Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya.
Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut.
'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?'
Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu.
'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah di rumah sakit!'
Edward mengangguk, "Terimakasih karena menolongku Javier, aku akan membalas ini nanti" ujar Edward berterimakasih pada Javier.
'Tidak masalah bagiku Ed, tapi sungguh tidak ada yang aneh dengan wanita itu Ed? Kamu bisa menukarnya dengan wanita cantik lainnya di tempatku jika kamu bosan dengannya, jangan sampai dia yang memanfaatkanmu Ed!'
Edward terkekeh pelan, "semuanya Aman, aku pastikan dia tidak akan bisa memanfaatkanku Javier aku lah yang akan memanfaatkan tubuhnya,"
'Baiklah kalau begitu, aku pergi Ed, Ibumu terus memberiku pesan agar memastikan kamu datang ke pesta ulang tahunnya! Pergilah Ed!' beritahu Javier yang kemudian mematikan sambungan teleponnya dengan Edward.
Edward mendengus geli dan kembali menyimpan ponselnya ke dalam saku celana bahannya, ia membuka pintu apartemennya, nyaris saja ia terjatuh karena kehilangan keseimbangan, namun datang dari mana sosok Maura telah berdiri di dekatnya dan menahan lengannya.
"Kamu baik-baik saja Tuan?" Edward menaikan pandangannya dan melihat sosok Maura yang mengenakan pakaian minim dan tipis namun tertutup oleh apron.
"Kamu tidak pulang dua hari, dan aku juga selalu memasak karena tidak tau kapan kamu akan pulang, belum lagi, kamu tidak memberiku pesan apapun Tuan, namun untunglah aku baru saja selesai memasak makan malam," beritahu Maura dengan senyum tipisnya.
"Pakainmu?" bisik Edward mengomentari pakaian yang Maura kenakan.
Wajah Maura perlahan memerah, padahal berusaha keras ia bersiap diri jika Edward bertanya mengenai pakaiannya tersebut.
"Aku belum percaya diri untuk melepas seluruh pakaian ini dan hanya menyisakan apron ini padamu Tuan! Jadi aku masih menyesuaikan janjiku Tuan!" ujar Maura dengan kedua mata yang terpejam erat, wanita itu sungguh malu saat ini.
Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring. "Aku menyukainya!" desah Edward dan tangannya bermain di tali apron yang mengikat di pinggang Maura.
"Tapi sayangnya, saat ini kita tidak bisa melakukannya, kamu pergi ke kamar dan berganti baju, berdandanlah, aku ingin mengajakmu pergi ke luar, dua jam lagi aku tunggu di sofa sana!" tunjuk Edward pada sofa di depan ruang tv, kemudian pria itu melepas pinggang Maura dan berjalan ke kamarnya setelah melepas sepatunya, meninggalkan Maura yang berdiri bingung akan ucapan Edward.
Sungguhkah pria itu akan mengajaknya pergi ke luar?
***
Maura bingung ingin mengenakan pakaian apa, banyak pakaian yang Edward belikan untuknya, namun ia tidak tau Edward akan membawanya kemana, ia hanya takut pakaian yang dipilihnya tidak sesuai dengan tempat yang akan mereka datangi.
"Sebenarnya kemana dia akan membawaku pergi?" gumam Maura menatap pada pakaian yang menggantung di lemarinya.
"Ah sudahlah, aku hanya perlu berpakaian yang rapih!" bisiknya mengambil asal gaun simple di lemarinya untuk ia kenakan.
Sementara di luar kamar, sosok Edward sudah duduk bersandar di atas sofa, pria itu terus saja memijat keningnya yang berdenyut. Ia ingin sekali beristirahat di kamar jika saja ia tak memiliki janji dengan Emily.
Dia tak mau membuat wanita itu kecewa dan marah jika putra satu-satunya ini tidak hadir di pesta ulangtahunnya.
Bahkan demi memastikan Edward hadir, Emily selalu memberinya pesan peringatan untuk bisa hadir, bahkan mengatakan ia memiliki kejutan besar untuknya di pesta tersebut, yang sama sekali tak Edward minati.
