Share

BAB TUJUH

"Aku tidak mau tahu!" Kalimat itu diiringi desisan penuh peringatan. Paras Rafael tampak menegang dengan ekspresi serius kentara di sana. Namun raut wajah itu berubah secepat detik bergulir, kala suara Nadine terdengar memanggil.

Lelaki itu mencabut ear phone yang menempel di telinga, memasukkannya ke dalam saku celana pendek. "Raf, kamu ngapain?" Nadine berteriak heboh melihat Rafael berjongkok di area belakang rumah yang berumput tinggi. Ada tumpukan rumput di samping pria tersebut.

"Potong rumput."

"Itu bukan potong rumput tapi cabut rumput. Ibu ini bagaimana sih? Keterlaluan sekali, masak disuruh cabut rumput." Nadine berbalik masuk rumah, ingin protes.

Namun Rafael lebih dulu menarik sang istri, hingga perempuan itu berakhir duduk di samping Rafael. "Tidak perlu."

"Raf, jangan pasrah-pasrah amat. Lawan dong sesekali." Nadine benci melihat diamnya Rafael saat dikerjai ibu dan adiknya.

"Kan bukan kerjaan berat." Nadine mencebik kesal mendengar ucapan Rafael yang terkesan membiarkan saja dia dihina dan dimanfaatkan oleh dua orang itu.

Wanita itu memanyunkan bibir, berada sedekat ini dengan Rafael membuat Nadine bisa mencium aroma wangi menguar dari tubuh sang suami. "Berapa lama kamu dijemur di sini?" Nadine menatap penuh selidik.

Rafael tampak berpikir, untuk kemudian mengedikkan bahu. Peluh membanjiri dahi dan wajah Rafael tapi anehnya tak ada bau keringat tercium dari raga lelaki itu. Seolah suami Nadine hanya duduk di sana tanpa melakukan apa-apa.

"Padahal dapat cabut rumput banyak, pasti dia di sini sudah lama, tapi dia tetap wangi ya. Aneh, beda kayak aku, dijemur sedikit langsung bau apek."

Nadine tersadar dari keheranannya ketika Rafael menyenggol lengannya. "Kenapa manggil-manggil?" Gemas Nadine dengan gaya bicara Rafael yang lempeng tanpa intonasi.

"Apaan sih?" Nadine melotot ketika Rafael menjentikkan jari di depan wajahnya.

"Bengong."

"Ishh, aku mau kasih lihat ini. Ternyata yang jebak kita itu David, dia selingkuh, dia mau ...."

Nadine tak sanggup bercerita, ketika air mata sudah mengalir di pipi. Sementara Rafael sudah merebut ponsel Nadine, lalu melihat deretan foto saat dirinya dan Nadine tidur bersama.

Raut wajah Rafael berubah, seperti menahan amarah. Dia akan tandai pria itu. Entah apa yang sedang Rafael pikirannya, yang jelas wajah lelaki berubah menyeramkan berlipat-lipat.

Namun ekspresi itu segera berubah ketika mendengar Nadine terisak di sampingnya. "Dia mengancammu?" Nadine mengangguk. Tangan Rafael mengepal.

"Memangnya apa yang ingin kamu lakukan pada mereka?" Pertanyaan Rafael membuat Nadine menoleh pada sang suami.

Semilir angin membelai wajah keduanya. Yang satu glowing, yang satu kusam. Sungguh, Nadine sudah pantas dibawa ke pesta kelas atas kalangan sosialita. Tinggal di poles sedikit, gadis itu akan jadi pusat perhatian.

"Kita sudah menikah, dan aku mencoba untuk tidak menyesalinya. Aku akan belajar menerima. Tapi ketika tahu mereka menjebak kita hanya dengan alasan ingin bersama, aku sakit hati. Tidak perlu melakukan itu, katakan saja jika mau putus denganku. Aku akan mundur."

Rafael merengkuh bahu Nadine, membawanya mendekat . "Apa mereka perlu melakukan itu, membuatku tampak buruk di hadapan banyak orang. Membuatku terlihat murahan ...."

"Kamu mahal, tidak murah," potong Rafael cepat.

Nadine menatap lekat wajah Rafael, lantas berucap, "Terima kasih." Nadine sesaat terkesima, dia baru saja melihat Rafael tersenyum, meski hanya tipis, tapi impact-nya luar biasa.

Sikap Rafael membuat suasana hati Nadine berubah, ia tak lagi merasa sendiri. Ada kenyamanan yang dia temukan kala bersama sang suami. "Abaikan, nanti akan ada balasannya."

