Share

BAB ENAM

Nadine hanya bisa bengong sepanjang sisa hari. Dia sama sekali tak bisa fokus. Otaknya dipenuhi oleh adegan saat Eva mendesah nikmat sembari membuka lebar dua kakinya di atas meja, sementara seorang pria tengah menghentaknya.

"Dasar brengsek!" Baru kemarin dia menikah, dan kini dia dihadapkan pada kenyataan pahit kalau dirinya sudah dikhianati oleh sahabat dan tunangannya sendiri.

Iya, pria yang sudah membuat Eva memberikan akses penuh pada area pribadinya adalah David, pria yang selama ini dia anggap baik.

Karena berpikir demikian maka Nadine tidak banyak membantah ketika David memutuskan pertunangan mereka. Dia pikir David terlalu baik untuk dirinya yang kini hanya seonggok sampah.

Namun sekarang, Nadine berpikir kalau David dan dirinya lebih kurang sama. Sama kotornya. Bedanya Nadine dipaksa sedang David dengan senang hati melakukannya. Lebih sakit lagi ketika tahu perempuan itu adalah Eva, sahabatnya sendiri.

"Ahh, sialan!" Maki Nadine kemudian. Hatinya tak henti mengumpat perbuatan dua orang yang Nadine anggap sangat berarti dalam hidupnya.

"Nyatanya mereka tak lebih berharga dari kotoran." Nadine menjambak rambut saking frustrasinya.

"Makan yuk, mbak manten baru." Tia melongok dari balik kubikel.

"Lagi gak mood makan," balas Nadine malas.

"Kenapa? Kecapekan?" Tia menaikturunkan alis, kode untuk Nadine.

"Kecapekan ngapain?" Nadine perlu loading beberapa waktu untuk memahami makna kalimat Tia.

"Eh, aku gak ngapa-ngapain sama dia."

"Serius? Kalau dilihat-lihat, walaupun terlihat dekil, wajahnya tampan juga."

Nadine melambaikan tangan, menganggap tak penting ucapan Tia. Walaupun, di ujung hatinya, ia mengamini ucapan temannya itu.

"Suntuk amat sih?" Tia memeta paras ayu Nadine. Cincin pernikahan di jari Nadine menarik perhatian Tia.

Tahu sang teman memperhatikan jarinya, Nadine memutar bola matanya. "KW, dah gak usah dilihat-lihat. Aku malu!"

"Aku pikir itu ori, tapi suamimu tidak mungkin afford buat beliin yang asli. Tapi cantik, cocok sama kamu. Bikin kamu shinning, shimering, splendid," kekeh Tia.

Nadine mengernyit. Tia yang tahu perihal merek-merek ternama tidak mungkin berbohong. Tapi, mana mungkin Rafael bisa membeli yang asli!?

"Apaan sih? Aku lagi bad mood. Ternyata aku selama ini cuma orang bodoh yang dibohongi sama mereka."

Tia berubah jadi mode serius. "Dibohongi? Mereka? Siapa?"

"Mereka, duo racun yang selama ini aku anggap baik. Ternyata tak lebih baik dari aku." Tia seketika diam mendengar curahan hati Nadine. Istri Rafael mendadak memicingkan mata.

"Jangan bilang kamu sudah tahu?"

"Maaf. Aku beberapa kali melihat mereka berciuman. Aku takut mau beritahu kamu, takut kamu kecewa dan sedih." Nadine memejamkan mata, menahan amarah.

"Tia, kenapa kamu gak bilang dari dulu. Apa aku kudu lihat mereka welowelo di ruangan itu, baru aku tahu kalau akulah si bodoh itu."

Bola mata Tia melotot. "What? Kamu lihat mereka lagi anu?"

"Iya, main hantam saja di atas meja. Menjijikkan sekali. Ternyata mereka sama buruknya denganku."

"Jelas beda Nad, mereka sudah jalan lama, first time aku lihat mereka ciuman itu enam bulan lalu. Dan kamu malah lihat mereka adu hantam di kantor? Gila! Haruskah kita berterima kasih sama suamimu yang out of the box. Dekil-dekil gitu dia gentle. Mau ngaku sudah nidurin kamu, mau tanggung jawab. Gak kayak dua cecunguk itu yang malah main belakang."

Nadine jadi kepikiran Rafael yang saat ini jadi bulan-bulanan sang ibu mertua.

Di rumah Nadine, Rafael sedang berusaha menulikan telinga. Mendengar suara makian dari ibu Nadine.

