tapi wanita itu malah tersenyum getir mendengarnya.

"Mas, apa mas lupa? Mas loh yang bawa lemari kosmetik itu ke kamar Lily. Mas juga marahin aku, saat aku bilang kalau Lily bisa beli lemari kosmetik yang lain. Aku bahkan mengingatkan Mas, kalau lemari kosmetik itu hadiah ulang tahun Mas dari aku. Tapi ... Mas nggak mau denger dan tetap memberikan lemari kosmetik itu buat Lily. Sampai kita bertengkar lho, Mas."

Penjelasan Alina diiringi dengan nada kesal itu, membuat Reno teringat saat dia pernah bertengkar dengan Alina gara-gara lemari kosmetik yang diinginkan Lily. Alina menolaknya saat itu, tapi Reno memaksa Alina menyerahkan lemarinya pada Lily.

"Oh gitu. Maaf ya Al, masalah itu tolong lupain aja. Sekarang Mas mau ngomong yang lain sama kamu."

Begitu mudahnya laki-laki ini mengalihkan pembicaraan, tapi Alina memang sudah biasa dengan sikap Reno yang sering seperti ini.

"Apa Mas? Langsung aja. Aku mau mandi, badanku lengket." Alina tidak mau berlama-lama bicara dengan suaminya.

"Mas cuma mau bilang, malam ini kita pergi keluar ya? Kita dinner bareng, kamu, Mas sama Lily. Udah lama kita nggak jalan keluar. Kita harus merayakan kehamilan Lily dan aku yang akan segera jadi ayah," kata Reno sambil tersenyum, dia sangat bahagia mendengar dari dokter kalau Lily sedang hamil. Menurutnya, hal ini patut dirayakan.

"Selamat Mas, kamu akan segera jadi ayah, karena Lily sedang hamil. Tapi maaf ... aku nggak bisa ikut ke acara makan malam kalian."

Alina menolak halus ajakan suaminya untuk makan malam bersama dengan Reno dan Lily.

Pria itu menggeram, rahangnya mengetat dan wajahnya memerah, matanya menunjukkan kilatan emosi yang tertuju pada Alina.

"Al, kenapa kamu kayak gini sih? Kamu kayak nggak senang kalau Lily hamil! Benar kata Mama, kamu memang nggak suka aku sama Lily bahagia!" bentak Reno.

Sedangkan Alina, memilih untuk memalingkan wajahnya dari Reno. Matanya sudah tak kuat menyembunyikan buliran bening yang sedari tadi bersembunyi di sana, mendesak ingin segera turun.

Alina pun berucap dengan tegas. "Kamu udah selesai bicara, kan, Mas? Kalau sudah, silahkan keluar ... karena aku lelah, Mas."

'Aku lelah menghadapi kamu, Mas'

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status