“Tidak. Itu tidak benar.” Lucia menggeleng kuat lalu bangun dari tidurnya. "Bu, aku yakin tadi itu Dean. Dia yang sudah membawaku ke sini. Aku melihatnya berlari ke arahku sebelum aku jatuh pingsan."
Mata Nyonya Helia berkabut, melihat anaknya begitu mencintai Dean, padahal sudah jelas kalau dia sudah dicampakkan. "Lucia ... dengarkan ibu." Nyonya Helia memegang bahu anaknya dengan lembut, lalu berkata, "Yang berlari ke arahmu adalah petugas keamanan keluarga Anderson dan yang mengantarmu ke sini bukan Dean, melainkan orang lain. Ibu sudah bertemu dengan orang membawamu ke sini dan dia adalah pengendara yang melintas di depan kediaman Anderson." Tubuh Lucia langsung lemas dan tatapannya menjadi kosong setelah mendengar itu. Dia nampak sangat kecewa saat mengetahui itu. Dia sebenarnya masih belum percaya kalau orang lain yang membawanya ke rumah sakit karena dia sangat yakin kalau yang berjalan ke arahnya sebelum dia jatuh pingsan adalah Dean. Anggap dia salah lihat, tapi bagaimana aroma parfum yang menempel di bajunya? Itu jelas aroma tubuh Dean, tidak ada satu pun orang yang memiliki aroma seperti itu, walaupun memakai parfum yang sama sekalipun. "Jika kau tidak percaya, ibu bisa menghubungi orang tersebut agar menjelaskan padamu langsung. Sejak semalam hingga pagi ini, Dean tidak pernah menampakkan dirinya di sini, padahal ibu sudah mengirimkan pesan padanya kalau kau berada di rumah sakit." Melihat anaknya tidak merespon ucapannya, Nyonya Helia kembali berkata, "Apa kau tahu apa balasan darinya?" Tanpa menunggu jawaban dari anaknya, Nyonya Helia kembali berbicara, "Dia mengatakan kalau dia sudah tidak ada hubungannya lagi denganmu." Masih hening, tidak ada air mata yang keluar dari mata sendu putrinya. Mungkinkah dia memang salah mengenali orang atau mungkin dia berhalusinasi? "Lucia, mulai sekarang lupakan Dean. Jika perlu, kita pindah ke kota lain dan memulai hidup baru. Kita bisa pindah ke kampung halaman ibu dan tinggal bersama nenekmu. Biarkan ayahmu tetap di sini untuk mengurus perusahaan hingga kondisi perusahaan stabil." Lucia hanya diam dengan pandangan lurus ke depan, nampaknya dia tidak mendengarkan apa yang diucapkan ibunya sejak tadi. Pikiran sepertinya masih tertuju pada Dean. "Lucia." Nyonya Helia menyentuh tangan Lucia yang berada di pangkuannya untuk menyandarkan putrinya yang sejak tadi melamun dengan tatapan kosong. "Aku akan menelpon Dean, Bu." Tanpa memperdulikan ibunya setuju atau tidak, Lucia meraih ponselnya yang berada di atas nakas. Panggilan pertama tidak diangkat, Lucia kembali mencoba menelpon lagi, berharap panggilan telponnya akan dijawab oleh Dean kali ini. Padahal, dia sebenarnya tahu kalau kecil kemungkinan Dean akan menjawab panggilan darinya. Lucia menanti dengan wajah harap-harap cemas. Ketika Lucia akan menyudahi panggilan telponnya, secara tidak terduga panggilannya dijawab oleh Dean, Lucia pun langsung tersenyum lebar dan segera bertanya pada pria yang dia cintai itu dengan antusias. "Dean, kau ke mana saja? Kenapa tidak pernah menjawab telponku?" tanya Lucia dengan suara lemahnya. "Aku sedang berada di rumah sakit, kau tidak mau menjengukku?" Hening sesaat, setelah itu terdengar suara Dean. "Langsung ke intinya, kenapa menelponku?" Nada bicaranya terdengar sangat dingin, membuat dada Lucia seperti ditusuk oleh ribuan jarum dalam waktu bersamaan. "Kenapa kau membatalkan pernikahan kita? Katakan padaku, kesalahan apa yang sudah aku perbuat hingga kau tidak mau menikahiku?" tanya Lucia dengan suara bergetar. Setidaknya, dia