"Aku sudah siap," ujar suara Maura dari arah samping Edward.
Edward memalingkan wajahnya ke sumber suara, dan menatap sosok Maura yang telah rapih dengan gaun simpel pemberiannya itu. Wajahnya yang biasa pucat kini dirias oleh make up tipisnya.
Penampilan Maura sederhana, namun Edward tak mau mengelak bahwa wanita itu kini terlihat sangat cantik.
Edward mengembangkan senyumnya puas, "kita berangkat sekarang!" ujar Edward mencoba bangkit dari posisi duduknya, namun ia terhuyung karena kepalanya yang mendadak berputar.
"Kamu baik-baik saja? Sepertinya kesehatanmu sedang tidak baik, wajahmu pucat Tuan, sungguhkah kamu ingin keluar sekarang?" tanya Maura memapah Edward untuk kembali duduk di atas sofa.
Tubuh pria itu panas, dan Edward segera menyandarkaan tubuhnya pada sandaran sofa, "aku baik-baik saja! Kita harus pergi sekarang!" Edward memaksakan dirinya untuk bangkit.
Setidaknya Emily harus melihat kehadirannya meski hanya sebentar!
***
Syukurlah Edward bisa mengendarai mobilnya tanpa berbuat kesalahan, meski kepalanya tengah berdenyut sakit dan tubuhnya terasa begitu lemas, namun Edward akan menampilkan diri di depan Emily bahwa dia sedang baik-baik saja.
Maura menatap penuh tatapan takjub pada bangunan besar di depannya, melihat rumah dengan bangunan besar nan indah ini mengingatkan dia saat Dery membawanya ke tempat pelacuran milik Javier.
Maura ingin membuka bibir dan bertanya, namun kedua matanya menangkap tubuh seseorang yang mendekat ke arah mobil Edward.
Pria itu, Maura mengenalnya. Perlahan wajah Maura terlihat pucat, pria yang mendekat itu adalah Javier, sangat tidak mungkin Maura melupakan wajah itu.
Dengan gerak cepat Maura memalingkan wajahnya pada Edward yang tengah menyandarkan keningnya pada setir kemudi di hadapannya, apakah mungkin Edward ingin membuangnya kembali ke Javier?! Pada pria itu yang memiliki rumah bordil yang begitu besar?
Atau mungkin rumah besar ini salah satu tempat Javier juga?
Entah mengapa hati Maura kini terasa sesak.
"Apa maksud kamu membawaku ke tempat ini? Apakah ini balasan kamu atas permohonanku? Aku memintamu melunasi hutang suamiku, dan kamu kembali menyerahkanku pada pria itu?" ujar Maura dengan suara bergetar menahan rasa pedih hatinya.
Dengan enggan Edward mengangkat wajahnya dan kemudian ia terkejut melihat wajah Maura yang memerah menahan tangis, "apa maksud ucapanmu itu?" tanya Edward meminta kejelasan atas ucapan Maura yang tak ia mengerti.
"Dia-" ucapan Maura tertahan saat ada ketukan dari jendela mobil di sebelah Edward, kening Edward berkerut dan ia tersenyum miring melihat sahabatnya lah yang menginterupsi pembicaraanya dengan Maura ini.
Edward kemudian membuka jendela kacanya, menampilkan wajah Javier dengan senyum pongahnya itu, wajah Maura menunduk dalam, wanita itu tidak mau menatap wajah Javier yang terkekeh geli melihat tingkahnya.
Edward kemudian baru mengerti akan ucapan Maura tadi, ia melirik bagaimana wanita itu mengcengkeram erat gaun di bagian bawahnya, membuat ia mendengus geli.
"Aku pikir kamu tidak akan datang, Nyonya Emily terus memberondongiku dengan berbagai pertanyaan akan dirimu! Dia pikir aku ini kekasihmu yang selalu tau dimana kamu berada," kekeh Javier pada Edward.
"Aku baru akan turun," balas Edward, kemudian menguatkan dirinya sebelum membuka sabuk pengaman yang masih mengikat tubuhnya. Namun saat ia menoleh ke Maura, keningnya justru berkerut lebar, kepala wanita itu tertunduk dalam, dan jika diliat seksama, tubuh Maura bergetar takut, dan jelas Edward tau apa yang mempengaruhi Maura.
