"Aku tidak mau tahu!" Kalimat itu diiringi desisan penuh peringatan. Paras Rafael tampak menegang dengan ekspresi serius kentara di sana. Namun raut wajah itu berubah secepat detik bergulir, kala suara Nadine terdengar memanggil.
Lelaki itu mencabut ear phone yang menempel di telinga, memasukkannya ke dalam saku celana pendek. "Raf, kamu ngapain?" Nadine berteriak heboh melihat Rafael berjongkok di area belakang rumah yang berumput tinggi. Ada tumpukan rumput di samping pria tersebut. "Potong rumput." "Itu bukan potong rumput tapi cabut rumput. Ibu ini bagaimana sih? Keterlaluan sekali, masak disuruh cabut rumput." Nadine berbalik masuk rumah, ingin protes. Namun Rafael lebih dulu menarik sang istri, hingga perempuan itu berakhir duduk di samping Rafael. "Tidak perlu." "Raf, jangan pasrah-pasrah amat. Lawan dong sesekali." Nadine benci melihat diamnya Rafael saat dikerjai ibu dan adiknya. "Kan bukan kerjaan berat." Nadine mencebik kesal mendengar ucapan Rafael yang terkesan membiarkan saja dia dihina dan dimanfaatkan oleh dua orang itu. Wanita itu memanyunkan bibir, berada sedekat ini dengan Rafael membuat Nadine bisa mencium aroma wangi menguar dari tubuh sang suami. "Berapa lama kamu dijemur di sini?" Nadine menatap penuh selidik. Rafael tampak berpikir, untuk kemudian mengedikkan bahu. Peluh membanjiri dahi dan wajah Rafael tapi anehnya tak ada bau keringat tercium dari raga lelaki itu. Seolah suami Nadine hanya duduk di sana tanpa melakukan apa-apa. "Padahal dapat cabut rumput banyak, pasti dia di sini sudah lama, tapi dia tetap wangi ya. Aneh, beda kayak aku, dijemur sedikit langsung bau apek." Nadine tersadar dari keheranannya ketika Rafael menyenggol lengannya. "Kenapa manggil-manggil?" Gemas Nadine dengan gaya bicara Rafael yang lempeng tanpa intonasi. "Apaan sih?" Nadine melotot ketika Rafael menjentikkan jari di depan wajahnya. "Bengong." "Ishh, aku mau kasih lihat ini. Ternyata yang jebak kita itu David, dia selingkuh, dia mau ...." Nadine tak sanggup bercerita, ketika air mata sudah mengalir di pipi. Sementara Rafael sudah merebut ponsel Nadine, lalu melihat deretan foto saat dirinya dan Nadine tidur bersama. Raut wajah Rafael berubah, seperti menahan amarah. Dia akan tandai pria itu. Entah apa yang sedang Rafael pikirannya, yang jelas wajah lelaki berubah menyeramkan berlipat-lipat. Namun ekspresi itu segera berubah ketika mendengar Nadine terisak di sampingnya. "Dia mengancammu?" Nadine mengangguk. Tangan Rafael mengepal. "Memangnya apa yang ingin kamu lakukan pada mereka?" Pertanyaan Rafael membuat Nadine menoleh pada sang suami. Semilir angin membelai wajah keduanya. Yang satu glowing, yang satu kusam. Sungguh, Nadine sudah pantas dibawa ke pesta kelas atas kalangan sosialita. Tinggal di poles sedikit, gadis itu akan jadi pusat perhatian. "Kita sudah menikah, dan aku mencoba untuk tidak menyesalinya. Aku akan belajar menerima. Tapi ketika tahu mereka menjebak kita hanya dengan alasan ingin bersama, aku sakit hati. Tidak perlu melakukan itu, katakan saja jika mau putus denganku. Aku akan mundur." Rafael merengkuh bahu Nadine, membawanya mendekat . "Apa mereka perlu melakukan itu, membuatku tampak buruk di hadapan banyak orang. Membuatku terlihat murahan ...." "Kamu mahal, tidak murah," potong Rafael cepat. Nadine menatap lekat wajah Rafael, lantas berucap, "Terima kasih." Nadine sesaat terkesima, dia baru saja melihat Rafael tersenyum, meski hanya tipis, tapi impact-nya luar biasa. Sikap Rafael membuat suasana hati Nadine berubah, ia tak lagi merasa sendiri. Ada kenyamanan yang dia temukan kala bersama sang suami. "Abaikan, nanti akan ada balasannya." Sok bijak sekali Rafael ini, pikir Nadine. "Kamu gak marah sama mereka, kamu gak dendam? Mereka jebak kamu, bikin kamu jadi punya ... citra buruk .... " "Kan memang begitu, aku pengangguran." Nadine kembali mendengus kesal melihat kepasrahan Rafael. Nadine menghembuskan napas kasar. Wanita itu mulai berpikir untuk membalas kelakuan dua orang itu, tapi bagaimana caranya. "He! Kamu bukannya kerja malah berduaan!" Teriakan keras dari arah belakang membuat sepasang suami istri itu menoleh. "Biarkan saja," ujar Nadine. Dengan Rafael ikut diam, seolah tengah berpikir. Hari berganti malam ketika Nadine selesai membantu sang ibu membereskan dapur. Saking gerahnya dengan ulah sang mantan tunangan, Nadine yang biasanya lembur, hari itu memilih pulang lebih awal. "Mbok ya disuruh cari kerjaan to, gak cuma di rumah terus. Sepet tahu ibu lihatnya," celetukan dari sang ibu membuat Nadine meringis ngilu di hati. "Nanti Nadine coba bicara," balas istri Rafael singkat. "Sekarang dia di mana?" Sang ibu sepertinya akan terus mencari celah untuk menyerang Rafael. "Tadi di kamar," jawab Nadine lirih. "Tidur? Enak sekali dia. Makan, tidur, makan gratis lagi." Tidak sampai di sana, hinaan ibu Nadine mulai merambat ke mana-mana. "Coba lihat pacar Sita, dia aja kalau datang suka bawain jajan, bawa makanan. Lah suami kamu. Ibu sudah senang, kamu mau nikah sama David, eh ditelikung sama lelaki pengangguran, dekil lagi." "Bu, dia punya kerjaan," sambar Nadine mulai gerah. Dia benci kalau mantan tunangannya turut dibawa-bawa. Pria brengsek! "Kerjaan? Mana? Mana? Ibu tebak kamu pasti belum dikasih nafkah. Dia cuma mau enaknya, tidak mau susahnya." Astaga! Cukup! Nadine tak tahan lagi. Sang ibu mulai keterlaluan. Brak! Rafael menoleh ketika Nadine menutup kencang pintu kamar. Terlihat tenang, meski sejatinya cukup terkejut dengan kedatangan Nadine. "Apa yang kamu lakukan?" todong Nadine curiga. Tingkah Rafael kadang membuat Nadine ingin tahu siapa Rafael sebenarnya. Namun tiap kali ditanya jawaban lelaki itu selalu sama. "Aku cuma kurir pengganti." "Tidak ada." Nadine yang sedang dongkol memilih diam, tidak memperpanjang rasa ingin tahunya. "Misterius sekali orang ini," batin Nadine acap kali. "Oh iya, Raf. Bagaimana kalau kamu ikut melamar kerja di pabrik?" "Nanti aku coba." Tuh kan, sesingkat itu tanggapan Rafael, Nadine jadi makin jengkel di buatnya. Ah, terserahlah, Nadine berlalu menuju kamar mandi. Sepuluh menit kemudian. Tampak Rafael menunggu Nadine di lantai karpet kamar sang istri. Lelaki itu mengulurkan satu kartu pada Nadine. "Apaan?" "Nafkahmu. Aku usahakan akan aku isi tiap tanggal lima." Nadine sesaat terbengong. Apa ini batin perempuan itu. Tanpa kata, Rafael mengambil tangan Nadine, lantas meletakkan kartunya di sana. "Pin-nya tanggal pernikahan kita." Nadine terdiam. Perasaan beberapa hari ini, Rafael selalu diam di rumah, tidak keluar rumah. Kok bisa lelaki itu buat ATM dengan pin tanggal pernikahan mereka. Atau Rafael membuatnya secara online. Banyak tanya menyerbu kepala Nadine perihal sang suami. Bersamaan dengan itu satu pop up muncul di ponsel Nadine. Sebuah video terkirim ke nomornya. Perempuan itu gegas membukanya. Ada beberapa video di sana. Nadine gegas memutarnya, detik berikutnya ponsel Nadine nyaris meluncur jatuh ke karpet saking terkejutnya. Wanita itu buru-buru menekan icon silent hingga tak ada suara dihasilkan dari rekaman yang tengah Nadine lihat. Bola mata istri Rafael, membulat, tangannya reflek membekap mulut. Sampai rasa mual mulai menyerang perutnya. "Menjijikkan!" Komen Nadine, walau detik berikutnya binar senang memancar dari wajahnya. "Lihat saja nanti." Sedang di teras belakang, Rafael hanya diam mendengar seseorang bicara dari seberang. "Done, Tuan.""Serius?" Tia bertanya dengan mata membulat sempurna. "Ishh, jangan melotot begitu, serem." Tia buru-buru menormalkan netranya lagi. Mereka sedang berada di kantin, makan siang seperti biasa. Kali ini hanya ada mereka berdua. Sebab Eva lebih memilih bergabung dengan barisan manager yang makan di tempat