"Apa maksudnya ini Mas?!" Maura tak bisa menahan buliran air matanya, baru saja ia mendengar pernyataan yang begitu kejam dan jahat dari sang suami untuknya. "Maaf Maura, aku butuh uang, hanya ini jalan terakhir yang bisa menolongku." Maura membekap wajahnya, lututnya goyah dan ia bersimpuh di dekat sang suami yang kian merasakan perasaan bersalah pada istrinya itu. "Tapi apa harus menjualku Mas?! Tega! Kamu sangat jahat!!" jerit itu mengalun di tengah heningnya malam. "Maura dengar..." Deri menggenggam kedua tangan Maura, pria itu ikut bersimpuh di depan Maura yang menangis di bawahnya. "Aku janji, aku akan menebus kamu setelah semua hutangku lunas, aku akan mencari berbagai cara agar kamu bisa bebas!" "Berbagai cara?!" Pandangan Maura terangkat dan menatap tajam pada Deri yang kedua matanya berkaca bingung dan merasa bersalah pada sang istri yang terlihat sangat kacau dan berantakan. "Cara apa lagi?! Sekarang saja kamu berani menjual aku ke rumah bordil!" Amuk Maura memukulk
"Aku sudah tiba di depan! Ku beritahu padamu Javier! Aku sungguh tidak tertarik pada pelacurmu! Yang terakhir kalinya wanita itu meminta hubungan lebih padaku, dan dia bahkan mencuri barang-barangku, aku tidak peduli berapa banyak yang ia ambil, namun aku membenci kelakuannya itu!" 'Tenanglah Edward, aku menyuruhmu datang bukan untuk melihat-lihat koleksiku, meski hari ini akan ada beberapa wanita baru yang masuk ke tempatku. Tapi jika kamu sedang tidak tertarik, aku tidak akan memaksa. Aku memintamu datang untuk menemaniku minum-minum, sepertinya aku sedang patah hati karena cintaku ditolak.' Edward mendengus geli dan mengangguk singkat, mematikan mesin mobilnya yang masih menyala. "Baiklah, aku datang!" Edward mematikan sambungan teleponnya dan berjalan masuk ke dalam rumah prostitusi yang dibangun sahabat baiknya ini. Rumah mewah yang jika dilihat dari luar terlihat seperti rumah biasa dan normal pada umumnya. Namun di dalamnya, begitu liar dan bebas. Di lantai satu, ada pes
"Kamu berbohong, kamu menipu aku?" napas Maura perlahan menjadi sesak, Maura memundurkan perlahan langkahnya, wajahnya berubah pucat. "Tidak, aku tidak menipu kamu." jawab Edward dengan sangat santainya mengikuti pergerakan Maura yang berusaha menjauh dari sosok Edward. Sosok yang ia pikir akan menyelamatkannya, dan bahkan Maura bisa tertipu dari raut wajah dan perlakuan Edward yang terlihat tulus mau membantunya, namun kini melihat aura dominan dan kejam yang terpancar dari sosok pria di depannya membuat nyali Maura ciut seketika. "Aku memang akan mengeluarkanmu dari rumah ini bukan?" ujar Edward merasa tak salah dengan kalimat yang dia katakan pada Maura, salahkan saja Maura yang sudah salah paham dengan maksud kalimatnya. Maura menggelengkan kepalanya pelan, kedua matanya berkaca-kaca penuh ketakutan saat langkah Edward makin dekat dengannya, sedangkan di belakang tubuh pria itu, sosok laki-laki bernama Javier nampak tertawa senang melihat intimidasi yang Edward lakukan padanya
Maura mengerjapkan kedua matanya pelan, ia seolah bermimpi buruk. Mimpi yang terasa begitu nyata. Namun kini Maura terbangun, perasaannya mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dia tidak mengalami seperti apa yang terjadi dalam mimpinya. Dia masih ada di rumah, masih terbaring di ranjangnya, dengan Deri suaminya yang terlelap tidur di sampingnya. Semua terasa melegakan bagi Maura jika saja suara Edward yang tengah bertelepon tak mengacau mimpi indahnya. Membuka mata cepat, Kedua mata Maura lantas berkaca. Apa yang tadi ia pikir mimpi merupakan kenyataan yang kini sedang terjadi. Ia bisa mendengar jelas suara Edward yang tengah bertelepon di belakangnya, menambah keyakinan bahwa yang ia alami memang bukanlah mimpi. "Tentang wanita ini, aku menyukainya. Aku akan mengambilnya Javier!" Tubuh Maura bergetar, kesadarannya telah terkumpul dengan sempurna. rasa panas itu menyerbu kedua matanya. Tubuh telanjang Maura yang hanya dibalut selimut hotel itu perlahan mencoba bangun, i
Sudah lebih dari satu minggu Maura tinggal di kediaman Edward, menjadi seorang pemuas nafsu bagi pria itu. Meski begitu, Edward membebaskannya, bahkan pintu apartemen pria itu tak dikunci membuatnya sangat mudah untuk melarikan diri. Namun Maura tidak melakukan hal tersebut, kenapa? "Aku tidak pernah mengunci pintu itu, aku membebaskanmu pergi kemanapun, bahkan kabur, jika pengawal yang sudah ku pekerjakan untuk mengawasimu menemukanmu dalam pelarianmu, maka bersiaplah kamu akan diantarnya ke rumah bordil itu. Selagi kamu ingin keluar dan mengatakan tujuanmu padanya, dia akan mengantarkanmu," Itu adalah kalimat yang Edward katakan padanya sebelum pria itu bekerja. Dan tentu saja ucapan Edward tak bisa Maura sepelekan. Ia tak berani menentangnya jika Edward bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Setidaknya Edward masih berbaik hati memberikannya kebebasan, Maura jadi lebih sering keluar meski hanya sebatas ke taman yang berada di belakang gedung apartemen Edward. Seperti saat
Edward merasa kepalanya berdenyut pusing, sudah hampir lima hari ia belum pulang ke rumah karena selalu sibuk berpergian untuk membahas kerjasama dan pekerjaan yang tiada habisnya. Padahal tubuhnya sudah merindukan kulit lembut Maura, dan bagaimana janji wanita itu yang akan memasak makan malam untuknya dengan bertelanjang dan hanya ditutup kain apron. Padahal Edward menantikannya, namun ia harus terjebak di kantor karena urusan pekerjaan yang tiada usainya ini. "Pak Ed, baru saja Bu Emily menelepon bahwa beliau akan datang kemari," Edward mengangkat kepalanya dari tulisan-tulisan dokumen yang ada di mejanya pada Alfa, sekertarisnya itu yang mengabari kabar yang sungguh tak mengenakan untuknya. Emily Mamahnya, namun bukan karena kehadiran wanita itu yang membuat perasaan Edward merasa tak enak, melainkan tujuan wanita itu yang datang pasti akan membahas perihal jodoh. "Terimakasih Alfa," ujar Edward pada sang sekertaris yang mengangguk dan kembali keluar dari ruangannya. Edw
Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut. 'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?' Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu. 'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku