Nadine hanya bisa bengong sepanjang sisa hari. Dia sama sekali tak bisa fokus. Otaknya dipenuhi oleh adegan saat Eva mendesah nikmat sembari membuka lebar dua kakinya di atas meja, sementara seorang pria tengah menghentaknya.
"Dasar brengsek!" Baru kemarin dia menikah, dan kini dia dihadapkan pada kenyataan pahit kalau dirinya sudah dikhianati oleh sahabat dan tunangannya sendiri. Iya, pria yang sudah membuat Eva memberikan akses penuh pada area pribadinya adalah David, pria yang selama ini dia anggap baik. Karena berpikir demikian maka Nadine tidak banyak membantah ketika David memutuskan pertunangan mereka. Dia pikir David terlalu baik untuk dirinya yang kini hanya seonggok sampah. Namun sekarang, Nadine berpikir kalau David dan dirinya lebih kurang sama. Sama kotornya. Bedanya Nadine dipaksa sedang David dengan senang hati melakukannya. Lebih sakit lagi ketika tahu perempuan itu adalah Eva, sahabatnya sendiri. "Ahh, sialan!" Maki Nadine kemudian. Hatinya tak henti mengumpat perbuatan dua orang yang Nadine anggap sangat berarti dalam hidupnya. "Nyatanya mereka tak lebih berharga dari kotoran." Nadine menjambak rambut saking frustrasinya. "Makan yuk, mbak manten baru." Tia melongok dari balik kubikel. "Lagi gak mood makan," balas Nadine malas. "Kenapa? Kecapekan?" Tia menaikturunkan alis, kode untuk Nadine. "Kecapekan ngapain?" Nadine perlu loading beberapa waktu untuk memahami makna kalimat Tia. "Eh, aku gak ngapa-ngapain sama dia." "Serius? Kalau dilihat-lihat, walaupun terlihat dekil, wajahnya tampan juga." Nadine melambaikan tangan, menganggap tak penting ucapan Tia. Walaupun, di ujung hatinya, ia mengamini ucapan temannya itu. "Suntuk amat sih?" Tia memeta paras ayu Nadine. Cincin pernikahan di jari Nadine menarik perhatian Tia. Tahu sang teman memperhatikan jarinya, Nadine memutar bola matanya. "KW, dah gak usah dilihat-lihat. Aku malu!" "Aku pikir itu ori, tapi suamimu tidak mungkin afford buat beliin yang asli. Tapi cantik, cocok sama kamu. Bikin kamu shinning, shimering, splendid," kekeh Tia. Nadine mengernyit. Tia yang tahu perihal merek-merek ternama tidak mungkin berbohong. Tapi, mana mungkin Rafael bisa membeli yang asli!? "Apaan sih? Aku lagi bad mood. Ternyata aku selama ini cuma orang bodoh yang dibohongi sama mereka." Tia berubah jadi mode serius. "Dibohongi? Mereka? Siapa?" "Mereka, duo racun yang selama ini aku anggap baik. Ternyata tak lebih baik dari aku." Tia seketika diam mendengar curahan hati Nadine. Istri Rafael mendadak memicingkan mata. "Jangan bilang kamu sudah tahu?" "Maaf. Aku beberapa kali melihat mereka berciuman. Aku takut mau beritahu kamu, takut kamu kecewa dan sedih." Nadine memejamkan mata, menahan amarah. "Tia, kenapa kamu gak bilang dari dulu. Apa aku kudu lihat mereka welowelo di ruangan itu, baru aku tahu kalau akulah si bodoh itu." Bola mata Tia melotot. "What? Kamu lihat mereka lagi anu?" "Iya, main hantam saja di atas meja. Menjijikkan sekali. Ternyata mereka sama buruknya denganku." "Jelas beda Nad, mereka sudah jalan lama, first time aku lihat mereka ciuman itu enam bulan lalu. Dan kamu malah lihat mereka adu hantam di kantor? Gila! Haruskah kita berterima kasih sama suamimu yang out of the box. Dekil-dekil gitu dia gentle. Mau ngaku sudah nidurin kamu, mau tanggung jawab. Gak kayak dua cecunguk itu yang malah main belakang." Nadine jadi kepikiran Rafael yang saat ini jadi bulan-bulanan sang ibu mertua. Di rumah Nadine, Rafael sedang berusaha menulikan telinga. Mendengar suara makian dari ibu Nadine. “Kalau tidak ada kerjaan, kamu harus bantuin pekerjaan di rumah. Enak saja mau numpang makan dan hidup gratis sama Nadine. Gak elit banget sih.” Rafael mengangguk, tidak ingin menggubris hinaan yang kembali ibu mertuanya berikan. "He, pindah