Nadine hanya bisa bengong sepanjang sisa hari. Dia sama sekali tak bisa fokus. Otaknya dipenuhi oleh adegan saat Eva mendesah nikmat sembari membuka lebar dua kakinya di atas meja, sementara seorang pria tengah menghentaknya.
"Dasar brengsek!" Baru kemarin dia menikah, dan kini dia dihadapkan pada kenyataan pahit kalau dirinya sudah dikhianati oleh sahabat dan tunangannya sendiri. Iya, pria yang sudah membuat Eva memberikan akses penuh pada area pribadinya adalah David, pria yang selama ini dia anggap baik. Karena berpikir demikian maka Nadine tidak banyak membantah ketika David memutuskan pertunangan mereka. Dia pikir David terlalu baik untuk dirinya yang kini hanya seonggok sampah. Namun sekarang, Nadine berpikir kalau David dan dirinya lebih kurang sama. Sama kotornya. Bedanya Nadine dipaksa sedang David dengan senang hati melakukannya. Lebih sakit lagi ketika tahu perempuan itu adalah Eva, sahabatnya sendiri. "Ahh, sialan!" Maki Nadine kemudian. Hatinya tak henti mengumpat perbuatan dua orang yang Nadine anggap sangat berarti dalam hidupnya. "Nyatanya mereka tak lebih berharga dari kotoran." Nadine menjambak rambut saking frustrasinya. "Makan yuk, mbak manten baru." Tia melongok dari balik kubikel. "Lagi gak mood makan," balas Nadine malas. "Kenapa? Kecapekan?" Tia menaikturunkan alis, kode untuk Nadine. "Kecapekan ngapain?" Nadine perlu loading beberapa waktu untuk memahami makna kalimat Tia. "Eh, aku gak ngapa-ngapain sama dia." "Serius? Kalau dilihat-lihat, walaupun terlihat dekil, wajahnya tampan juga." Nadine melambaikan tangan, menganggap tak penting ucapan Tia. Walaupun, di ujung hatinya, ia mengamini ucapan temannya itu. "Suntuk amat sih?" Tia memeta paras ayu Nadine. Cincin pernikahan di jari Nadine menarik perhatian Tia. Tahu sang teman memperhatikan jarinya, Nadine memutar bola matanya. "KW, dah gak usah dilihat-lihat. Aku malu!" "Aku pikir itu ori, tapi suamimu tidak mungkin afford buat beliin yang asli. Tapi cantik, cocok sama kamu. Bikin kamu shinning, shimering, splendid," kekeh Tia. Nadine mengernyit. Tia yang tahu perihal merek-merek ternama tidak mungkin berbohong. Tapi, mana mungkin Rafael bisa membeli yang asli!? "Apaan sih? Aku lagi bad mood. Ternyata aku selama ini cuma orang bodoh yang dibohongi sama mereka." Tia berubah jadi mode serius. "Dibohongi? Mereka? Siapa?" "Mereka, duo racun yang selama ini aku anggap baik. Ternyata tak lebih baik dari aku." Tia seketika diam mendengar curahan hati Nadine. Istri Rafael mendadak memicingkan mata. "Jangan bilang kamu sudah tahu?" "Maaf. Aku beberapa kali melihat mereka berciuman. Aku takut mau beritahu kamu, takut kamu kecewa dan sedih." Nadine memejamkan mata, menahan amarah. "Tia, kenapa kamu gak bilang dari dulu. Apa aku kudu lihat mereka welowelo di ruangan itu, baru aku tahu kalau akulah si bodoh itu." Bola mata Tia melotot. "What? Kamu lihat mereka lagi anu?" "Iya, main hantam saja di atas meja. Menjijikkan sekali. Ternyata mereka sama buruknya denganku." "Jelas beda Nad, mereka sudah jalan lama, first time aku lihat mereka ciuman itu enam bulan lalu. Dan kamu malah lihat mereka adu hantam di kantor? Gila! Haruskah kita berterima kasih sama suamimu yang out of the box. Dekil-dekil gitu dia gentle. Mau ngaku sudah nidurin kamu, mau tanggung jawab. Gak kayak dua cecunguk itu yang malah main belakang." Nadine jadi kepikiran Rafael yang saat ini jadi bulan-bulanan sang ibu mertua. Di rumah Nadine, Rafael sedang berusaha menulikan telinga. Mendengar suara makian dari ibu Nadine. “Kalau tidak ada kerjaan, kamu harus bantuin pekerjaan di rumah. Enak saja mau numpang makan dan hidup gratis sama Nadine. Gak elit banget sih.” Rafael mengangguk, tidak ingin menggubris hinaan yang kembali ibu mertuanya