"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
“Ah …”Suara desahan wanita serta napas menderu dari pasangan muda itu kini memenuhi kamar hotel.“Apa kau tidak akan menyesali ini, Lucia?” tanya pria tampan yang sedang sibuk meninggalkan jejak merah di leher jenjang milik sang wanita. Tercium aroma alkohol yang kuat dari mulutnya saat dia berbicara.Kungkungan pria pemilik nama Dean Anderson itu membuat Lucia tak memiliki ruang untuk bergerak. Belum lagi kecupan-kecupan yang diberikannya, mengakibatkan sang wanita seolah larut ke dalam perbuatan panas mereka.“Ti—tidak,” jawab Lucia tersipu. Jemari wanita itu menyisir rambut hitam sang pria.Mendengar persetujuan dari Lucia, Dean tak menunggu waktu lama, dan segera menyentuh wanita itu lebih jauh.Manik segelap malam serta senyuman tipis dari sang pria membuat Lucia semakin terhanyut dalam pesona Dean. Bisa jadi, itu juga alasan mengapa Lucia percaya dengan Dean untuk menjadi tunangannya.Samar-samar Lucia merasakan sekujur tubuhnya meremang ketika tangan hangat Dean menyentuh tubuh
"Aku ingin bertemu Dean," ucap Lucia sambil melewati meja sekretaris Dean.“Tunggu, Nona Lucia! Ada tidak boleh masuk!” Langkah Lucia langsung terhenti ketika dihadang oleh sekretaris Dean. “Kenapa tidak boleh?” tanya Lucia dengan alis menyatu.“CEO Dean sedang sibuk dan tidak bisa diganggu saat ini.”“Aku hanya ingin bertemu dengannya sebentar.”“Maaf, Nona. Tidak bisa.” Sekretaris Dean kembali menghalangi Lucia saat akan menerobos masuk ke dalam ruangan bosnya. “CEO Dean melarang siapa pun masuk ke dalam.”Karena terus dihalangi oleh sekretaris Dean, Lucia menjadi tidak sabar. “Minggir! Jangan halangi aku.”“Anda tidak bo—” Lucia tidak menghiraukan larangan sekretaris Dean dan tetap berjalan menuju ruangan tunangannya dengan langkah cepat. Pagi itu, Lucia bergegas ke kantor Dean. Pasalnya, sejak kejadian di hotel malam itu, mereka belum pernah bertemu kembali karena Dean masih di luar kota. Namun, betapa terkejutnya Lucia ketika pintu ruangan Dean tiba-tiba terbuka dan melihat Ca
Melihat sahabatnya terdiam, Renata kembali bertanya. “Lucia, kenapa diam saja?” Sentuhan tangan Renata pada lengannya seketika membuyarkan lamunan Lucia. “Itu … sebenarnya ….” Lucia terlihat ragu saat akan menjawab pertanyaan Renata. Bukannya, dia tidak mau berterus terang pada sahabatnya, tapi dia malu untuk mengakuinya.“Apa video itu hanya rekayasa?” tebak Renata lagi sebelum Lucia sempat menjawab pertanyaannya tadi. Video yang dimaksud oleh Renata adalah video ketika Lucia menghabiskan malam bersama dengan Dean di hotel malam itu. Meskipun pencahayaan di kamar tersebut redup dan sedikit gelap. Namun, wajah wanita di dalam vidio itu masih bisa dikenali dan bisa dipastikan pemeran wanita itu adalah Lucia. Selain wajah Lucia yang bisa dikenali, suara wanita dalam video tersebut juga terdengar sangat jelas dan itu semakin menguatkan dugaan orang kalau pemeran wanita itu memang Lucia. Berbeda dengan pemeran wanitanya, pemeran pria dalam video itu justru tidak terlihat jelas, dikarena