ngepelnya. Jangan di situ doang." Rafael berlalu tanpa menatap sang ibu mertua. Wajahnya datar, namun memancarkan perasaan kesal yang tertahan. Sementara itu Sita, adik Nadine, mencibir kakak iparnya itu sambil menatapnya dengan jijik. "Heran aku, kok kakakku mau sama kamu. Padahal Kak David sudah jadi kakak ipar ideal buat aku! Tapi sekarang malah dapat laki-laki sampah ini!" Tak ada tanggapan, meski Sita sempat merinding ketika Rafael menatap dingin padanya. Aura Rafael kadang bikin orang ketakutan. Aura dominasi yang membuat mental orang lain tertekan. "Dasar dekil! Pengangguran lagi. Komplit sudah penderitaan kakakku." "Sita, jangan bicara begitu." Suara Hermawan membuat Sita mendengus kesal. Pria itu berjalan ke arah dapur. "Kok ngepel?" tanya Hermawan dengan lembut. "Gak apa-apa, Pak. Bantuin ibu. Lagi gak ada job." "Ya, sudah." Hermawan berlalu, keluar dari rumah diikuti istrinya, meninggalkan Sita yang langsung menjulurkan lidah, mengejek pada Rafael. "Pengangguran, dekil. Iyuuhh." Ledek Sita kembali dengan gaya super songong paling menyebalkan di mata Rafael. "He! Kenapa berhenti? Lanjutin! Nanti terus potong rumput di belakang. Ibu mau ke pasar." *** "Serius kamu lihat mereka di sana? Sebentar aku ke situ." Niat Nadine ingin menangkap basah David dan Eva terwujud ketika Tia memberitahu sang teman, melihat dua orang itu berada di sebuah restoran. Tak sampai sepuluh menit, Nadine sampai ke tempat tujuan, resto itu memang dekat dengan kantor. Tanpa basa basi, Nadine menerobos masuk ke ruangan tempat David dan Eva berada. Syok kembali melanda Nadine ketika dia mendapati David sedang mencium Eva, pakaian wanita itu bahkan sudah berantakan. Menampilkan dada Eva yang tertutup bra merah. "Wah ketahuan kita," ucap David santai. Pria itu duduk sembari membuka lebar kakinya. Menunjukkan sesuatu yang tengah merayap hidup di pangkal pahanya. "Tapi bagus sih. Capek juga kucing-kucingan. Iya gak, sayang?" Nadine menatap jijik pada Eva ketika perempuan itu mencium bibir David tanpa malu. "Brengsek! Berapa lama kalian melakukan ini?" "Berapa lama ya? Aku lupa. Yang jelas aku bosan sama kamu, tidak bisa diajak bersenang-senang. Jadi gitu deh, aku kasih aja ke pria yang mau. Meski iri juga, dia dapat perawannya kamu." Nadine memundurkan tubuh, satu kenyataan menampar istri Rafael. Jadi kejadian kemarin adalah jebakan David. "Tapi kenapa kalian melakukan ini?" Nadine hampir menangis. "Aku mau sama Eva, dan aku perlu alasan kuat untuk memutuskan kamu." Astaga, sejahat itu mereka ke Nadine. "Kamu tega melakukan itu ke aku. Kalau kalian ingin bersama, tinggal bilang. Tidak perlu menjebak kami." "Lalu aku yang kena imbasnya. Nama baikku bisa hancur, mikir gak sih kamu?" Nadine lagi-lagi hampir kena serangan jantung mendengar perkataan David. Tega sekali David melakukan itu hanya untuk memutuskan pertunangan mereka. "Aku tidak terima, kalian jahat! Jahat!" Raung Nadine tidak percaya. "Lalu kau mau apa? Lapor polisi. Lakukan, dengan begitu aku bisa menyebarkan ini." David meraih ponsel, menguliknya sebentar. Giliran ponsel Nadine yang bergetar, satu pesan video masuk. "Astaga, apa ini?" Tangan Nadine gemetar menatap deretan foto yang terkirim ke ponselnya. "Kurang ajar! Kau ingin mengancamku"Aku tidak mau tahu!" Kalimat itu diiringi desisan penuh peringatan. Paras Rafael tampak menegang dengan ekspresi serius kentara di sana. Namun raut wajah itu berubah secepat detik bergulir, kala suara Nadine terdengar memanggil.Lelaki itu mencabut ear phone yang menempel di telinga, memasukkannya ke dalam saku celana pendek. "Raf, kamu ngapain?" Nadine berteriak heboh melihat Rafael berjongkok di area belakang rumah yang berumput tinggi. Ada tumpukan rumput di samping pria tersebut."Potong rumput.""Itu bukan potong rumput tapi cabut rumput. Ibu ini bagaimana sih? Keterlaluan sekali, masak disuruh cabut rumput." Nadine berbalik masuk rumah, ingin protes.Namun Rafael lebih dulu menarik sang istri, hingga perempuan itu berakhir duduk di samping Rafael. "Tidak perlu.""Raf, jangan pasrah-pasrah amat. Lawan dong sesekali." Nadine benci melihat diamnya Rafael saat dikerjai ibu dan adiknya. "Kan bukan kerjaan berat." Nadine mencebik kesal mendengar ucapan Rafael yang terkesan membiarka