berikan. "He, pindah ngepelnya. Jangan di situ doang." Rafael berlalu tanpa menatap sang ibu mertua. Wajahnya datar, namun memancarkan perasaan kesal yang tertahan. Sementara itu Sita, adik Nadine, mencibir kakak iparnya itu sambil menatapnya dengan jijik. "Heran aku, kok kakakku mau sama kamu. Padahal Kak David sudah jadi kakak ipar ideal buat aku! Tapi sekarang malah dapat laki-laki sampah ini!" Tak ada tanggapan, meski Sita sempat merinding ketika Rafael menatap dingin padanya. Aura Rafael kadang bikin orang ketakutan. Aura dominasi yang membuat mental orang lain tertekan. "Dasar dekil! Pengangguran lagi. Komplit sudah penderitaan kakakku." "Sita, jangan bicara begitu." Suara Hermawan membuat Sita mendengus kesal. Pria itu berjalan ke arah dapur. "Kok ngepel?" tanya Hermawan dengan lembut. "Gak apa-apa, Pak. Bantuin ibu. Lagi gak ada job." "Ya, sudah." Hermawan berlalu, keluar dari rumah diikuti istrinya, meninggalkan Sita yang langsung menjulurkan lidah, mengejek pada Rafael. "Pengangguran, dekil. Iyuuhh." Ledek Sita kembali dengan gaya super songong paling menyebalkan di mata Rafael. "He! Kenapa berhenti? Lanjutin! Nanti terus potong rumput di belakang. Ibu mau ke pasar." *** "Serius kamu lihat mereka di sana? Sebentar aku ke situ." Niat Nadine ingin menangkap basah David dan Eva terwujud ketika Tia memberitahu sang teman, melihat dua orang itu berada di sebuah restoran. Tak sampai sepuluh menit, Nadine sampai ke tempat tujuan, resto itu memang dekat dengan kantor. Tanpa basa basi, Nadine menerobos masuk ke ruangan tempat David dan Eva berada. Syok kembali melanda Nadine ketika dia mendapati David sedang mencium Eva, pakaian wanita itu bahkan sudah berantakan. Menampilkan dada Eva yang tertutup bra merah. "Wah ketahuan kita," ucap David santai. Pria itu duduk sembari membuka lebar kakinya. Menunjukkan sesuatu yang tengah merayap hidup di pangkal pahanya. "Tapi bagus sih. Capek juga kucing-kucingan. Iya gak, sayang?" Nadine menatap jijik pada Eva ketika perempuan itu mencium bibir David tanpa malu. "Brengsek! Berapa lama kalian melakukan ini?" "Berapa lama ya? Aku lupa. Yang jelas aku bosan sama kamu, tidak bisa diajak bersenang-senang. Jadi gitu deh, aku kasih aja ke pria yang mau. Meski iri juga, dia dapat perawannya kamu." Nadine memundurkan tubuh, satu kenyataan menampar istri Rafael. Jadi kejadian kemarin adalah jebakan David. "Tapi kenapa kalian melakukan ini?" Nadine hampir menangis. "Aku mau sama Eva, dan aku perlu alasan kuat untuk memutuskan kamu." Astaga, sejahat itu mereka ke Nadine. "Kamu tega melakukan itu ke aku. Kalau kalian ingin bersama, tinggal bilang. Tidak perlu menjebak kami." "Lalu aku yang kena imbasnya. Nama baikku bisa hancur, mikir gak sih kamu?" Nadine lagi-lagi hampir kena serangan jantung mendengar perkataan David. Tega sekali David melakukan itu hanya untuk memutuskan pertunangan mereka. "Aku tidak terima, kalian jahat! Jahat!" Raung Nadine tidak percaya. "Lalu kau mau apa? Lapor polisi. Lakukan, dengan begitu aku bisa menyebarkan ini." David meraih ponsel, menguliknya sebentar. Giliran ponsel Nadine yang bergetar, satu pesan video masuk. "Astaga, apa ini?" Tangan Nadine gemetar menatap deretan foto yang terkirim ke ponselnya. "Kurang ajar! Kau ingin mengancamku"Aku tidak mau tahu!" Kalimat itu diiringi desisan penuh peringatan. Paras Rafael tampak menegang dengan ekspresi serius kentara di sana. Namun raut wajah itu berubah secepat detik bergulir, kala suara Nadine terdengar memanggil.Lelaki itu mencabut ear phone yang menempel di telinga, memasukkannya ke dalam saku celana pendek. "Raf, kamu ngapain?" Nadine berteriak heboh melihat Rafael berjongkok di area belakang rumah yang berumput tinggi. Ada tumpukan rumput di samping pria tersebut."Potong rumput.""Itu bukan potong rumput tapi cabut rumput. Ibu ini bagaimana sih? Keterlaluan sekali, masak disuruh cabut rumput." Nadine berbalik masuk rumah, ingin protes.Namun Rafael lebih dulu menarik sang istri, hingga perempuan itu berakhir duduk di samping Rafael. "Tidak perlu.""Raf, jangan pasrah-pasrah amat. Lawan dong sesekali." Nadine benci melihat diamnya Rafael saat dikerjai ibu dan adiknya. "Kan bukan kerjaan berat." Nadine mencebik kesal mendengar ucapan Rafael yang terkesan membiarka
