Sudah lebih dari satu minggu Maura tinggal di kediaman Edward, menjadi seorang pemuas nafsu bagi pria itu.
Meski begitu, Edward membebaskannya, bahkan pintu apartemen pria itu tak dikunci membuatnya sangat mudah untuk melarikan diri.
Namun Maura tidak melakukan hal tersebut, kenapa?
"Aku tidak pernah mengunci pintu itu, aku membebaskanmu pergi kemanapun, bahkan kabur, jika pengawal yang sudah ku pekerjakan untuk mengawasimu menemukanmu dalam pelarianmu, maka bersiaplah kamu akan diantarnya ke rumah bordil itu. Selagi kamu ingin keluar dan mengatakan tujuanmu padanya, dia akan mengantarkanmu," Itu adalah kalimat yang Edward katakan padanya sebelum pria itu bekerja.
Dan tentu saja ucapan Edward tak bisa Maura sepelekan. Ia tak berani menentangnya jika Edward bersungguh-sungguh dalam kalimatnya.
Setidaknya Edward masih berbaik hati memberikannya kebebasan, Maura jadi lebih sering keluar meski hanya sebatas ke taman yang berada di belakang gedung apartemen Edward.
Seperti saat ini, kegiatan Maura di sore hari adalah duduk di kursi taman dan mengamati bagaimana anak-anak kecil bermain, dan beberapa orang yang melakukan olahraga sore.
Maura akan terus duduk di taman itu, sampai akhirnya Edward datang menjemputnya, pria itu selalu tau dia ada di sini.
Karena semenjak Maura tinggal dengan Edward, dia tak tau harus melakukan apa selagi Edward pergi bekerja, sebelumnya saat masih bersama Deri, sejak pagi setelah ia membuat sarapan untuk sang suami, Maura akan lansung berangkat bekerja dan akan pulang saat malam hari, dia selalu sibuk dan kini saat ia memiliki banyak waktu luang, Maura sungguh bingung apa yang ingin ia lakukan.
Saat sedang asik melamun, Maura dikejutkan dengan sebuah tangan yang melingkar di lehernya.
"Aku tau kamu ada di sini," bisikan lembut itu mengalun ke telinganya, dan napas panas Edward hembuskan menggoda rahang Maura yang ia tau begitu sensitif.
"Tumben sekali kamu pulang cepat hari ini?" tanya Maura menggigit pipi bagian dalamnya ketika Edward dengan terang-terangan mencium lehernya dan meninggalkan tanda memerah di sana.
"Kita sedang ada di tempat umum," bisik Maura mencengkram erat ujung jas yang Edward kenakan.
"Kalau begitu ayo kita pulang, sejak tiba di kantor pagi tadi, kamu dan tubuhmu ini tidak pernah hilang dari pikiranku, dan itu mengacaukan seluruh pekerjaanku. Jadi kamu harus tanggung jawab!" bisik Edward di telinga Maura dan memberikan gigitan pelan, sebelum pria itu menarik Maura berdiri dari bangku taman dan membawanya masuk ke dalam gedung apartemennya.
Saat melintasi pengawal yang ia pekerjakan untuk menjaga Maura, pria itu hanya mengangguk pelan memberi hormat padanya.
***
Pintu apartemen itu terbuka, Edward yang tak melepaskan bibirnya dari bibir Maura semenjak di lift pun menutup pintu tersebut menggunakan kedua kakinya.
"Aku sungguh merindukan ini!" desah Edward melepas tautan bibirnya dan mengusap lembut bibir merah alami Maura yang membuka kedua matanya dan menatapnya dengan pandangan sayu, sama seperti dirinya.
Wanita itu juga sudah dalam pengaruh birahinya.
"Kalau begitu lakukan," desah Maura membuat dengus geli keluar dari bibir Edward.
Pria itu merebahkan tubuh Maura di atas sofa, "baru beberapa hari kita bersetubuh, tapi sepertinya kamu sudah sangat mendamba sentuhanku di tubuhmu ini bukan? Betapa hausnya dirimu?" bisik Edward yang berada di atas Maura, tangan pria itu menyibak rok bagian bawah Maura dan mengusap lembut lembah favoritnya yang masih tertutupi celana dalam wanita itu.