“Kalau tidak ada kerjaan, kamu harus bantuin pekerjaan di rumah. Enak saja mau numpang makan dan hidup gratis sama Nadine. Gak elit banget sih.”

Rafael mengangguk, tidak ingin menggubris hinaan yang kembali ibu mertuanya berikan.

"He, pindah ngepelnya. Jangan di situ doang."

Rafael berlalu tanpa menatap sang ibu mertua. Wajahnya datar, namun memancarkan perasaan kesal yang tertahan.

Sementara itu Sita, adik Nadine, mencibir kakak iparnya itu sambil menatapnya dengan jijik.

"Heran aku, kok kakakku mau sama kamu. Padahal Kak David sudah jadi kakak ipar ideal buat aku! Tapi sekarang malah dapat laki-laki sampah ini!"

Tak ada tanggapan, meski Sita sempat merinding ketika Rafael menatap dingin padanya. Aura Rafael kadang bikin orang ketakutan. Aura dominasi yang membuat mental orang lain tertekan.

"Dasar dekil! Pengangguran lagi. Komplit sudah penderitaan kakakku."

"Sita, jangan bicara begitu." Suara Hermawan membuat Sita mendengus kesal. Pria itu berjalan ke arah dapur.

"Kok ngepel?" tanya Hermawan dengan lembut.

"Gak apa-apa, Pak. Bantuin ibu. Lagi gak ada job."

"Ya, sudah." Hermawan berlalu, keluar dari rumah diikuti istrinya, meninggalkan Sita yang langsung menjulurkan lidah, mengejek pada Rafael. "Pengangguran, dekil. Iyuuhh." Ledek Sita kembali dengan gaya super songong paling menyebalkan di mata Rafael.

"He! Kenapa berhenti? Lanjutin! Nanti terus potong rumput di belakang. Ibu mau ke pasar."

***

"Serius kamu lihat mereka di sana? Sebentar aku ke situ." Niat Nadine ingin menangkap basah David dan Eva terwujud ketika Tia memberitahu sang teman, melihat dua orang itu berada di sebuah restoran.

Tak sampai sepuluh menit, Nadine sampai ke tempat tujuan, resto itu memang dekat dengan kantor. Tanpa basa basi, Nadine menerobos masuk ke ruangan tempat David dan Eva berada.

Syok kembali melanda Nadine ketika dia mendapati David sedang mencium Eva, pakaian wanita itu bahkan sudah berantakan. Menampilkan dada Eva yang tertutup bra merah.

"Wah ketahuan kita," ucap David santai. Pria itu duduk sembari membuka lebar kakinya. Menunjukkan sesuatu yang tengah merayap hidup di pangkal pahanya.

"Tapi bagus sih. Capek juga kucing-kucingan. Iya gak, sayang?" Nadine menatap jijik pada Eva ketika perempuan itu mencium bibir David tanpa malu.

"Brengsek! Berapa lama kalian melakukan ini?"

"Berapa lama ya? Aku lupa. Yang jelas aku bosan sama kamu, tidak bisa diajak bersenang-senang. Jadi gitu deh, aku kasih aja ke pria yang mau. Meski iri juga, dia dapat perawannya kamu."

Nadine memundurkan tubuh, satu kenyataan menampar istri Rafael. Jadi kejadian kemarin adalah jebakan David. "Tapi kenapa kalian melakukan ini?" Nadine hampir menangis.

"Aku mau sama Eva, dan aku perlu alasan kuat untuk memutuskan kamu."

Astaga, sejahat itu mereka ke Nadine. "Kamu tega melakukan itu ke aku. Kalau kalian ingin bersama, tinggal bilang. Tidak perlu menjebak kami."

"Lalu aku yang kena imbasnya. Nama baikku bisa hancur, mikir gak sih kamu?" Nadine lagi-lagi hampir kena serangan jantung mendengar perkataan David.

Tega sekali David melakukan itu hanya untuk memutuskan pertunangan mereka. "Aku tidak terima, kalian jahat! Jahat!" Raung Nadine tidak percaya.

"Lalu kau mau apa? Lapor polisi. Lakukan, dengan begitu aku bisa menyebarkan ini."

David meraih ponsel, menguliknya sebentar. Giliran ponsel Nadine yang bergetar, satu pesan video masuk. "Astaga, apa ini?"

Tangan Nadine gemetar menatap deretan foto yang terkirim ke ponselnya.

"Kurang ajar! Kau ingin mengancamku

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status