"Apa maksudnya ini Mas?!"
Maura tak bisa menahan buliran air matanya, baru saja ia mendengar pernyataan yang begitu kejam dan jahat dari sang suami untuknya. "Maaf Maura, aku butuh uang, hanya ini jalan terakhir yang bisa menolongku." Maura membekap wajahnya, lututnya goyah dan ia bersimpuh di dekat sang suami yang kian merasakan perasaan bersalah pada istrinya itu. "Tapi apa harus menjualku Mas?! Tega! Kamu sangat jahat!!" jerit itu mengalun di tengah heningnya malam. "Maura dengar..." Deri menggenggam kedua tangan Maura, pria itu ikut bersimpuh di depan Maura yang menangis di bawahnya. "Aku janji, aku akan menebus kamu setelah semua hutangku lunas, aku akan mencari berbagai cara agar kamu bisa bebas!" "Berbagai cara?!" Pandangan Maura terangkat dan menatap tajam pada Deri yang kedua matanya berkaca bingung dan merasa bersalah pada sang istri yang terlihat sangat kacau dan berantakan. "Cara apa lagi?! Sekarang saja kamu berani menjual aku ke rumah bordil!" Amuk Maura memukulkan kepalan tangannya pada Deri yang menerima begitu saja. "Akan aku pikirkan-""Tidak! Tidak perlu! Selama ini aku sudah cukup bersabar bertahan denganmu Mas, di saat kamu jatuh dan bangkrut aku masih setia mendukung kamu ... Tapi ini balasan kamu padaku?" Maura memundurkan langkahnya perlahan ke belakang. "Sudah cukup, aku tidak mau pergi ke sana, aku tidak mau lagi ikut campur dengan urusanmu, aku mau pergi!!" Maura menghapus kasar sisa air mata di wajahnya, kemudian berbalik cepat ingin kabur dari suaminya yang ia pikir sudah gila dan sakit jiwa ini. "Maura tolong aku! Jika kamu pergi, kita berdua akan mati! Maura, aku sudah tanda tangan kontrak perjanjian dengan pemilik tempat itu, mereka akan memberikan uang yang banyak untuk melunasi hutang-hutangku ke para rentenir itu. Aku mohon sekali lagi, berkorbanlah untuk aku, suamimu!" Deri menahan lengan Maura saat wanita itu berniat untuk melarikan diri "Maura-"Ucapan Deri terhenti saat mendengar dobrakan kasar dari pintu rumah mereka, dan kemudian menampilkan dua orang laki-laki berbadan besar yang menatap keduanya tajam. "Perjanjiannya kamu yang akan mengantar sendiri wanita ini! Namun sampai malam tiba kamu tidak kunjung datang! Apa kalian berniat kabur?!" "Tidak- Maksudnya aku baru akan mengantar istriku ke sana" Deri menangkap Maura dan membawanya ke dalam pelukannya, menahan Maura yang berontak dan mencoba lepas dari pelukannya. "Mas!!" Maura menjerit tak terima, terlebih bagaimana kedua pria berbadan besar itu tersenyum miring dan membuka jalan. "Bawa ke mobil! Kami sendiri yang akan mengantarnya!" Maura menatap Deri dengan kedua mata berkacanya, berharap pria itu mau menolongnya meski hal tersebut mustahil.Deri sendiri hanya bisa memberikan tatapan tak berdaya nya pada Maura. " Maafkan aku," Bisiknya pelan yang kemudian memberikan ciuman lembut di kening Maura."Aku yang akan mengantarnya, kalian ikuti dari belakang, setidaknya aku mau bersama istriku sebelum kalian membawanya," Tangan Deri meremas lembut bahu Maura yang tubuhnya sudah lemas tak bertenaga.Harapannya agar bisa kabur sudah hancur, Maura berpikir dia tidak akan bisa lari lagi dari takdir buruk yang menimpanya.Di saat seperti ini ia kembali mengingat tentang larangan kedua orangtuanya yang menolak ia untuk menikah dengan Deri dulu.Apa ini doa dari kedua orangtuanya yang mendoakan agar pernikahan hancur berantakan dan membuatnya menyesal serta tersiksa?Sepertinya iya, Maura kini menyesal tak menuruti perkataan kedua orangtuanya yang dulu mungkin memiliki firasat jika Deri bukanlah orang yang baik.Maura dan Deri sudah menikah lebih dari lima tahun, namun keuangan keluarga mereka terus saja menurun karena suaminya sering kali menghabiskan uang itu untuk mabuk dan berjudi.Sementara sudah dua tahun Deri menganggur karena dipecat dari pekerjaannya dan itu membuat Maura harus bekerja untuk menghidupi keluarga mereka."Maaf Maura," Bisikan Deri itu mengembalikan Maura dari lamunannya, pria itu mencium lagi kening Maura sebelum kemudian membawa Maura keluar dari rumah mereka.Tetes air mata itu menetes perlahan, sebelum kemudian menjadi beranak sungai, Maura menangis tanpa suara.***Mobil yang Deri kendarai tu berhenti tepat di depan pintu masuk sebuah rumah bordil yang tak terlihat seperti tempat pelacuran.Rumah mewah itu terlihat biasa saja, sama seperti rumah-rumah pada umumnya namun melihat banyaknya mobil mewah nan mahal yang terparkir di halamannya, Maura tau pelanggan di tempat ini bukanlah orang-orang biasa."Mas Deri!!" Maura kembali dengan isakannya, wanita itu jelas ketakutan karena suaminya benar-benar serius membawa ia ke tempat prostitusi ini. "Aku mohon Mas! Aku gak mau ada di sini!" bisik Maura penuh kepedihan pada Deri yang juga ikut merasakan sakit, namun juga pria itu tak punya pilihan lain selain melakukan ini di saat nyawanya juga sedang diancam oleh para rentenir yang menagih hutang padanya. "Maaf sayang, aku janji akan membebaskan kamu dari tempat ini," Deri membawa kepala Maura ke dalam pelukannya untuk ia beri kecupan dalam dan penuh penyesalan. Perandaian ada di kepalanya, andai ia tak berjudi dan andai ia tak kehilangan pekerjaannya juga andai ia tak memaksa kehendaknya untuk menikahi Maura di saat kedua orangtua wanita itu menentang keras pernikahan mereka dulu. "Aku mencintaimu Maura!" bisik itu tak menenangkan Maura, justru ketakutannya makin menjadi karena kemudian pintu mobil dibuka paksa oleh dua orang badan besar yang mengikuti mobil mereka tadi. "Apa yang kalian lakukan sehingga sangat lama?!" ujar salah satu si pria berbadan besar yang menatap nyalang pada Maura dan Deri yang masih berpelukan di dalam mobil itu. "Maaf, kalian bisa membawanya!" Perintah Deri itu diangguki kedua pria berbadan besar dan juga menghancurkan hati Maura, Deri bahkan memalingkan wajahnya saat Maura berusaha berontak menolak saat kedua pria yang tak ia kenali itu menyeretnya paksa. "Aku membenci kamu Mas!!" adalah ucapan terakhir Maura saat wanita itu benar-benar menghilang dari pandangan Deri yang telah menangis di dalam mobilnya. Maura di bawa memasuki rumah mewah itu, suasana yang ada di dalam nampak seperti pesta, banyak sekali orang-orang berpakaian mewah nan rapih yang ada di dalamnya, bahkan beberapa pasang mata sudah menatap pada Maura yang dibawa oleh dua orang berbadan besar melewati kerumunan orang-orang ke lantai atas. Seperti masuk ke dalam dunia berbeda, di lantai dua rumah mewah ini berisikan orang-orang yang sepertinya mencari kesenangan, terbukti di beberapa sudut tempat yang Maura lihat, banyak pria dan wanita yang bercumbu begitu liar dan tentu itu membuatnya mual dan pusing. "Sebentar lagi nasibmu akan sama seperti para wanita di tempat ini, jadi jangan berpaling dan pelajarilah apa yang para wanita itu lakukan untuk bisa memuaskan para pelanggannya!" Wajah Maura ditarik salah satu pria yang mengawalnya itu, dan pria itu berbicara tepat di depan wajahnya hingga bau napasnya membuat Maura mual. Maura sudah ketakutan setengah mati, ia berusaha mencari cara agar bisa melarikan diri dari tempat ini. Saat kedua pria itu lengah membawanya dan berpikir jika Maura telah pasrah, wanita itu melarikan diri dan mencoba mencari pintu keluar yang entah dimana letaknya, karena kerumunan orang-orang membuatnya lupa serta linglung. "Berhenti jalang!!" teriakan itu bisa Maura dengar, dan makin membuat kakinya gemetar ketakutan namun ia juga tidak menghentikan langkahnya untuk terus menjauh. Maura berhasil mencapai pintu keluar, meski dengan sedikit kericuhan yang dia buat, namun saat