“Zaya? Mazaya ....”
Wanita cantik berambut panjang itu menoleh ke arah suara dan mendapati seseorang pria yang terlihat mengerutkan dahi, tak percaya sekaligus raut bahagia bisa menemukannya di sini."Arga??" Tak kalah terkejut, wanita itu pun heran bisa menemukan pria dari masa lalunya. "Kenapa kamu ada di sini?”Pria itu melangkah diiringi senyum di bibirnya yang semakin lebar. “Justru aku yang mau tanya, Za. Kamu kenapa di sini? Kamu kerja di sini?”Zaya mengangguk pelan seraya menunjuk papan informasi yang ada di atas mejanya. "Seperti yang kamu lihat, aku bekerja sebagai resepsionis di sini."Pandangan Arga menyelidik. “Kok aku tidak tahu? Kemarin kamu belum kerja di sini, kan?”Kemarin, selepas keluar dari rumahnya bersama pria sinting itu ... Zaya dibantu salah seorang sahabatnya melamar kerja di hotel ini. Beruntung, karena posisi ini kosong dan sedang dicari ... Wanita itu diterima dengan mudah.Ya, meski pekerjaan ini jauh dari pekerjaan dan jabatan terakhirnya, ia tetap bersyukur. Setidaknya, ia bisa memulai kariernya kembali dari awal."Ya, baru mulai hari ini."Pria di hadapan Zaya menatapnya sendu, membuat ia memalingkah wajah.Pertemuannya dengan Arga bukanlah satu hal yang ia harapkan. Terlebih, di saat hubungannya bersama Evan sedang di ujung tanduk.“Dunia sungguh kecil, ya? Perasaan, baru beberapa waktu yang lalu kamu memutuskanku demi menikah dengan Evan, adik tiriku." Arga sempat terkekeh kecil, sebelum kemudian menatap Zaya lagi dengan kerutan di kening. "Kenapa kamu tidak bekerja kembali ke Hotel Buana?”Pria yang ada di hadapannya ini adalah mantan kekasihnya. Mereka putus karena hubungan jarak jauh, juga Arga yang dinilai Zaya terlalu dingin, tak acuh pada hubungan mereka.Saat mereka terlibat keributan besar, pria itu kemudian memutuskannya dan memilih mengejar kariernya. Pada saat itulah, seorang Evan hadir dengan segudang perhatian. Mazaya yang sedang terluka pun merasa begitu diratukan.“Belum tentu mereka mau menerimaku yang sudah resign selama dua tahun."Arga terlihat mengangguk. Kemudian, pria itu kembali bertanya, “Tapi kenapa kamu memilih menjadi resepsionis?”Zaya tersenyum getir. Andai ia tidak bertindak bodoh dengan memilih fokus pada rumah tangganya dengan Evan ... Mungkin ia tidak akan kehilangan karier cemerlangnya dulu.“Apalagi? Aku memang benar-benar membutuhkan pekerjaan ini,” jelas Zaya seperlunya.“Suami kamu mengizinkan kamu bekerja di sini, Za?” tanya Arga ingin tahu.Mazaya tidak bisa berkata-kata, apalagi menjelaskan apa yang terjadi pada pernikahannya. Tidak etis rasanya berbagi berbagi kesedihan dengan laki-laki yang pernah sangat dekat dengannya itu.Zaya juga tak ingin membandingkan keduanya. Bagaimana pun, Evan-lah orang yang ada bersamanya kala ia hancur ditinggal Arga. Meski sekarang, Evan juga yang kini membuatnya kembali hancur tak bersisa.“Tidak masalah, Ga. Aku ingin kembali bekerja dan tidak ada satu orang pun yang bisa menghalangiku,” sahut Zaya ambigu. "Bukankah aku berhak atas apa pun yang ada di diriku?"Mata Arga sontak menyipit curiga menatap wanita yang tidak pernah berubah di matanya. “Kamu ribut sama suami kamu?” tanya Arga ingin tahu.Zaya buru-buru menunduk, tak ingin Arga sampai membaca sorot kesedihan di matanya. “Maaf, aku tidak bisa menceritakan masalah pribadiku." Zaya buru-buru mengambil tasnya. "Sekarang sudah waktunya aku pulang. Permisi, Ga.” Kemudian ia meninggalkan Arga langsung menuju ke arah lift.Membahas Evan, atau berbincang lebih lama dengan Arga berpotensi membuat ia kembali mengingat luka kemarin yang masih belum kering. Matanya yang masih sembab itu bahkan sudah kembali berembun. Kalau tak cepat-cepat pergi dari hadapan Arga, mungkin ia sudah menangis sekarang.Namun, belum sempat Zaya masuk ke dalam lift, tiba-tiba tangannya ditarik oleh Arga.