Share

BAB LIMA

Bertempat di sebuah ruangan privat di satu restoran. Beberapa orang tengah bertemu, pembicaraan serius sepertinya sedang terjadi.

"Pastikan semua aman, aku ingin semua berjalan lancar macam biasa." Seorang pria bertitah dengan lelaki lain membungkuk mengiyakan perintah atasannya.

"Dia pandai sekali menyembunyikan diri."

"Berandalan itu, sangat tidak bertanggung jawab, tapi Kakek malah mewariskan semua padanya. Kita harus bisa menyingkirkannya."

Dua orang itu saling pandang untuk kemudian kompak mengangguk. "Stempel itu, kita harus mendapatkannya, sebelum anak itu menikah. Syaratnya akan terpenuhi jika dia sudah menikah, kedudukannya tidak akan bisa kita singkirkan dengan mudah jika sudah begitu."

"Jangan lupa. Dia masih harus melawan ayahnya, jika membangkang."

"Bukankah dia sudah menunjukkannya saat ini. Tenang saja, andai dia kembali, kita sudah punya alat untuk menjeratnya."

Dua pria tersebut tersenyum bersamaan. Senyum itu makin lebar ketika satu lelaki masuk sembari mengatakan pengiriman berhasil. "Lihat, tempat itu memang paling cocok untuk bisnis kita. Kita harus mendapatkannya bagaimanapun caranya. Jangan sampai dia memilikinya."

"Lakukan apa pun untuk menyingkirkan siapa saja yang menghalangi kita."

***

Pagi menjelang.

"Raf, bangun." Nadine menggoyang lengan Rafael yang tidur tertelungkup memakai kaos lusuh dan celana pendek senada. Setelah drama ala pengantin baru versi Rafael dan Nadine, mereka tidur di kasur yang sama dengan perjanjian no sentuh-sentuh.

Rafael bangkit dari tidurnya sambil menatap Nadine dengan datar.

"Kasurmu sangat nyaman."

Nadine tertegun mendengar jawaban Rafael. Pasal kasur pun, lelaki itu tampak menyedihkan.

Padahal maksud Rafael, kasur Nadine enak karena ada aroma wanita itu. Aroma Nadine mampu membuat tidur Rafael kembali nyenyak, setelah insomia hebat melanda lelaki itu.

Nadine menggelengkan kepala. Sepertinya dia harus berusaha menerima Rafael meski susah. Wanita itu tampak sudah mandi, beberapa kali tatapan matanya menatap cincin di tangannya, jika KW kenapa kilaunya begitu jernih, persis seperti berlian asli.

Cincin itu terlihat manis di tangannya, sama dengan milik Rafael yang entah kenapa tampak cocok di jari panjang sang pria. Helaan napas terdengar, dia sudah menikah sekarang. Meski benci karena caranya, Nadine seolah tak punya alasan untuk menyesalinya. Semua sudah terjadi.

Atensi Nadine teralihkan pada tas usang Rafael, juga beberapa benda yang rupanya lelaki itu berikan untuknya sebagai hantaran. Lumayan terkejut ketika Rafael memberinya mahar dalam bentuk euro yang jumlahnya cukup membuat semua orang terkejut.

Meski kemudian mereka kembali menghina Rafael. "Sudah miskin saja, sok-sokan kasih mahar banyak. Pasti utangnya di mana-mana."

"Raf, kamu gak kerja?" Punggung lebar lelaki itu menggeliat.

"Enggak. Aku hanya berangkat jika mereka memerlukan pengganti."

Suara serak Rafael membuat Nadine merinding. Suaranya sekilas sama dengan waktu lelaki tersebut minta maaf, meski terus menerobos masuk saat melecehkannya saat itu.

"Bilang aja pengacara. Pengangguran banyak acara."

Mengingat hal tersebut, kemarahan Nadine muncul kembali. Hingga dia menemukan obyek untuk melampiaskannya. Tak berapa lama teriakan Rafael terdengar ngilu dari dalam kamar Nadine.

