"Ini, Nona." Petugas itu kembali memberikan kertas itu kembali, kemudian mempersilahkan Lucia untuk lewat.
Dengan langkah cepat, Lucia menarik kopernya sembari menyapu pandangannya ke seluruh area bandara yang masih bisa dijangkau oleh matanya. Sosok tadi sudah menghilang, hanya terlihat sekumpulan orang yang tidak dikenal, berlalu-lalang di hadapanya. Lucia mencoba melihat ke sekelilingnya sekali lagi. Namun, dia tidak juga menemukan keberadaan pria yang mirip Dean."Mungkin aku salah lihat atau mungkin hanya mirip," monolog Lucia lirih seraya menunduk dengan wajah kecewa.Tidak ingin terlalu banyak berpikir, Lucia memutuskan untuk segera pulang. Sebelum menaiki taksi, dia memandang lurus depan dan terdiam selama beberapa detik. Ada jejak keraguan dalam ekspresi wajahnya ketika akan melangkah. Apalagi saat mengingat dia akan kembali untuk tinggal di kota Y lagi, perasaannya semakin tidak menentu.Meskipun dalam hati dia terus mencoba menengkan dirinya. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dia masih merasa takut. Takut kalau dirinya akan terluka dan tersakiti lagi dengan kejadian 3 tahun lalu.Dalam perjalanan menuju kediaman orang tuanya, Lucia hanya diam sembari menatap ke arah luar kaca mobil. Tidak banyak yang berubah dari kota kelahirannya, selain bertambahnya bangun baru di sepanjang jalanan yang dia lewati.Saat sedang termenung, tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada gedung mewah yang bertuliskan Merion Corp.Itu adalah perusahaan Dean. Gedung pencakar langit itu juga milik keluarga Anderson. Merion Corp merupakan perusahaan terbesar di negara Z jadi tidak heran jika perusahaan mereka memiliki gedung paling tinggi di kota Y. Tidak sulit untuk mencari perusahaan Merion Corp karena letaknya berada di pusat kota.Ketika Melihat gedung tersebut, seketika ingatan Lucia kembali ke masa, di mana dia sering ke kantor Dean hanya untuk mengantarkan makan siang untuknya. Lucia memang sudah menyukai Dean sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Awalnya dia hanya kagum. Namun, lama-kelamaan rasa kagum tersebut berkembang menjadi perasaan cinta.Dimulai saat Lucia pertama dikerjai oleh kakak kelasnya ketika di sekolah dan berakhir ditolong oleh Dean yang kebetulan melintas di depan kamar mandi perempuan. Kejadian itu terjadi di awal Lucia masuk sekolah dan menjadi anak baru. Semenjak kejadian itu, Lucia mulai memperhatikan Dean secara diam-diam. Kekagumannya bertambah saat tahu kalau dia adalah siswa terpandai dan memiliki banyak prestasi di akademik."Nona, sudah sampai." Lamunan Lucia pun seketika buyar setelah mendengar ucapan supir taksi tersebut. Dia bergegas turun, membayar taksi kemudian berjalan menuju pintu rumahnya."Nona, kau sudah datang?" Seorang pelayan berumur sekitar 65 tahun membukakan pintu untuk Lucia dengan senyuman hangatnya. Dia adalah pelayan yang sudah bekerja dengan keluarga Lucia selama lebih dari 30 tahun."Bibi Nan, lama tidak bertemu," sapa Lucia dengan ramah.Bibi Nan tersenyum hangat lalu menjawab sapaan Lucia. "Silahkan masuk, Nona." Bibi Nan membuka pintu lebar-lebar, kemudian menarik koper milik Lucia masuk ke dalam."Bibi, apa kamarku sudah dibersihkan?""Sudah, Nona."Lucia lantas menaiki tangga menuju kamarnya diikuti Bibi Nan dari