itu."Dasar muna! Kemarin baik-baikin kamu itu sebab ada maunya ya." Nadine mengedikkan bahu, melihat ke arah Eva yang tersenyum sinis padanya. "Dasar murahan!" Batin Nadine kesal. Sungguh, perempuan itu seperti baru saja dihantam dengan kenyataan perih.Tunangannya direbut temannya, tunangannya juga tega menjebak dirinya, membuat dia dan Rafael harus menikah. Meski ya dalam pandangan Nadine, Rafael punya nilai plus lebih sedikit. Pria itu, entahlah Nadine bingung menjabarkan. Sangat dingin, datar, misterius, tapi ... Rafael seperti punya perhatian untuknya. "Maaf, boleh minta tolong. Kerjakan ini untuk meeting besok, harus sudah selesai hari ini."Nadine menggeram, ingin rasanya men
"Ibu dari mana saja?" Hermawan bertanya pada Heni yang baru kembali entah dari mana. "Dari rumah bu Surti, biasa arisan. Bapak sudah pulang?" Hermawan mengangguk. Lelaki itu lantas melihat ke arah Rafael, lalu memanggilnya."Sudah, hentikan itu. Bapak tahu kamu baru balik kerja." Rafael mengangguk santun, berujar kalau sebentar lagi dia akan selesai. Hermawan masuk ke kamar diikuti Heni, biasanya perempuan itu akan memijit kaki Hermawan setelah kerja. Rafael pernah melihatnya.Setelah Hermawan dan Heni tak terlihat lagi, Rafael gegas meraih ponselnya. Dia bicara melalui benda kecil di telinga. Rafael tampak terlibat pembicaraan serius. Sembari duduk membelakangi teras belakang. Tangannya iseng bergerak, agar terlihat bekerja.Hampir lima belas menit Rafael berdebat melalui benda pipih miliknya. Sampai dia tiba-tiba berdiri, hanya memberi perintah "bereskan." Rafael masuk ke dalam rumah, mengganti pakaiannya lantas mengetuk kamar mertuanya. Meminta izin keluar. Tak ada jawaban, Rafae
Rafael keluar dari kamar mandi. Mereka baru sampai rumah naik motor, meninggalkan David begitu saja. Tentu setelah Nadine menghubungi bengkel langganannya untuk mengambil mobilnya. Nadine jelas senang sekali melihat Rafael datang tepat waktu. Hingga dia tidak perlu menghadapi mantan tunangan yang sedang tidak waras.Rafael melihat Nadine yang masih berkutat dengan laptopnya. "Kamu tahu adikmu punya pacar?" Dia ingat kejadian dua hari lalu.Nadine menoleh, melihat Rafael sedang mengeringkan rambut. "Sepertinya begitu. Aku dengar ibu beberapa kali menyebut namanya, tapi aku lupa. Kenapa?" "Pernah melihat mengantar Sita. Orang kaya?" Nadine mengedikkan bahu, tidak tahu."Memangnya kenapa?" Nadine mengetahui kalau ibunya dan adiknya sering menghina Rafael."Kamu dibanding-bandingkan sama dia?""Tidak juga, memang kenyataannya begitu. Aku ini pengangguran," balas Rafael santai. Pria itu merebahkan tubuh di kasur Nadine. Tempat itu sungguh nyaman. Rafael mengurungkan niat memejamkan mata k
Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui tirai jendela kamar yang terbuka. Suara ribut dari luar kamar membuat Nadine membuka mata. Wanita itu meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Terutama area intinya, terasa perih."Semalam itu ...." Nadine menggigit bibir bawahnya, teringat kejadian tadi malam. Saat Rafael sungguh memasukinya. Sakit luar biasa. Nadine ingat Rafael sempat berucap, "Kamu bisa lakukan apa pun padaku, jika ini menyakitimu." Alhasil Nadine menggigit bahu, juga mencakar punggung suaminya. "Jadi rasanya seperti itu," gumam Nadine. Dia tidak merasakan ini semua saat dipergoki tidur telanjang berdua dengan Rafael oleh David hari itu.Nadine mengepalkan tangan, berarti dia dan Rafael hanya dijebak tidur bersama tanpa melakukan apa pun. "Dasar David sialan!" Maki Nadine. Perempuan itu menaikkan selimutnya sampai ke dada, menyadari kalau tubuhnya polos tanpa pakaian. Pikiran Nadine melayang, otaknya dipenuhi oleh semua yang Rafael lakukan padanya. Nadine belum pe
Suasana panik menyelimuti lorong ruangan tempat Hermawan di rawat. Semua orang tampak cemas. Pun dengan Nadine, perempuan itu duduk di ujung kursi tunggu, berjarak dari Sita dan Heni yang terlihat berpelukan untuk saling menguatkan."Jangan khawatir, bapak tidak akan apa-apa." Hibur Rafael yang tiba-tiba muncul di dekat Nadine. Menggenggam tangan wanita cantik itu. "Tapi Raf, wajah bapak pucat banget, takut kalau hal buruk terjadi.""Percaya sama aku. Semua akan baik-baik saja." Mungkin tak ada yang tahu, Rafael terus membuat Hermawan mendongak meski posisi berbaring. Lelaki itu berusaha membuka jalan pernapasan ayah Nadine agar tetap terbuka. Menghindari sesak yang biasa terjadi akibat serangan jantung."Kamu lihat! Ini semua karena ulah suami pengangguranmu itu. Gara-gara kamu terus membelanya, bapakmu jadi begini."Kalimat Heni hampir saja dibalas oleh Nadine, jika saja Rafael tidak gegas menahannya. Pria itu menggeleng. "Ini rumah sakit," peringat Rafael. Nadine hanya bisa menden
"Beliau terkena serangan jantung. Mengakibatkan stroke tapi masih ringan. Untuk beberapa hari harus dipantau. Bagian tubuh sebelah kiri yang terkena dampaknya. Tidak sampai lumpuh, hanya terasa lemas dan kaku. Dalam beberapa hari ke depan akan ada terapis yang melakukan terapi pada beliau. Supaya kakunya tidak berkelanjutan."Penjelasan panjang lebar dari dokter membuat Nadine dan Rafael mengangguk. Keduanya paham dengan perkataan lelaki dengan snelli melekat di badan.Tampak hormat dan sungkan pada Rafael. Raut wajah lelaki itu padahal terlihat biasa saja. "Loh Raf, kok dikasih yang VIP sih. Kelas tiga tidak apa-apa." Nadine protes ketika tahu Hermawan ditempatkan di kamar VIP."Tidak apa-apa." Lelaki itu mendekat ke arah Hermawan yamg masih memejamkan mata. Tadi Rafael yang mengurus administrasi Hermawan."Tidak apa-apa bagaimana? Kan mahal, bayarnya bagaimana?""Tinggal dibayar saja." Nadine membuat gerakan meremas dengan tangannya. Sungguh kesal dengan sikap Rafael yang tampak san
Rafael membalikkan badan, setelah seorang pria mengangguk padanya lantas undur diri. Cukup terkejut mendapati ibu mertua dan adik iparnya ada di sana. "Siapa dia?" Heni bertanya to the poin."Bukan siapa-siapa," balas Rafael enteng.Wajah mencemooh segera muncul di paras Heni. "Bosmu? Atau orang yang pernah kamu hutang uangnya," sindir Heni.Rafael mengedikkan bahu, berjalan menjauhi dua orang yang seketika mengumpat. "Gak sopan banget sih!" Maki Sita langsung.Rafael tak peduli. Heni dan Sita keluar kamar, itu artinya Nadine sendirian. Seorang pria muncul tiba-tiba dari sisi kiri, menyerahkan dua paper bag pada Rafael, membungkuk, lalu segera pergi dari hadapan suami Nadine. Tanpa kata, hanya gesture penuh hormat yang terlihat.Rafael membuka pintu, melihat Nadine tengah berbincang dengan Hermawan. Sepertinya lelaki itu sudah bangun. "Bapak, pulang saja. Bapak sudah tidak apa-apa." Pinta lelaki itu ketika melihat Rafael mendekat."Istirahat dulu beberapa hari ini. Jangan cemaskan yan
Wajah David merah padam, menahan malu sekaligus marah. Tak pernah dia dipermalukan seperti ini di hadapan banyak orang. Nadine menyiram wajahnya dengan sisa orange juice yang tinggal separuh. "Lihat saja kau perempuan sombong! Kupastikan kau akan bertekuk lutut di bawah kendaliku. Memohon-mohon agar aku kembali padamu. Saat itu aku bisa melakukan apapun padamu." Kata David sembari membersihkan sisa orange juice di kemejanya, yang apesnya tidak bisa hilang. "Sialan!" Emosi David meluap-luap. Dia sangat marah, kepalan tangannya begitu kuat hingga memutih. Lelaki itu keluar dari toilet, mengabaikan tatapan serta bisik-bisik staf yang tadi sempat melihat perbuatan Nadine padanya. "Beb, kamu tidak apa-apa? Aku dengar tadi Nadine menyirammu?" David berhenti guna menatap Eva yang menahan lengannya. "Pergi sana! Jangan ganggu aku!" David menepis tangan Eva, meninggalkan sang wanita yang sejenak terkejut. Eva kemudian berbalik, ganti mencari pelampiasan karena barusan dibuat kesal oleh