"Serius?" Tia bertanya dengan mata membulat sempurna. "Ishh, jangan melotot begitu, serem." Tia buru-buru menormalkan netranya lagi. Mereka sedang berada di kantin, makan siang seperti biasa. Kali ini hanya ada mereka berdua. Sebab Eva lebih memilih bergabung dengan barisan manager yang makan di tempat itu."Dasar muna! Kemarin baik-baikin kamu itu sebab ada maunya ya." Nadine mengedikkan bahu, melihat ke arah Eva yang tersenyum sinis padanya. "Dasar murahan!" Batin Nadine kesal. Sungguh, perempuan itu seperti baru saja dihantam dengan kenyataan perih.Tunangannya direbut temannya, tunangannya juga tega menjebak dirinya, membuat dia dan Rafael harus menikah. Meski ya dalam pandangan Nadine, Rafael punya nilai plus lebih sedikit. Pria itu, entahlah Nadine bingung menjabarkan. Sangat dingin, datar, misterius, tapi ... Rafael seperti punya perhatian untuknya. "Maaf, boleh minta tolong. Kerjakan ini untuk meeting besok, harus sudah selesai hari ini."Nadine menggeram, ingin rasanya men
"Ibu dari mana saja?" Hermawan bertanya pada Heni yang baru kembali entah dari mana. "Dari rumah bu Surti, biasa arisan. Bapak sudah pulang?" Hermawan mengangguk. Lelaki itu lantas melihat ke arah Rafael, lalu memanggilnya."Sudah, hentikan itu. Bapak tahu kamu baru balik kerja." Rafael mengangguk santun, berujar kalau sebentar lagi dia akan selesai. Hermawan masuk ke kamar diikuti Heni, biasanya perempuan itu akan memijit kaki Hermawan setelah kerja. Rafael pernah melihatnya.Setelah Hermawan dan Heni tak terlihat lagi, Rafael gegas meraih ponselnya. Dia bicara melalui benda kecil di telinga. Rafael tampak terlibat pembicaraan serius. Sembari duduk membelakangi teras belakang. Tangannya iseng bergerak, agar terlihat bekerja.Hampir lima belas menit Rafael berdebat melalui benda pipih miliknya. Sampai dia tiba-tiba berdiri, hanya memberi perintah "bereskan." Rafael masuk ke dalam rumah, mengganti pakaiannya lantas mengetuk kamar mertuanya. Meminta izin keluar. Tak ada jawaban, Rafae
Rafael keluar dari kamar mandi. Mereka baru sampai rumah naik motor, meninggalkan David begitu saja. Tentu setelah Nadine menghubungi bengkel langganannya untuk mengambil mobilnya. Nadine jelas senang sekali melihat Rafael datang tepat waktu. Hingga dia tidak perlu menghadapi mantan tunangan yang sedang tidak waras.Rafael melihat Nadine yang masih berkutat dengan laptopnya. "Kamu tahu adikmu punya pacar?" Dia ingat kejadian dua hari lalu.Nadine menoleh, melihat Rafael sedang mengeringkan rambut. "Sepertinya begitu. Aku dengar ibu beberapa kali menyebut namanya, tapi aku lupa. Kenapa?" "Pernah melihat mengantar Sita. Orang kaya?" Nadine mengedikkan bahu, tidak tahu."Memangnya kenapa?" Nadine mengetahui kalau ibunya dan adiknya sering menghina Rafael."Kamu dibanding-bandingkan sama dia?""Tidak juga, memang kenyataannya begitu. Aku ini pengangguran," balas Rafael santai. Pria itu merebahkan tubuh di kasur Nadine. Tempat itu sungguh nyaman. Rafael mengurungkan niat memejamkan mata k
Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui tirai jendela kamar yang terbuka. Suara ribut dari luar kamar membuat Nadine membuka mata. Wanita itu meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Terutama area intinya, terasa perih."Semalam itu ...." Nadine menggigit bibir bawahnya, teringat kejadian tadi malam. Saat Rafael sungguh memasukinya. Sakit luar biasa. Nadine ingat Rafael sempat berucap, "Kamu bisa lakukan apa pun padaku, jika ini menyakitimu." Alhasil Nadine menggigit bahu, juga mencakar punggung suaminya. "Jadi rasanya seperti itu," gumam Nadine. Dia tidak merasakan ini semua saat dipergoki tidur telanjang berdua dengan Rafael oleh David hari itu.Nadine mengepalkan tangan, berarti dia dan Rafael hanya dijebak tidur bersama tanpa melakukan apa pun. "Dasar David sialan!" Maki Nadine. Perempuan itu menaikkan selimutnya sampai ke dada, menyadari kalau tubuhnya polos tanpa pakaian. Pikiran Nadine melayang, otaknya dipenuhi oleh semua yang Rafael lakukan padanya. Nadine belum pe
Suasana panik menyelimuti lorong ruangan tempat Hermawan di rawat. Semua orang tampak cemas. Pun dengan Nadine, perempuan itu duduk di ujung kursi tunggu, berjarak dari Sita dan Heni yang terlihat berpelukan untuk saling menguatkan."Jangan khawatir, bapak tidak akan apa-apa." Hibur Rafael yang tiba-tiba muncul di dekat Nadine. Menggenggam tangan wanita cantik itu. "Tapi Raf, wajah bapak pucat banget, takut kalau hal buruk terjadi.""Percaya sama aku. Semua akan baik-baik saja." Mungkin tak ada yang tahu, Rafael terus membuat Hermawan mendongak meski posisi berbaring. Lelaki itu berusaha membuka jalan pernapasan ayah Nadine agar tetap terbuka. Menghindari sesak yang biasa terjadi akibat serangan jantung."Kamu lihat! Ini semua karena ulah suami pengangguranmu itu. Gara-gara kamu terus membelanya, bapakmu jadi begini."Kalimat Heni hampir saja dibalas oleh Nadine, jika saja Rafael tidak gegas menahannya. Pria itu menggeleng. "Ini rumah sakit," peringat Rafael. Nadine hanya bisa menden
"Beliau terkena serangan jantung. Mengakibatkan stroke tapi masih ringan. Untuk beberapa hari harus dipantau. Bagian tubuh sebelah kiri yang terkena dampaknya. Tidak sampai lumpuh, hanya terasa lemas dan kaku. Dalam beberapa hari ke depan akan ada terapis yang melakukan terapi pada beliau. Supaya kakunya tidak berkelanjutan."Penjelasan panjang lebar dari dokter membuat Nadine dan Rafael mengangguk. Keduanya paham dengan perkataan lelaki dengan snelli melekat di badan.Tampak hormat dan sungkan pada Rafael. Raut wajah lelaki itu padahal terlihat biasa saja. "Loh Raf, kok dikasih yang VIP sih. Kelas tiga tidak apa-apa." Nadine protes ketika tahu Hermawan ditempatkan di kamar VIP."Tidak apa-apa." Lelaki itu mendekat ke arah Hermawan yamg masih memejamkan mata. Tadi Rafael yang mengurus administrasi Hermawan."Tidak apa-apa bagaimana? Kan mahal, bayarnya bagaimana?""Tinggal dibayar saja." Nadine membuat gerakan meremas dengan tangannya. Sungguh kesal dengan sikap Rafael yang tampak san
Rafael membalikkan badan, setelah seorang pria mengangguk padanya lantas undur diri. Cukup terkejut mendapati ibu mertua dan adik iparnya ada di sana. "Siapa dia?" Heni bertanya to the poin."Bukan siapa-siapa," balas Rafael enteng.Wajah mencemooh segera muncul di paras Heni. "Bosmu? Atau orang yang pernah kamu hutang uangnya," sindir Heni.Rafael mengedikkan bahu, berjalan menjauhi dua orang yang seketika mengumpat. "Gak sopan banget sih!" Maki Sita langsung.Rafael tak peduli. Heni dan Sita keluar kamar, itu artinya Nadine sendirian. Seorang pria muncul tiba-tiba dari sisi kiri, menyerahkan dua paper bag pada Rafael, membungkuk, lalu segera pergi dari hadapan suami Nadine. Tanpa kata, hanya gesture penuh hormat yang terlihat.Rafael membuka pintu, melihat Nadine tengah berbincang dengan Hermawan. Sepertinya lelaki itu sudah bangun. "Bapak, pulang saja. Bapak sudah tidak apa-apa." Pinta lelaki itu ketika melihat Rafael mendekat."Istirahat dulu beberapa hari ini. Jangan cemaskan yan
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan