Share

Bab 2. Mertua Mulut Mercon

Perkataan Alina itu, sukses membuat suami dan madunya bungkam untuk sesaat. Raut wajah mereka semakin terlihat merasa bersalah.

Lily menghampiri kakak madu sekaligus sahabatnya itu dengan wajah melas. Dia mengenggam tangan Alina, matanya berkaca-kaca.

"Alina, maafin aku. Ini semua salah aku ... kamu jangan salahkan Mas Reno. Seharusnya aku dan Mas Reno bisa menahan diri dan tidak melakukannya di sana. Tapi kamu tenang aja, mulai malam ini dan seterusnya, Mas Reno akan tidur sama kamu!"

Kata-kata yang dilontarkan oleh Lily, seperti sebuah pemberitahuan pada Alina jika mereka semakin mesra dan intim.

Setelah 2 bulan ini terus mendiamkan mereka bersikap sesukanya, kini wanita berambut panjang itu pun akhirnya bereaksi.

"Aku tahu kok, kalau hubungan kamu sama Mas Reno sangat mesra dan semakin lengket. Udah, nggak usah diperjelas lagi. Aku udah lihat dengan JELAS." Alina tersenyum tipis, dengan atensi tajam tertuju pada madunya itu.

Raut wajah Lily langsung berubah, seolah dia ditindas oleh seseorang. "A-apa maksud kamu Al? Kok kamu ngomong gitu sih sama aku?"

"Kamu sendiri sudah tahu jawabannya." Setelah mengatakan itu, Alina melangkah pergi dengan santai dan melewati suami juga madunya yang masih berada di dekat meja makan. Seolah-olah, dia tidak melihat mereka berdua di sana.

Alina mengambil sesuatu dari dalam kulkas, sedangkan Reno dan Lily terus melihatnya dari belakang.

"Mas, kayaknya Alina benar-benar marah sama aku! Gimana ini, Mas?" rengek Lily sambil memegang tangan suaminya.

"Kamu tenang ya Ly, biar aku yang ngomong sama Alina."

Reno pun menyusul Alina ke dapur yang jaraknya tak jauh dari meja makan. Dia melihat istri pertamanya sedang mengambil sepotong roti dan menyiapkan selai coklat di sampingnya. Tangannya sibuk mengoleskan selai coklat pada roti tawar itu.

"Al, aku mau bicara."

Reno memulai pembicaraan lebih dulu pada istri pertamanya.

"Ngomong aja, Mas. Aku denger kok," jawab Alina sambil tetap melangkah kegiatannya, dia sama sekali tidak terganggu dengan Reno yang berbicara.

Tubuh Alina tertarik ke belakang, saat seseorang menarik tangannya. Siapa lagi pelakunya, kalau bukan Reno.

"Apa sih Mas?" decak Alina kesal, karena Reno memegang pergelangan tangannya dengan erat.

"Kamu yang kenapa? Kalau suami kamu lagi bicara, dengarkan baik-baik dan lihat matanya!" bentak Reno yang kesal dengan perilaku Alina yang dianggap tidak sopan dan tidak menghargainya sebagai suami.

Bentakan itu, berhasil membuat Alina terkejut, hatinya kembali berantakan untuk ke sekian kalinya. Namun, Alina berusaha mempertahankan diri untuk tidak runtuh.

Kedua sorot mata yang dulu saling menatap dengan penuh cinta itu, kini berubah menjadi sesuatu yang lain.

"Lihat Lily! Dia sampai menangis gara-gara kamu." Reno mengarahkan pandangannya pada Lily yang sedang menangis.

Alina juga ikut melihat madunya itu, hanya sebentar. Lalu dia kembali menatap Reno.

"Apa susahnya sih tinggal bilang kalau kamu udah maafin, tanpa harus ngomong yang macam-macam sama Lily? Ribet kamu, Al!"

Bukannya meminta maaf, tapi pria itu malah berbalik menyalahkan Alina atas semua keadaan ini.

"Aku kan udah bilang tadi, kalian nggak usah minta maaf. Aku ... nggak pernah nyuruh kalian buat minta maaf ...," lirih Alina.

"Ya, kamu emang nggak nyuruh. Tapi ... kamu bicara seolah-olah kami harus minta maaf sambil berlutut sama kamu. Jangan keterlaluan kamu, Alina!" seru Reno yang semakin menggenggam erat pergelangan tangan Alina. "Lihat Lily. Dia merasa bersalah sama kamu. Tapi, kamu malah membesarkan masalah," tutur Reno lagi mencecar Alina dengan kata-katanya.

"Aku? Membesarkan masalah?" Alina meninggikan suaranya, kepalanya mendongak, matanya melotot dan tak terima dengan perkataan suaminya.

"Ya! Kamu membesarkan masalah!" teriak Reno yang semakin emosi dengan perangai Alina kepadanya.

"Mas Reno, Alina, udah!" teriak Lily sambil berlari menghampiri mereka berdua. Bermaksud untuk menengahi pertengkaran itu.

"Ada apa ini ribut-ribut? Suaranya sampai kedengaran ke kamar Mama!"

Seorang wanita paruh baya baru saja tiba dari kamarnya, bersamaan dengan Abimana yang juga akan berangkat bekerja.

Weni, wanita paruh baya itu menatap Alina dengan tajam. Belum apa-apa, dia sudah menyalahkan wanita itu atas semua yang terjadi.

"Pasti kamu buat masalah lagi ya? Kali ini apa yang kamu perbuat, Alina?" tuduh Weni dengan sarkas, yang langsung melayangkan godam ke dalam hati Alina. "Udah mandul, suka bikin masalah. Emang kamu tuh nggak tahu diri ya! Harusnya kamu tuh bersyukur, suami kamu masih mempertahankan kamu. Bukan malah ngelunjak kayak gini!"

Jangankan untuk menjelaskan, Alina bahkan tidak diizinkan untuk bicara sepatah katapun oleh ibu mertuanya. Weni terus saja menghina dirinya habis-habisan. Menghina kekurangannya sebagai seorang wanita yang tidak bisa mengandung.

"Ma, cukup! Mama udah keterlaluan!" ujar Abimana yang angkat bicara. Dia tidak tahan melihat Alina selalu direndahkan.

Alina semakin sakit hati, dalam hati dia menjerit, mengapa suaminya diam saja di saat ibunya menghina dirinya seperti ini?

Weni mendelik tajam pada Abimana, lalu dia berkata dengan tajam. Setajam tatapannya. "Kamu diam saja, Abi! Ini bukan urusan kamu."

Abimana terdiam, setelah ibunya membentaknya.

"Dan kamu Alina ... kamu pembawa sial!"

Wanita paruh baya itu kembali menghina Alina dengan kata-katanya yang sarkas. Tangan Weni melayang ke atas dan mengarah pada wajah Alina.

"Mama, jangan!" Lily berteriak, berusaha mencegah ibu mertuanya untuk tidak berbuat kasar pada kakak madunya. Namun, sesuatu yang mengejutkan semua orang, terjadi saat Weni akan menampar Alina.

"LILY!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status