Maura mengerjapkan kedua matanya pelan, ia seolah bermimpi buruk. Mimpi yang terasa begitu nyata.
Namun kini Maura terbangun, perasaannya mengatakan bahwa dia baik-baik saja, dia tidak mengalami seperti apa yang terjadi dalam mimpinya.
Dia masih ada di rumah, masih terbaring di ranjangnya, dengan Deri suaminya yang terlelap tidur di sampingnya.
Semua terasa melegakan bagi Maura jika saja suara Edward yang tengah bertelepon tak mengacau mimpi indahnya.
Membuka mata cepat, Kedua mata Maura lantas berkaca. Apa yang tadi ia pikir mimpi merupakan kenyataan yang kini sedang terjadi.
Ia bisa mendengar jelas suara Edward yang tengah bertelepon di belakangnya, menambah keyakinan bahwa yang ia alami memang bukanlah mimpi.
"Tentang wanita ini, aku menyukainya. Aku akan mengambilnya Javier!"
Tubuh Maura bergetar, kesadarannya telah terkumpul dengan sempurna. rasa panas itu menyerbu kedua matanya.
Tubuh telanjang Maura yang hanya dibalut selimut hotel itu perlahan mencoba bangun, ia mengeratkan selimut agar tidak turun dan membuka tubuh tanpa busananya. Di sofa sana, Maura bisa melihat sosok Edward yang tengah membalut lukanya, dan pandangan pria itu mengarah padanya dengan senyum miring yang jujur saja membuat Maura tak nyaman menerimanya.
'Bagaimana jalang itu? Apa dia memuaskanmu?!'
"Sangat memuaskanku! Begitu liarnya sampai ia menusukku dengan pisau buah," ucapan Edward itu dikatakan dengan lantang dan tatapan mata yang tak terputus menyorot pada Maura.
'Benarkah?! Apa kamu baik-baik saja? Kembalikan saja dia kemari Ed, aku akan menghukumnya dan mendisiplinkannya atas perbuatannya padamu!'
"Tidak perlu, aku akan menjadikannya pelacur pribadiku! Ternyata aku sangat tertarik padanya."
'Kamu yakin Ed?! Aku pikir dia akan lebih sering memberontak padamu, bagaimana jika dia mencelakaimu lagi?'
Edward terkekeh pelan, tatapan pria itu menghunus pada kedua mata Maura yang menyorot kesedihan itu padanya.
"Itu yang membuatku tertarik dengannya, wanita liar ini harus aku jinakan, paling tidak akan lama sampai aku bosan dan membuangnya."
Bibir Maura sudah berdarah karena kerasnya ia menggigit, setiap kata yang terucap dari bibir Edward sungguh melukainya.
'Tidak! Kembalikan wanita itu ke tempatku jika kamu benar-benar sudah bosan! Dia masih bisa aku berikan pada pelanggan tempatku yang menyukai tema BDSM, mendengar jika dia bisa melawan di atas ranjangmu itu."
Kedua pria yang saling terhubung melalui panggilan telepon itu tertawa, namun setiap tawa yang keluar itu menyakiti Maura seperti sebuah belati yang mengoyak hatinya.
"Kalau gitu aku tutup Javier, aku harus pergi!" Edward menutup sambungan teleponnya, tepat saat dia juga telah selesai membalut luka di atas bahunya.
Edward menyelesaikan membalut luka di bahunya atas perbuataan Maura semalam padanya. Luka itu sudah berhenti mengeluarkan darah, namun rasa sakit dan kebasnya masih bisa Edward rasakan.
"Bagaimana kamu akan bertanggung jawab dengan luka ini?!" Edward bangkit dari duduknya, memamerkan otot dada dan lengannya yang tak tertutup kain itu pada Maura yang menatapnya acuh tak acuh.
Pria itu memperlihatkan luka bekas tusukan Maura di bahunya yang telah dibalut pada wanita yang menatapnya datar, duduk di ranjang hotel tersebut.
"Kamu pantas mendapatkannya!" sinis Maura dengan suara bergetar, entah karena takut atau amarah yang menguasai tubuhnya setelah mendengar pembicaraan Edward dan laki-laki yang Maura tau pemilik tempat pelacuran semalam.
Edward tertawa dengan lantangnya dengan gerak cepat pria itu berjalan mendekat pada Maura yang menahan napasnya, takut jika Edward akan melakukan sesuatu lagi pada tubuhnya.
"Bibirmu itu sangat lancang! Apakah begini caramu berbicara pada Tuanmu?!"
Edward mengapit dagu Maura menggunakan satu tangannya, kedua tatapan tajamnya yang membekukan mampu menyihir Maura untuk tunduk padanya.
"Seharusnya kamu berterimakasih padaku, aku menyelamatkan hidupmu, apa kamu tidak berpikir bagaimana nasibmu jika masih di tempat itu?"
Maura menelan salivanya kasar, "bukankah hal itu tidak ada bedanya?! Sama seperti di sana, aku hanya harus menjadi budak nafsumu!" ketus Maura yang diberi kekehan pelan oleh Edward.
"Astaga mulutmu, tapi memang apa yang kamu katakan benar! Jangan berharap lebih padaku, jika kamu ingin marah dan kecewa, seharusnya pada suamimu yang tega menjual istrinya sendiri!" sindir Edward pada Maura yang hanya memberinya tatapan kesal dan marah padanya.
Maura terdiam, pandangannya perlahan turun dan kedua tangannya terkepal erat di pangkuannya. Jelas terlihat wanita itu menahan kemarahannya.
"Padahal aku pikir kamu baik, kamu berniat menolongku, ternyata kamu jahat dan licik! Kamu menipuku!"
Maura berjengit kaget saat dagunya ditarik dan kedua matanya bertubrukan dengan kedua mata coklat terang milik Edward yang hampir membuatnya terpesona jika ia tak ingat apa yang telah pria ini perbuat pada tubuhnya.
"Apa kamu anak kecil? Kenapa begitu naif dan mempercayai orang yang baru kamu temui? Tak semua di dunia ini gratis sayang, lagipula aku benar-benar menolongmu bukan? Buktinya kamu tidak lagi dijual oleh sahabatku di rumah bordir itu. Di sini kamu hanya perlu membayarnya dengan servis yang menyenangkan dan tubuhmu itu," kekeh Edward "atau jika tidak suka, kamu lebih senang berada di sana dan memuaskan berbagai laki-laki berbeda? Mungkin aku bisa mengerti dan memutuskan untuk mengantarmu kesana," sambung Edward menggoda Maura yang dadanya naik turun dengan cepat.
"Bagaimana? jadi apa pilihanmu? Aku akan mengabulkannya, lagipula tidak ada ruginya untukku jika memang kamu lebih memilih untuk tinggal di tempat pelacuran itu," bibir Edward tertarik membentuk senyum miring.
Pria itu sudah tau jawaban apa yang akan Maura pilih jadi ia tidak khawatir jika Maura ingin pergi darinya.
Kedua mata Maura mengerjap pelan, ia ingin mengalihkan tatapannya dari kedua mata Edward yang menyihirnya hingga ia kehilangan akal untuk memikirkan pilihan yang Edward berikan.
Karena saat menatap kedua mata pria itu, jelas keinginan Maura untuk tinggal dengan Edward di banding berbalik kembali ke rumah pelacuran itu.
Jemari Edward menahan dagu Maura, tak membiarkan wanita itu memalingkan wajah drinya.
"Jawab dan jangan alihkan pandanganmu dariku!" bisik Edward di depan bibir Maura.
Maura menelan salivanya kasar dan menghembuskan pelan napasnya. ia menyingkirkan jemari Edward dari dagunya dan menatap Edward dengan pandangan pasrah serta tak bisa membantah pria itu.
"Baiklah! Aku akan menuruti maumu! Asal kamu berjanji padaku, jika kamu sudah bosan, jangan bawa aku ke tempat terkutuk itu lagi! Aku bersedia bekerja apapun untuk mengembalikan uang yang sudah kamu keluarkan untukku!" desah Maura yang diberi senyum miring mempesona Edward.
"Good girl," ucap Edward dan mengusap lembut kepala Maura.
***
Maura tidak pernah menyangka bahwa ia akan mengalami nasib yang sungguh menyedihkan seperti ini.
Dan yang paling membuatnya kecewa adalah sang suami. Dulu ia memperjuangkan Deri untuk mendapat restu dari kedua orangtuanya, sampai akhirnya Papahnya kecewa dan marah karena Maura bersikeras untuk menikah dengan Deri.
Suaminya dulunya dikenal sebagai pembuat onar, dan banyak masalah yang mendatangkan musibah untuk pria itu. Namun Maura meyakinkan kedua orangtuanya bahwa Deri telah berubah dan mau berubah menjadi lebih baik dengannya.
Kedua orangtuanya tidak percaya, Maura pun menikah tanpa kehadiran kedua orangtuanya. Dan rupanya apa yang ditakutkan kedua orangtuanya perlahan terbukti benar. Deri tak berhenti dari tabiat buruknya di masa lalu. Pria itu masih suka berjudi dan membuang uang untuk membeli minuman beralkohol sampai terjerat pinjaman online yang bunganya tak main-main.
Maura memejamkan kedua matanya erat. Meski begitu ia masih sangat menghormati Deri, setidaknya sampai ia kehilangan semua rasa hormatnya saat Deri dengan tega menjualnya hanya demi hutang yang disebabkan pria itu dan itu pun tanpa Maura tau.
"Kita sudah sampai," suara yang masuk di telinganya menyadarkan Maura dari pikirannya.
Wanita itu membuka kedua matanya dan melihat mobil yang Edward kendarai sudah terparkir di depan lobby sebuah gedung apartemen mewah.
"Kamu tinggal di sini?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bibir Maura, dan dijawab dengusan geli oleh Edward.
"Ya, jika kamu ingin tau aku jarang pulang kemari, namun karena saat ini kamu akan tinggal di sini, sudah jelas aku akan sering pulang!" Edward mengatakan kalimat itu diiringi dengan senyum cabulnya yang membuat tubuh Maura bergidik seketika.
Maura menarik napasnya pelan, inilah hidup barunya, sepertinya inilah hukuman yang ia dapat karena pernah menentang keputusan orangtuanya yang melarang ia menikah dengan Deri. Maura baru merasakan menderitanya menjadi istri Deri.
Sudah lebih dari satu minggu Maura tinggal di kediaman Edward, menjadi seorang pemuas nafsu bagi pria itu. Meski begitu, Edward membebaskannya, bahkan pintu apartemen pria itu tak dikunci membuatnya sangat mudah untuk melarikan diri. Namun Maura tidak melakukan hal tersebut, kenapa? "Aku tidak pernah mengunci pintu itu, aku membebaskanmu pergi kemanapun, bahkan kabur, jika pengawal yang sudah ku pekerjakan untuk mengawasimu menemukanmu dalam pelarianmu, maka bersiaplah kamu akan diantarnya ke rumah bordil itu. Selagi kamu ingin keluar dan mengatakan tujuanmu padanya, dia akan mengantarkanmu," Itu adalah kalimat yang Edward katakan padanya sebelum pria itu bekerja. Dan tentu saja ucapan Edward tak bisa Maura sepelekan. Ia tak berani menentangnya jika Edward bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Setidaknya Edward masih berbaik hati memberikannya kebebasan, Maura jadi lebih sering keluar meski hanya sebatas ke taman yang berada di belakang gedung apartemen Edward. Seperti saat
Edward merasa kepalanya berdenyut pusing, sudah hampir lima hari ia belum pulang ke rumah karena selalu sibuk berpergian untuk membahas kerjasama dan pekerjaan yang tiada habisnya. Padahal tubuhnya sudah merindukan kulit lembut Maura, dan bagaimana janji wanita itu yang akan memasak makan malam untuknya dengan bertelanjang dan hanya ditutup kain apron. Padahal Edward menantikannya, namun ia harus terjebak di kantor karena urusan pekerjaan yang tiada usainya ini. "Pak Ed, baru saja Bu Emily menelepon bahwa beliau akan datang kemari," Edward mengangkat kepalanya dari tulisan-tulisan dokumen yang ada di mejanya pada Alfa, sekertarisnya itu yang mengabari kabar yang sungguh tak mengenakan untuknya. Emily Mamahnya, namun bukan karena kehadiran wanita itu yang membuat perasaan Edward merasa tak enak, melainkan tujuan wanita itu yang datang pasti akan membahas perihal jodoh. "Terimakasih Alfa," ujar Edward pada sang sekertaris yang mengangguk dan kembali keluar dari ruangannya. Edw
Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut. 'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?' Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu. 'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku
Jika dulu jam pulang adalah hal yang tidak pernah Edward nantikan datangnya, namun beberapa hari ini dia yang justru menantikan jam pulang tiba. Dulu tak ada siapapun yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah, namun sekarang setiap dia pulang dari kantor, ada Maura yang sudah menunggunya dengan hidangan buatan wanita itu yang tak pernah bosan Edward puji karena rasanya yang sangat cocok di lidahnya. Semenjak Maura melepas batas di antara mereka, wanita itu tak hanya berperan sebagai seorang pelacur yang Edward beli dari rumah bordil. Namun juga berperan seolah wanita itu adalah pelayan pribadinya, yang mengurus semua tentang penthousenya. Lebih tepatnya, Maura sudah seperti istrinya sendiri, yang selalu siap sedia kala ia butuh sosok wanita itu di atas ranjangnya, dan akan melayaninya ketika dia lapar dan juga Maura sudah lebih nyaman ketika Edward ajak bicara. Edward sendiri juga tak pernah pulang terlambat lagi, setiap kali sudah memasuki jam pulang kantor, dirinya pasti akan p
"Kamu kenal anak ini, Edward, dulu dia satu sekolah denganmu," ujar Emily menunjukan sebuah foto di ponselnya pada Edward. Pria yang duduk di dekat Mamahnya itu ikut melihat ke dalam ponsel Emily, melihat sosok wanita yang terlihat seperti tengah mengikuti ajang kecantikan dunia. Edward mengakui jika wanita di foto tersebut memang cantik, namun karena banyaknya wanita cantik yang sering hadir di hidupnya, ia merasa hambar melihatnya. "Namanya Gisella, apa kamu ingat?" tanya Emily dengan kedua mata berbinar padanya. Edward mengerutkan alisnya bingung, sejak ia masuk SMP dan SMA sudah banyak sekali wanita yang menempelinya, dan jelas ia tidak ingat semua nama serta rupanya, karena bukan wanita dari kelasnya saja namun dari kelas lain juga. "Entahlah, tidak sepertinya," jawab Edward seadanya membuat Emily mendesahkan napasnya lelah. "Ck! Tapi dia cantik 'kan, Ed? Kamu suka 'kan? Kamu terima dia untuk jadi istri kamu 'kan?" berondong Emily pada Edward yang dijawab dengusan geli ole
"Menurutmu bagaimana kehidupan setelah menikah?" tanya Edward pada Maura, di mana tangan pria itu bergerak abstrak di atas perut telanjang Maura.Maura yang mendengar itu lansung membuka lebar kedua matanya, untunglah dia membelakangi Edward, jadi pria itu tak bisa melihat ekspresi terkejutnya."Kenapa tanya begitu?" tanya Maura yang tak menjawab tanya Edward barusan namun justru melempar tanya kembali."Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menikah itu?" ujar Edward lagi, kemudian mendekap erat tubuh Maura di depannya yang membelakanginya.Maura meringis pelan "jika kamu menikah dengan orang yang kamu cinta kamu pasti akan bahagia ..." jeda sejenak, kedua matanya seolah menerawang ke depan "tidak, tidak aku salah, tidak menjamin bahagia jika hanya menikah dengan orang yang kamu cinta, tapi dengan orang yang tepat" lirihnya pelan, membicarakan ini jelas membuat Maura kembali teringat Deri, sang suami yang entah sedang melakukan apa sekarang, bahagiakah dengan uang yang dia punya?Den
Emily tak henti melirik ke arah pintu masuk restoran, sungguh dirinya gelisah karena sosok yang ditunggu tak kunjung datang, sementara sebentar lagi kedua orangtua Gisel dan wanita itu akan tiba."Edward! Dimana anak itu?!" desahnya lelah, yang kemudian kembali ia ambil ponselnya untuk menghubungi putranya itu.Padahal sudah banyak pesan dan panggilan masuk yang Emily lakukan pada ponsel putranya, tapi tak ada satu dari semua pesan itu yang Edward jawab dan balas.Emily khawatir jika Edward tidak datang ke pertemuan ini.Sampai akhirnya Edward masih belum datang padahal Gisella dan kedua orangtua wanita itu sudah lebih dulu datang ke pertemuan mereka yang direncanakan secara mendadak.Emily mencoba memasang wajah baik-baik saja dan tidak terlihat gelisah karena Edward tak kunjung datang ke pertemuan ini."Tante, Edwardnya mana?" Tanya itu dilayangkan Gisel pada Emily saat wanita muda itu tak menemukan sosok Edward di sekitarnya."Maaf ya Gisel, sepertinya Edward akan datang terlambat,
Setelah sarapan yang merangkap makan siang di sebuah hotel berbintang nan mewah, rupanya perjalanan Edward yang membawa Maura belum juga usai. Pria itu masih merasakan perasaan bersalah pada Maura atas kata-kata yang ia lontarkan malam tadi. "Lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Maura mengikuti Edward yang berjalan di depannya. Edward menghentikan langkah kakinya, pria itu berbalik pada Maura "kamu pernah bilang, semua gaun yang aku beri membuat kamu tidak nyaman saat memakainya, bukan?" tanya Edward yang diangguki pelan oleh Maura. "Bukan begitu, tapi jika hanya untuk di rumah, aku biasa memakai kaus dan celana, itu lebih nyaman," ucapnya cepat, karena Maura tidak mau Edwad salah paham dan menganggap ia tidak senang dengan semua pemberian Edward. Bibir Edward menyeringai, "tapi bukankah tak memakai apapun lebih nyaman?" bisiknya di dekat telinga Maura yang berhasil mencipta rona merah di pipinya. "Ayo, hari ini aku akan membelikan seluruh baju yang kamu inginkan, barang, atau
Emily tak henti melirik ke arah pintu masuk restoran, sungguh dirinya gelisah karena sosok yang ditunggu tak kunjung datang, sementara sebentar lagi kedua orangtua Gisel dan wanita itu akan tiba."Edward! Dimana anak itu?!" desahnya lelah, yang kemudian kembali ia ambil ponselnya untuk menghubungi putranya itu.Padahal sudah banyak pesan dan panggilan masuk yang Emily lakukan pada ponsel putranya, tapi tak ada satu dari semua pesan itu yang Edward jawab dan balas.Emily khawatir jika Edward tidak datang ke pertemuan ini.Sampai akhirnya Edward masih belum datang padahal Gisella dan kedua orangtua wanita itu sudah lebih dulu datang ke pertemuan mereka yang direncanakan secara mendadak.Emily mencoba memasang wajah baik-baik saja dan tidak terlihat gelisah karena Edward tak kunjung datang ke pertemuan ini."Tante, Edwardnya mana?" Tanya itu dilayangkan Gisel pada Emily saat wanita muda itu tak menemukan sosok Edward di sekitarnya."Maaf ya Gisel, sepertinya Edward akan datang terlambat,
"Menurutmu bagaimana kehidupan setelah menikah?" tanya Edward pada Maura, di mana tangan pria itu bergerak abstrak di atas perut telanjang Maura.Maura yang mendengar itu lansung membuka lebar kedua matanya, untunglah dia membelakangi Edward, jadi pria itu tak bisa melihat ekspresi terkejutnya."Kenapa tanya begitu?" tanya Maura yang tak menjawab tanya Edward barusan namun justru melempar tanya kembali."Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menikah itu?" ujar Edward lagi, kemudian mendekap erat tubuh Maura di depannya yang membelakanginya.Maura meringis pelan "jika kamu menikah dengan orang yang kamu cinta kamu pasti akan bahagia ..." jeda sejenak, kedua matanya seolah menerawang ke depan "tidak, tidak aku salah, tidak menjamin bahagia jika hanya menikah dengan orang yang kamu cinta, tapi dengan orang yang tepat" lirihnya pelan, membicarakan ini jelas membuat Maura kembali teringat Deri, sang suami yang entah sedang melakukan apa sekarang, bahagiakah dengan uang yang dia punya?Den
"Kamu kenal anak ini, Edward, dulu dia satu sekolah denganmu," ujar Emily menunjukan sebuah foto di ponselnya pada Edward. Pria yang duduk di dekat Mamahnya itu ikut melihat ke dalam ponsel Emily, melihat sosok wanita yang terlihat seperti tengah mengikuti ajang kecantikan dunia. Edward mengakui jika wanita di foto tersebut memang cantik, namun karena banyaknya wanita cantik yang sering hadir di hidupnya, ia merasa hambar melihatnya. "Namanya Gisella, apa kamu ingat?" tanya Emily dengan kedua mata berbinar padanya. Edward mengerutkan alisnya bingung, sejak ia masuk SMP dan SMA sudah banyak sekali wanita yang menempelinya, dan jelas ia tidak ingat semua nama serta rupanya, karena bukan wanita dari kelasnya saja namun dari kelas lain juga. "Entahlah, tidak sepertinya," jawab Edward seadanya membuat Emily mendesahkan napasnya lelah. "Ck! Tapi dia cantik 'kan, Ed? Kamu suka 'kan? Kamu terima dia untuk jadi istri kamu 'kan?" berondong Emily pada Edward yang dijawab dengusan geli ole
Jika dulu jam pulang adalah hal yang tidak pernah Edward nantikan datangnya, namun beberapa hari ini dia yang justru menantikan jam pulang tiba. Dulu tak ada siapapun yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah, namun sekarang setiap dia pulang dari kantor, ada Maura yang sudah menunggunya dengan hidangan buatan wanita itu yang tak pernah bosan Edward puji karena rasanya yang sangat cocok di lidahnya. Semenjak Maura melepas batas di antara mereka, wanita itu tak hanya berperan sebagai seorang pelacur yang Edward beli dari rumah bordil. Namun juga berperan seolah wanita itu adalah pelayan pribadinya, yang mengurus semua tentang penthousenya. Lebih tepatnya, Maura sudah seperti istrinya sendiri, yang selalu siap sedia kala ia butuh sosok wanita itu di atas ranjangnya, dan akan melayaninya ketika dia lapar dan juga Maura sudah lebih nyaman ketika Edward ajak bicara. Edward sendiri juga tak pernah pulang terlambat lagi, setiap kali sudah memasuki jam pulang kantor, dirinya pasti akan p
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku
Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut. 'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?' Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu. 'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah
Edward merasa kepalanya berdenyut pusing, sudah hampir lima hari ia belum pulang ke rumah karena selalu sibuk berpergian untuk membahas kerjasama dan pekerjaan yang tiada habisnya. Padahal tubuhnya sudah merindukan kulit lembut Maura, dan bagaimana janji wanita itu yang akan memasak makan malam untuknya dengan bertelanjang dan hanya ditutup kain apron. Padahal Edward menantikannya, namun ia harus terjebak di kantor karena urusan pekerjaan yang tiada usainya ini. "Pak Ed, baru saja Bu Emily menelepon bahwa beliau akan datang kemari," Edward mengangkat kepalanya dari tulisan-tulisan dokumen yang ada di mejanya pada Alfa, sekertarisnya itu yang mengabari kabar yang sungguh tak mengenakan untuknya. Emily Mamahnya, namun bukan karena kehadiran wanita itu yang membuat perasaan Edward merasa tak enak, melainkan tujuan wanita itu yang datang pasti akan membahas perihal jodoh. "Terimakasih Alfa," ujar Edward pada sang sekertaris yang mengangguk dan kembali keluar dari ruangannya. Edw
Sudah lebih dari satu minggu Maura tinggal di kediaman Edward, menjadi seorang pemuas nafsu bagi pria itu. Meski begitu, Edward membebaskannya, bahkan pintu apartemen pria itu tak dikunci membuatnya sangat mudah untuk melarikan diri. Namun Maura tidak melakukan hal tersebut, kenapa? "Aku tidak pernah mengunci pintu itu, aku membebaskanmu pergi kemanapun, bahkan kabur, jika pengawal yang sudah ku pekerjakan untuk mengawasimu menemukanmu dalam pelarianmu, maka bersiaplah kamu akan diantarnya ke rumah bordil itu. Selagi kamu ingin keluar dan mengatakan tujuanmu padanya, dia akan mengantarkanmu," Itu adalah kalimat yang Edward katakan padanya sebelum pria itu bekerja. Dan tentu saja ucapan Edward tak bisa Maura sepelekan. Ia tak berani menentangnya jika Edward bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Setidaknya Edward masih berbaik hati memberikannya kebebasan, Maura jadi lebih sering keluar meski hanya sebatas ke taman yang berada di belakang gedung apartemen Edward. Seperti saat