"Kamu kenal anak ini, Edward, dulu dia satu sekolah denganmu," ujar Emily menunjukan sebuah foto di ponselnya pada Edward. Pria yang duduk di dekat Mamahnya itu ikut melihat ke dalam ponsel Emily, melihat sosok wanita yang terlihat seperti tengah mengikuti ajang kecantikan dunia. Edward mengakui jika wanita di foto tersebut memang cantik, namun karena banyaknya wanita cantik yang sering hadir di hidupnya, ia merasa hambar melihatnya. "Namanya Gisella, apa kamu ingat?" tanya Emily dengan kedua mata berbinar padanya. Edward mengerutkan alisnya bingung, sejak ia masuk SMP dan SMA sudah banyak sekali wanita yang menempelinya, dan jelas ia tidak ingat semua nama serta rupanya, karena bukan wanita dari kelasnya saja namun dari kelas lain juga. "Entahlah, tidak sepertinya," jawab Edward seadanya membuat Emily mendesahkan napasnya lelah. "Ck! Tapi dia cantik 'kan, Ed? Kamu suka 'kan? Kamu terima dia untuk jadi istri kamu 'kan?" berondong Emily pada Edward yang dijawab dengusan geli ole
"Menurutmu bagaimana kehidupan setelah menikah?" tanya Edward pada Maura, di mana tangan pria itu bergerak abstrak di atas perut telanjang Maura.Maura yang mendengar itu lansung membuka lebar kedua matanya, untunglah dia membelakangi Edward, jadi pria itu tak bisa melihat ekspresi terkejutnya."Kenapa tanya begitu?" tanya Maura yang tak menjawab tanya Edward barusan namun justru melempar tanya kembali."Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menikah itu?" ujar Edward lagi, kemudian mendekap erat tubuh Maura di depannya yang membelakanginya.Maura meringis pelan "jika kamu menikah dengan orang yang kamu cinta kamu pasti akan bahagia ..." jeda sejenak, kedua matanya seolah menerawang ke depan "tidak, tidak aku salah, tidak menjamin bahagia jika hanya menikah dengan orang yang kamu cinta, tapi dengan orang yang tepat" lirihnya pelan, membicarakan ini jelas membuat Maura kembali teringat Deri, sang suami yang entah sedang melakukan apa sekarang, bahagiakah dengan uang yang dia punya?Den
Emily tak henti melirik ke arah pintu masuk restoran, sungguh dirinya gelisah karena sosok yang ditunggu tak kunjung datang, sementara sebentar lagi kedua orangtua Gisel dan wanita itu akan tiba."Edward! Dimana anak itu?!" desahnya lelah, yang kemudian kembali ia ambil ponselnya untuk menghubungi putranya itu.Padahal sudah banyak pesan dan panggilan masuk yang Emily lakukan pada ponsel putranya, tapi tak ada satu dari semua pesan itu yang Edward jawab dan balas.Emily khawatir jika Edward tidak datang ke pertemuan ini.Sampai akhirnya Edward masih belum datang padahal Gisella dan kedua orangtua wanita itu sudah lebih dulu datang ke pertemuan mereka yang direncanakan secara mendadak.Emily mencoba memasang wajah baik-baik saja dan tidak terlihat gelisah karena Edward tak kunjung datang ke pertemuan ini."Tante, Edwardnya mana?" Tanya itu dilayangkan Gisel pada Emily saat wanita muda itu tak menemukan sosok Edward di sekitarnya."Maaf ya Gisel, sepertinya Edward akan datang terlambat,
Setelah sarapan yang merangkap makan siang di sebuah hotel berbintang nan mewah, rupanya perjalanan Edward yang membawa Maura belum juga usai. Pria itu masih merasakan perasaan bersalah pada Maura atas kata-kata yang ia lontarkan malam tadi. "Lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Maura mengikuti Edward yang berjalan di depannya. Edward menghentikan langkah kakinya, pria itu berbalik pada Maura "kamu pernah bilang, semua gaun yang aku beri membuat kamu tidak nyaman saat memakainya, bukan?" tanya Edward yang diangguki pelan oleh Maura. "Bukan begitu, tapi jika hanya untuk di rumah, aku biasa memakai kaus dan celana, itu lebih nyaman," ucapnya cepat, karena Maura tidak mau Edwad salah paham dan menganggap ia tidak senang dengan semua pemberian Edward. Bibir Edward menyeringai, "tapi bukankah tak memakai apapun lebih nyaman?" bisiknya di dekat telinga Maura yang berhasil mencipta rona merah di pipinya. "Ayo, hari ini aku akan membelikan seluruh baju yang kamu inginkan, barang, atau
