Share

BAB EMPAT

SAH!"

Setelah ijab kabul selesai dilakukan, suasana haru menyelimuti ruang tamu sederhana yang dihiasi bunga-bunga segar.

Akad nikah diadakan di rumah mempelai wanita dengan nuansa sederhana penuh kepedihan. Hanya dihadiri keluarga dekat, dan beberapa teman Nadine.

Senyum terpaksa menghiasi wajah-wajah yang hadir, sementara hati mereka mengasihani Nadine dalam diam, mengiringi doa-doa penuh harap yang diselimuti kesedihan mendalam.

"Selamat, Nad. Jangan menangis, aku yakin bahagia sedang menunggumu," bisik Tia yang datang menyaksikan pernikahan sang sahabat.

Gadis itu sempat melihat suami Nadine, memang dekil. Meski pakaiannya tampak rapi.

"Cincinnya yang kemarin," bisik Rafael. Nadine mendengus geram, segera mengambil cincin dari kamarnya. Dari pada dia sendiri malu, karena tak ada cincin pernikahan. Lebih baik ada meski palsu. Toh tidak ada yang tahu.

Acara sangat sederhana, hanya jamuan makan seadanya. Padahal Nadine punya gaji jika ingin sekedar pesta yang lebih layak, tapi sang ibu mengatakan tak usah bermewah-mewah toh mereka MBA, married by accident, alias sudah DP duluan. Malu sama tetangga, hati Nadine tercubit dengan ucapan sang ibu. Begitu burukkah dirinya sekarang.

Rafael menunduk santun saat di depan Hermawan. Pria itu sangat ramah, menerima dirinya dengan tangan terbuka, padahal dia berandalan tengik yang sudah menghancurkan putri cantiknya.

"Sebaiknya kamu tinggal saja di sini. Lumayanlah, dari pada maaf, kontrakan kamu. Kalau sudah bisa sewa yang lebih baik, mau pindah saya juga tidak masalah."

Rafael mengiyakan saja. Memang benar, kontrakannya tidak layak untuk perempuan sebening Nadine. Eman-eman kalau diajak nyungsep ke kontrakan kumuhnya. Mereka tidak tahu saja isi kontrakan kumuh Rafael. Orang pasti jantungan kalau tahu.

"Nad, aduh!" Baru juga masuk kamar sudah dikeplak sama sang istri. Tas usang Rafael terjatuh begitu saja di lantai.

"Apaan?" Rafael sudah mulai biasa memanggil nama pada sang istri sejak mereka dikejar penjahat hari itu.

"Kok gak bisa dilepas?" Nadine menunjukkan cincinnya. Rafael menyeringai sekilas, lantas mengedikkan bahu.

"Kamu sengaja ya mau ngerjain aku?" cecar Nadine kesal.

"Lagian kenapa sih mau dilepas. Mau nutupin status kamu? Aku tahu aku jahat sama kamu, tapi aku beneran tulus mau tanggung jawab. Aku brengsek tapi gak bejat."

Nadine tertegun. Baru kali ini Rafael bicara panjang lebar padanya. Biasanya hanya satu, dua, tiga patah kata.

Perhatian wanita itu lantas terarah pada dada Rafael yang sekilas tampak mulus tanpa cela, beda dengan wajahnya yang dekil dan kusam.

"Panas, Nad," keluh Rafael tanpa sadar.

"Alah biasa pakai kipas tukang sate aja sok-sokan kepanasan." Cep! Rafael bungkam seketika, baru sadar keceplosan.

"Mandi sana! Itu kamar mandinya." Nadine duduk di meja rias, membersihkan make up yang gadis itu aplikasikan sendiri dibantu Tia. Ya, hanya Tia yang sejak kemarin setia menemaninya hunting kebaya untuk pernikahannya.

"Hadiah untukmu." Rafael mengulurkan sebuah benda terbuat dari kristal berwarna ungu. Berbentuk seperti lipstik, bulat panjang.

"Apaan?"

"Aku bilang hadiah. Simpan, jangan dibuang. Ini benda paling berharga mililku, aku serahkan padamu."

Nadine tertegun ketika Rafael mengatakan kalimat tadi. Nadanya datar, tapi terkesan seperti sebuah perintah.

"Kenapa diberikan padaku. Kalau katamu paling berharga," cetus Nadine heran.

"Karena kamu, sama berharganya dengan benda itu. Aku akan menjaga kalian dengan nyawaku."

Deg! Semahal itukah dirinya, sampai Rafael rela mempertaruhkan nyawa untuk dirinya.

"Jangan baper, jangan baper, please." Bola mata Nadine melotot ketika Rafael tiba-tiba menciumnya. Biar pun dekil, tapi bibir lelaki itu terasa lembut dan kenyal, persis bibir perempuan yang selalu dapat perawatan.

"Maaf, jika aku melibatkanmu dalam urusanku mulai saat ini. Karena begitu kita terhubung, mereka akan turut mengincarmu. Jadi solusinya adalah membuatmu berada dalam jangkauanku dua puluh empat jam penuh.”

Malam merayap datang, Nadine rupanya belum bisa tidur, dia sejak tadi tak menyadari kalau Rafael belum kembali dari dapur. Ambil air putih katanya. "Masak iya ke dapur aja tersesat," gumam Nadine.

Langkah wanita itu terhenti melihat satu sosok berdiri di temaram lampu dapur. "Aku sudah menikah. Aku ingin kamu mengurusnya."

Itu suara Rafael kan? Dia sedang bicara dengan siapa? Curiga seketika memenuhi kepala Nadine. Wanita itu mendekat ke arah Rafael. "Kamu lagi ngapain?"

Rafael menoleh cepat, cukup terkejut mendapati Nadine berada di belakangnya. "Gak ada," balas Rafael singkat.

Rafael meninggalkan Nadine begitu saja, sembari mendekap botol besar tempat air. "Dia ini kenapa sih. Sok misterius banget."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status