3 tahun kemudian, Negara S tepatnya di kota N.
Seorang wanita berambut panjang dengan sedikit gelombang di ujungnya berjalan dengan pelan menuju apartemen yang berada di ujung dengan wajah lelah. Wanita itu adalah Lucia, dia baru saja pulang bekerja sore itu. Ketika memasuki apartemennya, dia melihat temannya sedang berada di ruang tamu kecil apartemen mereka."Kenapa baru pulang?" tanya Wenny, teman yang selama dua tahun ini tinggal bersamanya di apartemen yang mereka sewa bersama."Sedang banyak pekerjaan," jawab Lucia sambil meletakkan tasnya di sofa. "Aku mandi dulu."Setengah jam berlalu, Lucia keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah Wenny, kemudian mengeringkan rambutnya setelah menghidupkan hairdryer. Ini adalah rutinitas Lucia setelah bekerja yaitu mandi dan bersantai di ruangan keluarga.Biasanya, mereka berdua menikmati makanan ringan sambil mengobrol. Mulai dari obrolan ringan higga berat. Tidak jarang juga mereka mencurahkan isi hati ketika sedang memiliki masalah, apa pun itu.Keduanya terbiasa membagi masalah mereka berdua agar sedikit melegakan hati. Sedekat itu mereka hingga keduanya tidak pernah merasa khawatir untuk menceritakan masalah apa pun yang sedang mereka hadapi."Ponselmu berbunyi sejak tadi." Wenny menoleh pada Lucia yang sedang menatap layar televisi di depan mereka seraya mengarahkan pengering rambutnya. "Sepertinya penting," sambung Wenny lagi.Setelah mendengar itu, Lucia mematikan hairdryer, meletakkan di meja, lantas mengambil ponselnya yang berada di dalam tas. Baru saja dia memegang ponselnya, terdengar suara panggilan masuk. Lucia segera mengangkat panggilan tersebut saat tahu siapa yang menelponnya."Yaa, Bu. Ada apa?""Lucia, segera pulang. Ayahmu masuk rumah sakit."Iris Lucia melebar dan jantungnya berdebar kencang setelah mendengar infomasi dari ibunya. "Apa yang terjadi dengan ayah?"Wenny yang sejak tadi sedang menonton televisi dengan wajah serius, seketika menolehkan kepalanya ke samping kanan dengan tatapan menelisik. Saat melihat wajah Lucia nampak menegang, dia menduga kalau sesuatu sudan terjadi pada keluarganya.Ibu Lucia tidak pernah menelpon sore hari, biasanya dia akan menelpon malam hari, itu pun jarang terjadi. Lucia dan keluarganya memang jarang sekali saling menelpon, biasanya mereka berkomunikasi via aplikasi pesan singkat."Ayahmu terjatuh di kamar mandi dan belum sadarkan diri sampai sekarang." Suara ibunya terdengar panik dan sedikit bergetar. "Cepatlah pulang."Ketika kata-kata itu jatuh, tubuh Lucia langsung lemas.Sudah tiga tahun lamanya dia tidak pulang. Skandal di masa lalu membuatnya tidak berani lagi menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, meskipun dia sangat merindukan orang tuanya. Kejadian masa lalu masih menyisakan trauma di hidup Lucia.Trauma itu meninggalkan luka yang sampai sekarang tidak bisa dihilangkan. Padahal, selama dua tahun ini, dia rutin mendatangi psikiater untuk menyembuhkan traumanya agar tidak semakin dalam dan berlanjut. Namun, pada kenyataannya, luka itu masih menetap dan enggan pergi.Ibarat gelas yang sudah retak, tidak akan pernah kembali utuh seperti sedia kala, meskipun sudah diperbaiki. Seperti itulah yang terjadi pada Lucia. Menyembuhkan bukan berarti rasa sakit itu tidak akan hilang dan tak berbekas.Luka dan rasa sakit itu masih ada, bahkan masih mengakar kuat di hatinya dan tidak pernah bisa dihilangka. Padahal, segala cara sudah dilakukan untuk menyembuhkan trauma tersebut. Hanya dia satu-satunya yang tahu bahwa kejadian dulu menyebabkan gangguan psikologis berat baginya.Bahkan orang tuanya pun tidak tahu kalau Lucia mengalami trauma hingga membuatnya tidak bisa tidur tenang setiap malamnya. Dari luar dia nampak baik-baik saja. Namun, tidak ada yang tahu kalau di dalam hatinya, dia menyimpan luka yang sangat dalam.Kejadian 3 tahun lalu merubah seluruh hidup dan kepribadiannya di masa kini dan itu berpengaruh pada kehidupan asmaranya. Dia menjadi