Share

Dihina Pengangguran Tak Berdaya, Ternyata Suamiku Kaya Raya
Dihina Pengangguran Tak Berdaya, Ternyata Suamiku Kaya Raya
Penulis: sugi ria

BAB SATU

"Nadine! Kenapa kamu bisa melakukan hal memalukan itu!"

Suara penuh kekecewaan itu membuat sosok bernama Nadine membeku.

"Aku tidak melakukan apapun, Bu! Sungguh!"

Heni, ibu Nadine, menatap nanar putrinya, "Tapi Dave sendiri yang memergoki yang kalian lakukan berdua di kamar itu!"

Sebelumnya, Nadine tertangkap basah tengah tidur dengan pria tak dikenal, yang saat ini ada di sampingnya, menatapnya tanpa ekspresi.

Saat itu, ketika Nadine terbangun, hal yang pertama kali ia lihat adalah ekspresi kekecewaan Dave yang melihatnya dengan pria asing, tanpa sehelai benang pun.

"Bu, dengarkan aku dulu. Aku datang ke sana setelah mendapatkan pesan kalau Dave katanya pingsan di kamar hotel.” Nadine menarik nafas lalu melanjutkan, "dan saat aku sampai di sana, tiba-tiba seseorang memukulku sampai aku tak sadarkan diri.”

"Cukup bualanmu, Nadine. Aku tak menyangka kamu bisa melakukan hal menjijikkan seperti ini dan masih membela dirimu!"

Nadine tersentak dan menatap calon tunangannya itu tak percaya.

"Dave! Kamu harus percaya padaku!"

Namun, Dave hanya menghembuskan nafas dengan kasar.

"Pak, Bu...."

Nadine masih mencari dukungan orang-orang terdekatnya. Namun, Hermawan dan Heni, orang tua Nadine, tak kuasa menatap putri sulung mereka.

"Kita batalkan pernikahan kita. Maaf, tapi aku tidak bisa menerima perempuan yang ... murahan!" Dave berujar enteng. Tak ada beban sama sekali.

Nadine menangis tertahan. Rasanya sakit mendengar kalimat itu terucap dari pria yang sudah dua tahun merajut tali kasih dengannya.

Tinggal selangkah lagi, hubungan mereka akan sampai di pelaminan. Tapi apa daya, kejadian tragis semalam membuat hidup Nadine jungkir balik. Hancur berantakan dalam sesaat.

"Dave, aku mohon. Jangan begini."

"Lalu aku harus bagaimana? Papa dan mama tidak akan mau menerimamu jika mereka tahu yang sudah terjadi."

Rafael, pria misterius yang dari tadi menatap pertengkaran itu, hanya diam dan menatap nanar pasangan yang baru saja dia hancurkan hubungannya.

Dia sendiri tak ingin lari dari tanggung jawab, meski semua terasa janggal untuknya.

"Dave! Dave tunggu!" Teriak Nadine berusaha mengejar mobil sang tunangan. Sakit dan sedih juga marah memenuhi dada Nadine.

"Gara-gara kamu, semua mimpiku hancur! Gara-gara kamu!" Raung Nadine sambil memukuli dada Rafael yang tertunduk penuh rasa bersalah.

"Maaf."

"Maafmu tidak cukup untuk memperbaiki keadaan!” Nadine berteriak dengan wajah merah padam menahan amarah.

"Saya akan bertanggung jawab. Saya akan menikahi kamu, Mbak."

Mendengar ucapan tersebut, Nadine menggeleng. Tidak percaya dengan apa yang kemarin terjadi. Lalu, tanpa mengindahkan orang-orang yang ada di sana, Nadine langsung masuk ke kamarnya dengan kesal.

"Ibu tidak setuju! Lihat dia. Kerja apa dia? Emang bisa menghidupi anak kita." Wanita di sebelah ayah Nadine berujar ketus.

Rafael terdiam, dia memang hanya kurir pengganti, kadang kerja, kadang tidak. Akan lebih cocok jika disebut pengangguran.

"Bu, jangan begitu,” kata Hermawan, mencoba mendinginkan suasana.

"Jangan begitu bagaimana? Nanti kalau mereka susah, kita juga yang kena. Bapak jangan asal kasih izin mereka menikah!"

"Terus Ibu maunya bagaimana? Nasi sudah menjadi bubur. Dia mau bertanggung jawab. Apa yang kurang. Masalah biaya hidup, bapak yakin kalau pria ini akan memenuhinya, bukankah begitu?"

Rafael mengangguk, "Saya akan menafkahi Nadine dengan layak."

"Dapat duit dari mana kamu? Kerja gak jelas begitu? Mau jadi kriminal kamu? Gak! Gak! Jangan bawa Nadine hidup susah bareng kamu. Dia punya kerjaan bagus. Tidak pantas sama kamu. Sudah dekil, pengangguran!" Makian dan hinaan panjang lebar ibu Nadine berikan.

"Cukup Bu! Jangan menghina orang. Apalagi ini calon suami Nadine," potong Hermawan, sorot mata penuh peringatan lelaki itu berikan.

Ibu Nadine berdecih kesal. "Ibu gak sudi punya mantu dia. Padahal Dave itu sudah kaya dan tampan. Kenapa anak kita harus dengan pria sampah ini!"

Makin dalam rasa bersalah Rafael. Dalam hati dia berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaan Nadine. Termasuk jika dia harus mendapatkan apa yang seharusnya jadi miliknya.

Baru saja wanita itu akan menghina Rafael kembali, Hermawan langsung menarik lengan istrinya untuk masuk kembali ke rumah. "Cukup kamu menghina dia. Kita tidak tahu dia sebenarnya siapa. Siapa tahu dia bisa menghidupi Nadine dengan layak. Sifatnya sudah bagus, mau bertanggung jawab juga jujur."

"Tapi, Pak. Dia itu ...." Hermawan menghentikan ocehan sang istri yang tambah tidak karuan.

"Nak Rafael, duduk dulu. Saya akan bicara dengan ibunya dan memanggil Nadine." Rafael mengangguk santun, melihat Hermawan membawa Heni masuk ke satu kamar.

Lelaki itu lantas duduk di sofa, sesaat memindai ruang tamu keluarga Nadine. Hingga tak lama ponselnya berbunyi. Rafael keluar menuju teras untuk menjawab panggilan.

Bersamaan dengan itu, Nadine keluar kamar sembari menggerutu. Apa lagi selain menggumamkan kebenciannya pada Rafael. "Gara-gara dia impianku hancur." Hanya kalimat itu yang sedari tadi kerap Nadine ucapkan, seolah itu mantra ajaib yang bisa mengubah keadaan.

Nadine sebenarnya malas untuk bertemu Rafael, jangankan bertemu, melihat saja sebetulnya Nadine enggan. Namun karena desakan sang ayah, dia bisa apa. Terlebih mengingat yang sudah terjadi. Nadine tak kuasa menolak

Sampai di ruang tamu, Nadine tidak mendapati Rafael ada di sana. Namun dari tirai jendela yang terbuka, dia bisa melihat Rafael sedang bicara dengan seseorang.

"Kamu urus saja aset dan bisnis itu. Siapa tahu menguntungkan."

Sepenggal percakapan Rafael membuat Nadine mengerutkan dahi. Aset? Bisnis? Nadine tidak salah dengar kan? Seorang pengangguran macam Rafael membicarakan aset dan bisnis. "Siapa dia sebenarnya?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status