"Aku ingin bertemu Dean," ucap Lucia sambil melewati meja sekretaris Dean.
“Tunggu, Nona Lucia! Ada tidak boleh masuk!” Langkah Lucia langsung terhenti ketika dihadang oleh sekretaris Dean. “Kenapa tidak boleh?” tanya Lucia dengan alis menyatu. “CEO Dean sedang sibuk dan tidak bisa diganggu saat ini.” “Aku hanya ingin bertemu dengannya sebentar.” “Maaf, Nona. Tidak bisa.” Sekretaris Dean kembali menghalangi Lucia saat akan menerobos masuk ke dalam ruangan bosnya. “CEO Dean melarang siapa pun masuk ke dalam.” Karena terus dihalangi oleh sekretaris Dean, Lucia menjadi tidak sabar. “Minggir! Jangan halangi aku.” “Anda tidak bo—” Lucia tidak menghiraukan larangan sekretaris Dean dan tetap berjalan menuju ruangan tunangannya dengan langkah cepat. Pagi itu, Lucia bergegas ke kantor Dean. Pasalnya, sejak kejadian di hotel malam itu, mereka belum pernah bertemu kembali karena Dean masih di luar kota. Namun, betapa terkejutnya Lucia ketika pintu ruangan Dean tiba-tiba terbuka dan melihat Carissa keluar dari ruangan Dean dengan wajah sumringah. Carissa adalah sepupu Lucia. Melihat keberadaan Lucia di depan pintu ruangan Dean, Carissa langsung melemparkan senyuman miring yang terkesan meremehkan, setelah itu berlalu begitu saja tanpa menyapa sepupunya. Tiba-tiba saja perasaan Lucia tidak nyaman saat mengetahui Carissa bertemu dengan Dean tanpa sepengetahuannya. Dia pun bergegas masuk ke dalam ruangan tunangannya setelah kepergian Carissa. “Dean, untuk apa Carissa ke sini?” Lucia menghampiri Dean yang terlihat sedang fokus membaca dokumen di meja kerjanya. Menyadari kedatangan Lucia, Dean hanya melirik sekilas ke arah tunangannya, kemudian melanjutkan pekerjaannya. “Urusan pekerjaan,” jawabnya tanpa menoleh pada Lucia. Wajahnya terlihat dingin dan terkesan tak acuh, seperti tidak ingin diganggu. “Kenapa tidak bilang padaku kalau kau bekerja sama dengannya?” Meskipun keduanya memiliki hubungan saudara, tapi mereka tidak dekat sama sekali. Mereka justru terlihat seperti musuh, dibandingkan saudra. Dean jelas tahu kalau sejak dulu hubungannya dengan Carissa tidak baik dan Dean juga tahu kalau Carissa tidak pernah menyukainya, begitu pun sebaliknya. “Apa aku harus melaporkan semua pekerjaanku padamu?” Dean menatap Lucia setelah meletakkan penanya di meja. “Apa kau pikir aku memiliki waktu untuk itu?” Melihat Dean nampak kesal, Lucia seketika merasa bersalah. “Maaf, bukan itu maksudku. Aku hanya ingin tahu saja.” Sebenarnya, Lucia hanya merasa heran karena Dean tidak mengatakan apa pun padanya mengenai Carissa. Biasanya Dean akan selalu memberitahunya apa pun yang berhubungan dengan Carissa, bahkan dulu Dean selalu menolak pekerjaan yang berkaitan dengan Carissa karena tidak ingin dirinya salah paham. Carissa dan Dean memang sempat dekat karena keduanya pernah bersekolah dan kuliah di kampus yang sama di luar negeri. Dean dan Carissa memiliki umur yang sama yaitu 28 tahun, sementara Lucia lebih muda dua tahun dari mereka berdua yaitu 26 tahun. “Jika tidak hal penting yang ingin kau bicarakan denganku, lebih baik kau pulang.” Dean kembali melanjutkan pekerjaanya dan mengabaikan Lucia yang masih setia berdiri di depan meja. “Sebenarnya, tujuanku ke sini untuk membicarakan tentang pernikahan kita." Rencananya mereka akan menikah seminggu lagi. Semua persiapan sudah hampir selesai, hanya beberapa hal kecil saja yang belum selesai diurus. Pernikahan Dean dan Lucia adalah pernikahan paling dinanti oleh semua orang. Bagaimana pun, keluarga Anderson memiliki nama besar di kota Y, jadi banyak yang antusias dengan identitas wanita yang akan menikah dengan penerus keluarga Anderson yang terkenal sulit ditaklukan itu. "Ada beberapa hal yang ingin aku diskusikan denganmu,” lanjut Lucia ketika tidak mendapatkan respon apa pun dari tunangannya. Dean menghentikan pekerjaannya, lalu menatap Lucia dengan raut wajah dingin dan sedikit kesal. “Tidak bisakah kau mengurusnya sendiri? Kau tidak lihat, aku sedang sibuk?” Lucia menarik senyuman paksa, lalu berkata, “Baiklah. Aku akan mengurusnya sendiri.” Sikap dingin Dean sedikit membuat perasaannya tidak