harus tahu, apa yang alasan Dean membatalkan pernikahan mereka di menit terakhir. Jika itu karena vidio, pria dalam vidio itu adalah dirinya, bukankah seharusnya dengan tersebarnya vidio itu, Dean harus menikahinya dan bukan justru membatalkannya? "Aku hanya tidak ingin menikahimu," jawab Dean tanpa perasaan. Dada Lucia seketika bergemuruh mendengar itu. Bagaimana bisa dia mengatakan itu, padahal mereka sudah melakukan hal paling intim di dunia ini. "Kenapa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja? Jika aku memiliki salah, tolong beritahu aku agar aku bisa tahu di mana letak kesalahanku." “Kau tidak salah.” “Lalu kenapa kau memutuskan pernikahan kita?” desak Lucia. “Salahkan Kakakmu. Ini semua terjadi karenanya.” Kedua alis Lucia menyatu hingga membetuk kerutan di keningnya setelah mendengar jawaban dari Dean. “Kenapa kau justru menyalahkan kakakku? Dia tidak ada hubungannya dengan permasalahan kita.” “Ini memang salahnya.” Entah kenapa Lucia merasakan nada bicara Dean menjadi sangat dingin saat membicarakan kakaknya, padahal dulunya mereka sangat dekat. “Kau marah karena kakakku tidak datang ke pernikahan kita?” “Ya.” Jawaban singkat Dean membuat Lucia semakin heran sekaligus terkejut. “Dean, kau tahu sendiri, kakakku menghilang dan aku tidak tahu di mana keberadaannya dan kalau pun Jensen tidak bisa datang, itu tidak bisa menjadi alasan bagimu untuk membatalkan pernikahan kita.” “Itu menurutmu, tidak denganku.” Meskipun tidak mengerti dengan maksud perkataan Dean, tapi dia enggan untuk bertanya lebih jauh. Dia lebih memilih untuk mengajaknya bertemu. “Katakan padaku, kau di mana, Aku akan menemuimu, kita bicarakan baik-baik semuanya.” “Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua sudah berakhir.” Lucia merasa dadanya seperti terhantam batu besar setelah mendengar perkataan Dean. “Apa kau sungguh ingin mengakhiri semuanya? Kau yakin dengan keputusanmu itu? Apa selama ini kau hanya mempermainkanku?” Tidak ada sahutan apa pun dari sebrang sana hingga akhirnya Lucia kembali angkat bicara, "Dean, kita sudah melakukan hal sejauh itu, bagaimana bisa kau membatalkan pernikahan kita? Bukankah seharusnya kau bertangggung jawab padaku?" Tidak terdengar suara apa pun di sebrang sana selama beberapa detik. "Kau sendiri yang secara suka rela menyerahkan dirimu padaku. Ingat, tidak ada paksaan apa pun dariku malam itu." Memang tidak ada paksaan apa pun dari Dean, tapi pria itu jelas tahu apa yang terjadi dengan mereka malam itu. "Tapi Dean, saat itu aku—" "Jangan hubungi aku lagi. Hubungan kita sudah berakhir." Panggilan telpon terputus. Tubuh Lucia langsung lunglai dan detik selanjutnya, ponselnya terjatuh ke lantai.3 tahun kemudian, Negara S tepatnya di kota N.Seorang wanita berambut panjang dengan sedikit gelombang di ujungnya berjalan dengan pelan menuju apartemen yang berada di ujung dengan wajah lelah. Wanita itu adalah Lucia, dia baru saja pulang bekerja sore itu. Ketika memasuki apartemennya, dia melihat temannya sedang berada di ruang tamu kecil apartemen mereka."Kenapa baru pulang?" tanya Wenny, teman yang selama dua tahun ini tinggal bersamanya di apartemen yang mereka sewa bersama."Sedang banyak pekerjaan," jawab Lucia sambil meletakkan tasnya di sofa. "Aku mandi dulu."Setengah jam berlalu, Lucia keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah Wenny, kemudian mengeringkan rambutnya setelah menghidupkan hairdryer. Ini adalah rutinitas Lucia setelah bekerja yaitu mandi dan bersantai di ruangan keluarga. Biasanya, mereka berdua menikmati makanan ringan sambil mengobrol. Mulai dari obrolan ringan higga berat. Tidak jarang juga mereka mencurahkan isi hati ketika sedang memiliki masalah, ap
"Ini, Nona." Petugas itu kembali memberikan kertas itu kembali, kemudian mempersilahkan Lucia untuk lewat.Dengan langkah cepat, Lucia menarik kopernya sembari menyapu pandangannya ke seluruh area bandara yang masih bisa dijangkau oleh matanya. Sosok tadi sudah menghilang, hanya terlihat sekumpulan orang yang tidak dikenal, berlalu-lalang di hadapanya. Lucia mencoba melihat ke sekelilingnya sekali lagi. Namun, dia tidak juga menemukan keberadaan pria yang mirip Dean."Mungkin aku salah lihat atau mungkin hanya mirip," monolog Lucia lirih seraya menunduk dengan wajah kecewa.Tidak ingin terlalu banyak berpikir, Lucia memutuskan untuk segera pulang. Sebelum menaiki taksi, dia memandang lurus depan dan terdiam selama beberapa detik. Ada jejak keraguan dalam ekspresi wajahnya ketika akan melangkah. Apalagi saat mengingat dia akan kembali untuk tinggal di kota Y lagi, perasaannya semakin tidak menentu.Meskipun dalam hati dia terus mencoba menengkan dirinya. Namun, tidak bisa dipungkiri bah
Pria itu tersenyum ke arah Lucia lalu berkata, "Hai, Lucia, lama tidak bertemu."Lucia tertegun sebentar lalu membalas sapaan pria itu dengan wajah canggungnya. Pria itu adalah tuan muda dari keluarga Farez. Namanya Julian Farez, Lucia dan Julian dulunya berteman dekat, tapi mereka harus terpisah karena Julian pindah ke kota lain yang jauh dari kota Y."Bagaimana kabarmu?" Julian bertanya dengan ramah dan lembut. Sikapnya masih seperti dulu, ketika mereka masih dekat.Dengan perasaan canggung Lucia menjawab dengan nada rendah. "Baik."Entah mengapa 3 tahun tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Julian membuat Lucia menjadi canggung, padahal dulunya mereka dekat. Meskipun dulunya mereka jarang bertemu karena jarak, tapi Julian sering menemui Lucia jika dia sedang berada di kota Y."Kapan kau kembali? Aku dengar kau pergi keluar negeri 3 tahun yang lalu."Teringat kembali kejadian 3 tahun yang lalu, Lucia jadi merasa malu. Waktu it
“Dean lihat, aku bawa siapa?”Seketika orang yang ada di ruangan itu menatap ke arah Victor secara bersamaan, termasuk Dean yang sedang duduk di sofa paling ujung dengan pencahayaan yang sedikit redup."Aku membawa Lucia." Pandangan semua orang pun tertuju pada wanita yang berada di belakang Victor ketika pria itu menggeser tubuhnya ke samping kanan. Suasana langsung hening saat melihat wanita yang dimaksud oleh Victor adalah Lucia. Ketika tatapan Lucia dan Dean bertabrakan, ada sedikit riak di netra hitam milik Dean. Sepertinya dia sedikit terkejut melihat keberadaan Lucia di club itu. Keduanya saling menatap selama beberapa detik sebelum akhirnya Dean menarik pandangannya dengan wajah tak acuh."Aku tidak sengaja bertemu dengannya jadi aku membawanya ke sini."Di dalam ruangan itu, tidak hanya ada Dean, ada dua pria lagi di dalam sana yaitu Peter dan juga Fandy, anak dari pemilik dari club malam itu. Club tersebut d
“Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Victor saat melihat wajah panik Lucia.Bukannya menjawab, Lucia justru meraih tasnya, kemudian berdiri. "Kita bicara lagi lain kali, aku harus pergi." Sebelum sempat dicegah oleh Victor, Lucia sudah lebih dulu berjalan keluar dari ruangan tersebut.Fandy pun langsung memarahi temannya dengan wajah kesal setelah kepergiaan Lucia. “Victor, apa kau sudah gila? Bukankah kau sudah tahu kalau Dean tidak ingin melihat Lucia lagi, kenapa kau justru membawanya ke sini?”Setelah Fandy mengatakan itu, Victor melirik pada Dean yang nampak yang duduk yang sedang menggoyangkan gelas yang berisi minuman alkohol, tatapannya tertuju ke depan dengan punggung yang bersandar di sofa.“Benar, kau ini sebenarnya berpihak pada siapa? Dia sudah menghianati Dean dengan tidur dengan pria lain, kau masih berani membawanya ke sini, kau ingin cari mati?” Peter ikut menimpali ucapan Fandy karena merasa kesal dengan tindakan Victor.“Aku hanya ingin mengobrol dengannya. Masalah d
Lucia bergegas masuk ke dalam rumahnya setelah membuka pintu untuk mencari ibunya. Saat memasuki ruangan keluarga, Lucia bertemu dengan Bibi Nan, dia pun langsung bertanya di mana keberadaan ibunya."Nyonya sedang berada di ruangan kerja, Nona."Lucia memutar tubuhnya lantas melangkah menuju ruangan kerja ayahnya yang letaknya tidak jauh dari kamar kedua orang tuanya. "Bu, di mana mereka?" Lucia langsung melontarkan pertanyaan pada Nyonya Helia ketika melihat ibunya sedang mencari sesuatu di laci meja kerja ayahnya."Mereka baru saja pulang." Lucia menghela napas kasar. Padahal, dia sengaja pulang cepat supaya bisa bertemu dengan mereka, tapi ternyata mereka sudah pergi sesaat sebelum dia tiba."Kenapa ibu tidak menahannya?" Lucia melangkah ke depan, berdiri tepat di depan meja kerja ayahnya. "Sudah, tapi mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi."Melihat ibunya mencari sesuatu dengan gusar, Lucia kembali bertanya padanya, "Bu, apa yang sedang kau cari?"Nyonya Helia menghentikan
Setelah keluar dari lift, Lucia pergi ke bagian administrasi khusus rawat inap, dia berniat untuk meminta rincian biaya rumah sakit ayahnya. Dia harus bisa memperkirakan berapa biaya yang harus dia keluarkan untuk pengobatan ayahnya. Karena saat ini kondisi keuangan keluarganya sedang tidak baik, jadi Lucia berniat menggunakan gajinya untuk membayar semuanya. Sebenarnya, ibunya sudah mengatakan kalau dia masih memiliki uang simpanan untuk biaya rumah sakit ayahnya, tapi Lucia tidak ingin ibunya menggunakan uang itu. "Ini rincian biaya sementara sampai hari ini." Lucia meraih kertas tersebut lalu membacanya dengan seksama. Wajahnya nampak murung setelah melihat nominal yang tertera di kertas itu. Ternyata biaya rumah sakit itu cukup besar. Ayahnya sudah berada di rumah sakit selama 10 hari. Jadi, wajar saja jika biayanya besar, apalagi ruangan yang ditempat ayahnya cukup mahal. Dia bukannya tidak memiliki uang, Dia punya tabungan, tapi dia berencana untuk menggunakan uang itu memba
"Ayah, apa kau sudah siap?" Lucia menghampiri ayahnya yang sedang berbaring di ranjang pasein. Setelah selesai berbicara dengan Renata, Lucia kembali ke ruangan ayahnya. Renata tidak ikut menjenguk ayah Lucia karena dia masih harus bekerja. Dia sengaja izin sebentar hanya untuk berbicara dengan Lucia. Dia berjanji akan menemui Lucia lagi saat akhir pekan ketika dia libur bekerja. "Sudah." Lucia membantu ayahnya untuk turun dari ranjang dan berpidah duduk di kursi roda. Sebenarnya kondisi ayahnya sudah lebih baik, hanya saja, ayahnya belum bisa berjalan dikarenakan kaki kirinya mengalami kelumpuhan mendadak setelah terjatuh di kamar mandi. Dokter mengatakan ada masalah di bagian otaknya. Itulah sebabnya ayahnya mengalami kelumpuhan disalah satu bagian tubuhnya. Hari ini, rencana akan melakukan pemeriksaan kepala kembali, jika tidak ada masalah serius, maka ayah Lucia akan diperbolehkan pulang. Setelah ayahnya berpindah ke kursi roda, Lucia mendorognya keluar ruangan menuju lantai