Maura memejamkan matanya, dia menyadari itu, ia juga berpikir sudah sangat lama sejak Deri menyentuhnya, dan kini setelah ia mendapatkan kenikmatan bersetubuh dari Edward sisi liarnya tak lagi bisa disembunyikan. Maura merasa jijik pada dirinya sendiri dia mengakui itu, namun sentuhan Edward tak bisa dia abaikan begitu saja.
Saat ini semua rasa benci pada tubuh dan dirinya sendiri meluap begitu saja, namun saat nanti dia tengah sendiri, Maura akan didera penyesalan dan rasa bersalahnya pada Deri suaminya, meski ia sudah dikhianati, namun rupanya Maura masih menyimpan sedikit rasa hormat pada suaminya itu.
***
Suara denting sendok dan piring meramaikan suasana hening tanpa pembicaraan di ruang makan tersebut.
Namun nampaknya hanya sosok Edward yang begitu bernafsu memakan makan malamnya, tidak dengan Maura yang sesekali melamun dan hanya mengaduk makanan di atas piringnya.
Edward melihat itu, dia tau ada yang sedang wanita itu pikirkan.
"Apa yang sekarang mengganggu pikiranmu?" mulai Edward merasa terganggu dengan raut wajah dan tingkah laku Maura.
Wanita itu terdiam, seolah berpikir terlebih dahulu haruskah dia memberitahu Edward, namun karena memang wanita itu penasaran alhasil ia memberanikan diri untuk bertanya pada Edward.
"Suamiku, maksudku apa kamu tau bagaimana kabarnya, setelah dia menjualku? Aku penasaran dengan uang sebanyak itu apa yang ingin dia lakukan, benarkah dia membayar hutangnya atau justru menggunakan uang itu untuk bersenang-senang. Aku hanya penasaran, mungkin kamu tau soal itu," tanya Maura penasaran.
Edward berhenti menyentuh makanannya, pria itu nampak berpikir sejenak sebelum kemudian menganggukan kepalanya. "Suamimu, sepertinya masih terbaring lemah di rumah sakit sekarang, itu yang aku dengar dari Javier" jawab Edward dengan gaya tenangnya.
Mendengar hal tersebut, wajah Maura tegang bercampur khawatir. Kedua tangan yang saling tertaut di atas meja itu saling meremas, "ada apa dengannya?" bisiknya takut jika ada hal yang gawat menimpa Deri, meski pria itu telah berlaku jahat padanya, Maura merasa khawatir karena pria itu pernah baik sekali padanya dulu.
"Tenanglah, dia baik-baik saja mungkin hanya ada beberapa tulangnya yang patah," desis Edward acuh, Edward merasa bahwa Maura mungkin masih mencintai suaminya meski pria buruk itu telah menjualnya ke rumah bordil dan mendapatkan uang yang begitu banyak.
"Apa yang terjadi padanya?" cicit Maura pelan.
Edward mengangguk-anggukan kepalanya, "para debt collector itu memukulinya, semua yang yang dibawa suamimu untuk membayar hutangnya masih dibilang kurang, dan sepertinya saat suami burukmu itu sembuh dari lukanya mereka akan mengoperasi untuk mengambil organ dalam suamimu," angin dingin seolah menerpa tubuh Maura hingga ia merinding dan mual mendengarnya.
Benarkah itu?
Di satu sisi ia ingin membuat Deri menderita, namun setelah mendengar hal yang akan terjadi pada pria itu mengapa ia jadi tidak tega?
Semua raut wajah Maura terekam jelas di pengelihatan Edward, bagaimana wanita itu yang begitu mengkhawatirkan suaminya.
"Apakah kamu bisa menolongnya?" suara permohonan itu terdengar dari bibir Maura, wanita itu meminta dengan takut-takut pada Edward, andai pria itu marah dan menyebutnya lancang.
Namun Edward tak bereaksi apa-apa, pria itu hanya mengangkat satu alisnya tak percaya bahwa Maura meminta tolong padanya untuk membantu suaminya itu.
Edward mendengus kecil, "sepertinya kamu masih sangat mencintainya, hingga memintaku untuk menolongnya, padahal perbuatannya padamu sungguh tak bisa dimaafkan."
Maura bergeming, cinta katanya.
Maura bahkan sudah tidak pernah merasakan rasa itu lagi pada suaminya, semua perasaan yang ia punya untuk Deri hanyalah rasa hormat sebagai istri pada suami.
Dan ia merasa khawatir karena Deri juga pernah berbuat baik padanya, dan sempat memainkan peran menjadi suami yang begitu ia dambakan pada awal pernikahan mereka.
kata Cinta?
Maura bahkan tidak pernah tau apa makna cinta yang sebenarnya? Apakah cinta bisa membuatnya gila dan membuatnya kehilangan kedua orangtuanya karena memilih Deri dulu? Jika itu adalah cinta, sepertinya Maura tidak mau mengalami rasa cinta lagi.
Perasannya pada Deri hanya sebatas hormatnya pada sang suami, jantungnya tidak pernah lagi berdebar kencang karena rindu ingin bertemu sang suami.
"Aku anggap itu jawaban iya! Dan apa yang harus kamu bayar untuk permintaan tolongmu ini?" tanya Edward menatap lekat ke dalam kedua mata Maura yang perlahan menatap padanya.
"Kamu tau, ini tidak gratis," ujar Edward lagi, tatapannya begitu dingin seolah membekukan Maura yang duduk kaku di tempatnya.
"Aku akan bekerja sebagai pelayanmu, memanggilmu Tuan setiap hari, melakukan semua yang kamu suruh, bahkan jika kamu izinkan aku akan bekerja untuk mencicil semua hutangku padamu," ini kali terakhir Maura menolong Deri, setelah semua ini selesai ia akan menceraikan pria itu dan jika memang Edward berbaik hati melepasnya, Maura akaan pulang ke kampung halaman untuk bertemu kedua orangtuanya, meminta maaf pada mereka dan memulai hidup baru dengan sederhana.
"Menarik, tapi itu saja tidak cukup, pilihan terakhir bagaimana jika diganti dengan kamu yang menyiapkan makan malamku setiap hari?" bibir Edward tertarik membentuk senyum miring.
Mendengar itu tak memberatkan Maura, dan wanita itu tersenyum lantas mengangguk cepat, namun belum ia berucap setuju, Edward rupanya melanjutkan kalimatnya.
"Dengan bertelanjang, dan hanya ditutup oleh kain apron yang tipis itu," lanjutnya menunjuk sebuah apron putih yang menggantung di dapur mereka.
Wajah Maura memerah dan tegang, Edward rupanya ingin mengerjainya. Bagaimana mungkin Maura bisa melakukan itu?
"Semua pilihan itu ada padamu, aku akan menolongnya dengan syarat yang aku sebutkan tadi"
Edward bangkit dari kursinya, pria itu sudah selesai memakan makan malamnya dan berniat untuk beristirahat di dalam kamarnya.
"Tunggu! Aku setuju," Maura tak berpikir dua kali, kali ini pun dirinya dan tubuhnya sudah rendah di depan Edward, jadi apa yang harus ia pusingkan?
Setelah semua selesai ia tidak akan bertemu dengan Edward lagi, dan menjauh dari Deri, jadi akan Maura jalani semua kesakitan dan hal yang bahkan tak ia sukai ini.
"Bagus," senyum Edward mengembang tipis, dengan kedua mata yang menyorot tajam pada Maura.