"Hai, kamu tidak ingin menyapaku?" kekeh Javier menyadari tingkah laku Maura.
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku
Jika dulu jam pulang adalah hal yang tidak pernah Edward nantikan datangnya, namun beberapa hari ini dia yang justru menantikan jam pulang tiba. Dulu tak ada siapapun yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah, namun sekarang setiap dia pulang dari kantor, ada Maura yang sudah menunggunya dengan hidangan buatan wanita itu yang tak pernah bosan Edward puji karena rasanya yang sangat cocok di lidahnya. Semenjak Maura melepas batas di antara mereka, wanita itu tak hanya berperan sebagai seorang pelacur yang Edward beli dari rumah bordil. Namun juga berperan seolah wanita itu adalah pelayan pribadinya, yang mengurus semua tentang penthousenya. Lebih tepatnya, Maura sudah seperti istrinya sendiri, yang selalu siap sedia kala ia butuh sosok wanita itu di atas ranjangnya, dan akan melayaninya ketika dia lapar dan juga Maura sudah lebih nyaman ketika Edward ajak bicara. Edward sendiri juga tak pernah pulang terlambat lagi, setiap kali sudah memasuki jam pulang kantor, dirinya pasti akan p
"Kamu kenal anak ini, Edward, dulu dia satu sekolah denganmu," ujar Emily menunjukan sebuah foto di ponselnya pada Edward. Pria yang duduk di dekat Mamahnya itu ikut melihat ke dalam ponsel Emily, melihat sosok wanita yang terlihat seperti tengah mengikuti ajang kecantikan dunia. Edward mengakui jika wanita di foto tersebut memang cantik, namun karena banyaknya wanita cantik yang sering hadir di hidupnya, ia merasa hambar melihatnya. "Namanya Gisella, apa kamu ingat?" tanya Emily dengan kedua mata berbinar padanya. Edward mengerutkan alisnya bingung, sejak ia masuk SMP dan SMA sudah banyak sekali wanita yang menempelinya, dan jelas ia tidak ingat semua nama serta rupanya, karena bukan wanita dari kelasnya saja namun dari kelas lain juga. "Entahlah, tidak sepertinya," jawab Edward seadanya membuat Emily mendesahkan napasnya lelah. "Ck! Tapi dia cantik 'kan, Ed? Kamu suka 'kan? Kamu terima dia untuk jadi istri kamu 'kan?" berondong Emily pada Edward yang dijawab dengusan geli ole
"Menurutmu bagaimana kehidupan setelah menikah?" tanya Edward pada Maura, di mana tangan pria itu bergerak abstrak di atas perut telanjang Maura.Maura yang mendengar itu lansung membuka lebar kedua matanya, untunglah dia membelakangi Edward, jadi pria itu tak bisa melihat ekspresi terkejutnya."Kenapa tanya begitu?" tanya Maura yang tak menjawab tanya Edward barusan namun justru melempar tanya kembali."Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menikah itu?" ujar Edward lagi, kemudian mendekap erat tubuh Maura di depannya yang membelakanginya.Maura meringis pelan "jika kamu menikah dengan orang yang kamu cinta kamu pasti akan bahagia ..." jeda sejenak, kedua matanya seolah menerawang ke depan "tidak, tidak aku salah, tidak menjamin bahagia jika hanya menikah dengan orang yang kamu cinta, tapi dengan orang yang tepat" lirihnya pelan, membicarakan ini jelas membuat Maura kembali teringat Deri, sang suami yang entah sedang melakukan apa sekarang, bahagiakah dengan uang yang dia punya?Den
