"Uhhh ... "
"Aarggh ... " Kedua mata Alina yang semula terpejam, langsung terbuka perlahan, begitu dia mendengar suara-suara aneh dari luar kamarnya. Wanita itu benar-benar terbangun, bertepatan dengan kerongkongannya yang kering dan perlu di basahi. Alina melangkah keluar dari kamarnya, sambil membawa botol minuman kosong, lalu dia berjalan menuju ke arah dapur. Semakin dia melangkah mendekati dapur, suara-suara aneh itu semakin terdengar keras. Namun, suara itu terdengar tidak asing di telinganya. Dia familiar dengan suara tersebut. Alangkah terkejutnya Alina, saat dia melihat dua insan manusia yang tengah memadu kasih, di atas meja dapur dengan sangat intim. Sontak saja, Alina menghentikan langkah dan memalingkan wajahnya, guna menghindari pemandangan tersebut. Niatnya, mengambil air pun menjadi urung. Dia kembali melangkahkan kakinya, menuju ke arah kamar dengan perasaan yang berkecamuk. Hatinya bak dihantam godam berat, sampai dadanya terasa sesak. Sebelum masuk ke dalam kamarnya, dia berpapasan dengan seorang pria berparas tampan tengah berdiri di salah satu anak tangga. Pria itu adalah Abimana, kakak ipar Alina. "Alina?" sapa Abimana pada adik iparnya sambil tersenyum. Namun, senyuman itu sirna kala dia melihat wajah Alina yang tampak pucat. "Bang Abi? A-aku habis ambil minum. Alina duluan, Bang." Alina tergagap, tanpa berani melihat ke arah kakak iparnya. Abimana melihat Alina yang terlihat buru-buru sambil membawa botol kosong ditangannya. Keningnya berkerut bingung. Sebenarnya apa yang membuat Alina terburu-buru seperti itu. Setibanya di dalam kamar. Alina langsung mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Dia berusaha menetralkan nafasnya yang masih belum stabil, setelah melihat kejadian barusan. Meskipun, dia sering melihat dan mendengar adegan tersebut selama 2 bulan ini, hatinya masih belum bisa menerima dengan ikhlas dan belum terbiasa. Menerima bahwa dia sudah dimadu oleh suaminya, karena kekurangan di dalam dirinya yang tidak bisa ditolerir oleh suami dan keluarga besar suaminya. 2 bulan yang lalu, suaminya, Reno menikah lagi dengan mantan pacarnya saat SMA, sekaligus sahabat baik Alina yang bernama Lily. Alina terpaksa harus menyetujui pernikahan itu, karena dia divonis tidak bisa melahirkan keturunan untuk Reno. Desakan dari ibu mertuanya yang saat itu sedang sakit keras, membuat Alina tak bisa menolak pernikahan itu. Reno juga berjanji, meskipun dia sudah menikah lagi, dia akan tetap mencintai Alina dan menganggap Alina sebagai prioritas utamanya, dibandingkan dengan Lily. Namun, apa buktinya? Sekarang, hampir setiap hari, bahkan setiap malam, Reno menikmati waktu bersama istri keduanya itu dengan alasan agar Lily cepat hamil. Cinta itu, sudah bukan hanya miliknya saja. Cinta yang dulu hanya untuk Alina, kini sudah terbagi untuk sahabatnya yang saat ini sudah menjadi madunya. Raga dan hati Reno, bukan hanya milik Alina lagi seperti dulu. Alina memandangi ranjang sebelahnya yang kosong, tangannya terulur membelai ranjang yang terasa dingin itu. "Bukan cuma raga kamu yang terbagi, Mas. Tapi hati kamu juga sepertinya sudah terbagi pada Lily. Kamu bukan milikku seutuhnya lagi, Mas. Atau ... memang kamu sudah tak ada hati kepadaku?" gumam Alina dengan senyuman getir terpatri di bibirnya. Ranjang yang dulu hangat itu, kini terasa dingin. Dia sudah terbiasa sendirian, sejak pernikahan kedua suaminya. Malam ini pun, sepertinya dia sendirian lagi. Wanita cantik berambut panjang itu, memutuskan untuk merebahkan tubuhnya kembali ke atas ranjang dan berusaha memejamkan matanya lagi. Menekan perasaan sakit hati dan cemburunya, berusaha melupakan bayangan suaminya bercumbu dengan madunya. Tapi semuanya percuma saja. *** Abimana berjalan menuruni tangga dan tujuannya adalah menuju ke dapur. Sama seperti