Bertempat di sebuah ruangan privat di satu restoran. Beberapa orang tengah bertemu, pembicaraan serius sepertinya sedang terjadi.
"Pastikan semua aman, aku ingin semua berjalan lancar macam biasa." Seorang pria bertitah dengan lelaki lain membungkuk mengiyakan perintah atasannya. "Dia pandai sekali menyembunyikan diri." "Berandalan itu, sangat tidak bertanggung jawab, tapi Kakek malah mewariskan semua padanya. Kita harus bisa menyingkirkannya." Dua orang itu saling pandang untuk kemudian kompak mengangguk. "Stempel itu, kita harus mendapatkannya, sebelum anak itu menikah. Syaratnya akan terpenuhi jika dia sudah menikah, kedudukannya tidak akan bisa kita singkirkan dengan mudah jika sudah begitu." "Jangan lupa. Dia masih harus melawan ayahnya, jika membangkang." "Bukankah dia sudah menunjukkannya saat ini. Tenang saja, andai dia kembali, kita sudah punya alat untuk menjeratnya." Dua pria tersebut tersenyum bersamaan. Senyum itu makin lebar ketika satu lelaki masuk sembari mengatakan pengiriman berhasil. "Lihat, tempat itu memang paling cocok untuk bisnis kita. Kita harus mendapatkannya bagaimanapun caranya. Jangan sampai dia memilikinya." "Lakukan apa pun untuk menyingkirkan siapa saja yang menghalangi kita." *** Pagi menjelang. "Raf, bangun." Nadine menggoyang lengan Rafael yang tidur tertelungkup memakai kaos lusuh dan celana pendek senada. Setelah drama ala pengantin baru versi Rafael dan Nadine, mereka tidur di kasur yang sama dengan perjanjian no sentuh-sentuh. Rafael bangkit dari tidurnya sambil menatap Nadine dengan datar. "Kasurmu sangat nyaman." Nadine tertegun mendengar jawaban Rafael. Pasal kasur pun, lelaki itu tampak menyedihkan. Padahal maksud Rafael, kasur Nadine enak karena ada aroma wanita itu. Aroma Nadine mampu membuat tidur Rafael kembali nyenyak, setelah insomia hebat melanda lelaki itu. Nadine menggelengkan kepala. Sepertinya dia harus berusaha menerima Rafael meski susah. Wanita itu tampak sudah mandi, beberapa kali tatapan matanya menatap cincin di tangannya, jika KW kenapa kilaunya begitu jernih, persis seperti berlian asli. Cincin itu terlihat manis di tangannya, sama dengan milik Rafael yang entah kenapa tampak cocok di jari panjang sang pria. Helaan napas terdengar, dia sudah menikah sekarang. Meski benci karena caranya, Nadine seolah tak punya alasan untuk menyesalinya. Semua sudah terjadi. Atensi Nadine teralihkan pada tas usang Rafael, juga beberapa benda yang rupanya lelaki itu berikan untuknya sebagai hantaran. Lumayan terkejut ketika Rafael memberinya mahar dalam bentuk euro yang jumlahnya cukup membuat semua orang terkejut. Meski kemudian mereka kembali menghina Rafael. "Sudah miskin saja, sok-sokan kasih mahar banyak. Pasti utangnya di mana-mana." "Raf, kamu gak kerja?" Punggung lebar lelaki itu menggeliat. "Enggak. Aku hanya berangkat jika mereka memerlukan pengganti." Suara serak Rafael membuat Nadine merinding. Suaranya sekilas sama dengan waktu lelaki tersebut minta maaf, meski terus menerobos masuk saat melecehkannya saat itu. "Bilang aja pengacara. Pengangguran banyak acara." Mengingat hal tersebut, kemarahan Nadine muncul kembali. Hingga dia menemukan obyek untuk melampiaskannya. Tak berapa lama teriakan Rafael terdengar ngilu dari dalam kamar Nadine. "Kalau kamu gak kerja, kamu yang ngurusin kerjaanku di rumah." Rafael Mendongak. Wajahnya tampak dingin. Melihat wajah suaminya itu, dada Nadine bergemuruh. Namun, ia berusaha menguasai dirinya lagi dan memasang wajah jutek. "Cuci bajuku sama seterika. Aku gak sempat melakukannya. Aku harus kerja." "Nanti aku kerjakan." Secepat itu Rafael mengiyakan perintah Nadine. Nadine keluar kamar, setelah membiarkan Rafael kembali rebahan di ranjang sang istri. Tidak kalah dengan miliknya di kontrakan tapi kasur Nadine bikin Rafael betah. Dia melirik kristal pemberiannya yang disimpan Nadine di dalam laci meja riasnya. "Sampai waktunya, kamu akan sangat berguna untukku. Harus." Lelaki itu memejamkan mata, hingga dering ponsel membangunkannya. Rafael berdecih pelan membaca pesan di ponsel Nadine. Setelahnya dia meraih ponsel yang dia sembunyikan di bawah bantal. Satu laporan membuat lelaki itu mengubah mode wajahnya jadi serius. "Halo, berikan aku datanya." Dalam sekejap, laptop Nadine sudah Rafael otak atik, sengaja dia melakukan hal itu. Akan lebih mudah login dengan ID Nadine. "Sangat mencurigakan." "Heh! Kamu mau apa dengan laptopku?" "Pinjam sebentar." Rafael sempat menutup data yang sedang dia periksa ketika Nadine sudah kembali menyerangnya. Amboi, hari pertama Rafael jadi suami Nadine berakhir macam pesakitan di rumah sakit. "Awas saja sampai laptopku kenapa-kenapa! Kamu harus ganti nanti!" bentak Nadine sambil menarik paksa laptopnya setelah diutak-utik oleh Rafael. Rafael hanya mengangguk seraya berdiri mendekati Nadine yang sudah bersiap untuk pergi kerja. Tiba-tiba... Nadine membeku tatkala keningnya disambar oleh Rafael dengan lembut. Eh! Apa-apaan orang ini! Wanita itu langsung mendorong Rafael menjauh dari jangkauannya dan menatapnya tajam, "Jangan coba-coba melakukan itu lagi!" Nadine, dengan wajah yang sudah memerah, langsung beranjak pergi dari tempat itu, sedangkan Rafael hanya menatapnya datar saat Nadine meninggalkannya. Beberapa jam kemudian, di tempat kerja Nadine. Wanita itu baru selesai menyiapkan bahan untuk meeting. Ketika dia mendengus kesal, dia perlu tanda tangan Eva sebagai atasannya untuk mengesahkan laporannya. Dia sedang enggan bertemu Eva secara personal. Jabatan Eva memang lebih tinggi dari Nadine, tapi semua orang tahu, kinerja Nadine berlipat lebih baik dari Eva. Hanya karena Eva putri salah seorang pengusaha di negeri ini, perusahaan memberikan posisi bagus untuk wanita itu. Langkah malas mengiringi Nadine menuju ruangan Eva. Cukup sepi ketika semua orang sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Wanita itu memutar handle pintu ruang kerja Eva, ketika dia mendengar satu suara yang membuat Nadine urung masuk. Dari celah pintu, bola mata Nadine membulat sempurna melihat apa yang terjadi di dalam sana. "C’mon baby, puaskan aku, setengah jam lagi meetingnya di mulai." Degup jantung Nadine berlomba ketika dia mendengar siapa partner bercinta Eva. Nadine mundur dari ruangan Eva dengan dada berkecamuk penuh amarah dan kecewa. "Jadi ini yang selama ini terjadi?" Bersamaan dengan itu, ponsel Nadine berkedip. Satu pesan masuk. "Nad, aku pikir kita dijebak hari itu." Wanita itu menoleh kembali ke ruangan Eva. Mungkinkah? Dua orang dengan pikiran berbeda tapi sama tujuan.Nadine hanya bisa bengong sepanjang sisa hari. Dia sama sekali tak bisa fokus. Otaknya dipenuhi oleh adegan saat Eva mendesah nikmat sembari membuka lebar dua kakinya di atas meja, sementara seorang pria tengah menghentaknya."Dasar brengsek!" Baru kemarin dia menikah, dan kini dia dihadapkan pada kenyataan pahit kalau dirinya sudah dikhianati oleh sahabat dan tunangannya sendiri.Iya, pria yang sudah membuat Eva memberikan akses penuh pada area pribadinya adalah David, pria yang selama ini dia anggap baik.Karena berpikir demikian maka Nadine tidak banyak membantah ketika David memutuskan pertunangan mereka. Dia pikir David terlalu baik untuk dirinya yang kini hanya seonggok sampah.Namun sekarang, Nadine berpikir kalau David dan dirinya lebih kurang sama. Sama kotornya. Bedanya Nadine dipaksa sedang David dengan senang hati melakukannya. Lebih sakit lagi ketika tahu perempuan itu adalah Eva, sahabatnya sendiri."Ahh, sialan!" Maki Nadine kemudian. Hatinya tak henti mengumpat perbuat
"Aku tidak mau tahu!" Kalimat itu diiringi desisan penuh peringatan. Paras Rafael tampak menegang dengan ekspresi serius kentara di sana. Namun raut wajah itu berubah secepat detik bergulir, kala suara Nadine terdengar memanggil.Lelaki itu mencabut ear phone yang menempel di telinga, memasukkannya ke dalam saku celana pendek. "Raf, kamu ngapain?" Nadine berteriak heboh melihat Rafael berjongkok di area belakang rumah yang berumput tinggi. Ada tumpukan rumput di samping pria tersebut."Potong rumput.""Itu bukan potong rumput tapi cabut rumput. Ibu ini bagaimana sih? Keterlaluan sekali, masak disuruh cabut rumput." Nadine berbalik masuk rumah, ingin protes.Namun Rafael lebih dulu menarik sang istri, hingga perempuan itu berakhir duduk di samping Rafael. "Tidak perlu.""Raf, jangan pasrah-pasrah amat. Lawan dong sesekali." Nadine benci melihat diamnya Rafael saat dikerjai ibu dan adiknya. "Kan bukan kerjaan berat." Nadine mencebik kesal mendengar ucapan Rafael yang terkesan membiarka
"Serius?" Tia bertanya dengan mata membulat sempurna. "Ishh, jangan melotot begitu, serem." Tia buru-buru menormalkan netranya lagi. Mereka sedang berada di kantin, makan siang seperti biasa. Kali ini hanya ada mereka berdua. Sebab Eva lebih memilih bergabung dengan barisan manager yang makan di tempat itu."Dasar muna! Kemarin baik-baikin kamu itu sebab ada maunya ya." Nadine mengedikkan bahu, melihat ke arah Eva yang tersenyum sinis padanya. "Dasar murahan!" Batin Nadine kesal. Sungguh, perempuan itu seperti baru saja dihantam dengan kenyataan perih.Tunangannya direbut temannya, tunangannya juga tega menjebak dirinya, membuat dia dan Rafael harus menikah. Meski ya dalam pandangan Nadine, Rafael punya nilai plus lebih sedikit. Pria itu, entahlah Nadine bingung menjabarkan. Sangat dingin, datar, misterius, tapi ... Rafael seperti punya perhatian untuknya. "Maaf, boleh minta tolong. Kerjakan ini untuk meeting besok, harus sudah selesai hari ini."Nadine menggeram, ingin rasanya men
"Ibu dari mana saja?" Hermawan bertanya pada Heni yang baru kembali entah dari mana. "Dari rumah bu Surti, biasa arisan. Bapak sudah pulang?" Hermawan mengangguk. Lelaki itu lantas melihat ke arah Rafael, lalu memanggilnya."Sudah, hentikan itu. Bapak tahu kamu baru balik kerja." Rafael mengangguk santun, berujar kalau sebentar lagi dia akan selesai. Hermawan masuk ke kamar diikuti Heni, biasanya perempuan itu akan memijit kaki Hermawan setelah kerja. Rafael pernah melihatnya.Setelah Hermawan dan Heni tak terlihat lagi, Rafael gegas meraih ponselnya. Dia bicara melalui benda kecil di telinga. Rafael tampak terlibat pembicaraan serius. Sembari duduk membelakangi teras belakang. Tangannya iseng bergerak, agar terlihat bekerja.Hampir lima belas menit Rafael berdebat melalui benda pipih miliknya. Sampai dia tiba-tiba berdiri, hanya memberi perintah "bereskan." Rafael masuk ke dalam rumah, mengganti pakaiannya lantas mengetuk kamar mertuanya. Meminta izin keluar. Tak ada jawaban, Rafae
Rafael keluar dari kamar mandi. Mereka baru sampai rumah naik motor, meninggalkan David begitu saja. Tentu setelah Nadine menghubungi bengkel langganannya untuk mengambil mobilnya. Nadine jelas senang sekali melihat Rafael datang tepat waktu. Hingga dia tidak perlu menghadapi mantan tunangan yang sedang tidak waras.Rafael melihat Nadine yang masih berkutat dengan laptopnya. "Kamu tahu adikmu punya pacar?" Dia ingat kejadian dua hari lalu.Nadine menoleh, melihat Rafael sedang mengeringkan rambut. "Sepertinya begitu. Aku dengar ibu beberapa kali menyebut namanya, tapi aku lupa. Kenapa?" "Pernah melihat mengantar Sita. Orang kaya?" Nadine mengedikkan bahu, tidak tahu."Memangnya kenapa?" Nadine mengetahui kalau ibunya dan adiknya sering menghina Rafael."Kamu dibanding-bandingkan sama dia?""Tidak juga, memang kenyataannya begitu. Aku ini pengangguran," balas Rafael santai. Pria itu merebahkan tubuh di kasur Nadine. Tempat itu sungguh nyaman. Rafael mengurungkan niat memejamkan mata k
Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui tirai jendela kamar yang terbuka. Suara ribut dari luar kamar membuat Nadine membuka mata. Wanita itu meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Terutama area intinya, terasa perih."Semalam itu ...." Nadine menggigit bibir bawahnya, teringat kejadian tadi malam. Saat Rafael sungguh memasukinya. Sakit luar biasa. Nadine ingat Rafael sempat berucap, "Kamu bisa lakukan apa pun padaku, jika ini menyakitimu." Alhasil Nadine menggigit bahu, juga mencakar punggung suaminya. "Jadi rasanya seperti itu," gumam Nadine. Dia tidak merasakan ini semua saat dipergoki tidur telanjang berdua dengan Rafael oleh David hari itu.Nadine mengepalkan tangan, berarti dia dan Rafael hanya dijebak tidur bersama tanpa melakukan apa pun. "Dasar David sialan!" Maki Nadine. Perempuan itu menaikkan selimutnya sampai ke dada, menyadari kalau tubuhnya polos tanpa pakaian. Pikiran Nadine melayang, otaknya dipenuhi oleh semua yang Rafael lakukan padanya. Nadine belum pe
Suasana panik menyelimuti lorong ruangan tempat Hermawan di rawat. Semua orang tampak cemas. Pun dengan Nadine, perempuan itu duduk di ujung kursi tunggu, berjarak dari Sita dan Heni yang terlihat berpelukan untuk saling menguatkan."Jangan khawatir, bapak tidak akan apa-apa." Hibur Rafael yang tiba-tiba muncul di dekat Nadine. Menggenggam tangan wanita cantik itu. "Tapi Raf, wajah bapak pucat banget, takut kalau hal buruk terjadi.""Percaya sama aku. Semua akan baik-baik saja." Mungkin tak ada yang tahu, Rafael terus membuat Hermawan mendongak meski posisi berbaring. Lelaki itu berusaha membuka jalan pernapasan ayah Nadine agar tetap terbuka. Menghindari sesak yang biasa terjadi akibat serangan jantung."Kamu lihat! Ini semua karena ulah suami pengangguranmu itu. Gara-gara kamu terus membelanya, bapakmu jadi begini."Kalimat Heni hampir saja dibalas oleh Nadine, jika saja Rafael tidak gegas menahannya. Pria itu menggeleng. "Ini rumah sakit," peringat Rafael. Nadine hanya bisa menden
"Beliau terkena serangan jantung. Mengakibatkan stroke tapi masih ringan. Untuk beberapa hari harus dipantau. Bagian tubuh sebelah kiri yang terkena dampaknya. Tidak sampai lumpuh, hanya terasa lemas dan kaku. Dalam beberapa hari ke depan akan ada terapis yang melakukan terapi pada beliau. Supaya kakunya tidak berkelanjutan."Penjelasan panjang lebar dari dokter membuat Nadine dan Rafael mengangguk. Keduanya paham dengan perkataan lelaki dengan snelli melekat di badan.Tampak hormat dan sungkan pada Rafael. Raut wajah lelaki itu padahal terlihat biasa saja. "Loh Raf, kok dikasih yang VIP sih. Kelas tiga tidak apa-apa." Nadine protes ketika tahu Hermawan ditempatkan di kamar VIP."Tidak apa-apa." Lelaki itu mendekat ke arah Hermawan yamg masih memejamkan mata. Tadi Rafael yang mengurus administrasi Hermawan."Tidak apa-apa bagaimana? Kan mahal, bayarnya bagaimana?""Tinggal dibayar saja." Nadine membuat gerakan meremas dengan tangannya. Sungguh kesal dengan sikap Rafael yang tampak san