Tubuh Alina membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga, manakala dia mendengar kabar tentang kehamilan madunya. Seharusnya ini adalah kabar baik yang bisa membuatnya bahagia, karena suaminya akan memiliki keturunan setelah 5 tahun menunggu. Akan tetapi, hati Alina tidak merasa bahagia dengan kabar ini.
Perkataan ibu mertuanya, bagaikan hujan petir yang datang di siang bolong. Mampu meluluhlantakkan perasaannya. "Iya, Lily sedang hamil anak Reno. Tadi dokter memeriksanya di rumah sakit dan ternyata dia hamil. Terbukti kan, sekarang? Kalau kamu itu memang mandul?" Sarkas Weni kepada menantu pertamanya itu dan tanpa mempedulikan perasaan Alina sama sekali. Wajah pucat Alina, kedua mata wanita itu yang tampak mengembun, sama sekali tidak membuat Weni bersimpati kepadanya. Dia malah terlihat senang menyudutkan Alina tentang kemandulan. "Ma, udah cukup." Reno meminta ibunya untuk tidak bicara lagi, karena sebenarnya hati Reno juga sakit mendengar Alina dihina dan disudutkan seperti ini. Alina masih memiliki tempat di ruang hatinya, meskipun dia terkadang suka membentak Alina. Weni tidak terima dengan sanggahan Reno yang memintanya berhenti bicara. "Kenapa Ren? Mama di sini sedang mengatakan fakta lho. Istri pertamamu ini memang mandul dan nggak ada gunanya jadi istri." Reno tahu, apa yang dikatakan ibunya memang fakta. Tapi, tidak harus diutarakan begini juga kan? "Udah ya, Ma. Jangan bicara lagi ... karena aku mau merayakan hari ini dengan istri-istriku. Kabar baik tentang kehamilan Lily patut dirayakan, jadi aku nggak mau ada ribut-ribut." Pria itu memberikan pengertian kepada ibunya untuk tidak membuat keributan di hari yang bahagia ini. Namun, perkataan Reno agaknya tidak membuat perasaan Alina lebih baik. Sebaliknya, wanita itu malah semakin sakit mendengarnya akan merayakan kebahagiaan atas kabar kehamilan madunya. "Aku mau ke kamar dulu. Aku capek, maaf." Pamit Alina, yang langsung melangkah pergi dari sana. Weni menatapnya sinis, dia semakin tidak menyukai Alina. "Dasar si mandul itu ya!" Lily yang tapinya sedang duduk, kini berjalan menghampiri ibu mertuanya dan mengenggam tangan Weni. "Ma, udah ya. Jangan marah-marah, aku paham kok gimana perasaan Alina. Dia pasti gak senang dengan kabar kehamilan aku." Lily berucap dengan wajah memelas dan hal itu selalu berhasil untuk menarik simpati orang-orang yang di sekitarnya. "Iya, kamu benar Lily. Mulai sekarang, kamu harus hati-hati dan menjaga kandungan kamu. Jangan sampai dia mencelakai kamu dan calon cucu, Mama!" ujar Weni dengan bersungut-sungut, berpikiran bahwa Alina akan sampai hati mencelakai Lily dan bayinya. "Hal itu tidak akan pernah terjadi, Ma. Sudahlah, lebih baik Mama diam dan jangan bicara lagi. Aku akan bicara sama Alina," kata Reno sambil berdecak kesal, lantaran ibunya yang terus berbicara buruk tentang istri pertamanya. Reno pun langkah pergi dan menyusul istrinya yang pasti sekarang sudah ada di dalam kamar mereka. Terlihat Alina baru saja melepaskan blazer hitam yang semula melekat ditubuhnya. Penampilan Alina terlihat rapi dengan setelan hitam putih itu. "Alina." Wanita itu tidak menjawab panggilan dari suaminya, tangannya malah sibuk mengeluarkan beberapa kertas yang ada di dalam tasnya. Reno tak tahan lagi melihat Alina mengabaikannya, lantas dia menarik sikut Alina dan membuat mereka berdiri berhadapan. Mau tak mau, Alina jadi bertatapan suaminya. "Alina, Mas lagi ngomong sama kamu. Kamu bisa dengerin Mas, nggak?" tanya Reno sambil menahan rasa jengkel pada sikap Alina. "Aku denger kok Mas. Kalau Mas mau ngomong, ya silahkan. Tapi ... lepasin tangan aku, sakit." Alina berucap dengan dingin. Kemudian Reno melepaskan tangannya dari sikut Alina. "Maaf, Mas sudah menyakiti kamu. Bisa kita bicara sebentar?" Pria itu mengajak istrinya untuk berbicara. Meskipun Alina malas dan lelah, tapi dia masih memiliki rasa hormat terhadap Reno, suaminya. Alina dan Reno duduk bersebelahan di atas sudut ranjang. Keduanya terasa asing dan canggung, karena sudah lama mereka tidak duduk berdekatan seperti ini. "Barang-barang di kamar ini kok jadi sedikit ya, Al? Seingat Mas, ada lemari kosmetik kamu di sana!" tunjuk Reno pada lemari kaca berwarna putih yang di atasnya tampak polos, hanya ada sisir berwarna putih saja di sana. Setelah diperhatikan oleh Reno, barang-barang di kamarnya dan Alina banyak yang hilang. Alina tersenyum getir, saat mendengar pertanyaan tentang lemari kosmetik dan barang-barang di kamar itu yang jadi sedikit. "Mas lupa ya? Lemari kosmetik itu kan ada di kamar Lily." "Kenapa ada di kamar Lily? Seingatku itu adalah hadiah ulang tahun kamu , Al." Suara Reno terdengar kesal ditelinga Alina, tapi wanita itu malah tersenyum getir mendengarnya. "Mas, apa mas lupa? Mas loh yang bawa lemari kosmetik itu ke kamar Lily. Mas juga marahin aku, saat aku bilang kalau Lily bisa beli lemari kosmetik yang lain. Aku bahkan mengingatkan Mas, kalau lemari kosmetik itu hadiah ulang tahun Mas dari aku. Tapi ... Mas nggak mau denger dan tetap memberikan lemari kosmetik itu buat Lily. Sampai kita bertengkar lho, Mas." Penjelasan Alina diiringi dengan nada kesal itu, membuat Reno teringat saat dia pernah bertengkar dengan Alina gara-gara lemari kosmetik yang diinginkan Lily. Alina menolaknya saat itu, tapi Reno memaksa Alina menyerahkan lemarinya pada Lily. "Oh gitu. Maaf ya Al, masalah itu tolong lupain aja. Sekarang Mas mau ngomong yang lain sama kamu." Begitu mudahnya laki-laki ini mengalihkan pembicaraan, tapi Alina memang sudah biasa dengan sikap Reno yang sering seperti ini. "Apa Mas? Langsung aja. Aku mau mandi, badanku lengket." Alina tidak mau berlama-lama bicara dengan suaminya. "Mas cuma mau bilang, malam ini kita pergi keluar ya? Kita dinner bareng, kamu, Mas sama Lily. Udah lama kita nggak jalan keluar. Kita harus merayakan kehamilan Lily dan aku yang akan segera jadi ayah," kata Reno sambil tersenyum, dia sangat bahagia mendengar dari dokter kalau Lily sedang hamil. Menurutnya, hal ini patut dirayakan. "Selamat Mas, kamu akan segera jadi ayah, karena Lily sedang hamil. Tapi maaf ... aku nggak bisa ikut ke acara makan malam kalian." Alina menolak halus ajakan suaminya untuk makan malam bersama dengan Reno dan Lily. Pria itu menggeram, rahangnya mengetat dan wajahnya memerah, matanya menunjukkan kilatan emosi yang tertuju pada Alina. "Al, kenapa kamu kayak gini sih? Kamu kayak nggak senang kalau Lily hamil! Benar kata Mama, kamu memang nggak suka aku sama Lily bahagia!" bentak Reno. Sedangkan Alina, memilih untuk memalingkan wajahnya dari Reno. Matanya sudah tak kuat menyembunyikan buliran bening yang sedari tadi bersembunyi di sana, mendesak ingin segera turun. Alina pun berucap dengan tegas. "Kamu udah selesai bicara, kan, Mas? Kalau sudah, silahkan keluar ... karena aku lelah, Mas." 'Aku lelah menghadapi kamu, Mas' ***Alih-alih membujuk suaminya agar tidak marah, Alina malah mengucapkan kata-kata yang membuat suaminya semakin marah. Ya, Reno marah, saat mendengar Alina malah mengusirnya. Seharusnya, hari ini menjadi hari yang bahagia untuk Reno dan Alina, karena kehamilan Lily. Akan tetapi, sikap Alina malah mengacaukan segalanya. Reno pun mulai membenarkan apa yang dikatakan oleh ibunya, bahwa sebenarnya Alina memang tidak senang dia bahagia. "Keluar Mas, aku lelah. Aku mau istirahat." Alina mengusir suaminya untuk kedua kalinya, sambil memalingkan wajah dari pria itu. Dia tidak mau kamu sampai Reno melihatnya menangis. Tapi, jika pria itu cukup peka akan perasaannya, mungkin Reno akan bertanya bagaimana perasaan istri pertamanya saat ini. "Keterlaluan kamu Alina! Apa kamu benar-benar nggak suka lihat aku sama Lily bahagia? Bisa-bisanya kamu sikap kayak gini, saat tahu Lily hamil?" Reno mencecar istrinya sambil marah-marah. Dia kecewa karena Alina tidak menunjukkan kebahagiaan atas kabar ini. "
Kali ini Alina tidak mau mengalah, dia harus bisa membuat Reno bisa tinggal dengannya malam ini. Reno juga sudah berjanji padanya dan bukankah sudah seharusnya Reno menjaga janjinya pada Alina?Selalu aja ada alasan, yang membuat Reno harus bersama Lily. Sampai-sampai Alina tidak punya waktu untuk bersama suaminya sendiri. Alina paham, kalau Lily juga istri suaminya, tapi wanita itu terlalu menguasai waktu Reno. Sehingga Alina tidak mendapatkan waktu bersama Reno."Aku tidak mengizinkanmu pergi, Mas. Malam ini kamu harus bersamaku, itu janji kamu!" ujar Alina tegas. Dia menekankan pada Reno, tentang janji pria itu kepadanya.Melihat suaminya diam saja, Alina kembali berkata. "Kemarin-kemarin seharusnya waktu kamu bermalam denganku, Mas. Tapi lagi-lagi Lily sakit, Lily pengen ditemenin kamu, Lily ngidam lah. Kamu nggak jadi bermalam sama aku. Sekarang aku mau kamu di sini Mas, karena ini waktu aku sama kamu."Wanita itu mengutarakan keluhannya pada suaminya, dia hanya ingin keadilan ya
Kedua mata Abimana menatap Alina dengan sendu dari kejauhan. Kamarnya yang kebetulan bersebrangan dengan kamar Alina, membuat Abimana tanpa sengaja melihat adik iparnya itu di sana.Pintu kamar Alina masih terbuka, menampilkan sosok Alina yang masih berdiri mematung di sana dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Kepalanya sesekali menunduk, jari-jarinya sesekali mengusap sesuatu di pipinya. Abimana tahu apa yang diusap oleh Alina, pasti masih hal yang sama, yaitu air mata."Kasihan sekali kamu, Al." Abimana berucap dengan lirih, merasa iba pada adik iparnya itu.Dia sudah bisa menebak bahwa malam ini, pasti Alina akan menangis lagi seorang diri di kamarnya dan terlihat sembab di pagi hari. Bukan hanya sekali, dua kali, Abimana melihat Alina seperti itu. Selama dua bulan ini, Abimana sering melihat adik iparnya bersedih dan murung. Sejak pernikahan kedua suaminya, wanita itu hampir tak pernah tersenyum. Belum lagi tekanan dari ibunya yang selalu merecoki rumah tangga Alina dan Reno.A
"Nanti kamu harus buatin aku pancake keju cokelat!"Alina menatap kakak iparnya dengan kedua alis yang terangkat dan kening yang berkerut. Ya, Alina bingung. Pasalnya ia tahu, bahwa kakak iparnya ini tidak terlalu menyukai makanan yang manis-manis."Lho? Kenapa ngeliatin Abang kayak gitu, Al? Ada yang salah ya?" tanya Abimana pada adik iparnya itu, lantaran ia dapat melihat kebingungan di raut wajah Alina."Aneh aja. Kenapa Abang minta dibuatin makanan yang manis-manis? Abang kan nggak suka yang manis-manis," tutur Alina sambil mengambil air minum yang ada di atas meja dapur.Kali ini giliran Abimana yang memuji Alina yang pandai membuat cake. "Kalau kamu yang buatnya, Abang pasti suka. Soalnya, cake buatan kamu kan enak.""Ya udah, nanti Alina buatin ya, Bang. Ngomong-ngomong makasih lho, nasi gorengnya. Pasti, yang nanti jadi istri Abang, akan merasa sangat beruntung.""Kenapa?" tanya Abimana sambil memperhatikan raut wajah Alina yang sudah tampak lebih baik dari sebelumnya. Jujur d