Alina tadi, pria itu tampak syok melihat adegan tak senonoh di depannya. Tidak heran, wajah Alina tampak pucat barusan. Inilah alasan nya. "Apa kalian sudah tidak punya urat malu lagi, buat anak di tempat seperti ini?" Suara lantang itu mengagetkan Reno dan Lily, memisahkan mereka secara terpaksa, di saat mereka sedang enak-enaknya. "Bang Abi!" Reno terperangah, saat dia melihat kakaknya sudah berdiri di ambang pintu dapur. Buru-buru, Reno menjauhkan tubuhnya dari Lily, merapikan pakaiannya kembali. Abimana, kakak sulung Reno terlihat menatap sinis pada kedua insan yang baru saja selesai meraih kenikmatan surgawi dunia itu. "Pantas saja wajah Alina seperti itu, barusan," desis Abimana, kemudian lelaki itu memilih untuk kembali ke kamarnya karena kesal. Tak peduli dengan Reno dan istri keduanya itu. Lily terlihat merapikan rambutnya ke belakang, kemudian dia memegang tangan Reno dengan gemetar. "Mas, gimana ini? Apa Alina melihat kita berdua? A-aku jadi nggak enak sama dia, Mas." "Biar aku yang jelasin sama Alina, nanti." Reno mengusap kepala Lily dengan lembut, dia berusaha menenangkan istrinya yang merasa bersalah. "Tapi- ini salah aku Mas. Seharusnya aku maksa kamu main di kamar aja, bukan di sini!" ucap Lily lagi dengan wajah melas, menunjukkan rasa bersalahnya. Dia membayangkan, betapa sakitnya hati Alina saat menyaksikan percintaannya dan Reno barusan. "Aku harus minta maaf sama Alina, Mas. Aku sudah menyakiti hatinya lagi," ucapnya lagi dengan berderai air mata. Mendengar perkataan Lily dan melihat air mata wanita itu, Abimana tersenyum sinis. Sama sekali tidak menunjukkan simpati pada wanita cantik dengan wajah melas dan bersuara lembut ini. Berbeda dengan adiknya yang terlihat sangat mempedulikan Lily. "Udah Sayang, jangan merasa bersalah. Aku yang salah, aku yang nggak tahan lihat kamu dan malah ngelakuinnya di sini." Reno tampak merasa bersalah pada Lily dan Alina. Dua wanita yang menangis karenanya malam ini. Kemungkinan besar, Alina melihat aktivitas panasnya bersama Lily di dapur. *** Semalam, Reno tak bisa berbicara dengan Alina, karena Lily yang mendadak sakit perut dan dia harus menemani istri keduanya itu. Terlebih lagi, Lily kelelahan karena melayaninya semalam dan sebagai seorang suami, Reno merasa sangat berkewajiban untuk memberikan perhatian pada Lily. "Mas, apa Alina marah ya? Kenapa dia belum menyiapkan sarapan seperti biasanya?" tanya Lily, begitu dia sudah berada di ruang makan dan belum tersedia makanan seperti biasanya di meja makan, setiap pagi hari. Biasanya, Alina yang memasak. Kening Reno berkerut, lantas dia pun beranjak dari tempat duduknya. "Biar aku temuin dia di kamarnya." "Nah! Itu Alina, Mas!" seru Lily seraya melihat ke arah Alina yang sudah tampak rapi, bahkan wajahnya dipoles sedikit make up, dia tampak berbeda dari biasanya. "Alina, semalam kamu lihat aku sama Mas Reno di dapur ya? Maaf ya, ini semua salah aku. Seandainya aku bisa mencegah Mas Reno, supaya nggak main di dapur. Pasti kamu—" Tangan Alina terangkat ke atas, dan langsung menghentikan perkataan Lily. Atensi Reno, tertuju kepada istri pertamanya yang terlihat berbeda pagi ini. "Ini bukan pertama kalinya, aku mendengar bahkan melihat kalian bercinta. Jadi, nggak usah minta maaf!" Reno dan Lily tidak menyangka jika Alina akan berkata demikian. 