takut untuk menjalin hubungan baru, bahkan untuk sekedar dekat dengan seorang pria pun, dia masih tidak berani. Dia selalu berusaha menghidari kontak dengan lawan jenis, sekecil apa pun itu."Tapi, aku tidak bi—""Lucia, pulanglah. Apa kau tidak ingin melihat ayahmu lagi?" Intonasi ibunya terdengar sedikit meninggi karena tahu kalau anaknya akan menolak untuk pulang. Bukannya dia egois dan tidak merasakan perasaan anaknya. Namun, Nyonya Helia tidak ingin putrinya selalu hidup dalam bayang masa lalunya."Bukan begitu, Bu, tapi ak—""Sudah waktunya kau pulang, Lucia." Ucapan ibunya seketika melembut dan terdengar tidak berdaya.Nyonya Helia bisa mengerti tentang kekhawatiran putrinya jadi dia juga tidak bisa bersikap keras padanya. Bagaimana pun putrinya mengalami masa yang berat setelah kejadian 3 tahun lalu. Dia sangat paham itu. Maka dari itu, dia mencoba membujuknya dengan lembut."Masalah yang dulu, jangan diingat lagi. Semuanya sudah berlalu. Sudah saatnya kau melangkah maju."Lucia tidak langsung membalas ucapan ibunya, dia merenung selama beberapa saat hingga akhirnya dia kembali angkat bicara, "Baik. Aku akan pulang, tapi beri aku waktu beberapa hari untuk membereskan sesuatu di sini."Selesai berbicara dengan ibunya, Lucia terlihat merenung sambil memegang ponselnya dengan erat.Kilas balik kejadian yang dulu kembali terlintas di benaknya. Kejadian 3 tahun yang lalu menimbulkan kehebohan besar di kota Y. Lucia belum bisa melupakan bagaimana orang-orang mencemooh serta menghujat dirinya setelah vidionya tersebar dan pernikahannya batal."Ada apa, Lucia?" tanya Wenny saat melihat temannya itu sejak tadi hanya diam sambil memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong.“Ayahku masuk rumah sakit dan ibuku memintaku untuk segera pulang." Lucia menoleh pada Wenny saat mengatakan itu. Terlihat jelas kalau dirinya keberatan dengan permintaan ibunya itu.“Apa kau sudah siap bertemu dengannya lagi?" tanya Wenny hati-hati.Selain orang tua dan orang terdekatnya, Wenny juga tahu mengenai masalah yang menimpa Lucia beberapa tahun yang lalu. Meskipun mereka baru mengenal selama kurang dari 3 tahun. Namun, keduanya sudah seperti saudara, ada banyak hal yang Lucia ceritakan pada teman dekatnya itu."Aku sudah melupakannya. Antara aku dan dia sudah berakhir." Suaranya terdengar datar dan terkesan acuh tak acuh. Namun, tersirat ada kesedihan dalam sorot matanya.“Lalu kenapa wajahmu murung?”Lucia yang baru saja akan melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda tadi, seketika meletakkan kembali pengering rambutnya di pangkuannya setelah mendengar pertanyaan Wenny. Dia menghembuskan napas pelan sebelum menjawab pertanyaan temannya itu.“Aku sudah merasa nyaman tinggal di sini.”Tadinya Lucia berniat akan tinggal selamanya di kota N, tapi ternyata keadaan tidak menginjinkannya untuk tinggal di sana lebih lama lagi.Sejak dia meninggalkan kota Y tiga tahun lalu, Lucia sudah mengubur perasaan serta semua kenangan bersama Dean Anderson. Selama 3 tahun ini, dia berusaha untuk memulai kehidupan barunya lagi di negara S tepatnya di kota N.Tadinya, Ibu Lucia menyarankan untuk tinggal bersama neneknya di kota L. Namun, ditolak oleh Lucia. Dia memilih pergi ke kota N dan tinggal di sana.Alasannya hanya satu, dia ingin memulai kehidupan barunya di tempat yang tidak ada seorang pun yang mengenalnya. Dia ingin memutus semua hal yang berhubungan dengan Dean dan kota Y.******“Halo, Bu. Aku sudah tiba di bandara. Aku akan naik taksi jadi ibu tidak perlu menjemputku,” ucap Lucia ketika baru saja selesai mengambil kopernya di tempat pengambilan bagasi.