“Kamu mau ke mana? Kita belum selesai bicara.”“Jangan sekarang, Ga, aku mau pulang.” Zaya berusaha berpaling, tak mau menunjukkan air matanya pada sang mantan.“Selagi aku belum izinkan, kamu tidak bisa pulang,” tegas Arga.Mau tak mau Zaya menyeka air matanya lalu menoleh pada Arga karena merasa kebingungan. “Apa maksud kamu?”Arga mulai mengembangkan senyumnya lalu mengulurkan tangan di depan Zaya. “Perkenalkan, aku CEO plus pemilik hotel Diamond ini, Mazaya Azalea.”***“Minumlah, Za!”Arga menyodorkan secangkir Latte yang merupakan minuman favorit Zaya saat mereka masih bersama. Pria itu juga tak lupa memesan pie vanila favorit sang mantan di kafe hotel miliknya. Senyum tak lepas dari bibir pria itu, berbanding terbalik dengan Zaya yang memilih untuk tetap dingin dan menyahut seperlunya.Ya, setelah berusaha keras dan menghalangi Zaya pergi, pada akhirnya pria itu berhasil membuatnya untuk tetap tinggal.“Makasih.” Zaya meraih kopinya lalu mulai menyesapnya pelan.Tak pernah ia duga, bisa bekerja di hotel milik mantan kekasihnya. Zaya sebenarnya sangat gugup, tapi ia menutupinya karena tak mau permasalahan dengan Evan, adik tiri mantannya terbongkar.“Sekian tahun berlalu, kamu tetap tidak berubah, Za. Kamu selalu terlihat cantik.”"Pujianmu tidak mempan, Ga."Zaya tersenyum getir. Meski wanita itu sadar, tatapan Arga pun tak pernah berubah ... Selalu berbunga dan penuh damba, ia sadar jika tak seharusnya ia terlena dengan pujian itu.Lagi pula, bisa saja Arga hanya membual untuk menghiburnya. Andai pria di depannya tahu bagaimana penampilannya kemarin, sudah pasti Arga juga akan menilainya sama ... Kumal dan bau.Pria di dunia ini memang sama, kan? Di mulut manis dengan bilang akan menerima apa adanya, tetapi pada akhirnya mereka tetap mengutamakan penampilan di atas segalanya.“Aku serius. Kamu tetap cantik di mataku.”Zaya meletakkan minumannya lalu menatap lembut Arga, berharap bisa segera pergi dari hadapannya, tak ingin terus-terusan dirundung penyesalan karena telah membuang laki-laki sebaik itu demi seonggok sampah.“Aku sudah menghabiskan kopiku. Kalau tidak ada yang mau dibicarakan, aku mau pulang.”Arga menggeleng pelan. “Aku belum mengizinkanmu pulang. Aku masih ingin bicara. Bagaimana hubunganmu dengan adik tiriku? Apa pernikahanmu bahagia?”"...." Zaya tak bisa berkata-kata. Bibirnya terkunci saat mendengar pertanyaan Arga. Melihat reaksi wanita itu, Arga pun mengambil sebuah kesimpulan pahit. “Sepertinya kamu memang punya masalah dengan suamimu. Katakan, apa yang Evan lakukan padamu, sehingga kamu terlihat sedih begini!” Meski tatapan wanita itu tak bisa berbohong, tetapi Zaya tetap kukuh pada pendiriannya untuk tak bercerita apa pun mengenai masalah rumah tangganya. Ia menggeleng disertai senyum tipis yang ia buat-buat. “Kamu salah, aku tak punya masalah apa pun dengan Mas Evan. Aku hanya ingin pulang, takut kemalaman. Kalau begitu aku permisi.” Zaya beranjak dari tempat duduknya, ingin segera meninggalkan Arga. Ia tak mau menambah masalah baru di tengah perceraian yang sebentar lagi akan ia urus. Bahkan Zaya berniat tak akan melanjutkan pekerjaannya di Hotel Diamond dan akan mencari kerja di tempat lain karena tak ingin terus-terusan bertemu dengan mantan terindahnya tersebut. Namun, langkah wanita cantik itu k