'Dan ini juga bukan pertama kalinya ... aku terluka' sambungnya dalam hati. Bersambung...Perkataan Alina itu, sukses membuat suami dan madunya bungkam untuk sesaat. Raut wajah mereka semakin terlihat merasa bersalah. Lily menghampiri kakak madu sekaligus sahabatnya itu dengan wajah melas. Dia mengenggam tangan Alina, matanya berkaca-kaca. "Alina, maafin aku. Ini semua salah aku ... kamu jangan salahkan Mas Reno. Seharusnya aku dan Mas Reno bisa menahan diri dan tidak melakukannya di sana. Tapi kamu tenang aja, mulai malam ini dan seterusnya, Mas Reno akan tidur sama kamu!" Kata-kata yang dilontarkan oleh Lily, seperti sebuah pemberitahuan pada Alina jika mereka semakin mesra dan intim. Setelah 2 bulan ini terus mendiamkan mereka bersikap sesukanya, kini wanita berambut panjang itu pun akhirnya bereaksi. "Aku tahu kok, kalau hubungan kamu sama Mas Reno sangat mesra dan semakin lengket. Udah, nggak usah diperjelas lagi. Aku udah lihat dengan JELAS." Alina tersenyum tipis, dengan atensi tajam tertuju pada madunya itu. Raut wajah Lily langsung berubah, seolah dia ditin
Semua orang terkejut, begitu mereka melihat Lily jatuh tak sadarkan diri. Perdebatan Reno dan Alina, terpaksa harus berhenti karena Lily yang pingsan. Reno dan Weni panik melihatnya, mereka bergerak lebih dulu menghampiri Lily yang sudah tergeletak di atas lantai. Sedangkan Alina dan Abimana, masih berdiri di tempat mereka sambil melihat ke arah Lily."Lily! Sayang! Kamu kenapa?" Reno menepuk-nepuk pelan pipi Lily dan matanya memancarkan kekhawatiran pada istri keduanya itu."Lily ... kamu kenapa, Nak?"Tidak hanya Reno, Weni juga panik, karena sangat mengkhawatirkan menantunya. Padahal masih ada menantunya yang lain, yang harus dia perhatikan juga.Hati Alina hancur, saat dia melihat suaminya sangat mengkhawatirkan istri keduanya. Rasa cemburu itu semakin menggebu, sampai air matanya berdesakan ingin segera keluar dari tempatnya. Namun, sebisa mungkin Alina menahannya agar tidak terlihat menyedihkan di sana."Reno, cepat kamu bawa istri kamu ke rumah sakit!" Titah Weni pada putra ked
Tubuh Alina membeku, jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga, manakala dia mendengar kabar tentang kehamilan madunya. Seharusnya ini adalah kabar baik yang bisa membuatnya bahagia, karena suaminya akan memiliki keturunan setelah 5 tahun menunggu. Akan tetapi, hati Alina tidak merasa bahagia dengan kabar ini.Perkataan ibu mertuanya, bagaikan hujan petir yang datang di siang bolong. Mampu meluluhlantakkan perasaannya."Iya, Lily sedang hamil anak Reno. Tadi dokter memeriksanya di rumah sakit dan ternyata dia hamil. Terbukti kan, sekarang? Kalau kamu itu memang mandul?" Sarkas Weni kepada menantu pertamanya itu dan tanpa mempedulikan perasaan Alina sama sekali.Wajah pucat Alina, kedua mata wanita itu yang tampak mengembun, sama sekali tidak membuat Weni bersimpati kepadanya. Dia malah terlihat senang menyudutkan Alina tentang kemandulan."Ma, udah cukup." Reno meminta ibunya untuk tidak bicara lagi, karena sebenarnya hati Reno juga sakit mendengar Alina dihina dan disudutkan
Alih-alih membujuk suaminya agar tidak marah, Alina malah mengucapkan kata-kata yang membuat suaminya semakin marah. Ya, Reno marah, saat mendengar Alina malah mengusirnya. Seharusnya, hari ini menjadi hari yang bahagia untuk Reno dan Alina, karena kehamilan Lily. Akan tetapi, sikap Alina malah mengacaukan segalanya. Reno pun mulai membenarkan apa yang dikatakan oleh ibunya, bahwa sebenarnya Alina memang tidak senang dia bahagia. "Keluar Mas, aku lelah. Aku mau istirahat." Alina mengusir suaminya untuk kedua kalinya, sambil memalingkan wajah dari pria itu. Dia tidak mau kamu sampai Reno melihatnya menangis. Tapi, jika pria itu cukup peka akan perasaannya, mungkin Reno akan bertanya bagaimana perasaan istri pertamanya saat ini. "Keterlaluan kamu Alina! Apa kamu benar-benar nggak suka lihat aku sama Lily bahagia? Bisa-bisanya kamu sikap kayak gini, saat tahu Lily hamil?" Reno mencecar istrinya sambil marah-marah. Dia kecewa karena Alina tidak menunjukkan kebahagiaan atas kabar ini. "