Edward merasa kepalanya berdenyut pusing, sudah hampir lima hari ia belum pulang ke rumah karena selalu sibuk berpergian untuk membahas kerjasama dan pekerjaan yang tiada habisnya. Padahal tubuhnya sudah merindukan kulit lembut Maura, dan bagaimana janji wanita itu yang akan memasak makan malam untuknya dengan bertelanjang dan hanya ditutup kain apron. Padahal Edward menantikannya, namun ia harus terjebak di kantor karena urusan pekerjaan yang tiada usainya ini. "Pak Ed, baru saja Bu Emily menelepon bahwa beliau akan datang kemari," Edward mengangkat kepalanya dari tulisan-tulisan dokumen yang ada di mejanya pada Alfa, sekertarisnya itu yang mengabari kabar yang sungguh tak mengenakan untuknya. Emily Mamahnya, namun bukan karena kehadiran wanita itu yang membuat perasaan Edward merasa tak enak, melainkan tujuan wanita itu yang datang pasti akan membahas perihal jodoh. "Terimakasih Alfa," ujar Edward pada sang sekertaris yang mengangguk dan kembali keluar dari ruangannya. Edw
Edward pulang ke apartemen, kepalanya sudah tak berdenyut sakit, namun kini ia merasa bahwa tubuhnya mulai melemah. Edward ingin tidur sebentar untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Ketika tangannya ingin membuka pintu apartemennya, dering ponsel berbunyi di kantung jasnya dan membuat ia mendesah pelan sebelum mengangkat panggilan tersebut. 'Ed, aku sudah melakukan apa yang kamu pinta, tapi aku penasaran mengapa kamu melakukan sampai sejauh ini? Apa yang sudah wanita itu katakan sampai kamu mau repot menolong suaminya yang tukang judi itu?' Bibir Edward tertarik membentuk senyum miring, "ada tawaran yang tidak bisa aku tolak. Kamu sudah selesai mengurusnya?" tanya Edward pada Javier, temannya yang menghubunginya itu. 'Ya, orang suruhanku telah mengurusnya, pria itu dijaga ketat oleh rentenir karena ditakutkan kabur. Bahkan orang-orangku dilarang untuk bertemu, namun mereka lansung setuju saat orang suruhanku ingin melunasi seluruh hutang suami dari wanita yang kini terbaring lemah
Dengan kedua bibir yang saling tertaut, Edward menggendong Maura naik ke kamar wanita itu. erangan dan desah tertahan Maura mampu mengacaukan pikiran normal Edward. Dengan perlahan dan sangat lembut, Edward membaringkan tubuh Maura ke atas ranjang, melepaskan tautan bibir mereka, kedua mata mereka saling pandang bahkan napasnya pun sama memburu, seolah gairah mereka tengah berlomba untuk keluar. Wajah Edward turun, namun belum bibirnya menyentuh kulit leher Maura, tangan wanita itu terangkat dan menahan dada bidang Edward mencipta tatapan bertanya serta tak suka Edward pada Maura. "Berjanjilah setelah ini kamu tidak akan membuangku ke rumah bordil itu," pinta Maura dengan kedua mata yang menunjukan sorot permohonan dan tatapan takut pada Edward. Bibir pria itu tertarik membentuk senyum miring yang memang bertujuan untuk menggoda Maura. "Kalau begitu lakukan tugasmu sebagai pemuasku dengan baik!" ujar Edward yang kemudian meletakkan tangan Maura ke kerah kemejanya. "Buka pakaianku
Jika dulu jam pulang adalah hal yang tidak pernah Edward nantikan datangnya, namun beberapa hari ini dia yang justru menantikan jam pulang tiba. Dulu tak ada siapapun yang menyambutnya saat dia pulang ke rumah, namun sekarang setiap dia pulang dari kantor, ada Maura yang sudah menunggunya dengan hidangan buatan wanita itu yang tak pernah bosan Edward puji karena rasanya yang sangat cocok di lidahnya. Semenjak Maura melepas batas di antara mereka, wanita itu tak hanya berperan sebagai seorang pelacur yang Edward beli dari rumah bordil. Namun juga berperan seolah wanita itu adalah pelayan pribadinya, yang mengurus semua tentang penthousenya. Lebih tepatnya, Maura sudah seperti istrinya sendiri, yang selalu siap sedia kala ia butuh sosok wanita itu di atas ranjangnya, dan akan melayaninya ketika dia lapar dan juga Maura sudah lebih nyaman ketika Edward ajak bicara. Edward sendiri juga tak pernah pulang terlambat lagi, setiap kali sudah memasuki jam pulang kantor, dirinya pasti akan p
