Edward merasa kepalanya berdenyut pusing, sudah hampir lima hari ia belum pulang ke rumah karena selalu sibuk berpergian untuk membahas kerjasama dan pekerjaan yang tiada habisnya.
Padahal tubuhnya sudah merindukan kulit lembut Maura, dan bagaimana janji wanita itu yang akan memasak makan malam untuknya dengan bertelanjang dan hanya ditutup kain apron.
Padahal Edward menantikannya, namun ia harus terjebak di kantor karena urusan pekerjaan yang tiada usainya ini.
"Pak Ed, baru saja Bu Emily menelepon bahwa beliau akan datang kemari," Edward mengangkat kepalanya dari tulisan-tulisan dokumen yang ada di mejanya pada Alfa, sekertarisnya itu yang mengabari kabar yang sungguh tak mengenakan untuknya.
Emily Mamahnya, namun bukan karena kehadiran wanita itu yang membuat perasaan Edward merasa tak enak, melainkan tujuan wanita itu yang datang pasti akan membahas perihal jodoh.
"Terimakasih Alfa," ujar Edward pada sang sekertaris yang mengangguk dan kembali keluar dari ruangannya.
Edward meringis pelan, kepalanya berdenyut makin parah, sepertinya ia tak bisa melanjutkan pekerjaannya ini, masih banyak dokumen yang harus ia periksa dan tanda tangan, namun kepala Edward sudah terasa ingin pecah belum lagi ia merasa kesehatannya perlahan kian menurun.
Jika dipaksakan, sepertinya ia akan terjatuh ke ranjang rumah sakit.
Edward akhirnya bangkit dari kursinya dan berjalan ke sofa di ruang kantornya dan merebahkan tubuhnya di sana.
Padahal sebelum ini sering sekali Edward lembur dan terus memforsir dirinya bekerja keras, namun semenjak Maura datang ke hidupnya, Edward jadi sering pulang ke apartemen dan bekerja dengan waktu normal.
Ia tidak pernah lagi bekerja lembur, dan karena terlalu banyak santai, entah bagaimana kondisi tubuhnya melemah begitu saja. Baru saja lembur kembali, Edward tumbang dengan sakitnya.
Padahal Edward baru saja merasa memejamkan kedua matanya, ia sudah dibangunkan oleh Emily yang baru saja datang ke kantornya.
"Kenapa masih siang kamu sudah tidur Ed?" tanya Emily dengan alis yang berkerut.
Edward berdehem pelan, ia mencoba bangun dari posisi tidurnya, namun ia merasa bahwa kepalanya makin terasa sakit, dan tubuhnya pun kian terasa lemah.
"Tidak apa-apa Mah, ada apa Mamah datang?" tanya Edward memejamkan kedua matanya berusaha menghilangkan rasa sakit di kepalanya ini.
Emily mencibir pelan, wanita itu duduk di depan Edward dan meletakkan tas mahalnya iu di atas meja.
"Bagaimana sih kamu Ed! Mamah datang berharap mendapat ucapan manis dari kamu! Tapi kamu sepertinya lupa pada ulangtahun Mamahmu sendiri!" desah Emily memasang raut sedihnya pada Edward yang lansung mengingat bahwa hari ini memang ulang tahun sang Mamah.
"Astaga Ed lupa! Maaf Mah, pekerjaan Edward sedang begitu banyak, jadi Ed melupakan hari yang penting ini," sesal Edward memijat pelan kepalanya.
"Tidak! Mamah tidak membutuhkan maafmu! Mamah mau kamu datang ke pesta Mamah sore nanti Ed! Tidak perlu membawa apapun, Mamah hanya menginginkan kehadiran kamu!" Pinta Emily pada Edward yang menipiskan bibirnya dan menganggukkan kepalanya pelan.
"Baiklah, Ed akan datang Mah! Tapi apa perlu Mamah sampai datang ke kantor hanya untuk mengatakan ini?" tanya Edward.
Emily terkekeh pelan dan menggeleng, "Mamah sekalian mau ke Mall, mau belanja dan bertemu teman di dekat sini, Mamah sekalian mampir! Jadi setelah ini Mamah akan pergi! Kamu jangan lupa datang ya Ed!" pesan Emily lagi kemudian wanita itu bangkit dari sofa dan berjalan keluar ruangan Edward.
Edward menemani Emily sampai ke depan lift, "Edward akan datang, Mamah hati-hati," ujar Edward dan kemudian tubuhnya melemah tepat ketika pintu lift yang membawa tubuh Emily tertutup.
"Pak Edward? Anda baik-baik saja?" Alfa yang rupanya memperhatikan bosnya itu mendekat ketika Edward hampir saja kehilangan keseimbangannya.
"Kepala saya sakit, bisakah kamu membawakanku obat sakit kepala, dan sepertinya hari ini saya akan pulang cepat," ujar Edward yang diangguki cepat oleh Alfa.
"Baik Pak!"
Edward akan beristirahat di rumah sampai waktu pesta sang Mamah dimulai, setidaknya ada sedikit waktu untuk ia beristirahat.
***
Puas membeli banyak pakaian dari toko-toko berbeda, Emily kemudian melihat ponselnya, untuk mencari tau apakah teman-temannya sudah berkumpul di restoran yang sudah dijanjikannya.
Emily berniat mengundang mereka dan meminta mereka membawakan anak-anak gadisnya untuk bisa ia kenalkan pada Edward.
"Joe! Bawakan saja belanjaan saya ini ke mobil, nanti kamu menyusul ke restoran ya!" ujar Emily pada sang pelayan pribadi yang juga merangkap sebagai supirnya itu.
"Baik Nyonya," ujar si pelayan tersebut yang mematuhi permintaan Emily.
Emily kemudian bergerak masuk ke dalam restoran di depannya ini, wanita baya tersebut menolehkan kepalanya untuk mencari kedua temannya yang berkata sudah berada di meja sebelumnya.
Kedua mata Emily menangkap kedua temannya yang melambai padanya, bibirnya tersenyum senang, namun kemudian kedua matanya menangkap pada pergerakan wanita muda yang wajahnya begitu tak asing di ingatannya.
Emily mencoba mengingat kembali, saat satu nama melintas di ingatannya, wajahnya perlahan menjadi cerah kembali! Dia mengingat wanita itu.
Emily kemudian bergerak menuju wanita yang tengah makan sendirian di restoran tersebut, "Halo? Kamu Gisel ya?" panggil Emily mengganggu wanita yang tengah asik makan sendirian di restoran tersebut.
Wanita yang diinterupsi oleh Emily itu mengangkat wajahnya dan berkerut kening menatap pada Emily yang datang ke mejanya.
"Siapa?" tanya Gisel mencoba mengingat sosok wanita baya yang masih terlihat muda di usianya yang mungkin menginjak angka enam puluh itu.
"Kamu lupa dengan Tante? Padahal dulu waktu SMA kamu sering sekali bermain dengan Edward, apa kamu mengingat anak itu?"
Kedua mata wanita muda itu lantas membulat lebar kala nama Edward tersebut dari bibir si wanita baya, ya! Dia kemudian mengingat wanita di depannya ini.
"Tante Emily?!" tanyanya dengan nada kaget tak percaya.
"Iya ini Tante! Apa kabar kamu Gisel!" pekik Emily begitu senang, pun dengan Gisel, wanita yang tak sengaja bertemu Emily tersebut.
"Gisel baik Tante! Tante kemari sendiri? Tante mau makan dengan Gisel? Banyak yang harus kita bicarakan!" ujar Gisel dengan wajah antusiasnya.
"Tante juga ingin sekali bicara denganmu! Tapi sekarang Tante mau bertemu teman Tante dulu! Oh iya, bisakah kamu memberikan nomor ponselmu Gisel?" tanya Emily yang kemudian mengeluarkan ponselnya untuk Gisel yang diangguki oleh wanita itu.
"Boleh Tante!" jawabnya.
"Sudah sangat lama kamu tidak bertemu Edward, apa mungkin kamu sudah menikah atau memiliki pasangan Gisel?" tanya Emily penasaran.
Gisel menggelengkan kepalanya, "tidak Tante! Belakangan ini Emily sibuk sekolah, dan membangun usaha Gisel sendiri di Australia. Sekarang Gisel baru pulang dan berniat membuka cabang usaha Gisel di sini, Papah khawatir kalau Gisel terlalu lama di negara orang!" kekeh Gissel memberitahukan kegiatannya pada Emily yang terlihat bangga.