belakang. Setelah meletakkan koper Lucia di kamar, Bibi Nan segera keluar dari kamar tersebut.Sebelum melangkah ke tempat tidur, Lucia berdiri sebentar sembari menatap ke sekelilingnya. Tidak ada satu pun yang berubah di kamarnya, masih seperti yang dulu. Sudah lama sekali dia merindukan kamarnya ini. Kamar yang nyaman.Puas memandangi kamarnya, Lucia pun melangkah menuju jendela, memandang keluar dengan tatapan tidak terbaca. Entah apa yang sedang di pikirkan olehnya hingga membuatnya mematung di depan jendela kamarnya.Lamunannya seketika buyar setelah mendengar ponselnya berbunyi. Dia segera mengambil ponselnya lalu mengangkat panggilan tersebut saat tahu kalau ibunya yang menelpon."Iya, Bu. Aku baru saja sampai."Lucia terdiam sambil mendengarkan ucapan ibunya di telpon. "Baiklah. Aku akan segera ke sana."Sebelum ke rumah sakit, Lucia mandi dan makan terlebih dahulu. Tiba di rumah sakit, dia langsung berjalan menuju kamar di mana ayahnya berada.Sepanjang perjalanan, beberapa orang tidak dikenal dan juga petugas rumah sakit terdengar berbisik-bisik ketika Lucia melewati mereka. Tanpa bertanya pun, Lucia sudah bisa menebak apa yang sedang mereka bicarakan. Sepertinya kejadian 3 tahun lalu masih belum sepenuhnya hilang dari ingatan warga kota Y.Awalnya, Lucia pikir kalau rumor itu akan menghilang seiring berjalannya waktu, tapi nyatanya vidio panasnya dan juga berita pernikahannya yang batal masih menjadi topik hangat yang disukai oleh warga kota Y. Beruntung sebelum menjejakkan kakinya lagi di negara Z, Lucia sudah mempersiapkan diri dan juga mentalnya terlebih dahulu supaya tidak terlihat lemah di depan orang-orang."Lucia." Ibunya menyapa anaknya setelah pintu ruangan suaminya terbuka."Bu, bagaimana keadaan ayah?" tanya Lucia sambil berjalan menghampiri ibunya."Kondisi ayahmu baik-baik saja. Dokter menyarankan untuk melakukan terapi agar kondisi ayahmu kembali pulih sedia kala."Lucia menarik kursi di samping ibunya, lalu meneliti wajah ibunya dengan seksama. Tatapannya mengembun saat melihat perubahan di wajah ibunya.Hanya dalam kurun waktu 3 tahun, wajah ibunya terlihat menua. Wajah cantik, segar, dan awet muda yang dulunya membuat Lucia iri, kini sudah tergantikan dengan wajah lelah dan layu. Nampaknya kejadian 3 tahun lalu membawa dampak yang sangat besar pada keluarganya, terutama pada kedua orang tuanya."Lalu apa yang dikatakan Dokter mengenai kondisi ayah?""Ayahmu mengalami cidera kepala setelah terjatuh di kamar mandi.""Bu, sebenarnya apa yang terjadi dengan ayah? Kenapa bisa terjatuh di kamar mandi?"Nyonya Helia tidak langsung menjawab pertanyaan anaknya, melainkan dia meremas kedua tangannya lalu menatap putrinya dengan ragu."Bu, katakan yang sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Lucia lagi."Sebenarnya belakang ini kesehatan ayahmu terganggu. Dia sangat stress karena perusahaan sedang bermasalah. Seorang investor tiba-tiba menarik dananya dari perusahaan kita.""Kenapa tiba-tiba menarik dananya?" tanya Lucia heran."Ibu tidak tahu. Ayahmu tidak memberitahu ibu detailnya seperti apa. Tindakan investor itu membuat perusahaan kita terancam bangkrut karena kekurangan dana. Perusahaan kita juga tidak bisa membayar pinjaman dana di bank dan kemungkinan semua aset kita akan disita." Helaan panjang terdengar dari mulut Nyonya Helia. Nampaknya beban yang ditanggung olehnya sangat berat."Kenapa ibu tidak pernah memberitahuku?"Selama ini, ibunya tidak pernah mengatakan apa pun padanya. Jadi, Lucia pikir tidak ada masalah yang terjadi pada keluarga dan juga perusahaannya akibat skandalnya itu, tapi nyatanya orang tuanya sengaja menutupi agar dirinya tidak khawatir."Ibu hanya tidak ingin kau khawatir."Lucia seketika merasa bersalah sekaligus terenyuh setelah mendengar pengakuan ibunya. Sejak dulu, ibunya memang selalu begitu, menyembunyikan hal buruk dari anaknya agar tidak membebaninya. Biarlah dia menanggungnya sendiri, asalkan anaknya baik-baik saja. Itulah sifat ibunya yang paling tidak disukai Lucia, menyembunyikan masalah darinya."Aku akan mengurus semua, Bu." Lucia menggenggam tangan ibunya dengan lembut lalu berkata, "Ibu tidak perlu khawatir, semua akan baik-baik saja. Aku akan menemui investor itu."Nyonya Helia tersenyum hangat pada anaknya. sekilas matanya terlihat berkilau. "Maafkan ibu, seharusnya kau tidak ikut menanggung beban ayahmu.""Bu, ini salahku, seharusnya aku tidak membuat skandal waktu itu. Jadi, ayah tidak perlu menangggung semuanya."Nyonya Helia semakin sedih setelah mendengar perkataan anaknya. "Ini bukan salahmu. Perusahaan memang sudah mengalami penurunan sebelum masalah itu terjadi."Meskipun ibunya berkata seperti itu, rasa bersalah Lucia tidak berkurang sedikit pun, justru semakin bertambah. "Maafkan aku, Bu." Lucia menunduk dengan wajah bersalah."Ini bukan salahmu," ucap Nyonya Helia sambil mengusap lembut tangan anaknya.Lucia mengangkat kepalanya, lantas menatap ibunya dengan seksama. "Bu, aku janji akan melakukan segala cara untuk mengembalikan kondisi perusahaan seperti dulu lagi."Nyonya Helia tersenyum lembut, meskipun begitu, dia tidak bisa menyembunyikan guratan kelelahan di wajahnya. "Iya. Ibu percaya padamu."Tidak bertemu selama beberapa tahun saja, Lucia merasa ibunya terlihat sangat kurus, mungkin beban yang ditanggung oleh ibunya sangat besar hingga membuatnya jadi seperti itu.Usia bertemu berbicang dengan ibunya, Lucia berpamitan pulang. Dia ingin beristirahat agar malamnya bisa bergantian dengan ibunya untuk menjaga ayahnya."Permisi." Lucia berusaha keluar dari lift yang penuh dan sesak. Saat akan melangkah keluar lift, tidak sengaja Lucia tersandung kaki seseorang hingga membuatnya hilang ke seimbangan dan hampir saja tersungkur ke depan, jika saja dia tidak memegang tubuh seseorang yang kebetulan sedang berada di depannya."Maaf, aku tidak segaja." Lucia segera menjauhkan diri dari pria itu lalu mengangkat wajahnya. Ketika melihat siapa pria di depannya, mata Lucia membesar."Kau ... kenapa bisa ada di sini?"Pria itu tersenyum ke arah Lucia lalu berkata, "Hai, Lucia, lama tidak bertemu."Lucia tertegun sebentar lalu membalas sapaan pria itu dengan wajah canggungnya. Pria itu adalah tuan muda dari keluarga Farez. Namanya Julian Farez, Lucia dan Julian dulunya berteman dekat, tapi mereka harus terpisah karena Julian pindah ke kota lain yang jauh dari kota Y."Bagaimana kabarmu?" Julian bertanya dengan ramah dan lembut. Sikapnya masih seperti dulu, ketika mereka masih dekat.Dengan perasaan canggung Lucia menjawab dengan nada rendah. "Baik."Entah mengapa 3 tahun tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Julian membuat Lucia menjadi canggung, padahal dulunya mereka dekat. Meskipun dulunya mereka jarang bertemu karena jarak, tapi Julian sering menemui Lucia jika dia sedang berada di kota Y."Kapan kau kembali? Aku dengar kau pergi keluar negeri 3 tahun yang lalu."Teringat kembali kejadian 3 tahun yang lalu, Lucia jadi merasa malu. Waktu it
“Dean lihat, aku bawa siapa?”Seketika orang yang ada di ruangan itu menatap ke arah Victor secara bersamaan, termasuk Dean yang sedang duduk di sofa paling ujung dengan pencahayaan yang sedikit redup."Aku membawa Lucia." Pandangan semua orang pun tertuju pada wanita yang berada di belakang Victor ketika pria itu menggeser tubuhnya ke samping kanan. Suasana langsung hening saat melihat wanita yang dimaksud oleh Victor adalah Lucia. Ketika tatapan Lucia dan Dean bertabrakan, ada sedikit riak di netra hitam milik Dean. Sepertinya dia sedikit terkejut melihat keberadaan Lucia di club itu. Keduanya saling menatap selama beberapa detik sebelum akhirnya Dean menarik pandangannya dengan wajah tak acuh."Aku tidak sengaja bertemu dengannya jadi aku membawanya ke sini."Di dalam ruangan itu, tidak hanya ada Dean, ada dua pria lagi di dalam sana yaitu Peter dan juga Fandy, anak dari pemilik dari club malam itu. Club tersebut d
“Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Victor saat melihat wajah panik Lucia. Bukannya menjawab, Lucia justru meraih tasnya, kemudian berdiri. "Kita bicara lagi lain kali, aku harus pergi." Sebelum sempat dicegah oleh Victor, Lucia sudah lebih dulu berjalan keluar dari ruangan tersebut. Fandy pun langsung memarahi temannya dengan wajah kesal setelah kepergiaan Lucia. “Victor, apa kau sudah gila? Bukankah kau sudah tahu kalau Dean tidak ingin melihat Lucia lagi, kenapa kau justru membawanya ke sini?” Setelah Fandy mengatakan itu, Victor melirik pada Dean yang nampak yang duduk yang sedang menggoyangkan gelas yang berisi minuman alkohol, tatapannya tertuju ke depan dengan punggung yang bersandar di sofa. “Benar, kau ini sebenarnya berpihak pada siapa? Dia sudah menghianati Dean dengan tidur dengan pria lain, kau masih berani membawanya ke sini, kau ingin cari mati?” Peter ikut menimpali ucapan Fandy karena merasa kesal dengan tindakan Victor. “Aku hanya ingin mengobrol dengannya. Masa
Lucia bergegas masuk ke dalam rumahnya setelah membuka pintu untuk mencari ibunya. Saat memasuki ruangan keluarga, Lucia bertemu dengan Bibi Nan, dia pun langsung bertanya di mana keberadaan ibunya."Nyonya sedang berada di ruangan kerja, Nona."Lucia memutar tubuhnya lantas melangkah menuju ruangan kerja ayahnya yang letaknya tidak jauh dari kamar kedua orang tuanya. "Bu, di mana mereka?" Lucia langsung melontarkan pertanyaan pada Nyonya Helia ketika melihat ibunya sedang mencari sesuatu di laci meja kerja ayahnya."Mereka baru saja pulang." Lucia menghela napas kasar. Padahal, dia sengaja pulang cepat supaya bisa bertemu dengan mereka, tapi ternyata mereka sudah pergi sesaat sebelum dia tiba."Kenapa ibu tidak menahannya?" Lucia melangkah ke depan, berdiri tepat di depan meja kerja ayahnya. "Sudah, tapi mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi."Melihat ibunya mencari sesuatu dengan gusar, Lucia kembali bertanya padanya, "Bu, apa yang sedang kau cari?"Nyonya Helia menghentikan
Setelah keluar dari lift, Lucia pergi ke bagian administrasi khusus rawat inap, dia berniat untuk meminta rincian biaya rumah sakit ayahnya. Dia harus bisa memperkirakan berapa biaya yang harus dia keluarkan untuk pengobatan ayahnya. Karena saat ini kondisi keuangan keluarganya sedang tidak baik, jadi Lucia berniat menggunakan gajinya untuk membayar semuanya. Sebenarnya, ibunya sudah mengatakan kalau dia masih memiliki uang simpanan untuk biaya rumah sakit ayahnya, tapi Lucia tidak ingin ibunya menggunakan uang itu. "Ini rincian biaya sementara sampai hari ini." Lucia meraih kertas tersebut lalu membacanya dengan seksama. Wajahnya nampak murung setelah melihat nominal yang tertera di kertas itu. Ternyata biaya rumah sakit itu cukup besar. Ayahnya sudah berada di rumah sakit selama 10 hari. Jadi, wajar saja jika biayanya besar, apalagi ruangan yang ditempat ayahnya cukup mahal. Dia bukannya tidak memiliki uang, Dia punya tabungan, tapi dia berencana untuk menggunakan uang itu memba
"Ayah, apa kau sudah siap?" Lucia menghampiri ayahnya yang sedang berbaring di ranjang pasein. Setelah selesai berbicara dengan Renata, Lucia kembali ke ruangan ayahnya. Renata tidak ikut menjenguk ayah Lucia karena dia masih harus bekerja. Dia sengaja izin sebentar hanya untuk berbicara dengan Lucia. Dia berjanji akan menemui Lucia lagi saat akhir pekan ketika dia libur bekerja. "Sudah." Lucia membantu ayahnya untuk turun dari ranjang dan berpidah duduk di kursi roda. Sebenarnya kondisi ayahnya sudah lebih baik, hanya saja, ayahnya belum bisa berjalan dikarenakan kaki kirinya mengalami kelumpuhan mendadak setelah terjatuh di kamar mandi. Dokter mengatakan ada masalah di bagian otaknya. Itulah sebabnya ayahnya mengalami kelumpuhan disalah satu bagian tubuhnya. Hari ini, rencana akan melakukan pemeriksaan kepala kembali, jika tidak ada masalah serius, maka ayah Lucia akan diperbolehkan pulang. Setelah ayahnya berpindah ke kursi roda, Lucia mendorognya keluar ruangan menuju lantai
Dean menatap Tuan Federick sebentar, kemudian berkata, "Kakek, kamu terlalu banyak berpikir. Alasanku menolak menikah cepat bukan seperti yang Kakek katakan. Dia sudah tidak berarti apa-apa bagiku."Usai mengatakan itu, Dean keluar dari ruangan itu. Asistennya pun mengikuti langkahnya ke arah lift."Bocah itu, selalu saja berhasil membuat tekanan darahku naik. Aku sungguh tidak tahu apa yang ada di pikirannya," ucap kakek Dean seraya menggelengkan kepalanya dengan wajah frustasi. "Sudah benar saat itu memilih Lucia, tapi dia dengan bodohnya membatalkan pernikahannya."Nyonya Sheema menghela napas pelan mendengar penuturan suaminya. Awalnya, dia juga merasa kecewa dengan batalnya pernikahan Dean dan Lucia. Namun, saat mengetahui skandal vidio itu, dia merasa kalau Lucia juga bersalah pada Dean. Jadi, dia tidak bisa menyalahkah tindakan cucunya."Kau jangan memarahinya terus. Lagi pula, Lucia sudah mengkhianati Dean. Wajar kalau dia membatalkan pernikahan mereka," sahut Nyonya Sheema lem