Emily tak henti melirik ke arah pintu masuk restoran, sungguh dirinya gelisah karena sosok yang ditunggu tak kunjung datang, sementara sebentar lagi kedua orangtua Gisel dan wanita itu akan tiba."Edward! Dimana anak itu?!" desahnya lelah, yang kemudian kembali ia ambil ponselnya untuk menghubungi putranya itu.Padahal sudah banyak pesan dan panggilan masuk yang Emily lakukan pada ponsel putranya, tapi tak ada satu dari semua pesan itu yang Edward jawab dan balas.Emily khawatir jika Edward tidak datang ke pertemuan ini.Sampai akhirnya Edward masih belum datang padahal Gisella dan kedua orangtua wanita itu sudah lebih dulu datang ke pertemuan mereka yang direncanakan secara mendadak.Emily mencoba memasang wajah baik-baik saja dan tidak terlihat gelisah karena Edward tak kunjung datang ke pertemuan ini."Tante, Edwardnya mana?" Tanya itu dilayangkan Gisel pada Emily saat wanita muda itu tak menemukan sosok Edward di sekitarnya."Maaf ya Gisel, sepertinya Edward akan datang terlambat,
Setelah sarapan yang merangkap makan siang di sebuah hotel berbintang nan mewah, rupanya perjalanan Edward yang membawa Maura belum juga usai. Pria itu masih merasakan perasaan bersalah pada Maura atas kata-kata yang ia lontarkan malam tadi. "Lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Maura mengikuti Edward yang berjalan di depannya. Edward menghentikan langkah kakinya, pria itu berbalik pada Maura "kamu pernah bilang, semua gaun yang aku beri membuat kamu tidak nyaman saat memakainya, bukan?" tanya Edward yang diangguki pelan oleh Maura. "Bukan begitu, tapi jika hanya untuk di rumah, aku biasa memakai kaus dan celana, itu lebih nyaman," ucapnya cepat, karena Maura tidak mau Edwad salah paham dan menganggap ia tidak senang dengan semua pemberian Edward. Bibir Edward menyeringai, "tapi bukankah tak memakai apapun lebih nyaman?" bisiknya di dekat telinga Maura yang berhasil mencipta rona merah di pipinya. "Ayo, hari ini aku akan membelikan seluruh baju yang kamu inginkan, barang, atau
"Apa maksudnya ini Mas?!" Maura tak bisa menahan buliran air matanya, baru saja ia mendengar pernyataan yang begitu kejam dan jahat dari sang suami untuknya. "Maaf Maura, aku butuh uang, hanya ini jalan terakhir yang bisa menolongku." Maura membekap wajahnya, lututnya goyah dan ia bersimpuh di dekat sang suami yang kian merasakan perasaan bersalah pada istrinya itu. "Tapi apa harus menjualku Mas?! Tega! Kamu sangat jahat!!" jerit itu mengalun di tengah heningnya malam. "Maura dengar..." Deri menggenggam kedua tangan Maura, pria itu ikut bersimpuh di depan Maura yang menangis di bawahnya. "Aku janji, aku akan menebus kamu setelah semua hutangku lunas, aku akan mencari berbagai cara agar kamu bisa bebas!" "Berbagai cara?!" Pandangan Maura terangkat dan menatap tajam pada Deri yang kedua matanya berkaca bingung dan merasa bersalah pada sang istri yang terlihat sangat kacau dan berantakan. "Cara apa lagi?! Sekarang saja kamu berani menjual aku ke rumah bordil!" Amuk Maura memukulk
"Aku sudah tiba di depan! Ku beritahu padamu Javier! Aku sungguh tidak tertarik pada pelacurmu! Yang terakhir kalinya wanita itu meminta hubungan lebih padaku, dan dia bahkan mencuri barang-barangku, aku tidak peduli berapa banyak yang ia ambil, namun aku membenci kelakuannya itu!" 'Tenanglah Edward, aku menyuruhmu datang bukan untuk melihat-lihat koleksiku, meski hari ini akan ada beberapa wanita baru yang masuk ke tempatku. Tapi jika kamu sedang tidak tertarik, aku tidak akan memaksa. Aku memintamu datang untuk menemaniku minum-minum, sepertinya aku sedang patah hati karena cintaku ditolak.' Edward mendengus geli dan mengangguk singkat, mematikan mesin mobilnya yang masih menyala. "Baiklah, aku datang!" Edward mematikan sambungan teleponnya dan berjalan masuk ke dalam rumah prostitusi yang dibangun sahabat baiknya ini. Rumah mewah yang jika dilihat dari luar terlihat seperti rumah biasa dan normal pada umumnya. Namun di dalamnya, begitu liar dan bebas. Di lantai satu, ada pes