"Benarkah? Apa kamu berhasil mewujudkan mimpimu yang menjadi desaigner itu?" tanya Emily lagi.
"Iya Tante, kapan-kapan akan Gisel ajak Tante ke butik milikku, aku ingin menunjukan karya-karyaku untuk Tante, dan jika ada yang Tante suka, Tante boleh memilikinya!"
Emily terkekeh senang, "boleh kalau begitu! Oh iya, nanti malam Tante mengadakan pesta ulangtahun, maukah kamu datang, sekalian bertemu dengan Edward, kamu pasti sudah sangat lama tidak bertemu anak itu bukan?"
Senyum Gisel perlahan hilang, namun walau begitu wanita itu tetap mempertahankan senyum tipisnya, "Tante ulang tahun? Selamat ulang tahun Tante! Gisel akan datang karena Tante mengundangku!"
Emily tersenyum senang, "Tante menunggu kedatangan kamu ya Gisel!" kekeh Emily kemudian pamit untuk bertemu teman-temannya yang telah menantinya.
Gisella, wanita itu nampak diam memperhatikan Emily sebelum kemudian menggelengkan kepalanya pelan. Tak ia sangka ia akan bertemu wanita itu lagi di sini. dan mengundangnya untuk datang ke pesta ulangtahunnya.
Gisel akan bertemu dengan Edward, laki-laki yang pernah menjadi teman dekatnya dulu, namun menjauh ketika Edward menolak perasaannya dan meninggalkannya. Laki-laki itu begitu jahat, namun Gisel masih menyimpan sedikit rasa untuk pria itu ketika mengingatnya, seperti apakah pria itu saat ini?
Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut. 'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?' Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu. 'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku
Jika dulu jam pulang adalah hal yang tidak pernah Edward nantikan datangnya, namun beberapa hari ini dia yang justru menantikan jam pulang tiba. Dulu tak ada siapapun yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah, namun sekarang setiap dia pulang dari kantor, ada Maura yang sudah menunggunya dengan hidangan buatan wanita itu yang tak pernah bosan Edward puji karena rasanya yang sangat cocok di lidahnya. Semenjak Maura melepas batas di antara mereka, wanita itu tak hanya berperan sebagai seorang pelacur yang Edward beli dari rumah bordil. Namun juga berperan seolah wanita itu adalah pelayan pribadinya, yang mengurus semua tentang penthousenya. Lebih tepatnya, Maura sudah seperti istrinya sendiri, yang selalu siap sedia kala ia butuh sosok wanita itu di atas ranjangnya, dan akan melayaninya ketika dia lapar dan juga Maura sudah lebih nyaman ketika Edward ajak bicara. Edward sendiri juga tak pernah pulang terlambat lagi, setiap kali sudah memasuki jam pulang kantor, dirinya pasti akan p
"Kamu kenal anak ini, Edward, dulu dia satu sekolah denganmu," ujar Emily menunjukan sebuah foto di ponselnya pada Edward. Pria yang duduk di dekat Mamahnya itu ikut melihat ke dalam ponsel Emily, melihat sosok wanita yang terlihat seperti tengah mengikuti ajang kecantikan dunia. Edward mengakui jika wanita di foto tersebut memang cantik, namun karena banyaknya wanita cantik yang sering hadir di hidupnya, ia merasa hambar melihatnya. "Namanya Gisella, apa kamu ingat?" tanya Emily dengan kedua mata berbinar padanya. Edward mengerutkan alisnya bingung, sejak ia masuk SMP dan SMA sudah banyak sekali wanita yang menempelinya, dan jelas ia tidak ingat semua nama serta rupanya, karena bukan wanita dari kelasnya saja namun dari kelas lain juga. "Entahlah, tidak sepertinya," jawab Edward seadanya membuat Emily mendesahkan napasnya lelah. "Ck! Tapi dia cantik 'kan, Ed? Kamu suka 'kan? Kamu terima dia untuk jadi istri kamu 'kan?" berondong Emily pada Edward yang dijawab dengusan geli ole
