Suasana kafe kecil di tengah kota sore itu dipenuhi oleh kawula muda untuk berakhir pekan. Tercium aroma kopi yang menggugah selera memenuhi udara. Cahaya matahari senja yang hangat menerobos masuk melalui jendela, menciptakan bayangan lembut di lantai. Arya duduk di sudut kafe dengan cangkir kopi di tangan. Dia mengenakan kemeja biru dengan lengan tergulung dan tampak gelisah. Matanya terus menatap cangkir kopi di depannya, seolah sedang memikirkan sesuatu yang mendalam."Ini pak satu slice cake kejunya," ucap pelayan kafe menyerahkan pesanannnya."Terima kasih," jawab Arya mengambilnya dari tangan pelayan kafe dengan sopan."Selamat menikmati sajian dari kafe kami."Arya menyunggingkan senyum dan mengangguk sebagai tanda rasa hormatnya. Tadi dia sempat melihat Mahira dan Agustin ke sini, sayang dia terlambat setengah jam hanya karena kemacetan saat menuju kafe ini.Saat menikmati suapan cake-nya, suara bel pintu kafe terdengar nyaring hingga membuat beberapa pengunjung menoleh. Ada
Suasana malam yang tenang di meja dapur. Di atas meja terdapat secangkir teh yang hampir habis ada Mahira yang duduk di sofa sambil membaca buku kedokteran sesekali dia melihat Abisatya sedang bermain bersama Maya dan Sumiati di ruang keluarga."Tumben Mas Bi sudah pulang? Biasanya malam, Mas," celetuk Maya saat melihat Birendra datang."Mas Bi sudah makan? Kalau belum bibi siapkan.""Tidak usah, Bi. Saya sudah makan malam tadi sama Rudi," jawabnya sambil menaruh tasnya ke sofa lalu mengeluarkan sesuatu hingga membuat Maya menutup mulutnya agar tak keceplosan bicara."Mana Mahira, Bik?" "Non Mahira ada di dapur kayaknya sedang belajar, Mas," tunjuk Sumiati. Wanita paruh baya itu tersenyum melihat perubahan sikap sang majikan kepada istrinya.Birendra berjalan ke arah dapur dengan wajah datar, tangan kirinya memegang setangkai bunga mawar merah. Birendra tidak pernah memberi hadiah kepada Mahira setelah mereka menikah dan hubungan mereka selama ini terasa dingin. Mahira tidak menyadar
Arya dan tim medis sedang berusaha menyelamatkan seorang pasien lansia. Mesin monitor detak jantung menunjukkan garis lurus dan tak ada tanda-tanda kehidupan "Dok, sudah tidak ada respons," kata Mahira yang ikut menangani pasien. Arya menarik napas dalam, menundukkan kepala sejenak sambil menekan rasa kecewa dan sedih. Dia melepaskan sarung tangannya perlahan, lalu menatap mesin monitor yang sekarang sudah mati. "Waktu meninggal, 09.45," ucap Arya dengab suara pelan. Arya mengusap wajahnya sebentar lalu berdiri tegak. Matanya memandang ke arah pintu, tempat seorang wanita yang menunggu kabar. "Dokter Hira, bisa wakillkan saya untuk memberitahu kematian ibunya kepada anaknya? Mungkin sesama wanita akan merasa lebih nyaman bila bicara," kata Arya menunjuk ke arah pintu IGD yang memperlihatkan satu sosok perempuan muda menunggu. Arya memang membiarkan Mahira untuk bisa beradaptasi dengan keadaan seperti ini ketika ada pasien yang meninggal. "Baik, Dok." Mahira segera berjalan men
Restoran berkonsep modern eropa dengan pencahayaan redup. Musik jazz lembut terdengar di latar belakang. Birendra dan Mahira duduk di meja dekat jendela besar yang menghadap taman. Sepulang dari tempatnya bekerja, Mahira tak menyangka dirinya mendapat kejutan dari Birendra. Sang suami mengajaknya makan malam di sebuah restoran yang cukup mahal Birendra duduk dengan tangan menyilang di meja, jari-jarinya sedikit mengetuk permukaan meja, tanda dia sedang gugup. Wajahnya terlihat berusaha tenang, namun matanya sesekali melirik ke arah Mahira, yang duduk berseberangan dengannya. Mahira tersenyum santai, tidak menyadari kecanggungan suaminya. "Lama kita tidak ke sini ya, Mas? Seingatku ketika merayakan ulang tahun pernikahan ayah dan ibu dua tahun lalu," kenang Mahira tersenyum lembut sambil memainkan garpu di piringnya. "Iya benar yang kamu katakan," jawab Birendra matanya beralih ke piringnya sejenak, lalu dia menghela napas pendek dan jemarinya mulai memainkan serbet di pangkuannya.