udara di luar menerpa dirinya perasaan Maura lega begitu saja. Baru akan melarikan diri, tubuhnya menabrak seorang pria yang sepertinya baru ingin masuk ke dalam tempat yang menurut Maura menjijikan itu. "Kamu terlihat sangat buru-buru? Apa ada yang mengejarmu?" suara berat itu menyihir Maura, mengangkat wajah dan terpaku oleh ketampanan pria yang masih mendekap tubuhnya dalam tubuh besarnya itu. Seperti mendapat pertolongan, Maura merasa pria ini bisa membantunya "me-mereka, mereka mengejar aku, bisakah kamu menolongku?" cercanya diiringi air mata yang meluruh dari kedua matanya. Pria berpenampilan rapih dengan kemeja kerjanya yang masih membalut tubuhnya itu mengamati sejenak Maura sebelum pada dua orang pria yang berwajah seram tengah mengejar sosok Maura yang mengeratkan pegangannya padanya. Bibir pria yang menolong Maura itu terangkat membentuk senyum miring, sebelum ia perhatikan Maura yang telah bersembunyi di balik tubuhnya. "Kamu mau aku selamatkan?" tanyanya dari balik bahu pada Maura yang tak menunggu untuk menganggukan kepalanya dengan cepat. Pria itu melirik pada dua pria yang mengejar Maura telah berdiri di depannya dengan tatapan bingung juga sungkan padanya. Pria berkemeja rapih itu memberikan senyum menenangkan pada Maura. "Baiklah, aku akan selamatkan kamu!""Aku sudah tiba di depan! Ku beritahu padamu Javier! Aku sungguh tidak tertarik pada pelacurmu! Yang terakhir kalinya wanita itu meminta hubungan lebih padaku, dan dia bahkan mencuri barang-barangku, aku tidak peduli berapa banyak yang ia ambil, namun aku membenci kelakuannya itu!" 'Tenanglah Edward, aku menyuruhmu datang bukan untuk melihat-lihat koleksiku, meski hari ini akan ada beberapa wanita baru yang masuk ke tempatku. Tapi jika kamu sedang tidak tertarik, aku tidak akan memaksa. Aku memintamu datang untuk menemaniku minum-minum, sepertinya aku sedang patah hati karena cintaku ditolak.' Edward mendengus geli dan mengangguk singkat, mematikan mesin mobilnya yang masih menyala. "Baiklah, aku datang!" Edward mematikan sambungan teleponnya dan berjalan masuk ke dalam rumah prostitusi yang dibangun sahabat baiknya ini. Rumah mewah yang jika dilihat dari luar terlihat seperti rumah biasa dan normal pada umumnya. Namun di dalamnya, begitu liar dan bebas. Di lantai satu, ada pes
"Kamu berbohong, kamu menipu aku?" napas Maura perlahan menjadi sesak, Maura memundurkan perlahan langkahnya, wajahnya berubah pucat. "Tidak, aku tidak menipu kamu." jawab Edward dengan sangat santainya mengikuti pergerakan Maura yang berusaha menjauh dari sosok Edward. Sosok yang ia pikir akan menyelamatkannya, dan bahkan Maura bisa tertipu dari raut wajah dan perlakuan Edward yang terlihat tulus mau membantunya, namun kini melihat aura dominan dan kejam yang terpancar dari sosok pria di depannya membuat nyali Maura ciut seketika. "Aku memang akan mengeluarkanmu dari rumah ini bukan?" ujar Edward merasa tak salah dengan kalimat yang dia katakan pada Maura, salahkan saja Maura yang sudah salah paham dengan maksud kalimatnya. Maura menggelengkan kepalanya pelan, kedua matanya berkaca-kaca penuh ketakutan saat langkah Edward makin dekat dengannya, sedangkan di belakang tubuh pria itu, sosok laki-laki bernama Javier nampak tertawa senang melihat intimidasi yang Edward lakukan padanya
