"Kamu berbohong, kamu menipu aku?" napas Maura perlahan menjadi sesak, Maura memundurkan perlahan langkahnya, wajahnya berubah pucat.
"Tidak, aku tidak menipu kamu." jawab Edward dengan sangat santainya mengikuti pergerakan Maura yang berusaha menjauh dari sosok Edward. Sosok yang ia pikir akan menyelamatkannya, dan bahkan Maura bisa tertipu dari raut wajah dan perlakuan Edward yang terlihat tulus mau membantunya, namun kini melihat aura dominan dan kejam yang terpancar dari sosok pria di depannya membuat nyali Maura ciut seketika. "Aku memang akan mengeluarkanmu dari rumah ini bukan?" ujar Edward merasa tak salah dengan kalimat yang dia katakan pada Maura, salahkan saja Maura yang sudah salah paham dengan maksud kalimatnya. Maura menggelengkan kepalanya pelan, kedua matanya berkaca-kaca penuh ketakutan saat langkah Edward makin dekat dengannya, sedangkan di belakang tubuh pria itu, sosok laki-laki bernama Javier nampak tertawa senang melihat intimidasi yang Edward lakukan padanya. "Javier, malam ini sepertinya aku tidak bisa menemanimu!" Edward berbicara tanpa memandang temannya itu yang terkekeh geli mendengar suaranya. "Ya,ya,ya! Bermainlah dengan pelacur baru itu. Dan jika sudah selesai kembalikan dia kemari Ed! Dia masih baru!" Tangis Maura sudah berada di ujung tenggorokannya, saat ia berusaha untuk melarikan diri, kerah belakang bajunya lebih dulu ditarik oleh Edward yang tak membiarkan Maura meninggalkan tempatnya berpijak. "Kamu tidak akan lari kemana-mana Maura, kamu hanya akan berada di atas ranjangku malam ini!" bisik sensual Edward di telinga Maura membuat bulu kuduk Maura merinding. Kemudian pria itu memanggul Maura di atas pundaknya, Maura tak bisa memberontak dengan kondisi kepalanya yang terbalik seperti itu, yang ada dirinya justru mual karena Edward membawanya keluar dan menuruni tangga dengan santainya, mengabaikan jeritan dan rintihan Maura yang memintanya untuk dilepaskan. Edward membawa Maura sampai pada di mana mobilnya terparkir, pria itu menurunkan Maura yang kepalanya sudah berputar pusing dan tidak sanggup untuk berlari ataupun mencoba menjauh dari Edward yang terlihat menyeringai padanya. "Terimalah kenyataan yang ada, dan ikut denganku tanpa paksaan, aku akan membuat malammu bergairah dan tidak akan bisa dilupakan!" Goda Edward di dekat wajah Maura, sebelum kemudian pria itu membuka pintu mobil di belakang tubuh Maura, dan mendorong pelan wanita itu sampai masuk ke dalam mobilnya dan Edward menutupnya. Edward sungguh tak sabar untuk menggagahi Maura, wanita yang mampu memikat bagian sensitif tubuhnya hanya dengan sekali tatap saat wanita itu menampilkan wajah ketakutannya itu. Memasuki mobil dan menjalankan kendaraan roda empatnya itu menuju kediamannya. Di sampingnya, Maura tengah menutup wajah dengan kedua tangan sesekali isakan sedih itu mengalun dari bibir wanita itu. "Apa yang kamu tangiskan? Biarku beritahu kamu sesuatu, aku itu tipe pemilih untuk bisa tidur dengan perempuan, banyak yang aku tolak di saat beratus perempuan siap mengantri untuk tidur denganku!" ujarnya berlebihan namun tak ditanggapi Maura. "Kamu harusnya bangga karena aku memilihmu untuk tidur denganku! Kenapa kamu harus menangis!" geram Edward karena isakan Maura makin menjadi. "Aku tidak pernah mau tidur dengan siapapun, aku bahkan tidak mau pergi ke tempat terkutuk itu!! Yang aku mau hanya pergi dari orang-orang sepertimu dan laki-laki pemilik tempat pelacuran itu!!" jerit Maura yang akhirnya keluar dibarengi dengan tangisnya yang meledak hebat. "Aku pikir kamu akan menolongku! Kamu sudah berjanji! Aku pikir kamu orang baik, ternyata kamu sama saja."Edward mendengus geli dan menolehkan wajahnya pada Maura "memang kamu berharap bagaimana denganku?" Tawa itu terdengar meledek dan jahat di telinga Maura "aku tidak menolong dengan cuma-cuma," sambungnya.Edward pun membawa mobilnya dengan cepat membelah jalanan kota malam hari yang tak pernah sepi. Setibanya di hotel, Edward turun lebih dulu dari mobil melihat kesempatan itu mengundang Maura untuk melarikan diri. Namun langkah lebar Edward lebih dulu sampai di samping pintu mobilnya membuat Maura urung melakukan pelarian diri. "Jangan coba-coba untuk lari dariku! Atau aku bisa membuangmu pada orang-orangku untuk menyetubuhimu dengan kasar!" ancam Edward saat tau niat Maura yang ingin melarikan diri darinya. Wajah Maura yang terlihat pucat setelah mendengar kata-katanya sedikit menenangkan Edward, jika wanita di pelukannya ini tidak akan berani macam-macam sebelum Edward puas membawanya ke atas ranjangnya. Edward membawa Maura ke dalam kamar yang telah dipesannya. Maura mencoba menatap beberapa orang-orang yang melewatinya, berharap tatapan sedih dan iba yang dia berikan dapat membawa orang-orang bertanya dan menolongnya dari sosok Edward yang membawanya ke dalam kamar yang telah pria itu pesan. Setibanya di kamar, Edward mendorong Maura ke atas ranjang dengan kasar, wajah pria itu mengeras penuh gairah menatap pada Maura yang melayangkan tatapan takut padanya. "Selamat datang di duniaku!" Bisik Edward dengan suara beratnya, pria itu menarik sebelah kaki Maura mendekat padanya yang berdiri di dekat kaki ranjang. Maura nampak panik dan ketakutan, kedua matanya liar bergerak mencari barang atau sesuatu yang bisa ia jadikan alat untuk melindungi diri, dan tepat di atas nakas, ia melihat keranjang buah dengan sebilah pisau buah dan dengan tangan bergetar, Maura menjangkau benda tersebut. Tepat sebelum Edward menarik lepas celana jeans yang ia pakai, Maura berhasil menancapkan benda itu di atas bahu Edward membuat pria itu terkesiap dan memundurkan langkahnya karena rasa sakit dan panas yang mendera di sana. Edward tidak tau jika Maura akan melakukan hal itu, ia tidak fokus dengan apa yang Maura lakukan. "Sialan!! Apa yang kamu lakukan?!" wajah Edward memerah penuh amarah. Maura sudah menangis tanpa suara, kali pertama di hidupnya ia menyakiti seseorang, namun juga menjadi kesempatannya untuk kabur, Maura berlari menuju pintu keluar di saat Edward tengah sibuk dengan rasa sakit pria itu. "Kyaah!!" Maura menjerit saat Edward menarik kerah belakang bajunya, dan dengan kekuatannya yang masih besar, ia membawa Maura kembali rebah di atas ranjang. "Kamu akan membayar ini jalang!" bisik Edward penuh amarah dan kekesalan pada Maura yang tubuhnya bergetar dengan kedua mata berkaca-kaca menatap pada Edward yang wajahnya benar-benar terlihat marah. Dengan kasar, Edward merobek pakaian yang Maura kenakan, menulikan telinga atas tangisan dan jeritan Maura, amarah dan gairah sudah menguasai kepala Edward. Puas menelanjangi Maura, Edward membuka kemeja yang membalut tubuh berototnya, kemudian dengan wajah datar ia mencabut pisau yang masih tertancap di atas bahunya, memuncratkan darah yang juga mengenai tubuh telanjang Maura. "Malam ini akan menjadi malam berdarah untuk kita!" bisik Edward di telinga Maura yang menangis dan mencoba mendorong tubuh Edward yang terus menghimpitnya. "Tidak!! Jangan sentuh aku!! Jangan!!!"Maura mengerjapkan kedua matanya pelan, ia seolah bermimpi buruk. Mimpi yang terasa begitu nyata. Namun kini Maura terbangun, perasaannya mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dia tidak mengalami seperti apa yang terjadi dalam mimpinya. Dia masih ada di rumah, masih terbaring di ranjangnya, dengan Deri suaminya yang terlelap tidur di sampingnya. Semua terasa melegakan bagi Maura jika saja suara Edward yang tengah bertelepon tak mengacau mimpi indahnya. Membuka mata cepat, Kedua mata Maura lantas berkaca. Apa yang tadi ia pikir mimpi merupakan kenyataan yang kini sedang terjadi. Ia bisa mendengar jelas suara Edward yang tengah bertelepon di belakangnya, menambah keyakinan bahwa yang ia alami memang bukanlah mimpi. "Tentang wanita ini, aku menyukainya. Aku akan mengambilnya Javier!" Tubuh Maura bergetar, kesadarannya telah terkumpul dengan sempurna. rasa panas itu menyerbu kedua matanya. Tubuh telanjang Maura yang hanya dibalut selimut hotel itu perlahan mencoba bangun, i
Sudah lebih dari satu minggu Maura tinggal di kediaman Edward, menjadi seorang pemuas nafsu bagi pria itu. Meski begitu, Edward membebaskannya, bahkan pintu apartemen pria itu tak dikunci membuatnya sangat mudah untuk melarikan diri. Namun Maura tidak melakukan hal tersebut, kenapa? "Aku tidak pernah mengunci pintu itu, aku membebaskanmu pergi kemanapun, bahkan kabur, jika pengawal yang sudah ku pekerjakan untuk mengawasimu menemukanmu dalam pelarianmu, maka bersiaplah kamu akan diantarnya ke rumah bordil itu. Selagi kamu ingin keluar dan mengatakan tujuanmu padanya, dia akan mengantarkanmu," Itu adalah kalimat yang Edward katakan padanya sebelum pria itu bekerja. Dan tentu saja ucapan Edward tak bisa Maura sepelekan. Ia tak berani menentangnya jika Edward bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Setidaknya Edward masih berbaik hati memberikannya kebebasan, Maura jadi lebih sering keluar meski hanya sebatas ke taman yang berada di belakang gedung apartemen Edward. Seperti saat
Edward merasa kepalanya berdenyut pusing, sudah hampir lima hari ia belum pulang ke rumah karena selalu sibuk berpergian untuk membahas kerjasama dan pekerjaan yang tiada habisnya. Padahal tubuhnya sudah merindukan kulit lembut Maura, dan bagaimana janji wanita itu yang akan memasak makan malam untuknya dengan bertelanjang dan hanya ditutup kain apron. Padahal Edward menantikannya, namun ia harus terjebak di kantor karena urusan pekerjaan yang tiada usainya ini. "Pak Ed, baru saja Bu Emily menelepon bahwa beliau akan datang kemari," Edward mengangkat kepalanya dari tulisan-tulisan dokumen yang ada di mejanya pada Alfa, sekertarisnya itu yang mengabari kabar yang sungguh tak mengenakan untuknya. Emily Mamahnya, namun bukan karena kehadiran wanita itu yang membuat perasaan Edward merasa tak enak, melainkan tujuan wanita itu yang datang pasti akan membahas perihal jodoh. "Terimakasih Alfa," ujar Edward pada sang sekertaris yang mengangguk dan kembali keluar dari ruangannya. Edw
Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut. 'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?' Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu. 'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku
Jika dulu jam pulang adalah hal yang tidak pernah Edward nantikan datangnya, namun beberapa hari ini dia yang justru menantikan jam pulang tiba. Dulu tak ada siapapun yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah, namun sekarang setiap dia pulang dari kantor, ada Maura yang sudah menunggunya dengan hidangan buatan wanita itu yang tak pernah bosan Edward puji karena rasanya yang sangat cocok di lidahnya. Semenjak Maura melepas batas di antara mereka, wanita itu tak hanya berperan sebagai seorang pelacur yang Edward beli dari rumah bordil. Namun juga berperan seolah wanita itu adalah pelayan pribadinya, yang mengurus semua tentang penthousenya. Lebih tepatnya, Maura sudah seperti istrinya sendiri, yang selalu siap sedia kala ia butuh sosok wanita itu di atas ranjangnya, dan akan melayaninya ketika dia lapar dan juga Maura sudah lebih nyaman ketika Edward ajak bicara. Edward sendiri juga tak pernah pulang terlambat lagi, setiap kali sudah memasuki jam pulang kantor, dirinya pasti akan p
"Kamu kenal anak ini, Edward, dulu dia satu sekolah denganmu," ujar Emily menunjukan sebuah foto di ponselnya pada Edward. Pria yang duduk di dekat Mamahnya itu ikut melihat ke dalam ponsel Emily, melihat sosok wanita yang terlihat seperti tengah mengikuti ajang kecantikan dunia. Edward mengakui jika wanita di foto tersebut memang cantik, namun karena banyaknya wanita cantik yang sering hadir di hidupnya, ia merasa hambar melihatnya. "Namanya Gisella, apa kamu ingat?" tanya Emily dengan kedua mata berbinar padanya. Edward mengerutkan alisnya bingung, sejak ia masuk SMP dan SMA sudah banyak sekali wanita yang menempelinya, dan jelas ia tidak ingat semua nama serta rupanya, karena bukan wanita dari kelasnya saja namun dari kelas lain juga. "Entahlah, tidak sepertinya," jawab Edward seadanya membuat Emily mendesahkan napasnya lelah. "Ck! Tapi dia cantik 'kan, Ed? Kamu suka 'kan? Kamu terima dia untuk jadi istri kamu 'kan?" berondong Emily pada Edward yang dijawab dengusan geli ole
"Menurutmu bagaimana kehidupan setelah menikah?" tanya Edward pada Maura, di mana tangan pria itu bergerak abstrak di atas perut telanjang Maura.Maura yang mendengar itu lansung membuka lebar kedua matanya, untunglah dia membelakangi Edward, jadi pria itu tak bisa melihat ekspresi terkejutnya."Kenapa tanya begitu?" tanya Maura yang tak menjawab tanya Edward barusan namun justru melempar tanya kembali."Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menikah itu?" ujar Edward lagi, kemudian mendekap erat tubuh Maura di depannya yang membelakanginya.Maura meringis pelan "jika kamu menikah dengan orang yang kamu cinta kamu pasti akan bahagia ..." jeda sejenak, kedua matanya seolah menerawang ke depan "tidak, tidak aku salah, tidak menjamin bahagia jika hanya menikah dengan orang yang kamu cinta, tapi dengan orang yang tepat" lirihnya pelan, membicarakan ini jelas membuat Maura kembali teringat Deri, sang suami yang entah sedang melakukan apa sekarang, bahagiakah dengan uang yang dia punya?Den
Setelah sarapan yang merangkap makan siang di sebuah hotel berbintang nan mewah, rupanya perjalanan Edward yang membawa Maura belum juga usai. Pria itu masih merasakan perasaan bersalah pada Maura atas kata-kata yang ia lontarkan malam tadi. "Lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Maura mengikuti Edward yang berjalan di depannya. Edward menghentikan langkah kakinya, pria itu berbalik pada Maura "kamu pernah bilang, semua gaun yang aku beri membuat kamu tidak nyaman saat memakainya, bukan?" tanya Edward yang diangguki pelan oleh Maura. "Bukan begitu, tapi jika hanya untuk di rumah, aku biasa memakai kaus dan celana, itu lebih nyaman," ucapnya cepat, karena Maura tidak mau Edwad salah paham dan menganggap ia tidak senang dengan semua pemberian Edward. Bibir Edward menyeringai, "tapi bukankah tak memakai apapun lebih nyaman?" bisiknya di dekat telinga Maura yang berhasil mencipta rona merah di pipinya. "Ayo, hari ini aku akan membelikan seluruh baju yang kamu inginkan, barang, atau
Emily tak henti melirik ke arah pintu masuk restoran, sungguh dirinya gelisah karena sosok yang ditunggu tak kunjung datang, sementara sebentar lagi kedua orangtua Gisel dan wanita itu akan tiba."Edward! Dimana anak itu?!" desahnya lelah, yang kemudian kembali ia ambil ponselnya untuk menghubungi putranya itu.Padahal sudah banyak pesan dan panggilan masuk yang Emily lakukan pada ponsel putranya, tapi tak ada satu dari semua pesan itu yang Edward jawab dan balas.Emily khawatir jika Edward tidak datang ke pertemuan ini.Sampai akhirnya Edward masih belum datang padahal Gisella dan kedua orangtua wanita itu sudah lebih dulu datang ke pertemuan mereka yang direncanakan secara mendadak.Emily mencoba memasang wajah baik-baik saja dan tidak terlihat gelisah karena Edward tak kunjung datang ke pertemuan ini."Tante, Edwardnya mana?" Tanya itu dilayangkan Gisel pada Emily saat wanita muda itu tak menemukan sosok Edward di sekitarnya."Maaf ya Gisel, sepertinya Edward akan datang terlambat,
"Menurutmu bagaimana kehidupan setelah menikah?" tanya Edward pada Maura, di mana tangan pria itu bergerak abstrak di atas perut telanjang Maura.Maura yang mendengar itu lansung membuka lebar kedua matanya, untunglah dia membelakangi Edward, jadi pria itu tak bisa melihat ekspresi terkejutnya."Kenapa tanya begitu?" tanya Maura yang tak menjawab tanya Edward barusan namun justru melempar tanya kembali."Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menikah itu?" ujar Edward lagi, kemudian mendekap erat tubuh Maura di depannya yang membelakanginya.Maura meringis pelan "jika kamu menikah dengan orang yang kamu cinta kamu pasti akan bahagia ..." jeda sejenak, kedua matanya seolah menerawang ke depan "tidak, tidak aku salah, tidak menjamin bahagia jika hanya menikah dengan orang yang kamu cinta, tapi dengan orang yang tepat" lirihnya pelan, membicarakan ini jelas membuat Maura kembali teringat Deri, sang suami yang entah sedang melakukan apa sekarang, bahagiakah dengan uang yang dia punya?Den
"Kamu kenal anak ini, Edward, dulu dia satu sekolah denganmu," ujar Emily menunjukan sebuah foto di ponselnya pada Edward. Pria yang duduk di dekat Mamahnya itu ikut melihat ke dalam ponsel Emily, melihat sosok wanita yang terlihat seperti tengah mengikuti ajang kecantikan dunia. Edward mengakui jika wanita di foto tersebut memang cantik, namun karena banyaknya wanita cantik yang sering hadir di hidupnya, ia merasa hambar melihatnya. "Namanya Gisella, apa kamu ingat?" tanya Emily dengan kedua mata berbinar padanya. Edward mengerutkan alisnya bingung, sejak ia masuk SMP dan SMA sudah banyak sekali wanita yang menempelinya, dan jelas ia tidak ingat semua nama serta rupanya, karena bukan wanita dari kelasnya saja namun dari kelas lain juga. "Entahlah, tidak sepertinya," jawab Edward seadanya membuat Emily mendesahkan napasnya lelah. "Ck! Tapi dia cantik 'kan, Ed? Kamu suka 'kan? Kamu terima dia untuk jadi istri kamu 'kan?" berondong Emily pada Edward yang dijawab dengusan geli ole
Jika dulu jam pulang adalah hal yang tidak pernah Edward nantikan datangnya, namun beberapa hari ini dia yang justru menantikan jam pulang tiba. Dulu tak ada siapapun yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah, namun sekarang setiap dia pulang dari kantor, ada Maura yang sudah menunggunya dengan hidangan buatan wanita itu yang tak pernah bosan Edward puji karena rasanya yang sangat cocok di lidahnya. Semenjak Maura melepas batas di antara mereka, wanita itu tak hanya berperan sebagai seorang pelacur yang Edward beli dari rumah bordil. Namun juga berperan seolah wanita itu adalah pelayan pribadinya, yang mengurus semua tentang penthousenya. Lebih tepatnya, Maura sudah seperti istrinya sendiri, yang selalu siap sedia kala ia butuh sosok wanita itu di atas ranjangnya, dan akan melayaninya ketika dia lapar dan juga Maura sudah lebih nyaman ketika Edward ajak bicara. Edward sendiri juga tak pernah pulang terlambat lagi, setiap kali sudah memasuki jam pulang kantor, dirinya pasti akan p
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku
Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut. 'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?' Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu. 'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah
Edward merasa kepalanya berdenyut pusing, sudah hampir lima hari ia belum pulang ke rumah karena selalu sibuk berpergian untuk membahas kerjasama dan pekerjaan yang tiada habisnya. Padahal tubuhnya sudah merindukan kulit lembut Maura, dan bagaimana janji wanita itu yang akan memasak makan malam untuknya dengan bertelanjang dan hanya ditutup kain apron. Padahal Edward menantikannya, namun ia harus terjebak di kantor karena urusan pekerjaan yang tiada usainya ini. "Pak Ed, baru saja Bu Emily menelepon bahwa beliau akan datang kemari," Edward mengangkat kepalanya dari tulisan-tulisan dokumen yang ada di mejanya pada Alfa, sekertarisnya itu yang mengabari kabar yang sungguh tak mengenakan untuknya. Emily Mamahnya, namun bukan karena kehadiran wanita itu yang membuat perasaan Edward merasa tak enak, melainkan tujuan wanita itu yang datang pasti akan membahas perihal jodoh. "Terimakasih Alfa," ujar Edward pada sang sekertaris yang mengangguk dan kembali keluar dari ruangannya. Edw
Sudah lebih dari satu minggu Maura tinggal di kediaman Edward, menjadi seorang pemuas nafsu bagi pria itu. Meski begitu, Edward membebaskannya, bahkan pintu apartemen pria itu tak dikunci membuatnya sangat mudah untuk melarikan diri. Namun Maura tidak melakukan hal tersebut, kenapa? "Aku tidak pernah mengunci pintu itu, aku membebaskanmu pergi kemanapun, bahkan kabur, jika pengawal yang sudah ku pekerjakan untuk mengawasimu menemukanmu dalam pelarianmu, maka bersiaplah kamu akan diantarnya ke rumah bordil itu. Selagi kamu ingin keluar dan mengatakan tujuanmu padanya, dia akan mengantarkanmu," Itu adalah kalimat yang Edward katakan padanya sebelum pria itu bekerja. Dan tentu saja ucapan Edward tak bisa Maura sepelekan. Ia tak berani menentangnya jika Edward bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Setidaknya Edward masih berbaik hati memberikannya kebebasan, Maura jadi lebih sering keluar meski hanya sebatas ke taman yang berada di belakang gedung apartemen Edward. Seperti saat