"Kalau kamu gak kerja, kamu yang ngurusin kerjaanku di rumah."

Rafael Mendongak. Wajahnya tampak dingin.

Melihat wajah suaminya itu, dada Nadine bergemuruh. Namun, ia berusaha menguasai dirinya lagi dan memasang wajah jutek.

"Cuci bajuku sama seterika. Aku gak sempat melakukannya. Aku harus kerja."

"Nanti aku kerjakan." Secepat itu Rafael mengiyakan perintah Nadine.

Nadine keluar kamar, setelah membiarkan Rafael kembali rebahan di ranjang sang istri. Tidak kalah dengan miliknya di kontrakan tapi kasur Nadine bikin Rafael betah.

Dia melirik kristal pemberiannya yang disimpan Nadine di dalam laci meja riasnya. "Sampai waktunya, kamu akan sangat berguna untukku. Harus."

Lelaki itu memejamkan mata, hingga dering ponsel membangunkannya. Rafael berdecih pelan membaca pesan di ponsel Nadine. Setelahnya dia meraih ponsel yang dia sembunyikan di bawah bantal.

Satu laporan membuat lelaki itu mengubah mode wajahnya jadi serius. "Halo, berikan aku datanya." Dalam sekejap, laptop Nadine sudah Rafael otak atik, sengaja dia melakukan hal itu. Akan lebih mudah login dengan ID Nadine.

"Sangat mencurigakan."

"Heh! Kamu mau apa dengan laptopku?"

"Pinjam sebentar." Rafael sempat menutup data yang sedang dia periksa ketika Nadine sudah kembali menyerangnya. Amboi, hari pertama Rafael jadi suami Nadine berakhir macam pesakitan di rumah sakit.

"Awas saja sampai laptopku kenapa-kenapa! Kamu harus ganti nanti!" bentak Nadine sambil menarik paksa laptopnya setelah diutak-utik oleh Rafael.

Rafael hanya mengangguk seraya berdiri mendekati Nadine yang sudah bersiap untuk pergi kerja.

Tiba-tiba...

Nadine membeku tatkala keningnya disambar oleh Rafael dengan lembut. Eh! Apa-apaan orang ini!

Wanita itu langsung mendorong Rafael menjauh dari jangkauannya dan menatapnya tajam, "Jangan coba-coba melakukan itu lagi!"

Nadine, dengan wajah yang sudah memerah, langsung beranjak pergi dari tempat itu, sedangkan Rafael hanya menatapnya datar saat Nadine meninggalkannya.

Beberapa jam kemudian, di tempat kerja Nadine.

Wanita itu baru selesai menyiapkan bahan untuk meeting. Ketika dia mendengus kesal, dia perlu tanda tangan Eva sebagai atasannya untuk mengesahkan laporannya. Dia sedang enggan bertemu Eva secara personal.

Jabatan Eva memang lebih tinggi dari Nadine, tapi semua orang tahu, kinerja Nadine berlipat lebih baik dari Eva. Hanya karena Eva putri salah seorang pengusaha di negeri ini, perusahaan memberikan posisi bagus untuk wanita itu.

Langkah malas mengiringi Nadine menuju ruangan Eva. Cukup sepi ketika semua orang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Wanita itu memutar handle pintu ruang kerja Eva, ketika dia mendengar satu suara yang membuat Nadine urung masuk.

Dari celah pintu, bola mata Nadine membulat sempurna melihat apa yang terjadi di dalam sana. "C’mon baby, puaskan aku, setengah jam lagi meetingnya di mulai."

Degup jantung Nadine berlomba ketika dia mendengar siapa partner bercinta Eva. Nadine mundur dari ruangan Eva dengan dada berkecamuk penuh amarah dan kecewa. "Jadi ini yang selama ini terjadi?"

Bersamaan dengan itu, ponsel Nadine berkedip. Satu pesan masuk. "Nad, aku pikir kita dijebak hari itu." Wanita itu menoleh kembali ke ruangan Eva. Mungkinkah?

Dua orang dengan pikiran berbeda tapi sama tujuan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status