“Ya. Aku akan kembali ke rumah dulu, setelah itu baru ke rumah sakit,” katanya lagi.Usai berbicara dengan ibunya, Lucia meletakkan ponselnya di dalam tas lalu berjalan keluar sambil menarik kopernya.Dari kejauhan tidak sengaja matanya menangkap sosok yang sangat familiar di antara kerumunan orang yang sedang berjalan menuju pintu keluar. Sosok itu mirip sekali dengan Dean, meskipun hanya dilihat dari belakang, tapi Lucia masih bisa mengenali punggung tegap pria yang dulunya mengisi ruang hatinya itu.Karena penasaran dengan pria tersebut, Lucia berniat untuk mengejarnya. Dia menarik koper dan melangkah terburu-buru ke arah pintu keluar, tapi sayangnya, langkah Lucia dihentikan oleh petugas yang berjaga di dekat pintu keluar. Petugas itu memintanya untuk menunjukkan nomor bukti penitipan bagasi."Ini." Lucia segera memberikan kertas pada petugas tersebut. "Aku mohon lebih cepat, aku sedang terburu-buru," tambah Lucia ketika pria itu sedang mencocokkan nomor di kertas yang ada di tangannya dengan kertas yang menempel di koper Lucia."Ini, Nona." Petugas itu kembali memberikan kertas itu kembali, kemudian mempersilahkan Lucia untuk lewat.Dengan langkah cepat, Lucia menarik kopernya sembari menyapu pandangannya ke seluruh area bandara yang masih bisa dijangkau oleh matanya. Sosok tadi sudah menghilang, hanya terlihat sekumpulan orang yang tidak dikenal, berlalu-lalang di hadapanya. Lucia mencoba melihat ke sekelilingnya sekali lagi. Namun, dia tidak juga menemukan keberadaan pria yang mirip Dean."Mungkin aku salah lihat atau mungkin hanya mirip," monolog Lucia lirih seraya menunduk dengan wajah kecewa.Tidak ingin terlalu banyak berpikir, Lucia memutuskan untuk segera pulang. Sebelum menaiki taksi, dia memandang lurus depan dan terdiam selama beberapa detik. Ada jejak keraguan dalam ekspresi wajahnya ketika akan melangkah. Apalagi saat mengingat dia akan kembali untuk tinggal di kota Y lagi, perasaannya semakin tidak menentu.Meskipun dalam hati dia terus mencoba menengkan dirinya. Namun, tidak bisa dipungkiri bah
Pria itu tersenyum ke arah Lucia lalu berkata, "Hai, Lucia, lama tidak bertemu."Lucia tertegun sebentar lalu membalas sapaan pria itu dengan wajah canggungnya. Pria itu adalah tuan muda dari keluarga Farez. Namanya Julian Farez, Lucia dan Julian dulunya berteman dekat, tapi mereka harus terpisah karena Julian pindah ke kota lain yang jauh dari kota Y."Bagaimana kabarmu?" Julian bertanya dengan ramah dan lembut. Sikapnya masih seperti dulu, ketika mereka masih dekat.Dengan perasaan canggung Lucia menjawab dengan nada rendah. "Baik."Entah mengapa 3 tahun tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Julian membuat Lucia menjadi canggung, padahal dulunya mereka dekat. Meskipun dulunya mereka jarang bertemu karena jarak, tapi Julian sering menemui Lucia jika dia sedang berada di kota Y."Kapan kau kembali? Aku dengar kau pergi keluar negeri 3 tahun yang lalu."Teringat kembali kejadian 3 tahun yang lalu, Lucia jadi merasa malu. Waktu it
“Dean lihat, aku bawa siapa?”Seketika orang yang ada di ruangan itu menatap ke arah Victor secara bersamaan, termasuk Dean yang sedang duduk di sofa paling ujung dengan pencahayaan yang sedikit redup."Aku membawa Lucia." Pandangan semua orang pun tertuju pada wanita yang berada di belakang Victor ketika pria itu menggeser tubuhnya ke samping kanan. Suasana langsung hening saat melihat wanita yang dimaksud oleh Victor adalah Lucia. Ketika tatapan Lucia dan Dean bertabrakan, ada sedikit riak di netra hitam milik Dean. Sepertinya dia sedikit terkejut melihat keberadaan Lucia di club itu. Keduanya saling menatap selama beberapa detik sebelum akhirnya Dean menarik pandangannya dengan wajah tak acuh."Aku tidak sengaja bertemu dengannya jadi aku membawanya ke sini."Di dalam ruangan itu, tidak hanya ada Dean, ada dua pria lagi di dalam sana yaitu Peter dan juga Fandy, anak dari pemilik dari club malam itu. Club tersebut d
“Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Victor saat melihat wajah panik Lucia. Bukannya menjawab, Lucia justru meraih tasnya, kemudian berdiri. "Kita bicara lagi lain kali, aku harus pergi." Sebelum sempat dicegah oleh Victor, Lucia sudah lebih dulu berjalan keluar dari ruangan tersebut. Fandy pun langsung memarahi temannya dengan wajah kesal setelah kepergiaan Lucia. “Victor, apa kau sudah gila? Bukankah kau sudah tahu kalau Dean tidak ingin melihat Lucia lagi, kenapa kau justru membawanya ke sini?” Setelah Fandy mengatakan itu, Victor melirik pada Dean yang nampak yang duduk yang sedang menggoyangkan gelas yang berisi minuman alkohol, tatapannya tertuju ke depan dengan punggung yang bersandar di sofa. “Benar, kau ini sebenarnya berpihak pada siapa? Dia sudah menghianati Dean dengan tidur dengan pria lain, kau masih berani membawanya ke sini, kau ingin cari mati?” Peter ikut menimpali ucapan Fandy karena merasa kesal dengan tindakan Victor. “Aku hanya ingin mengobrol dengannya. Masa
Lucia bergegas masuk ke dalam rumahnya setelah membuka pintu untuk mencari ibunya. Saat memasuki ruangan keluarga, Lucia bertemu dengan Bibi Nan, dia pun langsung bertanya di mana keberadaan ibunya."Nyonya sedang berada di ruangan kerja, Nona."Lucia memutar tubuhnya lantas melangkah menuju ruangan kerja ayahnya yang letaknya tidak jauh dari kamar kedua orang tuanya. "Bu, di mana mereka?" Lucia langsung melontarkan pertanyaan pada Nyonya Helia ketika melihat ibunya sedang mencari sesuatu di laci meja kerja ayahnya."Mereka baru saja pulang." Lucia menghela napas kasar. Padahal, dia sengaja pulang cepat supaya bisa bertemu dengan mereka, tapi ternyata mereka sudah pergi sesaat sebelum dia tiba."Kenapa ibu tidak menahannya?" Lucia melangkah ke depan, berdiri tepat di depan meja kerja ayahnya. "Sudah, tapi mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi."Melihat ibunya mencari sesuatu dengan gusar, Lucia kembali bertanya padanya, "Bu, apa yang sedang kau cari?"Nyonya Helia menghentikan
Setelah keluar dari lift, Lucia pergi ke bagian administrasi khusus rawat inap, dia berniat untuk meminta rincian biaya rumah sakit ayahnya. Dia harus bisa memperkirakan berapa biaya yang harus dia keluarkan untuk pengobatan ayahnya. Karena saat ini kondisi keuangan keluarganya sedang tidak baik, jadi Lucia berniat menggunakan gajinya untuk membayar semuanya. Sebenarnya, ibunya sudah mengatakan kalau dia masih memiliki uang simpanan untuk biaya rumah sakit ayahnya, tapi Lucia tidak ingin ibunya menggunakan uang itu. "Ini rincian biaya sementara sampai hari ini." Lucia meraih kertas tersebut lalu membacanya dengan seksama. Wajahnya nampak murung setelah melihat nominal yang tertera di kertas itu. Ternyata biaya rumah sakit itu cukup besar. Ayahnya sudah berada di rumah sakit selama 10 hari. Jadi, wajar saja jika biayanya besar, apalagi ruangan yang ditempat ayahnya cukup mahal. Dia bukannya tidak memiliki uang, Dia punya tabungan, tapi dia berencana untuk menggunakan uang itu memba
"Ayah, apa kau sudah siap?" Lucia menghampiri ayahnya yang sedang berbaring di ranjang pasein. Setelah selesai berbicara dengan Renata, Lucia kembali ke ruangan ayahnya. Renata tidak ikut menjenguk ayah Lucia karena dia masih harus bekerja. Dia sengaja izin sebentar hanya untuk berbicara dengan Lucia. Dia berjanji akan menemui Lucia lagi saat akhir pekan ketika dia libur bekerja. "Sudah." Lucia membantu ayahnya untuk turun dari ranjang dan berpidah duduk di kursi roda. Sebenarnya kondisi ayahnya sudah lebih baik, hanya saja, ayahnya belum bisa berjalan dikarenakan kaki kirinya mengalami kelumpuhan mendadak setelah terjatuh di kamar mandi. Dokter mengatakan ada masalah di bagian otaknya. Itulah sebabnya ayahnya mengalami kelumpuhan disalah satu bagian tubuhnya. Hari ini, rencana akan melakukan pemeriksaan kepala kembali, jika tidak ada masalah serius, maka ayah Lucia akan diperbolehkan pulang. Setelah ayahnya berpindah ke kursi roda, Lucia mendorognya keluar ruangan menuju lantai
Dean menatap Tuan Federick sebentar, kemudian berkata, "Kakek, kamu terlalu banyak berpikir. Alasanku menolak menikah cepat bukan seperti yang Kakek katakan. Dia sudah tidak berarti apa-apa bagiku."Usai mengatakan itu, Dean keluar dari ruangan itu. Asistennya pun mengikuti langkahnya ke arah lift."Bocah itu, selalu saja berhasil membuat tekanan darahku naik. Aku sungguh tidak tahu apa yang ada di pikirannya," ucap kakek Dean seraya menggelengkan kepalanya dengan wajah frustasi. "Sudah benar saat itu memilih Lucia, tapi dia dengan bodohnya membatalkan pernikahannya."Nyonya Sheema menghela napas pelan mendengar penuturan suaminya. Awalnya, dia juga merasa kecewa dengan batalnya pernikahan Dean dan Lucia. Namun, saat mengetahui skandal vidio itu, dia merasa kalau Lucia juga bersalah pada Dean. Jadi, dia tidak bisa menyalahkah tindakan cucunya."Kau jangan memarahinya terus. Lagi pula, Lucia sudah mengkhianati Dean. Wajar kalau dia membatalkan pernikahan mereka," sahut Nyonya Sheema lem
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?" Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan, jadi terpaksa aku memundurkan penerbanganku." "Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu." Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?" "Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—" Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotong setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya." "Dean istrimu sedang ..." Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengk
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya. "Sedang dalam perjalanan, Tuan." "Lalu, Rebecca?" "Sudah di tempat yang Tuan perintahkan." Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu." Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu. "Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon. "Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak." Tidak terdengar apa pun di sebrang sana hingga Dean kembali membuka suara, "Kenapa? Sudah merindukan aku?" "Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya." Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa." "Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?" "Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana." Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat sen
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun. Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada. "Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong. Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit." Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar." "Kau masih memikirkan Bernice?” Lucia mengangguk deng
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin. "Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya. "Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia tampak mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis, padahal dulu dia tidak begitu. "Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya ka
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?" Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan sang suami. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya. "Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah." Bagaimanapun, mereka belum beristirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat setelah tiba di Bristol. Di hotel pun, bukannya membiarkan istrinya istirahat, Dean justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya merasa lelah. "Aku tidak mengantuk." Lucia sudah lama tidur di pesawat, jadi wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam. "Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak." Tidak? Dean nampak mengerutkan kening. Istrinya terlalu tanggguh atau staminanya
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?" Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?" "Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan, kemudian bangkit, tapi Dean langsung menahan pinggangnya. "Mau ke mana?" "Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh. "Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi Lucia. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah. Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya." "Hal penting apa?" Dean mera