"Apa maksudnya ini Mas?!" Maura tak bisa menahan buliran air matanya, baru saja ia mendengar pernyataan yang begitu kejam dan jahat dari sang suami untuknya. "Maaf Maura, aku butuh uang, hanya ini jalan terakhir yang bisa menolongku." Maura membekap wajahnya, lututnya goyah dan ia bersimpuh di dekat sang suami yang kian merasakan perasaan bersalah pada istrinya itu. "Tapi apa harus menjualku Mas?! Tega! Kamu sangat jahat!!" jerit itu mengalun di tengah heningnya malam. "Maura dengar..." Deri menggenggam kedua tangan Maura, pria itu ikut bersimpuh di depan Maura yang menangis di bawahnya. "Aku janji, aku akan menebus kamu setelah semua hutangku lunas, aku akan mencari berbagai cara agar kamu bisa bebas!" "Berbagai cara?!" Pandangan Maura terangkat dan menatap tajam pada Deri yang kedua matanya berkaca bingung dan merasa bersalah pada sang istri yang terlihat sangat kacau dan berantakan. "Cara apa lagi?! Sekarang saja kamu berani menjual aku ke rumah bordil!" Amuk Maura memukulk
"Aku sudah tiba di depan! Ku beritahu padamu Javier! Aku sungguh tidak tertarik pada pelacurmu! Yang terakhir kalinya wanita itu meminta hubungan lebih padaku, dan dia bahkan mencuri barang-barangku, aku tidak peduli berapa banyak yang ia ambil, namun aku membenci kelakuannya itu!" 'Tenanglah Edward, aku menyuruhmu datang bukan untuk melihat-lihat koleksiku, meski hari ini akan ada beberapa wanita baru yang masuk ke tempatku. Tapi jika kamu sedang tidak tertarik, aku tidak akan memaksa. Aku memintamu datang untuk menemaniku minum-minum, sepertinya aku sedang patah hati karena cintaku ditolak.' Edward mendengus geli dan mengangguk singkat, mematikan mesin mobilnya yang masih menyala. "Baiklah, aku datang!" Edward mematikan sambungan teleponnya dan berjalan masuk ke dalam rumah prostitusi yang dibangun sahabat baiknya ini. Rumah mewah yang jika dilihat dari luar terlihat seperti rumah biasa dan normal pada umumnya. Namun di dalamnya, begitu liar dan bebas. Di lantai satu, ada pes
"Kamu berbohong, kamu menipu aku?" napas Maura perlahan menjadi sesak, Maura memundurkan perlahan langkahnya, wajahnya berubah pucat. "Tidak, aku tidak menipu kamu." jawab Edward dengan sangat santainya mengikuti pergerakan Maura yang berusaha menjauh dari sosok Edward. Sosok yang ia pikir akan menyelamatkannya, dan bahkan Maura bisa tertipu dari raut wajah dan perlakuan Edward yang terlihat tulus mau membantunya, namun kini melihat aura dominan dan kejam yang terpancar dari sosok pria di depannya membuat nyali Maura ciut seketika. "Aku memang akan mengeluarkanmu dari rumah ini bukan?" ujar Edward merasa tak salah dengan kalimat yang dia katakan pada Maura, salahkan saja Maura yang sudah salah paham dengan maksud kalimatnya. Maura menggelengkan kepalanya pelan, kedua matanya berkaca-kaca penuh ketakutan saat langkah Edward makin dekat dengannya, sedangkan di belakang tubuh pria itu, sosok laki-laki bernama Javier nampak tertawa senang melihat intimidasi yang Edward lakukan padanya
Maura mengerjapkan kedua matanya pelan, ia seolah bermimpi buruk. Mimpi yang terasa begitu nyata. Namun kini Maura terbangun, perasaannya mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dia tidak mengalami seperti apa yang terjadi dalam mimpinya. Dia masih ada di rumah, masih terbaring di ranjangnya, dengan Deri suaminya yang terlelap tidur di sampingnya. Semua terasa melegakan bagi Maura jika saja suara Edward yang tengah bertelepon tak mengacau mimpi indahnya. Membuka mata cepat, Kedua mata Maura lantas berkaca. Apa yang tadi ia pikir mimpi merupakan kenyataan yang kini sedang terjadi. Ia bisa mendengar jelas suara Edward yang tengah bertelepon di belakangnya, menambah keyakinan bahwa yang ia alami memang bukanlah mimpi. "Tentang wanita ini, aku menyukainya. Aku akan mengambilnya Javier!" Tubuh Maura bergetar, kesadarannya telah terkumpul dengan sempurna. rasa panas itu menyerbu kedua matanya. Tubuh telanjang Maura yang hanya dibalut selimut hotel itu perlahan mencoba bangun, i