Setelah sarapan yang merangkap makan siang di sebuah hotel berbintang nan mewah, rupanya perjalanan Edward yang membawa Maura belum juga usai. Pria itu masih merasakan perasaan bersalah pada Maura atas kata-kata yang ia lontarkan malam tadi. "Lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Maura mengikuti Edward yang berjalan di depannya. Edward menghentikan langkah kakinya, pria itu berbalik pada Maura "kamu pernah bilang, semua gaun yang aku beri membuat kamu tidak nyaman saat memakainya, bukan?" tanya Edward yang diangguki pelan oleh Maura. "Bukan begitu, tapi jika hanya untuk di rumah, aku biasa memakai kaus dan celana, itu lebih nyaman," ucapnya cepat, karena Maura tidak mau Edwad salah paham dan menganggap ia tidak senang dengan semua pemberian Edward. Bibir Edward menyeringai, "tapi bukankah tak memakai apapun lebih nyaman?" bisiknya di dekat telinga Maura yang berhasil mencipta rona merah di pipinya. "Ayo, hari ini aku akan membelikan seluruh baju yang kamu inginkan, barang, atau
Emily tak henti melirik ke arah pintu masuk restoran, sungguh dirinya gelisah karena sosok yang ditunggu tak kunjung datang, sementara sebentar lagi kedua orangtua Gisel dan wanita itu akan tiba."Edward! Dimana anak itu?!" desahnya lelah, yang kemudian kembali ia ambil ponselnya untuk menghubungi putranya itu.Padahal sudah banyak pesan dan panggilan masuk yang Emily lakukan pada ponsel putranya, tapi tak ada satu dari semua pesan itu yang Edward jawab dan balas.Emily khawatir jika Edward tidak datang ke pertemuan ini.Sampai akhirnya Edward masih belum datang padahal Gisella dan kedua orangtua wanita itu sudah lebih dulu datang ke pertemuan mereka yang direncanakan secara mendadak.Emily mencoba memasang wajah baik-baik saja dan tidak terlihat gelisah karena Edward tak kunjung datang ke pertemuan ini."Tante, Edwardnya mana?" Tanya itu dilayangkan Gisel pada Emily saat wanita muda itu tak menemukan sosok Edward di sekitarnya."Maaf ya Gisel, sepertinya Edward akan datang terlambat,
"Menurutmu bagaimana kehidupan setelah menikah?" tanya Edward pada Maura, di mana tangan pria itu bergerak abstrak di atas perut telanjang Maura.Maura yang mendengar itu lansung membuka lebar kedua matanya, untunglah dia membelakangi Edward, jadi pria itu tak bisa melihat ekspresi terkejutnya."Kenapa tanya begitu?" tanya Maura yang tak menjawab tanya Edward barusan namun justru melempar tanya kembali."Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menikah itu?" ujar Edward lagi, kemudian mendekap erat tubuh Maura di depannya yang membelakanginya.Maura meringis pelan "jika kamu menikah dengan orang yang kamu cinta kamu pasti akan bahagia ..." jeda sejenak, kedua matanya seolah menerawang ke depan "tidak, tidak aku salah, tidak menjamin bahagia jika hanya menikah dengan orang yang kamu cinta, tapi dengan orang yang tepat" lirihnya pelan, membicarakan ini jelas membuat Maura kembali teringat Deri, sang suami yang entah sedang melakukan apa sekarang, bahagiakah dengan uang yang dia punya?Den
"Kamu kenal anak ini, Edward, dulu dia satu sekolah denganmu," ujar Emily menunjukan sebuah foto di ponselnya pada Edward. Pria yang duduk di dekat Mamahnya itu ikut melihat ke dalam ponsel Emily, melihat sosok wanita yang terlihat seperti tengah mengikuti ajang kecantikan dunia. Edward mengakui jika wanita di foto tersebut memang cantik, namun karena banyaknya wanita cantik yang sering hadir di hidupnya, ia merasa hambar melihatnya. "Namanya Gisella, apa kamu ingat?" tanya Emily dengan kedua mata berbinar padanya. Edward mengerutkan alisnya bingung, sejak ia masuk SMP dan SMA sudah banyak sekali wanita yang menempelinya, dan jelas ia tidak ingat semua nama serta rupanya, karena bukan wanita dari kelasnya saja namun dari kelas lain juga. "Entahlah, tidak sepertinya," jawab Edward seadanya membuat Emily mendesahkan napasnya lelah. "Ck! Tapi dia cantik 'kan, Ed? Kamu suka 'kan? Kamu terima dia untuk jadi istri kamu 'kan?" berondong Emily pada Edward yang dijawab dengusan geli ole
Jika dulu jam pulang adalah hal yang tidak pernah Edward nantikan datangnya, namun beberapa hari ini dia yang justru menantikan jam pulang tiba. Dulu tak ada siapapun yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah, namun sekarang setiap dia pulang dari kantor, ada Maura yang sudah menunggunya dengan hidangan buatan wanita itu yang tak pernah bosan Edward puji karena rasanya yang sangat cocok di lidahnya. Semenjak Maura melepas batas di antara mereka, wanita itu tak hanya berperan sebagai seorang pelacur yang Edward beli dari rumah bordil. Namun juga berperan seolah wanita itu adalah pelayan pribadinya, yang mengurus semua tentang penthousenya. Lebih tepatnya, Maura sudah seperti istrinya sendiri, yang selalu siap sedia kala ia butuh sosok wanita itu di atas ranjangnya, dan akan melayaninya ketika dia lapar dan juga Maura sudah lebih nyaman ketika Edward ajak bicara. Edward sendiri juga tak pernah pulang terlambat lagi, setiap kali sudah memasuki jam pulang kantor, dirinya pasti akan p
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku
Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut. 'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?' Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu. 'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah
Edward merasa kepalanya berdenyut pusing, sudah hampir lima hari ia belum pulang ke rumah karena selalu sibuk berpergian untuk membahas kerjasama dan pekerjaan yang tiada habisnya. Padahal tubuhnya sudah merindukan kulit lembut Maura, dan bagaimana janji wanita itu yang akan memasak makan malam untuknya dengan bertelanjang dan hanya ditutup kain apron. Padahal Edward menantikannya, namun ia harus terjebak di kantor karena urusan pekerjaan yang tiada usainya ini. "Pak Ed, baru saja Bu Emily menelepon bahwa beliau akan datang kemari," Edward mengangkat kepalanya dari tulisan-tulisan dokumen yang ada di mejanya pada Alfa, sekertarisnya itu yang mengabari kabar yang sungguh tak mengenakan untuknya. Emily Mamahnya, namun bukan karena kehadiran wanita itu yang membuat perasaan Edward merasa tak enak, melainkan tujuan wanita itu yang datang pasti akan membahas perihal jodoh. "Terimakasih Alfa," ujar Edward pada sang sekertaris yang mengangguk dan kembali keluar dari ruangannya. Edw
Sudah lebih dari satu minggu Maura tinggal di kediaman Edward, menjadi seorang pemuas nafsu bagi pria itu. Meski begitu, Edward membebaskannya, bahkan pintu apartemen pria itu tak dikunci membuatnya sangat mudah untuk melarikan diri. Namun Maura tidak melakukan hal tersebut, kenapa? "Aku tidak pernah mengunci pintu itu, aku membebaskanmu pergi kemanapun, bahkan kabur, jika pengawal yang sudah ku pekerjakan untuk mengawasimu menemukanmu dalam pelarianmu, maka bersiaplah kamu akan diantarnya ke rumah bordil itu. Selagi kamu ingin keluar dan mengatakan tujuanmu padanya, dia akan mengantarkanmu," Itu adalah kalimat yang Edward katakan padanya sebelum pria itu bekerja. Dan tentu saja ucapan Edward tak bisa Maura sepelekan. Ia tak berani menentangnya jika Edward bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Setidaknya Edward masih berbaik hati memberikannya kebebasan, Maura jadi lebih sering keluar meski hanya sebatas ke taman yang berada di belakang gedung apartemen Edward. Seperti saat