"Serius?" Tia bertanya dengan mata membulat sempurna. "Ishh, jangan melotot begitu, serem." Tia buru-buru menormalkan netranya lagi. Mereka sedang berada di kantin, makan siang seperti biasa. Kali ini hanya ada mereka berdua. Sebab Eva lebih memilih bergabung dengan barisan manager yang makan di tempat itu."Dasar muna! Kemarin baik-baikin kamu itu sebab ada maunya ya." Nadine mengedikkan bahu, melihat ke arah Eva yang tersenyum sinis padanya. "Dasar murahan!" Batin Nadine kesal. Sungguh, perempuan itu seperti baru saja dihantam dengan kenyataan perih.Tunangannya direbut temannya, tunangannya juga tega menjebak dirinya, membuat dia dan Rafael harus menikah. Meski ya dalam pandangan Nadine, Rafael punya nilai plus lebih sedikit. Pria itu, entahlah Nadine bingung menjabarkan. Sangat dingin, datar, misterius, tapi ... Rafael seperti punya perhatian untuknya. "Maaf, boleh minta tolong. Kerjakan ini untuk meeting besok, harus sudah selesai hari ini."Nadine menggeram, ingin rasanya men
"Ibu dari mana saja?" Hermawan bertanya pada Heni yang baru kembali entah dari mana. "Dari rumah bu Surti, biasa arisan. Bapak sudah pulang?" Hermawan mengangguk. Lelaki itu lantas melihat ke arah Rafael, lalu memanggilnya."Sudah, hentikan itu. Bapak tahu kamu baru balik kerja." Rafael mengangguk santun, berujar kalau sebentar lagi dia akan selesai. Hermawan masuk ke kamar diikuti Heni, biasanya perempuan itu akan memijit kaki Hermawan setelah kerja. Rafael pernah melihatnya.Setelah Hermawan dan Heni tak terlihat lagi, Rafael gegas meraih ponselnya. Dia bicara melalui benda kecil di telinga. Rafael tampak terlibat pembicaraan serius. Sembari duduk membelakangi teras belakang. Tangannya iseng bergerak, agar terlihat bekerja.Hampir lima belas menit Rafael berdebat melalui benda pipih miliknya. Sampai dia tiba-tiba berdiri, hanya memberi perintah "bereskan." Rafael masuk ke dalam rumah, mengganti pakaiannya lantas mengetuk kamar mertuanya. Meminta izin keluar. Tak ada jawaban, Rafae
Rafael keluar dari kamar mandi. Mereka baru sampai rumah naik motor, meninggalkan David begitu saja. Tentu setelah Nadine menghubungi bengkel langganannya untuk mengambil mobilnya. Nadine jelas senang sekali melihat Rafael datang tepat waktu. Hingga dia tidak perlu menghadapi mantan tunangan yang sedang tidak waras.Rafael melihat Nadine yang masih berkutat dengan laptopnya. "Kamu tahu adikmu punya pacar?" Dia ingat kejadian dua hari lalu.Nadine menoleh, melihat Rafael sedang mengeringkan rambut. "Sepertinya begitu. Aku dengar ibu beberapa kali menyebut namanya, tapi aku lupa. Kenapa?" "Pernah melihat mengantar Sita. Orang kaya?" Nadine mengedikkan bahu, tidak tahu."Memangnya kenapa?" Nadine mengetahui kalau ibunya dan adiknya sering menghina Rafael."Kamu dibanding-bandingkan sama dia?""Tidak juga, memang kenyataannya begitu. Aku ini pengangguran," balas Rafael santai. Pria itu merebahkan tubuh di kasur Nadine. Tempat itu sungguh nyaman. Rafael mengurungkan niat memejamkan mata k
Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui tirai jendela kamar yang terbuka. Suara ribut dari luar kamar membuat Nadine membuka mata. Wanita itu meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Terutama area intinya, terasa perih."Semalam itu ...." Nadine menggigit bibir bawahnya, teringat kejadian tadi malam. Saat Rafael sungguh memasukinya. Sakit luar biasa. Nadine ingat Rafael sempat berucap, "Kamu bisa lakukan apa pun padaku, jika ini menyakitimu." Alhasil Nadine menggigit bahu, juga mencakar punggung suaminya. "Jadi rasanya seperti itu," gumam Nadine. Dia tidak merasakan ini semua saat dipergoki tidur telanjang berdua dengan Rafael oleh David hari itu.Nadine mengepalkan tangan, berarti dia dan Rafael hanya dijebak tidur bersama tanpa melakukan apa pun. "Dasar David sialan!" Maki Nadine. Perempuan itu menaikkan selimutnya sampai ke dada, menyadari kalau tubuhnya polos tanpa pakaian. Pikiran Nadine melayang, otaknya dipenuhi oleh semua yang Rafael lakukan padanya. Nadine belum pe
Suasana panik menyelimuti lorong ruangan tempat Hermawan di rawat. Semua orang tampak cemas. Pun dengan Nadine, perempuan itu duduk di ujung kursi tunggu, berjarak dari Sita dan Heni yang terlihat berpelukan untuk saling menguatkan."Jangan khawatir, bapak tidak akan apa-apa." Hibur Rafael yang tiba-tiba muncul di dekat Nadine. Menggenggam tangan wanita cantik itu. "Tapi Raf, wajah bapak pucat banget, takut kalau hal buruk terjadi.""Percaya sama aku. Semua akan baik-baik saja." Mungkin tak ada yang tahu, Rafael terus membuat Hermawan mendongak meski posisi berbaring. Lelaki itu berusaha membuka jalan pernapasan ayah Nadine agar tetap terbuka. Menghindari sesak yang biasa terjadi akibat serangan jantung."Kamu lihat! Ini semua karena ulah suami pengangguranmu itu. Gara-gara kamu terus membelanya, bapakmu jadi begini."Kalimat Heni hampir saja dibalas oleh Nadine, jika saja Rafael tidak gegas menahannya. Pria itu menggeleng. "Ini rumah sakit," peringat Rafael. Nadine hanya bisa menden
"Beliau terkena serangan jantung. Mengakibatkan stroke tapi masih ringan. Untuk beberapa hari harus dipantau. Bagian tubuh sebelah kiri yang terkena dampaknya. Tidak sampai lumpuh, hanya terasa lemas dan kaku. Dalam beberapa hari ke depan akan ada terapis yang melakukan terapi pada beliau. Supaya kakunya tidak berkelanjutan."Penjelasan panjang lebar dari dokter membuat Nadine dan Rafael mengangguk. Keduanya paham dengan perkataan lelaki dengan snelli melekat di badan.Tampak hormat dan sungkan pada Rafael. Raut wajah lelaki itu padahal terlihat biasa saja. "Loh Raf, kok dikasih yang VIP sih. Kelas tiga tidak apa-apa." Nadine protes ketika tahu Hermawan ditempatkan di kamar VIP."Tidak apa-apa." Lelaki itu mendekat ke arah Hermawan yamg masih memejamkan mata. Tadi Rafael yang mengurus administrasi Hermawan."Tidak apa-apa bagaimana? Kan mahal, bayarnya bagaimana?""Tinggal dibayar saja." Nadine membuat gerakan meremas dengan tangannya. Sungguh kesal dengan sikap Rafael yang tampak san
Rafael membalikkan badan, setelah seorang pria mengangguk padanya lantas undur diri. Cukup terkejut mendapati ibu mertua dan adik iparnya ada di sana. "Siapa dia?" Heni bertanya to the poin."Bukan siapa-siapa," balas Rafael enteng.Wajah mencemooh segera muncul di paras Heni. "Bosmu? Atau orang yang pernah kamu hutang uangnya," sindir Heni.Rafael mengedikkan bahu, berjalan menjauhi dua orang yang seketika mengumpat. "Gak sopan banget sih!" Maki Sita langsung.Rafael tak peduli. Heni dan Sita keluar kamar, itu artinya Nadine sendirian. Seorang pria muncul tiba-tiba dari sisi kiri, menyerahkan dua paper bag pada Rafael, membungkuk, lalu segera pergi dari hadapan suami Nadine. Tanpa kata, hanya gesture penuh hormat yang terlihat.Rafael membuka pintu, melihat Nadine tengah berbincang dengan Hermawan. Sepertinya lelaki itu sudah bangun. "Bapak, pulang saja. Bapak sudah tidak apa-apa." Pinta lelaki itu ketika melihat Rafael mendekat."Istirahat dulu beberapa hari ini. Jangan cemaskan yan