"Kalian pergilah ke lantai bawah. Aku ingin bicara hal penting dengan calon cucu menantuku." Tuan Federick mengusir dua orang pengawal yang sejak tadi mengikutinya. Saat ini, mereka sedang berdiri di dekat lift lantai 10. Sementara Lucia berdiri tidak jauh dari ruangan Nyonya Sheema. Kakek Dean sengaja menyuruh Lucia untuk menunggu di sana karena ingin berbicara dengan pengawalnya dulu. "Maaf, Tuan Besar, Tuan Dean melarang—" "Kalian tunggu saja di lift bawah, beritahu aku jika Dean sudah tiba di rumah sakit." Tuan Fedrick tahu, kalau cucunya itu pasti akan marah, jika dia bertemu dengan Lucia diam-diam. Dean sudah pernah memperingatkan kakeknya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusannya dan Lucia. "Tuan Besar, bagaimana kalau tuan Dean tahu. Kami tidak akan bisa menanggung kemarahannya." Meskipun Tuan Fedrick masih memiliki pengaruh besar di keluarga Anderson, tapi pengawal itu di pekerjakan oleh Dean untuk menjaga kakeknya, tentu saja mereka lebih takut pada Dean. "Dean tid
"Bernice, maafkan aku. Aku tidak bisa menepati janjiku untuk membawa Jensen." Lucia memeluk adik Dean dengan mata yang memerah. Setelah pulang dari pusat perbelanjaan, Lucia langsung meminta Dean untuk mengantarnya ke rumah sakit tempat Bernice dirawat. Setelah itu, Dean mengantar ibunya untuk pulang ke apartemen. Jadi saat ini, mereka hanya berdua. "Jensen tidak akan kembali. Dia sudah memiliki kehidupan baru dengan orang lain. Tolong relakan dia. Aku yakin suatu saat nanti, kau akan menemukan pria yang tulus mencintaimu," ucap Lucia dengan suara bergetar. "Kau bisa melampiaskan kemarahanmu padaku, kapan pun kau mau. Aku berjanji akan menebus kesalahan kakakku seumur hidupku." Lucia tidak bisa lagi membendung air mata yang sejak tadi dia berusaha tahan. Tubuh bergetar, karena berusaha meredam suara tangisnya. "Akan kulakukan apa pun demi kesembuhanmu." Hening selama beberapa saat. Setelah itu, tiba-tiba saja Lucia mendengar suara lirih Bernice, "Kak, aku mau pulang." Lucia langs
"Lucia, aku ke toilet dulu," kata Dean sambil berdiri. "Kau tunggu di sini dulu." "Baiklah." Saat ini, mereka sedang berada di restoran yang ada di pusat perbelanjaan di kota Bristol. Mereka baru saja dari rumah sakit sebelum ke sana. Rencananya mereka akan kembali ke kota Y tiga hari lagi. Itu sebabnya, mereka ke rumah sakit untuk berkonsultasi dengan Dokter kandungan sekaligus meminta surat izin untuk melakukan penerbangan jarak jauh. Untuk pulang ke negaranya, Dean sengaja menyewa seorang Dokter Kandungan selama mereka melakukan penerbangan, karena takut terjadi apa-apa dengan istrinya selama penerbangan. Beruntung Dean menggunakan jet pribadi. Jadi, segala sesuatunya sudah diurus sedemikian rupa demi kenyaman Lucia selama penerbangan. Sudah 4 hari Dean berada di Bristol. Jadi, dia harus segera kembali ke kota Y, dikarenakan banyak pekerjaan yang sudah menunggunya. Sebenarnya, Lucia masih ingin di Bristol menemani Bernice dan ibu mertuanya. Hanya saja, Dean melarangnya, karena
"Kau yakin tidak mau dirawat?" tanya Dean setelah keluar dari ruangan Dokter Kandungan. Mereka baru saja selesai memeriksakan kehamilan Lucia. Setelah istrinya bangun dan selesai sarapan, Dean langsung mengajaknya ke rumah sakit. Dia sangat khawatir dengan kondisi janin dalam perut istrinya, mengingat bagaimana semalam dia menggempur istrinya. Selain itu juga, Lucia belum pernah memeriksakan lagi kehamilannya semenjak mengetahui dirinya hamil seminggu yang lalu. Itu sebabnya, dia mengajak istrinya untuk memeriksakan kondisi kehamilannya. Lucia yang juga ingin tahu tentang janin dalam kandunganya, tidak menolak ketika Dean mengajaknya untuk ke rumah sakit. Lagi pula, dia memang sengaja menunggu Dean karena ingin memeriksakan kehamilannya bersama suaminya. "Aku baik-baik saja, Dean. Kau dengar sendiri bukan apa yang dikatakan oleh Dokter tadi?" Dean mengangguk ringan, kemudian tersenyum tipis. Setelah mengetahui tidak terjadi apa-apa dengan kandungan istrinya, dia baru bisa bernapas
"Bu, di mana istriku?" Dean bertanya sembari berjalan mendekati ibunya yang sedang duduk di sofa ruangan keluarga. Dean baru saja tiba di apartemen yang disewa ibunya selama tinggal di Bristol. "Dia di kamarnya," jawab Nyonya Arnetta. "Kenapa kau baru ke sini?"Dean menggulung lengan kemejanya setelah itu berkata, "Ada sedikit masalah di perusahaan. Jadi, terpaksa aku memundurkan penerbanganku.""Istrimu sudah menunggumu sejak dua hari yang lalu. Kasihan dia kecewa saat tahu kau tidak jadi ke sini. Sudah dua hari ini dia nampak sedih dan lesu."Dean sedikit terkejut mendengar itu. Pasalnya, setiap berkomunikasi dengan istrinya, Lucia tidak pernah menampilkan raut wajah sedih dan kecewa. "Apa dia sedang sakit?""Dia sedang tidak enak badan. Sejak kemarin dia—"Belum usai ibunya bicara, Dean langsung memotongnya setelah mendengar istrinya tidak enak badan. "Aku akan menemuinya.""Dean istrimu sedang ..."Dean bergegas menuju kamar yang ditempati Lucia tanpa menunggu penjelasan lengkap
"Di mana Carissa?" tanya Dean setelah asistennya masuk ke ruangan kerjanya."Sedang dalam perjalanan, Tuan.""Lalu Rebecca?""Sudah di tempat yang Tuan perintahkan."Dean berpikir sebentar, lalu berkata, "Tunggu di bawah. Aku hubungi istriku dulu."Nolan menjawab seraya mengangguk, kemudian keluar dari ruangan itu."Sayang, kau sedang apa?" tanya Dean setelah panggilan telponnya tersambung. "Baru selesai makan. Kau kapan ke sini?" Terdengar suara Lucia di ujung telpon."Belum tahu. Pekerjaanku masih banyak."Tidak terdengar apa pun di sebrang sana, hingga Dean kembali membuka suaranya, "Kenapa? Sudah merindukan aku?""Bekerjalah, aku tutup dulu telponnya."Tahu kalau istrinya sedang marah, Dean segera berbicara, "Aku akan ke sana lusa.""Benarkah?" Suara Lucia terdengar antusias, tidak lesu seperti sebelumnya. "Kau tidak berbohong, kan?""Tidak. Setelah urusanku selesai. Aku akan langsung terbang ke sana."Lucia terdengar memekik kegirangan. Sepertinya dia merasa sangat senang saat t
"Sayang, makanlah. Ini sudah sore." Dean sedang berusaha membujuk istrinya untuk makan, karena sejak pulang dari rumah sakit, Lucia langsung mengurung diri kamar hotel. Dia terus berbaring sambil melamun.Sudah berkali-kali Dean mengajaknya untuk makan, tapi Lucia menolak. Alasannya, karena dia tidak selera makan. Akhirnya Dean membiarkan istrinya untuk sendiri dulu. Dia tahu kalau istrinya itu masih terkejut dengan dengan kondisi Bernice. Jadi, butuh waktu untuk menerima kenyataan yang ada."Aku belum lapar," jawab Lucia tanpa menoleh pada Dean. Lucia nampak sedang duduk di dekat dinding kaca kamarnya sembari menatap ke luar dengan tatapan kosong.Dean akhirnya menghampiri istrinya setelah meletakkan makanan yang tadi baru saja diambil dari atas nakas. "Tapi, kau harus tetap makan. Aku tidak mau kau sakit."Lucia memutar tubuhnya ke samping setelah suaminya berdiri tepat di sampingnya. "Nanti aku akan makan jika sudah lapar."Kau masih memikirkan Bernice?”Lucia mengangguk dengan waj
"Jangan terlalu dipikirkan. Aku akan meminta orang untuk mencarinya lagi." Dean akhirnya angkat bicara setelah melihat istrinya sejak tadi diam saja. Saat ini, mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit tempat Bernice dirawat. Semenjak tidak berhasil mengikuti mobil hitam yang diduga dinaiki Jensen, Lucia menjandi murung. Entah apa yang ada di pikirannya, tapi dia lebih banyak diam sejak kemarin."Kita pasti bisa menemukannya. Jangan cemas lagi," ujar Dean sembari menatap istrinya yang duduk di sebelahnya."Aku tidak mencemaskannya, tapi aku marah padanya." Suara Lucia mulai terdengar bergetar. "Bagaimana bisa dia hidup tanpa beban setelah menghancurkan hidup Bernice." Mata Lucia pun mulai berkaca-kaca, dan tidak lama setelahnya, air matanya pun luruh begitu saja. Entah kenapa, belakangan ini, dia merasa sangat sensitif. Mudah sekali menangis. Padahal, dulu dia tidak begitu."Jika dia tidak peduli denganku, aku masih bisa memakluminya, tapi aku tidak bisa memaafkannya, karena
"Kenapa tidak tidur?" tanya Dean lembut usai menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. "Tidak mengantuk?"Lucia menggeleng pelan seraya memainkan jemari tangannya di dada suaminya. Saat ini, dia sedang berbaring miring dengan kepala yang berada di lengan suaminya. Sementara itu, ada tangan Dean melingkar di pinggangnya."Tidur sebentar. Setelah itu kita makan di bawah."Bagaimanapun, mereka belum istirahat. Dia langsung mengajak istrinya ke rumah sakit tempat adiknya dirawat, setelah tiba di Bristol. Setelah itu, baru membawanya ke hotel. Bukannya membiarkan istrinya istirahat, dia justru menghajar istrinya tanpa ampun. Jadi, dia takut istrinya lelah."Aku tidak mengantuk."Lucia sudah lama tidur di pesawat. Jadi, wajar saja kalau tidak mengantuk. Meskipun dia merasa tubuhnya pegal, tapi matanya tidak mau terpejam."Tidak lelah?" tanya Dean seraya menunduk ke bawah untuk melihat wajah istrinya. "Tidak."Tidak?Dean nampak mengerutkan keningnya. Istrinya terlalu tanggguh atau sta
Lucia mengurai pelukan Dean, mendongakkan kepada hingga netranya bertabrakan dengan mata hitam Dean. "Kau belum menjelaskan mengenai pertemuanmu dengan Carissa. Kenapa kau sering sekali bertemu dengannya di hotel berbeda?"Bukannya menjawab pertanyaan Lucia, Dean justru menarik senyuman sangat tipis di bibirnya, kemudian menggodan Lucia. "Kau sungguh berpikir aku memiliki hubungan dengan Carissa?""Sudahlah. Percuma saja bertanya padamu." Wajah Lucia nampak cemberut, dia mendorong dada suaminya dengan pelan. Saat dia akan bangkit, tangan Dean langsung menahan pinggangnya."Mau ke mana?""Tidak ke mana-mana," jawan Lucia acuh tak acuh."Masih cemburu dengannya?" tanya Dean seraya mengamati eskpresi istrinya. Tatapannya begitu lekat hingga membuat Lucia menjadi salah tingkah.Melihat Lucia bungkam, Dean kembali tersenyum tipis. "Aku tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Carissa. Aku bertemu dengannya, karena ada hal penting yang harus aku bicarakan dengannya.""Hal penting apa?"Dean m