Kali ini Alina tidak mau mengalah, dia harus bisa membuat Reno bisa tinggal dengannya malam ini. Reno juga sudah berjanji padanya dan bukankah sudah seharusnya Reno menjaga janjinya pada Alina?Selalu aja ada alasan, yang membuat Reno harus bersama Lily. Sampai-sampai Alina tidak punya waktu untuk bersama suaminya sendiri. Alina paham, kalau Lily juga istri suaminya, tapi wanita itu terlalu menguasai waktu Reno. Sehingga Alina tidak mendapatkan waktu bersama Reno."Aku tidak mengizinkanmu pergi, Mas. Malam ini kamu harus bersamaku, itu janji kamu!" ujar Alina tegas. Dia menekankan pada Reno, tentang janji pria itu kepadanya.Melihat suaminya diam saja, Alina kembali berkata. "Kemarin-kemarin seharusnya waktu kamu bermalam denganku, Mas. Tapi lagi-lagi Lily sakit, Lily pengen ditemenin kamu, Lily ngidam lah. Kamu nggak jadi bermalam sama aku. Sekarang aku mau kamu di sini Mas, karena ini waktu aku sama kamu."Wanita itu mengutarakan keluhannya pada suaminya, dia hanya ingin keadilan ya
Kedua mata Abimana menatap Alina dengan sendu dari kejauhan. Kamarnya yang kebetulan bersebrangan dengan kamar Alina, membuat Abimana tanpa sengaja melihat adik iparnya itu di sana.Pintu kamar Alina masih terbuka, menampilkan sosok Alina yang masih berdiri mematung di sana dengan kedua matanya yang berkaca-kaca. Kepalanya sesekali menunduk, jari-jarinya sesekali mengusap sesuatu di pipinya. Abimana tahu apa yang diusap oleh Alina, pasti masih hal yang sama, yaitu air mata."Kasihan sekali kamu, Al." Abimana berucap dengan lirih, merasa iba pada adik iparnya itu.Dia sudah bisa menebak bahwa malam ini, pasti Alina akan menangis lagi seorang diri di kamarnya dan terlihat sembab di pagi hari. Bukan hanya sekali, dua kali, Abimana melihat Alina seperti itu. Selama dua bulan ini, Abimana sering melihat adik iparnya bersedih dan murung. Sejak pernikahan kedua suaminya, wanita itu hampir tak pernah tersenyum. Belum lagi tekanan dari ibunya yang selalu merecoki rumah tangga Alina dan Reno.A
"Nanti kamu harus buatin aku pancake keju cokelat!"Alina menatap kakak iparnya dengan kedua alis yang terangkat dan kening yang berkerut. Ya, Alina bingung. Pasalnya ia tahu, bahwa kakak iparnya ini tidak terlalu menyukai makanan yang manis-manis."Lho? Kenapa ngeliatin Abang kayak gitu, Al? Ada yang salah ya?" tanya Abimana pada adik iparnya itu, lantaran ia dapat melihat kebingungan di raut wajah Alina."Aneh aja. Kenapa Abang minta dibuatin makanan yang manis-manis? Abang kan nggak suka yang manis-manis," tutur Alina sambil mengambil air minum yang ada di atas meja dapur.Kali ini giliran Abimana yang memuji Alina yang pandai membuat cake. "Kalau kamu yang buatnya, Abang pasti suka. Soalnya, cake buatan kamu kan enak.""Ya udah, nanti Alina buatin ya, Bang. Ngomong-ngomong makasih lho, nasi gorengnya. Pasti, yang nanti jadi istri Abang, akan merasa sangat beruntung.""Kenapa?" tanya Abimana sambil memperhatikan raut wajah Alina yang sudah tampak lebih baik dari sebelumnya. Jujur d
Jantung Reno seakan berhenti berdetak, saat ia menyadari apa yang baru saja ia lakukan pada istri pertamanya. Reno menampar Alina dengan keras, cukup keras sampai wanita itu terjatuh ke lantai. Tangannya gemetar, ia melihat tangan kanan yang baru saja menampar Alina. Tersirat rasa bersalah dimatanya dan rasa tidak percaya, kalau ia sanggup melukai wanita yang ia cintai. Wanita yang selalu memaafkan kesalahannya dan menerima pernikahan keduanya. Sedangkan di sisi lain, Lily yang berada di atas ranjang itu, diam-diam tersenyum tipis melihat apa yang baru saja terjadi. Meskipun, matanya menunjukkan keterkejutan. "Al, maafin Mas ya? Sini, Mas bantu." Reno mendekati Alina, mengulurkan tangannya untuk meraih tangan wanita itu dan membantu Alina berdiri. Namun, Alina langsung menepis tangan suaminya dan dia berdiri sendiri. "Al, bibir kamu berdarah. A-aku minta maaf," ucap Reno terbata, ia tak menyangka tamparannya cukup kuat sampai membuat sudut bibir Aluna berdarah dan pipinya memer