nyaman. Namun, berusaha dia abaikan. Dia berpikir Dean mungkin lelah karena banyak pekerjaan, itu sebabnya dia jadi sedikit sensitif. "Kapan kau akan cuti?" Meski tidak mendapatkan sambutan hangat dari tunangannya itu, Lucia berusaha untuk tetap bersikap lembut sambil tersenyum. "Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak." Rasa nyeri seketika menyebar ke seluruh dada Lucia saat melihat sikap tak acuh Dean. Dalam hatinya, dia sedang bertanya-tanya, apakah dirinya sudah membuat kesalahan hingga membuat Dean menjadi kesal. "Kita bisa menunda bulan madu kita kalau kau masih sibuk." "Ya. Aku memang tidak berencana untuk melakukan bulan madu." Netra Lucia membesar setelah mendengar ucapan Dean. Akhir-akhir ini sikap tunangannya itu tiba-tiba saja berubah dan Lucia menyadari perubahan sikap itu terjadi setelah mereka melakukan hal intim malam itu. Komunikasi mereka juga kurang lancar semenjak seminggu yang lalu. Dean seperti sedang menghindarinya, bahkan beberapa kali panggilan telponnya tidak jawab pria itu. Padahal, biasanya Dean akan menelponnya kembali jika dia tidak bisa mengangkat telponya darinya. "Tidak masalah jika kau tidak ingin berbulan madu, yang terpenting bagiku adalah menikah denganmu." "Apa sudah ada kabar dari Jensen? Bisakah dia menghadiri pernikahan kita?" Lucia baru teringat dengan kakaknya itu ketika disinggung oleh Dean. "Sudah. Dia masih tidak bisa dihubungi. Kami juga tidak tahu di mana dia berada sekarang. Sepertinya kakakku tidak bisa datang. Ibuku bilang kita tidak perlu menunggunya." Dean tampak berpikir dengan raut wajah tak terbaca selama beberapa saat, kemudian melanjutkan pekerjaannya, mengabaikan Lucia yang masih berdiri di hadapannya sejak tadi. Beberapa menit berlalu, Dean akhirnya mengangkat kepala dan melihat Lucia belum juga pergi dari ruangannya. Dia akhirnya bertanya pada wanita berparas cantik itu. “Apa ada yang ingin kau bicarakan lagi denganku?” Wajahnya terlihat datar, nada bicaranya pun tidak hangat sama sekali. “Itu … sebenarnya ...." Lucia menelan salivanya sambil meremas sisi bajunya, baru setelah itu melanjutkan kembali ucapannya, "Sebenarnya aku ingin membicarakan mengenai perusahaan ayahku.” Lucia berbicara dengan wajah tertunduk, sedikit menampilkan keraguan dan rasa malu. Meskipun Dean adalah tunangannya, tapi Lucia tetap merasa sungkan untuk meminta bantuan padanya. “Perusahaan ayahmu?” Lucia mengangguk, kemudian mengangkat kepala dan berkata dengan hati-hati, “Kau tidak lupa, kan, mengenai ....” Sejenak Lucia ragu untuk melanjutkan ucapannya. Namun, ketika dia akan menyelesaikan kata-katanya, Dean langsung memotongnya dengan cepat, “Maksudmu bantuan untuk perusahaan ayahmu?” Suaranya terdengar dingin dan ada sedikit nada sinis dalam ucapannya. “Iya,” jawab Lucia lirih sambil menunduk, menyembunyikan wajah malu serta perasaan tidak nyaman di hatinya ketika melihat mata elang Dean tertuju padanya. “Aku tidak lupa. Nolan yang akan mengurusnya nanti.” Dean kembali menatap berkas di depannya dan mengabaikan Lucia. “Baiklah, terima kasih. Aku pasti akan mengembalikannya setelah perusahaan ayahku stabil nanti.” “Jika tidak ada hal lain lagi, lebih baik kau segera pulang.” Melihat Dean nampak sibuk, Lucia tidak lagi mengganggunya. “Kalau begitu, aku pergi.” Dean tidak menjawab, hanya diam dan melanjutkan pekerjaannya. ******* Hari pernikahan Lucia dan Dean pun tiba. Di sebuah kamar hotel presidential suite, Lucia nampak duduk sambil tersenyum di depan cermin setelah selesai memakai gaun pengantinnya. Dia sedang menunggu acara pernikahannya dimulai. Di dalam kamar tersebut tidak hanya ada Lucia. Namun, ada 3 orang lainnya yang merupakan perias pengantin beserta asistennya. Selama seminggu ini, Dean dan Lucia tidak pernah sekalipun bertemu. Mereka hanya berkomunikasi melalui telpon dan pesan singkat. Belakangan ini, Dean disibukkan dengan pekerjaanya, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk bertemu. Bahkan, beberapa hari yang lalu Dean baru saja pulang dari negara tetangga karena memiliki pekerjaan penting di sana. “Lucia ....” Renata, sahabat Lucia melangkah cepat menuju Lucia yang sedang mengobrol dengan perias pengantinnya. “Ada apa, Renata?” tanya Lucia saat melihat sahabatnya itu menampilkan wajah paniknya. “Lihat ini.” Renata langsung menyerahkan ponselnya pada Lucia dan ketika melihat video di ponsel Renata, matanya membelalak sempurna. “Dari mana kau dapat video ini?” tanya Lucia setelah selesai menyaksikan video tersebut. “Franklin yang mengirimkan padaku. Dia mendapatkannya di internet. Video ini sudah tersebar di semua media sosial dan internet,” info Renata dengan tatapan iba yang mengarah pada Lucia. “Apa?” Lucia segera meraih ponselnya yang ada di meja rias kemudian melihat di internet dan seketika matanya membelalak. Dalam video, nampak sepasang insan yang sedang melakukan hubungan suami-istri dengan penuh gairah. Belum lagi lenguhan dan desahan yang membuktikan kalau keduanya sedang berada di puncak kenikmatan, jelas membuat video itu sekejap masuk dalam pencarian nomor satu di salah satu situs pencarian terpopuler di internet. Menyaksikan wajah Lucia yang terkejut, Renata menanyakan hal yang sedari tadi memenuhi pikirannya. “Bukankah pria yang ada di video itu adalah … Dean?”Melihat sahabatnya terdiam, Renata kembali bertanya. “Lucia, kenapa diam saja?” Sentuhan tangan Renata pada lengannya seketika membuyarkan lamunan Lucia. “Itu … sebenarnya ….” Lucia terlihat ragu saat akan menjawab pertanyaan Renata. Bukannya, dia tidak mau berterus terang pada sahabatnya, tapi dia malu untuk mengakuinya.“Apa video itu hanya rekayasa?” tebak Renata lagi sebelum Lucia sempat menjawab pertanyaannya tadi. Video yang dimaksud oleh Renata adalah video ketika Lucia menghabiskan malam bersama dengan Dean di hotel malam itu. Meskipun pencahayaan di kamar tersebut redup dan sedikit gelap. Namun, wajah wanita di dalam vidio itu masih bisa dikenali dan bisa dipastikan pemeran wanita itu adalah Lucia. Selain wajah Lucia yang bisa dikenali, suara wanita dalam video tersebut juga terdengar sangat jelas dan itu semakin menguatkan dugaan orang kalau pemeran wanita itu memang Lucia. Berbeda dengan pemeran wanitanya, pemeran pria dalam video itu justru tidak terlihat jelas, dikarena
“Apa?” Tubuh Lucia lemas diikuti tatapan kosong dan wajah memucat.“Asistennya datang menemui ayahmu dan menyampaikan pesan kalau Dean tidak akan menikahimu,” kata Nyonya Helia. “Tidak hanya itu, dia juga batal memberikan dana ke perusahaan kita."Pandangan Lucia seperti berputar, perlahan buram, detik kemudian tubuhnya ambruk ke lantai.“Lucia ...!” Ibu Lucia beserta semua orang yang ada di dalam kamar tersebut berlari ke arah Lucia dengan panik.*******Lucia terus menghubungi nomor telpon Dean. Namun, tidak pernah diangkat olehnya, begitu pun ponsel asisten pribadinya. Tidak ada satu pun dari mereka yang mengangkat telponnya, padahal Lucia sudah menelponnya berkali-kali. Sudah 2 hari ini Lucia mengurung diri kamar. Dia tidak berani keluar karena semenjak berita pernikahannya batal dan vidionya tersebar di internet, semua wartawan berkemah di depan rumahnya.Ketika Lucia masih mencoba untuk menelpon ponsel Dean, pintu kamarnya diketuk dari luar dan selanjutnya pintu terbuka. Ibunya
“Tidak. Itu tidak benar.” Lucia menggeleng kuat lalu bangun dari tidurnya. "Bu, aku yakin tadi itu Dean. Dia yang sudah membawaku ke sini. Aku melihatnya berlari ke arahku sebelum aku jatuh pingsan." Mata Nyonya Helia berkabut, melihat anaknya begitu mencintai Dean, padahal sudah jelas kalau dia sudah dicampakkan. "Lucia ... dengarkan ibu." Nyonya Helia memegang bahu anaknya dengan lembut, lalu berkata, "Yang berlari ke arahmu adalah petugas keamanan keluarga Anderson dan yang mengantarmu ke sini bukan Dean, melainkan orang lain. Ibu sudah bertemu dengan orang membawamu ke sini dan dia adalah pengendara yang melintas di depan kediaman Anderson." Tubuh Lucia langsung lemas dan tatapannya menjadi kosong setelah mendengar itu. Dia nampak sangat kecewa saat mengetahui itu. Dia sebenarnya masih belum percaya kalau orang lain yang membawanya ke rumah sakit karena dia sangat yakin kalau yang berjalan ke arahnya sebelum dia jatuh pingsan adalah Dean. Anggap dia salah lihat, tapi bagai
3 tahun kemudian, Negara S tepatnya di kota N.Seorang wanita berambut panjang dengan sedikit gelombang di ujungnya berjalan dengan pelan menuju apartemen yang berada di ujung dengan wajah lelah. Wanita itu adalah Lucia, dia baru saja pulang bekerja sore itu. Ketika memasuki apartemennya, dia melihat temannya sedang berada di ruang tamu kecil apartemen mereka."Kenapa baru pulang?" tanya Wenny, teman yang selama dua tahun ini tinggal bersamanya di apartemen yang mereka sewa bersama."Sedang banyak pekerjaan," jawab Lucia sambil meletakkan tasnya di sofa. "Aku mandi dulu."Setengah jam berlalu, Lucia keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah Wenny, kemudian mengeringkan rambutnya setelah menghidupkan hairdryer. Ini adalah rutinitas Lucia setelah bekerja yaitu mandi dan bersantai di ruangan keluarga. Biasanya, mereka berdua menikmati makanan ringan sambil mengobrol. Mulai dari obrolan ringan higga berat. Tidak jarang juga mereka mencurahkan isi hati ketika sedang memiliki masalah, ap
"Ini, Nona." Petugas itu kembali memberikan kertas itu kembali, kemudian mempersilahkan Lucia untuk lewat.Dengan langkah cepat, Lucia menarik kopernya sembari menyapu pandangannya ke seluruh area bandara yang masih bisa dijangkau oleh matanya. Sosok tadi sudah menghilang, hanya terlihat sekumpulan orang yang tidak dikenal, berlalu-lalang di hadapanya. Lucia mencoba melihat ke sekelilingnya sekali lagi. Namun, dia tidak juga menemukan keberadaan pria yang mirip Dean."Mungkin aku salah lihat atau mungkin hanya mirip," monolog Lucia lirih seraya menunduk dengan wajah kecewa.Tidak ingin terlalu banyak berpikir, Lucia memutuskan untuk segera pulang. Sebelum menaiki taksi, dia memandang lurus depan dan terdiam selama beberapa detik. Ada jejak keraguan dalam ekspresi wajahnya ketika akan melangkah. Apalagi saat mengingat dia akan kembali untuk tinggal di kota Y lagi, perasaannya semakin tidak menentu.Meskipun dalam hati dia terus mencoba menengkan dirinya. Namun, tidak bisa dipungkiri bah
Pria itu tersenyum ke arah Lucia lalu berkata, "Hai, Lucia, lama tidak bertemu."Lucia tertegun sebentar lalu membalas sapaan pria itu dengan wajah canggungnya. Pria itu adalah tuan muda dari keluarga Farez. Namanya Julian Farez, Lucia dan Julian dulunya berteman dekat, tapi mereka harus terpisah karena Julian pindah ke kota lain yang jauh dari kota Y."Bagaimana kabarmu?" Julian bertanya dengan ramah dan lembut. Sikapnya masih seperti dulu, ketika mereka masih dekat.Dengan perasaan canggung Lucia menjawab dengan nada rendah. "Baik."Entah mengapa 3 tahun tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Julian membuat Lucia menjadi canggung, padahal dulunya mereka dekat. Meskipun dulunya mereka jarang bertemu karena jarak, tapi Julian sering menemui Lucia jika dia sedang berada di kota Y."Kapan kau kembali? Aku dengar kau pergi keluar negeri 3 tahun yang lalu."Teringat kembali kejadian 3 tahun yang lalu, Lucia jadi merasa malu. Waktu it
“Dean lihat, aku bawa siapa?”Seketika orang yang ada di ruangan itu menatap ke arah Victor secara bersamaan, termasuk Dean yang sedang duduk di sofa paling ujung dengan pencahayaan yang sedikit redup."Aku membawa Lucia." Pandangan semua orang pun tertuju pada wanita yang berada di belakang Victor ketika pria itu menggeser tubuhnya ke samping kanan. Suasana langsung hening saat melihat wanita yang dimaksud oleh Victor adalah Lucia. Ketika tatapan Lucia dan Dean bertabrakan, ada sedikit riak di netra hitam milik Dean. Sepertinya dia sedikit terkejut melihat keberadaan Lucia di club itu. Keduanya saling menatap selama beberapa detik sebelum akhirnya Dean menarik pandangannya dengan wajah tak acuh."Aku tidak sengaja bertemu dengannya jadi aku membawanya ke sini."Di dalam ruangan itu, tidak hanya ada Dean, ada dua pria lagi di dalam sana yaitu Peter dan juga Fandy, anak dari pemilik dari club malam itu. Club tersebut d
“Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Victor saat melihat wajah panik Lucia. Bukannya menjawab, Lucia justru meraih tasnya, kemudian berdiri. "Kita bicara lagi lain kali, aku harus pergi." Sebelum sempat dicegah oleh Victor, Lucia sudah lebih dulu berjalan keluar dari ruangan tersebut. Fandy pun langsung memarahi temannya dengan wajah kesal setelah kepergiaan Lucia. “Victor, apa kau sudah gila? Bukankah kau sudah tahu kalau Dean tidak ingin melihat Lucia lagi, kenapa kau justru membawanya ke sini?” Setelah Fandy mengatakan itu, Victor melirik pada Dean yang nampak yang duduk yang sedang menggoyangkan gelas yang berisi minuman alkohol, tatapannya tertuju ke depan dengan punggung yang bersandar di sofa. “Benar, kau ini sebenarnya berpihak pada siapa? Dia sudah menghianati Dean dengan tidur dengan pria lain, kau masih berani membawanya ke sini, kau ingin cari mati?” Peter ikut menimpali ucapan Fandy karena merasa kesal dengan tindakan Victor. “Aku hanya ingin mengobrol dengannya. Masa
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?" Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan, jadi terpaksa aku memundurkan penerbanganku." "Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu." Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?" "Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—" Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotong setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya." "Dean istrimu sedang ..." Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengk
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya. "Sedang dalam perjalanan, Tuan." "Lalu, Rebecca?" "Sudah di tempat yang Tuan perintahkan." Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu." Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu. "Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon. "Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak." Tidak terdengar apa pun di sebrang sana hingga Dean kembali membuka suara, "Kenapa? Sudah merindukan aku?" "Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya." Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa." "Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?" "Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana." Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat sen
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun. Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada. "Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong. Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit." Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar." "Kau masih memikirkan Bernice?” Lucia mengangguk deng
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin. "Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya. "Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia tampak mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis, padahal dulu dia tidak begitu. "Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya ka
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?" Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan sang suami. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya. "Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah." Bagaimanapun, mereka belum beristirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat setelah tiba di Bristol. Di hotel pun, bukannya membiarkan istrinya istirahat, Dean justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya merasa lelah. "Aku tidak mengantuk." Lucia sudah lama tidur di pesawat, jadi wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam. "Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak." Tidak? Dean nampak mengerutkan kening. Istrinya terlalu tanggguh atau staminanya
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?" Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?" "Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan, kemudian bangkit, tapi Dean langsung menahan pinggangnya. "Mau ke mana?" "Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh. "Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi Lucia. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah. Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya." "Hal penting apa?" Dean mera