Rafael menatap Nadine yang berjalan di sisinya. Mereka berada di alun-alun kota. Menikmati suasanan malam, sambil jajan. Rafael rupanya tahu kalau Nadine hobi jajan. Lelaki itu mengulas senyum tipis, melihat Nadine memakan seporsi cilok. Setelah sebelumnya meminun satu cup besar es teler. Katanya biar hatinya adem. Panas dan kesal melihat David datang ke rumah. "Mau apa lagi?" Rafael bertanya singkat. Pria itu tengah meminum kopi hangat yang dibeli di satu food truck yang mangkal di sana. "Nanti lagi, aku capek." Keduanya duduk di bangku yang banyak berjajar di tempat tersebut. Nadine tampak mengamati Rafael, sikapnya begitu tenang. Lebih banyak diam, gayanya terlihat elegan khas orang kaya. Semua jajan dibayari Rafael. Cash, ciri kalangan menengah ke bawah. "Kenapa?" Rafael sadar sejak tadi dipantau oleh sang istri. "Kamu siapa?" Tanya Nadine pada akhirnya, menyadari kalau dia tak pernah mencari tahu soal siapa Rafael. Awalnya Nadine tak peduli, tapi semakin ke sini, Nadine mer
Waktu menunjukkan dini hari, langit masih gelap, tapi semburat oranye sudah mewarnai ufuk timur. Suara motor terdengar masuk halaman rumah Hermawan. Nadine masih setengah merem ketika Rafael membawanya pulang. "Tidurlah lagi," pinta Rafael."Tidak mau. Mau cuci baju.""Aku saja."Rafael diam ketika Nadine memberinya tatapan intimidasi. "Itu balasan untuk semalam," balas Nadine segera."Aku tidak bohong, Nad. Itu rumah punya bosku. Aku sering diminta bersih-bersih di sana kalau aku luang. Jadi aku punya akses masuk, juga kunci. Ditambah satpam di sana memang kenal aku sama motorku."Sejak bangun tidur tadi, Nadine terus mendesak Rafael untuk bercerita soal rumah yang mereka tempati semalam. Rumah besar nan mewah macam villa di luar negeri sana.Rafael menjelaskan kalau itu rumah atasannya. Namun Nadine tak percaya begitu saja. "Kalau rumah itu punyaku, aku tidak mungkin tinggal di kontrakan. Logikanya begitu, punya rumah bagus, buat apa tinggal di kontrakan kumuh," tambah Rafael.Nadin
Nadine sampai ke kantor dengan wajah kesal. Perselisihannya dengan Heni membuat Nadine bad mood. Ditambah dengan sikap Rafael yang membuatnya kepo tingkat tinggi. Siapa sebenarnya Rafael ini?"Nad, dipanggil pak Handoyo." Tia menyampaikan pesan."Buat apa?" Nadine sedang tidak ingin bertemu petinggi perusahaan, dia malas. Tia yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Istri Rafael baru saja akan beranjak dari kursinya ketika Eva sudah lebih dulu muncul dengan wajah sumringah."Nih, proposalmu. Ditolak, mereka lebih suka menggunakan ideku." Nadine lemas mendengar ucapan Eva. Baru kali ini proposalnya tidak diterima direktur marketing. Tapi ya sudahlah, yang penting dia sudah berusaha."Sekarang mulai persiapan untuk merealisasikan rencana ini." Eva kembali mengulurkan satu map lagi. Dengan Nadine segera membukanya. Ini ... ini ....""He! Ini kan ideku. Kenapa jadi namamu yang ada di sini?" Eva tampak menyeringai."Kenapa? Kamu keberatan? Idemu, ideku juga. Jadi sama saja kan?"Tangan Nadine
"Ha? Serius? Bukannya kemarin ditolak?" Nadine melongo ketika asisten Handoyo memanggilnya untuk menemui direktur marketing. Sialnya ada David di sana. Nadine tahu kalau marketing dan perencanaan akan selalu terhubung. Namun biasanya David jarang turun tangan untuk menangani proyek marketing."Tidak tahu. Baru saja turun perintah. Sepertinya kantor pusat ikut membaca proposalmu," sahut asisten Handoyo. Setelahnya, Nadine harus mendengarkan Handoyo bicara panjang lebar. Tidak masalah bagi Nadine, yang jadi masalah adalah adanya sosok David yang sejak tadi menatapnya tanpa berkedip."Astaga, lama-lama aku sungguh muak melihatnya." Tia tersenyum mendengar curhatan hati sang sahabat."Tenang, yang itu kamu pending. Hadapi yang ini dulu." Nadine menoleh mendengar perkataan sahabatnya. Nadine menghela napas, mendapati Eva berjalan cepat ke arahnya.Hermawan sedang menikmati teh dan camilannya ketika Heni lagi-lagi pergi entah ke mana. Padahal rumah masih berantakan, jadilah Rafael memberesk
Ughh! Lenguhan terdengar diikuti desahan mengalun setelahnya."Aku tidak mau tahu. Dia harus gagal." Suara itu terdengar di antara erangan yang beradu dengan hentakan."Susah, Va. Handoyo sendiri yang menyetujui proposal itu. Aku bahkan tidak tahu kalau dia mengubah keputusannya." Suara itu tersengal di antara deru napas yang memburu."Apa maksudmu? Jangan bilang kau tidak bisa membantuku." Eva ingin melepaskan penyatuan mereka tapi pria yang tengah menindihnya menahannya."Aku tidak menjanjikan apa pun padamu. Kau sendiri yang datang padaku. Menawarkan tubuhmu untuk kunikmati. Tidak kusangka, wanitanya direktur David, kini sedang membuka kakinya, pasrah untuk kumasuki. Bagaimana? Apa aku sama hebat dengan tunangan Nadine yang kau rebut?"Eva membelalakkan mata, mendengar rangkaian kalimat yang mengalir lancar dari bibir pria bertubuh seksi di atasnya. Tak kalah panas dengan body David. "Kau mempermainkanku? Sandy, dasar kurang ajar. Ughhh!" Makian Eva berakhir desah ketika Sandy menum
"Sudahlah, Bu. Berhenti memintaku kembali pada David.""Tapi dia adalah pria yang tepat untukmu," balas Heni. Nadine memicingkan mata. Menatap curiga pada ibunya."Berapa dia membayar Ibu?" Skak mat! Ada rona terkejut di wajah Heni. Nadine sendiri cukup paham, kalau ibunya matre dan suka belanja. Dan akhir-akhir ini hobi belanjanya makin menggila, padahal sang ayah belum gajian. Dapat uang dari mana ibunya.Nadine tidak tahu kalau Rafael sempat memberi uang pada Hermawan tapi diambil Heni. "Bayar apa? Dave tidak memberikan apa-apa pada ibu. Ibu hanya berpikir kalau Dave adalah yang terbaik untukmu."Nadine tersenyum tipis. Boleh dibilang, Heni adalah tipe orang yang akan melakukan apa saja asal ada fulus-nya alias imbalan. "Ibu pikir, Nadine akan percaya. Tidak, Bu. Beritahu dia untuk berhenti mengejarku. Karena aku tidak akan berpisah dengan Rafael. Asal ibu tahu, kami menikah resmi, sah agama dan negara. Bukan hanya nikah siri."Bola mata Heni melotot saking terkejutnya. Dia pikir N
"Lagi kerja tapi sudah selesai. Mau balik ke kantor, Kek." Nadine menjawab santun. Mereka ada di sebuah warung makan nasi padang tepi jalan. Tak jauh dari lokasi kejadian si kakek hampir ditabrak mobil."Nad, aku balik duluan kalau begitu. Mau mampir ATM, mumpung bisa keluar. Aku naik ojol saja. Nanti ketemu di kantor." Teman Nadine pamit lebih dulu setelah mengucapkan terima kasih atas makan siang yang si kakek berikan."Nanti aku call," si teman menghilang, bersamaan dengan wajah Nadine yang kebingungan."Cantik, mau ya tak jodohkan sama cucuku. Sudah tua belum mau kewong. Keburu aku mati belum sempat nimang cicit." Nadine melongo, mendengar permintaan blak-blakan sang kakek. Belum ada dua jam mereka kenal, lelaki tua itu sudah sibuk menjodohkannya."Maaf, Kek. Tapi saya sudah menikah." Nadine menunjukkan cincin berkilau cerah di jarinya. Si kakek tertegun sesaat, kemudian mendesah kecewa."Kalah start maning inyonge." Nadine terbahak dengan guyonan pria tua di depannya. Hingga lima
"Balikin! Itu punyaku!" Nadine melompat, mencoba menggapai tangan Rafael yang terangkat tinggi. Ampun sekali tinggi lelaki ini. 185 senti plus tangan, satu setengah meter lebih kali ya. "Ayo Raf, balikin!" Akhirnya Nadine memohon. Sementara Rafael masih memeriksa benda di tangannya dengan wajah datar, juga kening berkerut dalam. "Sebentar, aku lihat dulu," balas Rafael, sibuk menghalau tangan Nadine yang ingin merebut ponsel baru dari kendalinya."Semua aman. Tidak ada yang aneh," gumam Rafael sesaat terdiam, untuk kemudian menoleh, mendengar Nadine yang menjerit kegirangan. Seperti anak kecil dapat mainan baru."Tadi nangis, sekarang tertawa." Nadine menghentikan aksinya lompat-lompat di kasur sambil mencium benda pipih baru miliknya, lalu memandang sang suami."Sudah bisa nyinyiran orang ya," ledek Nadine yang seketika membuat Rafael melengos."Kamu iri sama ponsel aku?" Goda Nadine. Rafael mencebik kesal mendengar olokan sang istri. Pria itu tak membalas, dia hanya kembali menata