Maura mengerjapkan kedua matanya pelan, ia seolah bermimpi buruk. Mimpi yang terasa begitu nyata. Namun kini Maura terbangun, perasaannya mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dia tidak mengalami seperti apa yang terjadi dalam mimpinya. Dia masih ada di rumah, masih terbaring di ranjangnya, dengan Deri suaminya yang terlelap tidur di sampingnya. Semua terasa melegakan bagi Maura jika saja suara Edward yang tengah bertelepon tak mengacau mimpi indahnya. Membuka mata cepat, Kedua mata Maura lantas berkaca. Apa yang tadi ia pikir mimpi merupakan kenyataan yang kini sedang terjadi. Ia bisa mendengar jelas suara Edward yang tengah bertelepon di belakangnya, menambah keyakinan bahwa yang ia alami memang bukanlah mimpi. "Tentang wanita ini, aku menyukainya. Aku akan mengambilnya Javier!" Tubuh Maura bergetar, kesadarannya telah terkumpul dengan sempurna. rasa panas itu menyerbu kedua matanya. Tubuh telanjang Maura yang hanya dibalut selimut hotel itu perlahan mencoba bangun, i
Sudah lebih dari satu minggu Maura tinggal di kediaman Edward, menjadi seorang pemuas nafsu bagi pria itu. Meski begitu, Edward membebaskannya, bahkan pintu apartemen pria itu tak dikunci membuatnya sangat mudah untuk melarikan diri. Namun Maura tidak melakukan hal tersebut, kenapa? "Aku tidak pernah mengunci pintu itu, aku membebaskanmu pergi kemanapun, bahkan kabur, jika pengawal yang sudah ku pekerjakan untuk mengawasimu menemukanmu dalam pelarianmu, maka bersiaplah kamu akan diantarnya ke rumah bordil itu. Selagi kamu ingin keluar dan mengatakan tujuanmu padanya, dia akan mengantarkanmu," Itu adalah kalimat yang Edward katakan padanya sebelum pria itu bekerja. Dan tentu saja ucapan Edward tak bisa Maura sepelekan. Ia tak berani menentangnya jika Edward bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Setidaknya Edward masih berbaik hati memberikannya kebebasan, Maura jadi lebih sering keluar meski hanya sebatas ke taman yang berada di belakang gedung apartemen Edward. Seperti saat
Edward merasa kepalanya berdenyut pusing, sudah hampir lima hari ia belum pulang ke rumah karena selalu sibuk berpergian untuk membahas kerjasama dan pekerjaan yang tiada habisnya. Padahal tubuhnya sudah merindukan kulit lembut Maura, dan bagaimana janji wanita itu yang akan memasak makan malam untuknya dengan bertelanjang dan hanya ditutup kain apron. Padahal Edward menantikannya, namun ia harus terjebak di kantor karena urusan pekerjaan yang tiada usainya ini. "Pak Ed, baru saja Bu Emily menelepon bahwa beliau akan datang kemari," Edward mengangkat kepalanya dari tulisan-tulisan dokumen yang ada di mejanya pada Alfa, sekertarisnya itu yang mengabari kabar yang sungguh tak mengenakan untuknya. Emily Mamahnya, namun bukan karena kehadiran wanita itu yang membuat perasaan Edward merasa tak enak, melainkan tujuan wanita itu yang datang pasti akan membahas perihal jodoh. "Terimakasih Alfa," ujar Edward pada sang sekertaris yang mengangguk dan kembali keluar dari ruangannya. Edw
Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut. 'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?' Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu. 'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku
Jika dulu jam pulang adalah hal yang tidak pernah Edward nantikan datangnya, namun beberapa hari ini dia yang justru menantikan jam pulang tiba. Dulu tak ada siapapun yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah, namun sekarang setiap dia pulang dari kantor, ada Maura yang sudah menunggunya dengan hidangan buatan wanita itu yang tak pernah bosan Edward puji karena rasanya yang sangat cocok di lidahnya. Semenjak Maura melepas batas di antara mereka, wanita itu tak hanya berperan sebagai seorang pelacur yang Edward beli dari rumah bordil. Namun juga berperan seolah wanita itu adalah pelayan pribadinya, yang mengurus semua tentang penthousenya. Lebih tepatnya, Maura sudah seperti istrinya sendiri, yang selalu siap sedia kala ia butuh sosok wanita itu di atas ranjangnya, dan akan melayaninya ketika dia lapar dan juga Maura sudah lebih nyaman ketika Edward ajak bicara. Edward sendiri juga tak pernah pulang terlambat lagi, setiap kali sudah memasuki jam pulang kantor, dirinya pasti akan p