Jantung Reno seakan berhenti berdetak, saat ia menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada istri pertamanya. Reno menampar Alina dengan keras, cukup keras sampai wanita itu terjatuh ke lantai. Tangannya gemetar, ia melihat tangan kanan yang baru saja menampar Alina. Tersirat rasa bersalah dimatanya dan rasa tidak percaya, kalau ia sanggup melukai wanita yang ia cintai. Wanita yang selalu memaafkan kesalahannya dan menerima pernikahan keduanya. Sedangkan di sisi lain, Lily yang berada di atas ranjang itu, diam-diam tersenyum tipis melihat apa yang baru saja terjadi. Meskipun, matanya menunjukkan keterkejutan. "Al, maafin Mas ya? Sini, Mas bantu." Reno mendekati Alina, mengulurkan tangannya untuk meraih tangan wanita itu dan membantu Alina berdiri. Namun, Alina langsung menepis tangan suaminya dan dia berdiri sendiri. "Al, bibir kamu berdarah. A-aku minta maaf," ucap Reno terbata, ia tak menyangka tamparannya cukup kuat sampai membuat sudut bibir Aluna berdarah dan pipinya memer
"Abang apaan sih? Alina ... nggak mungkin minggat!" sanggah Reno pada perkataan sang kakak yang sangat membuatnya tak nyaman. Wajah Reno sendiri, masih menunjukkan kegelisahan. Istri pertamanya belum pulang sampai selarut ini."Nggak mungkin sih dia nggak minggat, setelah kejadian tadi pagi." Abimana terus saja berbicara dan membuat Reno kesal."Bisa diem, nggak, Bang!" ujar Reno dengan suara yang agak meninggi."Abang cuma ngasih tahu aja, Ren. Lagian sih kamu, terlalu pilih kasih sama istri-istri kamu. Jadi kayak gini deh!"Reno mendelik tajam ke arah kakaknya, tanpa berkata sepatah katapun. Sedangkan Abimana, pria itu malah tersenyum dengan santainya. Menikmati tatapan mata adiknya yang tampak kesal."Alina selama ini memang banyak diem. Tapi inget loh Ren, marahnya orang diem itu serem," tutur Abimana lagi pada adiknya."Mungkin, kalau marah masih bisa diredakan. Tapi hati-hati kalau seseorang sudah kecewa. Orang kalau udah kecewa, itu sulit untuk kembali."Perkataan Abimana, memb
Beberapa menit sebelumnya, Reno mengunjungi butik Tira dan rumah Tira untuk mencari istrinya. Namun, ternyata, baik Tira maupun Alina tidak ada di sana. Padahal, ia hanya tahu kalau Alina dekat dengan Tira, ia tak tahu Alina berteman dengan siapa lagi di sini. Istrinya itu pendiam dan jarang bergaul, sirkel pertemanannya juga sedikit. Lily dan Tira adalah teman dekatnya, hanya itu yang Reno tahu."Kemana sih kamu Al? Ditelpon gak aktif juga," desis Reno sambil mengacak-acak rambutnya ke belakang dengan kasar. Ia mengkhawatirkan Alina, bagaimana kondisi wanita itu dan apa yang sedang ia lakukan.Reno juga bingung, ia harus menghubungi siapa lagi. Ia tak tahu, kalau Alina mungkin punya teman lain.Suara petir yang menggelegar, terdengar berkali-kali bergemuruh di langit yang berwarna kelam tanpa bintang itu. Menandakan bahwa sebentar lagi akan segera turun hujan. Reno melirik ke arah jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 10 malam. Ia semakin mengkhawatirkan Alina. Meskipun ia selal
[Ly, maaf. Mas nggak bisa pulang. Mas kejebak hujan sama Alina. Mas terpaksa menginap di hotel yang berada di dekat sini. Maaf ya kamu harus tidur sendiri. Tapi kalau kamu kesepian, kamu tidur aja sama mama ya, sayang]Itulah pesan yang dikirimkan oleh kepada istri keduanya. Hal yang membuat Lily sangat kecewa berat, karena ia tidak ditemani oleh Reno malam ini. Suaminya itu pasti akan menghabiskan waktu bersama dengan Alina di hotel. Mungkin mereka tidak hanya tidur bersama, tapi melakukan hal yang lebih dari itu. Membayangkannya saja, hati Lily terasa sakit."Enggak! Kamu nggak boleh sama Alina, mas. Kamu nggak bisa kayak gini!" teriak Lily marah, setelah ia melempar ponsel mahalnya ke tembok dan akhirnya ponsel itu hancur lebur berserakan ke lantai.Lily jatuh terduduk di lantai, tangannya bersandar di atas sudut ranjang. Wanita itu terlihat marah, ia meremas seprai di atas ranjang dengan erat. Menahan tangisnya sekuat mungkin."Sialan kamu Ali