"Menurutmu bagaimana kehidupan setelah menikah?" tanya Edward pada Maura, di mana tangan pria itu bergerak abstrak di atas perut telanjang Maura.Maura yang mendengar itu lansung membuka lebar kedua matanya, untunglah dia membelakangi Edward, jadi pria itu tak bisa melihat ekspresi terkejutnya."Kenapa tanya begitu?" tanya Maura yang tak menjawab tanya Edward barusan namun justru melempar tanya kembali."Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menikah itu?" ujar Edward lagi, kemudian mendekap erat tubuh Maura di depannya yang membelakanginya.Maura meringis pelan "jika kamu menikah dengan orang yang kamu cinta kamu pasti akan bahagia ..." jeda sejenak, kedua matanya seolah menerawang ke depan "tidak, tidak aku salah, tidak menjamin bahagia jika hanya menikah dengan orang yang kamu cinta, tapi dengan orang yang tepat" lirihnya pelan, membicarakan ini jelas membuat Maura kembali teringat Deri, sang suami yang entah sedang melakukan apa sekarang, bahagiakah dengan uang yang dia punya?Den
Emily tak henti melirik ke arah pintu masuk restoran, sungguh dirinya gelisah karena sosok yang ditunggu tak kunjung datang, sementara sebentar lagi kedua orangtua Gisel dan wanita itu akan tiba."Edward! Dimana anak itu?!" desahnya lelah, yang kemudian kembali ia ambil ponselnya untuk menghubungi putranya itu.Padahal sudah banyak pesan dan panggilan masuk yang Emily lakukan pada ponsel putranya, tapi tak ada satu dari semua pesan itu yang Edward jawab dan balas.Emily khawatir jika Edward tidak datang ke pertemuan ini.Sampai akhirnya Edward masih belum datang padahal Gisella dan kedua orangtua wanita itu sudah lebih dulu datang ke pertemuan mereka yang direncanakan secara mendadak.Emily mencoba memasang wajah baik-baik saja dan tidak terlihat gelisah karena Edward tak kunjung datang ke pertemuan ini."Tante, Edwardnya mana?" Tanya itu dilayangkan Gisel pada Emily saat wanita muda itu tak menemukan sosok Edward di sekitarnya."Maaf ya Gisel, sepertinya Edward akan datang terlambat,
Setelah sarapan yang merangkap makan siang di sebuah hotel berbintang nan mewah, rupanya perjalanan Edward yang membawa Maura belum juga usai. Pria itu masih merasakan perasaan bersalah pada Maura atas kata-kata yang ia lontarkan malam tadi. "Lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Maura mengikuti Edward yang berjalan di depannya. Edward menghentikan langkah kakinya, pria itu berbalik pada Maura "kamu pernah bilang, semua gaun yang aku beri membuat kamu tidak nyaman saat memakainya, bukan?" tanya Edward yang diangguki pelan oleh Maura. "Bukan begitu, tapi jika hanya untuk di rumah, aku biasa memakai kaus dan celana, itu lebih nyaman," ucapnya cepat, karena Maura tidak mau Edwad salah paham dan menganggap ia tidak senang dengan semua pemberian Edward. Bibir Edward menyeringai, "tapi bukankah tak memakai apapun lebih nyaman?" bisiknya di dekat telinga Maura yang berhasil mencipta rona merah di pipinya. "Ayo, hari ini aku akan membelikan seluruh baju yang kamu inginkan, barang, atau
"Apa maksudnya ini Mas?!" Maura tak bisa menahan buliran air matanya, baru saja ia mendengar pernyataan yang begitu kejam dan jahat dari sang suami untuknya. "Maaf Maura, aku butuh uang, hanya ini jalan terakhir yang bisa menolongku." Maura membekap wajahnya, lututnya goyah dan ia bersimpuh di dekat sang suami yang kian merasakan perasaan bersalah pada istrinya itu. "Tapi apa harus menjualku Mas?! Tega! Kamu sangat jahat!!" jerit itu mengalun di tengah heningnya malam. "Maura dengar..." Deri menggenggam kedua tangan Maura, pria itu ikut bersimpuh di depan Maura yang menangis di bawahnya. "Aku janji, aku akan menebus kamu setelah semua hutangku lunas, aku akan mencari berbagai cara agar kamu bisa bebas!" "Berbagai cara?!" Pandangan Maura terangkat dan menatap tajam pada Deri yang kedua matanya berkaca bingung dan merasa bersalah pada sang istri yang terlihat sangat kacau dan berantakan. "Cara apa lagi?! Sekarang saja kamu berani menjual aku ke rumah bordil!" Amuk Maura memukulk