“Jangan menuduhku sembarangan!" Zaya mendengus kesal mendengar tuduhan yang dilemparkan suami brengseknya itu padanya. Ia menepis tangan Evan sekuat tenaga. “Kamu pulang malam-malam bersama kakak tiriku tanpa izin, itu artinya kamu berselingkuh!" Evan bersikeras dengan tuduhannya. "Apa kamu bersekongkol dengan Mira dan dia untuk menjebakku seakan aku selingkuh, sehingga kalian bisa bersama lagi? Begitu?" “Jangan sembarangan bicara kamu!" Zaya menatap nyalang ke arah suaminya. "Siapa yang kamu tuduh selingkuh?" Arga tiba-tiba turun dari mobil dan bersuara. "Kalau aku mau, aku bisa merebutnya terang-terangan darimu!" lanjut pria itu dengan begitu arogan. "Apa maksudmu?" Evan memutar tubuhnya menghadap sang kakak. Tatapan tak suka kentara sekali dari pria itu. "Dia bekerja di hotel milikku mulai hari ini, dan hari ini adalah hari pertama kami berjumpa sejak kamu menikahinya.” Pria itu berujar dengan santai. Bahkan sebuah senyum miring tercetak di sana. "Dan lagi ... sepertinya kamu
“Kamu baik-baik saja, Za? Kenapa ada Arga di sini?” Gea tidak bisa tidak bertanya. Sejak tadi ia mematung, menunggu sang sahabat masuk ke dalam rumahnya sambil memperhatikan pertikaian yang terjadi antara Zaya dengan dua orang pria yang pernah hadir dalam hidup sahabatnya tersebut. Wanita berparas cantik itu menatap sendu pada sahabatnya. Sedetik kemudian, air mata Zaya tumpah. Ia tak mampu menahan kesedihannya lagi. Batinnya terasa kacau. Kenapa semuanya terasa sulit baginya? Di saat ia benar-benar ingin melepaskan diri dari laki-laki yang sudah menghancurkan perasaannya, ia malah dipertemukan dengan mantan yang menjadi CEO-nya sendiri di tempatnya bekerja hingga berujung dua orang itu bertengkar di luar sana karena dirinya.Zaya sama sekali tidak ingin jadi rebutan, terlebih oleh kakak-beradik tersebut yang memiliki perangai serupa. Apa ia harus pergi dari kota ini, menata luka hati, juga menyembuhkan kepedihan di hatinya tanpa perlu melihat wajah mereka berdua lagi? Gea mendekap
“Pagi, Za.”Senyuman indah tersungging di bibir Arga, menyambut Mazaya yang baru membuka pintu pagi itu. Semalaman hatinya gembira, membayangkan akan terus bersama dengan sang pujaan hati. “Kenapa kamu datang kemari?” Zaya menoleh ke sekitar, merasa sedikit gugup, takut kalau sang suami juga datang yang berpotensi akan membuat keributan kembali seperti tadi malam.“Kamu cari siapa? Adik tiriku?” Arga sontak cemberut melihat Zaya masih saja memedulikan suaminya.“Aku hanya takut kalian berdebat lagi,” sahut Zaya. “Kamu ngapain ke sini?” Zaya mengulangi pertanyaannya sambil melangkah keluar rumah, tak lupa menutup pintunya.“Aku mau menjemputmu. Kita bareng aja ke hotel. Oh, ya, sebaiknya kamu ganti pakaianmu.” Arga memperhatikan tampilan Zaya yang mengenakan seragam resepsionis seperti kemarin.Alis Zaya naik, dahinya berkerut. “Kenapa aku harus ganti outfit? Ini seragamku kalau kamu lupa.”CEO tampan itu tersenyum tipis lalu menyampaikan niatnya untuk menaikkan jabatan Zaya. “Ganti aj