"Kamu kenal anak ini, Edward, dulu dia satu sekolah denganmu," ujar Emily menunjukan sebuah foto di ponselnya pada Edward. Pria yang duduk di dekat Mamahnya itu ikut melihat ke dalam ponsel Emily, melihat sosok wanita yang terlihat seperti tengah mengikuti ajang kecantikan dunia. Edward mengakui jika wanita di foto tersebut memang cantik, namun karena banyaknya wanita cantik yang sering hadir di hidupnya, ia merasa hambar melihatnya. "Namanya Gisella, apa kamu ingat?" tanya Emily dengan kedua mata berbinar padanya. Edward mengerutkan alisnya bingung, sejak ia masuk SMP dan SMA sudah banyak sekali wanita yang menempelinya, dan jelas ia tidak ingat semua nama serta rupanya, karena bukan wanita dari kelasnya saja namun dari kelas lain juga. "Entahlah, tidak sepertinya," jawab Edward seadanya membuat Emily mendesahkan napasnya lelah. "Ck! Tapi dia cantik 'kan, Ed? Kamu suka 'kan? Kamu terima dia untuk jadi istri kamu 'kan?" berondong Emily pada Edward yang dijawab dengusan geli ole
"Menurutmu bagaimana kehidupan setelah menikah?" tanya Edward pada Maura, di mana tangan pria itu bergerak abstrak di atas perut telanjang Maura.Maura yang mendengar itu lansung membuka lebar kedua matanya, untunglah dia membelakangi Edward, jadi pria itu tak bisa melihat ekspresi terkejutnya."Kenapa tanya begitu?" tanya Maura yang tak menjawab tanya Edward barusan namun justru melempar tanya kembali."Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya menikah itu?" ujar Edward lagi, kemudian mendekap erat tubuh Maura di depannya yang membelakanginya.Maura meringis pelan "jika kamu menikah dengan orang yang kamu cinta kamu pasti akan bahagia ..." jeda sejenak, kedua matanya seolah menerawang ke depan "tidak, tidak aku salah, tidak menjamin bahagia jika hanya menikah dengan orang yang kamu cinta, tapi dengan orang yang tepat" lirihnya pelan, membicarakan ini jelas membuat Maura kembali teringat Deri, sang suami yang entah sedang melakukan apa sekarang, bahagiakah dengan uang yang dia punya?Den
Emily tak henti melirik ke arah pintu masuk restoran, sungguh dirinya gelisah karena sosok yang ditunggu tak kunjung datang, sementara sebentar lagi kedua orangtua Gisel dan wanita itu akan tiba."Edward! Dimana anak itu?!" desahnya lelah, yang kemudian kembali ia ambil ponselnya untuk menghubungi putranya itu.Padahal sudah banyak pesan dan panggilan masuk yang Emily lakukan pada ponsel putranya, tapi tak ada satu dari semua pesan itu yang Edward jawab dan balas.Emily khawatir jika Edward tidak datang ke pertemuan ini.Sampai akhirnya Edward masih belum datang padahal Gisella dan kedua orangtua wanita itu sudah lebih dulu datang ke pertemuan mereka yang direncanakan secara mendadak.Emily mencoba memasang wajah baik-baik saja dan tidak terlihat gelisah karena Edward tak kunjung datang ke pertemuan ini."Tante, Edwardnya mana?" Tanya itu dilayangkan Gisel pada Emily saat wanita muda itu tak menemukan sosok Edward di sekitarnya."Maaf ya Gisel, sepertinya Edward akan datang terlambat,
Setelah sarapan yang merangkap makan siang di sebuah hotel berbintang nan mewah, rupanya perjalanan Edward yang membawa Maura belum juga usai. Pria itu masih merasakan perasaan bersalah pada Maura atas kata-kata yang ia lontarkan malam tadi. "Lalu sekarang kita mau kemana?" tanya Maura mengikuti Edward yang berjalan di depannya. Edward menghentikan langkah kakinya, pria itu berbalik pada Maura "kamu pernah bilang, semua gaun yang aku beri membuat kamu tidak nyaman saat memakainya, bukan?" tanya Edward yang diangguki pelan oleh Maura. "Bukan begitu, tapi jika hanya untuk di rumah, aku biasa memakai kaus dan celana, itu lebih nyaman," ucapnya cepat, karena Maura tidak mau Edwad salah paham dan menganggap ia tidak senang dengan semua pemberian Edward. Bibir Edward menyeringai, "tapi bukankah tak memakai apapun lebih nyaman?" bisiknya di dekat telinga Maura yang berhasil mencipta rona merah di pipinya. "Ayo, hari ini aku akan membelikan seluruh baju yang kamu inginkan, barang, atau