Sok bijak sekali Rafael ini, pikir Nadine. "Kamu gak marah sama mereka, kamu gak dendam? Mereka jebak kamu, bikin kamu jadi punya ... citra buruk .... "

"Kan memang begitu, aku pengangguran." Nadine kembali mendengus kesal melihat kepasrahan Rafael. Nadine menghembuskan napas kasar. Wanita itu mulai berpikir untuk membalas kelakuan dua orang itu, tapi bagaimana caranya.

"He! Kamu bukannya kerja malah berduaan!" Teriakan keras dari arah belakang membuat sepasang suami istri itu menoleh.

"Biarkan saja," ujar Nadine. Dengan Rafael ikut diam, seolah tengah berpikir.

Hari berganti malam ketika Nadine selesai membantu sang ibu membereskan dapur. Saking gerahnya dengan ulah sang mantan tunangan, Nadine yang biasanya lembur, hari itu memilih pulang lebih awal.

"Mbok ya disuruh cari kerjaan to, gak cuma di rumah terus. Sepet tahu ibu lihatnya," celetukan dari sang ibu membuat Nadine meringis ngilu di hati.

"Nanti Nadine coba bicara," balas istri Rafael singkat.

"Sekarang dia di mana?" Sang ibu sepertinya akan terus mencari celah untuk menyerang Rafael.

"Tadi di kamar," jawab Nadine lirih.

"Tidur? Enak sekali dia. Makan, tidur, makan gratis lagi." Tidak sampai di sana, hinaan ibu Nadine mulai merambat ke mana-mana.

"Coba lihat pacar Sita, dia aja kalau datang suka bawain jajan, bawa makanan. Lah suami kamu. Ibu sudah senang, kamu mau nikah sama David, eh ditelikung sama lelaki pengangguran, dekil lagi."

"Bu, dia punya kerjaan," sambar Nadine mulai gerah. Dia benci kalau mantan tunangannya turut dibawa-bawa. Pria brengsek!

"Kerjaan? Mana? Mana? Ibu tebak kamu pasti belum dikasih nafkah. Dia cuma mau enaknya, tidak mau susahnya."

Astaga! Cukup! Nadine tak tahan lagi. Sang ibu mulai keterlaluan. Brak! Rafael menoleh ketika Nadine menutup kencang pintu kamar. Terlihat tenang, meski sejatinya cukup terkejut dengan kedatangan Nadine.

"Apa yang kamu lakukan?" todong Nadine curiga. Tingkah Rafael kadang membuat Nadine ingin tahu siapa Rafael sebenarnya. Namun tiap kali ditanya jawaban lelaki itu selalu sama. "Aku cuma kurir pengganti."

"Tidak ada." Nadine yang sedang dongkol memilih diam, tidak memperpanjang rasa ingin tahunya.

"Misterius sekali orang ini," batin Nadine acap kali.

"Oh iya, Raf. Bagaimana kalau kamu ikut melamar kerja di pabrik?"

"Nanti aku coba." Tuh kan, sesingkat itu tanggapan Rafael, Nadine jadi makin jengkel di buatnya. Ah, terserahlah, Nadine berlalu menuju kamar mandi.

Sepuluh menit kemudian. Tampak Rafael menunggu Nadine di lantai karpet kamar sang istri. Lelaki itu mengulurkan satu kartu pada Nadine. "Apaan?"

"Nafkahmu. Aku usahakan akan aku isi tiap tanggal lima." Nadine sesaat terbengong. Apa ini batin perempuan itu. Tanpa kata, Rafael mengambil tangan Nadine, lantas meletakkan kartunya di sana. "Pin-nya tanggal pernikahan kita."

Nadine terdiam. Perasaan beberapa hari ini, Rafael selalu diam di rumah, tidak keluar rumah. Kok bisa lelaki itu buat ATM dengan pin tanggal pernikahan mereka. Atau Rafael membuatnya secara online.

Banyak tanya menyerbu kepala Nadine perihal sang suami. Bersamaan dengan itu satu pop up muncul di ponsel Nadine. Sebuah video terkirim ke nomornya. Perempuan itu gegas membukanya.

Ada beberapa video di sana. Nadine gegas memutarnya, detik berikutnya ponsel Nadine nyaris meluncur jatuh ke karpet saking terkejutnya. Wanita itu buru-buru menekan icon silent hingga tak ada suara dihasilkan dari rekaman yang tengah Nadine lihat.

Bola mata istri Rafael, membulat, tangannya reflek membekap mulut. Sampai rasa mual mulai menyerang perutnya. "Menjijikkan!" Komen Nadine, walau detik berikutnya binar senang memancar dari wajahnya. "Lihat saja nanti."

Sedang di teras belakang, Rafael hanya diam mendengar seseorang bicara dari seberang. "Done, Tuan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status