“Aku tidak akan membiarkan kamu turun dari mobil ini.” Melihat Zaya yang mulai menangis dan menurunkan intonasi bicaranya, perlahan emosi pada diri Arga pun meluruh. “Aku hanya ingin membantumu."Zaya menghapus lelehan air mata di pipinya dan menatap Arga dengan pandangan sendu. Nampak sorot matanya kelelahan menghadapi kekeraskepalaan Arga.“Kamu ingin bercerai, tapi tidak mau membuat suamimu kehilangan semuanya, kan?” Arga bertanya, tetapi Zaya masih diam menunggu kalimat pria itu selesai. “Kamu juga butuh pekerjaan untuk melanjutkan hidupmu dan aku bisa mewujudkan semua itu. Aku juga tidak akan mengadu pada Mama. Apa itu cukup untuk membuatmu percaya padaku?” Sejenak, Zaya terdiam. Ia mencerna semua hal yang Arga paparkan. Bicaranya yang sudah lebih melunak, juga sorot mata pria itu yang tak lagi mendesak membuat wanita itu mulai percaya dan bahkan mempertimbangkan tawaran Arga. Namun, lagi-lagi Zaya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. “Kalian memiliki hubungan, Ga. Keterlibat
“Apa yang harus aku lakukan?”Di kantor, di dalam ruangannya, Evan merenung di kursinya. Raut frustrasi terlihat kentara di wajah pria itu. Kertas-kertas berhamburan di lantai. Barang-barang yang ada di ruangan itu pun hancur berantakan. Ya, sejak pagi sampai menjelang siang, Evan tidak juga keluar dari ruangannya seusai mengamuk. Ia mengalami tekanan cukup berat.Bagaimana tidak, pernikahannya kini berada di ujung tanduk. Belum lagi ancaman dari kakak tirinya dan teror dari sang mama yang meminta ia mengajak Zaya menginap di kediamannya. Yang paling ia takutkan adalah mamanya. Ia tak tahu bagaimana marahnya sang mama jika tahu pernikahannya dan Zaya terancam cerai.Dari luar, seorang wanita seksi berpakaian ketat tersenyum lebar melihat Evan dari celah pintu yang sedikit terbuka. Rencana Mira memisahkan laki-laki tampan itu dari istrinya sepertinya berhasil. Mira yakin, pasti CEO-nya itu bertengkar hebat dengan sang istri.‘Aku harus memanfaatkan keadaan ini. Pak Evan pasti sangat pus
“Apa yang kamu lakukan di sini, Evan?” Zaya berusaha menepis tangan laki-laki yang sedang mencekal tangannya. Wanita itu mendesis tajam, mengultimatum laki-laki yang masih berstatus suaminya itu. “Lepaskan tanganku! Jangan mempermalukanku?”Arga menatap sengit pada adik tirinya. Tangannya mengepal menahan marah. Tak beberapa lama, Arga pun ikut memegangi pergelangan tangan Zaya, berusaha melepaskannya dari cengkeraman tangan Evan. Matanya melotot tajam. “Lepaskan tangan Zaya! Kamu menyakitinya.”Melihat sang kakak yang lagaknya sudah seperti seorang suami bagi Zaya, Evan mendengus kesal. Pandangannya nanar membalas tatapan sang kakak yang tengah mengintimidasinya lewat tatapan setajam elang.Pria tampan itu bukannya melepas pergelangan tangan sang istri, malah balas mengancam dan memaksa Zaya berdiri.“Kamu yang seharusnya melepaskan tangan istriku. Apa kamu mau jadi pebinor yang berniat merebut istri adik tirimu sendiri?” Evan menarik tangan Zaya sambil melepaskan tangan Arga dari per
“Kamu benar-benar gila, Arga.”Evan menatap geram sang kakak tiri yang saat ini sedang menatap penuh kebencian padanya. Tak pernah ia duga, semuanya akan bertambah runyam. CEO tampan itu tak mengira sang kakak tiri serius ingin merebut Zaya dari hidupnya.Salah satu sudut bibir Arga mulai kembali naik. Pria itu tersenyum miring. Tampak, sorot kepuasan terlihat di matanya. CEO hotel bintang lima itu sepertinya sedang berada di atas angin. Apalagi Zaya telah mempercayakan semua kepadanya.“Yang gila dan tak tahu diri itu kamu. Sudah berselingkuh, tapi tetap ingin mempertahankan pernikahan. Kalau aku jadi kamu, aku akan melepaskan Zaya. Dia juga berhak bahagia.”Tangan Evan terkepal menahan marah. Ia melotot tajam lalu sekuat tenaga menepis tangan sang kakak dari kerah bajunya hingga pria itu terlihat mundur beberapa langkah. “Maksud kamu dia tak bahagia bersamaku dan akan bahagia bersamamu? Sinting! Jangan bermain licik dan mengambil kesempatan di sini, Arga!”Arga yang sempat didorong m