Sebenarnya tak ada niatan Mahira untuk kembali ke dokter psikolog, tetapi karena Birendra yang menyuruhnya hingga dia pun menerima pemulihan ingatannya agar tahu kejadian sebenarnya tentang kecelakaan tersebut. Satu-satunya petunjuk yang melekat di ingatannya adalah gantungan tengkorak kecil yang jatuh di lokasi kecelakaan, yang diyakini milik pelaku. Merasa terganggu oleh potongan-potongan ingatan yang tidak utuh akhirnya Mahira memutuskan untuk menemui terapis untuk memulihkan memorinya dan mencari jawaban atas apa yang sebenarnya terjadi. "Nona Mahira silakan masuk," kata perawat memanggil namanya. "Iya Sus. Terima kasih." Mahira memasuki ruang terapi. Ruang itu bersih dan tertata rapi. Terdapat sofa empuk berwarna abu-abu dengan bantal kecil di ujungnya. Di tengah ruangan, seorang pria, Prof Andre terapis berusia sekitar 50-an usianya sedang duduk dengan sikap tenang, tangan terlipat di pangkuannya. Mahira terlihat gugup memegang erat tas di pangkuannya lalu duduk di uj
"Kita mau ke mana, Mas?"Sebuah pertanyaan muncul setelah Birendra mengajaknya pergi. Mahira tak banyak tanya hingga dia merasa bingung ketika sang suami bukannya pulang ke rumah."Nanti kamu akan tahu sendiri," jawab Birendra fokus menyetir."Tapi masalahnya aku ada rapat bersama Paman Hari dan direktur rumah sakit, Mas," kata Mahira."Aku sudah mengatakan kepada Paman Hari kalau aku ada hal penting yang harus dibicarakan denganmu," sahut Birendra memandang Mahira dari balik kaca spion."Bukannya bisa kita bicara di kantor rumah sakit, Mas?" Mahira menyahut sembari melihat arloji di pergelangan tangan."Jangan banyak bicara, Hira. Cerewetmu nggak banyak berubah sejak kecil," tukas Birendra menghela napas.Pada akhirnya Mahira menutup mulutnya dan tak lagi bertanya. Perjalanan ini sudah jauh dari perumahan mereka tinggal, Mahira pun tak tahu ke mana mobil Birendra membawanya siang ini."Ayo turun. Kok malah bengong?"Mereka tiba di sebuah butik mewah di pusat kota. Mahira melihat ke s
"Pagi, Dokter Arya," sapa Mahira saat mereka bertemu di lobby."Pagi juga, Dokter Mahira. Ada sesuatu yang membuatmu gembira di hari ini?" Arya menyahut dengan tersenyum."Apa tampak ya di wajah saya?" Mahira malu, karena ketahuan dirinya tengah berbahagia menyambut hari-harinya."Jelas sekali. Sampai mata saya berkilau," canda Arya seraya tertawa."Naik apa ke sini, Dokter Mahira? Diantar suami tentunya," sambung Arya yang sempat melihat Mahira satu mobil dengan Birendra."Iya. Mulai sekarang Mas Bi akan mengantar saya setiap pagi," jawab Mahira. Senyum tak lepas dari bibirnya saat ini."Saya doakan pernikahan anda langgeng ya, Dok." Ada ucapan tulus dari Arya meski dia menahan emosional di hatinya."Terima kasih," sahut Mahira."Sudah mau pulang, Dok?" Mahira melihat Arya masih berpakaian yang sama seperti sore kemarin."Iya nih. Kemarin IGD kedatangan rombongan bus yang terluka karena tabrakan.""Saya pamit dulu ya."Mahira mengangguk seraya berjalan menuju lorong kanan tempat IGD
Sanur baru saja kembali ke kota asalnya setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri. Dia berdiri di depan rumah masa kecilnya, tempat dia tumbuh besar sebelum dikirim oleh ayahnya ke luar negeri untuk tinggal bersama bibinya. Sanur menatap rumah tua itu dengan perasaan bercampur aduk—ada kemarahan, kebencian, dan juga kerinduan yang menyakitkan. Rasa ditinggalkan membuat dirinya menjadi pribadi dengan penuh luka di hati. "Anda lebih memilihnya untuk tinggal bersama daripada aku yang juga membutuhkan kasih sayang. Sanur berdiri di depan gerbang rumah jari-jarinya mencengkeram besi pagar yang mulai berkarat. Matanya berkabut, tapi bukan karena hujan yang rintik-rintik, melainkan air mata yang berusaha dia tahan. "Kenapa, Yah? Kenapa kau tega?" tanya Sanur dalam hati dengan lirih. Sanur menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak di dadanya. Dia melangkah maju dan mendekat ke pintu rumah. Tangannya yang gemetar terulur, seakan ingin menyentuh gagang pintu, tapi terhenti di tengah ja