Sebenarnya Rafael bukan pria yang gila terima kasih, gila pujian. Dia hanya perlu disuguhi wajah tulus, tanpa pura-pura. Itu sudah cukup untuknya. Namun sikap Heni dan Sita sungguh menguji kesabaran Rafael. Inginkan hati dia mau marah. Ngamuk sejadi-jadinya. Toh, pernikahan dia dan Nadine berlangsung sederhana, bahkan sangat sederhana.Dia memang tidak memberi uang tukon, istilahnya dalam tradisi Jawa, uang yang digunakan untuk membantu pihak perempuan memenuhi kebutuhan saat pernikahan berlangsung. Mungkin termasuk pesta dan printilannya.Namun dia pikir, pernikahannya juga tidak menghabiskan banyak biaya. Petugas KUA, cuma bayar enam ratus ribu karena diundang ke rumah. Make up, Nadine dan dirinya tidak mengundang MUA manapun. Nadine merias wajahnya sendiri. Hasilnya tak kalah cantik dari polesan make up artist profesional.Jadi uang hampir empat belas juta tadi sebagai ganti tukon? Kenapa terdengar tidak elit sekali di telinga Rafael. Apa susahnya mengatakan terima kasih, toh itu t
Rafael menatap tenang pria berkaca mata yang berdiri di depannya. "Selamat malam, tuan direktur. Sebuah kehormatan bisa bertemu Anda di sini." Kata "sini" Rafael ucapkan untuk menekankan kalau kehadiran pria itu di tempat ini seperti hal luar biasa. Seolah lelaki di hadapan Rafael tak seharusnya berada di sana. "Jangan berkata seperti itu. Aku kebetulan lewat dan melihat motormu. Dia yang mengajakku turun." Pria itu melemparkan pandangan jauh ke depan. Fokus ke komedi putar yang masih terus berpusing. Di mana sorot kebencian para makhluk mungil makin kentara. Kala satu lagi entitas dewasa menginvansi area mereka. "Ishh, tante kenapa bawa bala bantuan. Ini daerah milik kita!" Nadine menatap bocah bergaun pink dengan bando senada di atas kepala. Tampilan manis, tapi kalimatnya sadis untuk umur anak itu. "Tante cuma sama om, dan dia nunggu di sana. Yang ini tidak kenal tu." Netra Nadine memicing, menangkap kehadiran David yang berdiri di samping Rafael. Decakan kesal terdengar dari
Suasana seketika berubah heboh, hectic. Berita yang trending di sosial media membuat Heni dan Sita kalang kabut. Ketakutan, panik secara bersamaan. "Ini bagaimana ceritanya?" Heni bertanya cemas. Wajahnya menampilkan kekalutan yang nyata."Teo tidak bisa dihubungi." Sita berujar frustrasi. Dalam kabar yang diposting oleh sebuah media berita lokal, kemudian diteruskan berkali-kali hingga viral disebutkan kalau perusahaan jual beli saham milik Teo terindikasi sebagai fiktif, alias tidak nyata. Lebih gampangnya disebut tukang tipu.Sudah banyak korban yang bermunculan di kolom komentar. Menuliskan nominal yang sudah disetor pada perusahaan tersebut dengan iming-iming untung besar. Pun dengan Heni dan Sita. Mereka tergiur profit yang Teo tawarkan. Hingga tak tanggung-tanggung mencari pinjaman ke sana ke sini untuk menanam saham di sana."Terus ini bagaimana?" Ibu Nadine kembali bertanya, Heni terduduk lemas. Dengan Sita hanya bisa diam membisu, tak punya nyali untuk bicara."Memangnya kal
Nadine menghela napas begitu masuk ke dalam kamar. Peliknya persoalan keluarga yang dia hadapi semua berujung perkara uang. Dia tidak masalah jika harus kehilangan tabungannya, yang sejatinya ingin dia gunakan untuk menyambung pendidikannya. Jika itu bisa membuat keluarganya harmonis.Namun seringkali sudah habis-habisan, sikap tidak menghargai yang dia terima. Seolah dia hanyalah pion yang dibutuhkan saat keadaan terdesak. Jika tidak begitu, ibu dan adiknya mungkin tak pernah menganggapnya ada.Seperti hari ini, dia selesai mengirim sejumlah uang ke rekening sang ibu. Saat uang masuk, Heni tersenyum manis, sambil mengatakan terima kasih. Kamu yang terbaik, kamu memang yang paling bisa diandalkan. Memuji setingi langit pada Nadine.Namun besok, lihat saja sikap Heni akan kembali ke mode asal. Menganggap Nadine cuma orang yang hanya diperlukan saat situasi genting. Kadang wanita itu berpikir dia ini anak kandung Heni atau bukan, kenapa perlakuannya berbeda sekali dengan Sita."Jangan m
"Aku ditipu, sayang. Mereka ternyata membawa lari uangku. Aku dijebak, sekarang polisi mengejarku. Aku dituduh jadi kriminal, tukang tipu. Mereka akan menangkapku, lalu memenjarakanku."Sita tertegun melihat Teo yang menangis tersedu di hadapannya. Pria itu tampak baik-baik saja, meski tampilannya agak berantakan. Namun itu justru membuat pesona Teo berlipat-lipat di mata Sita."Terus uangku bagaimana? Ibu marah besar, dia tidak mau memberiku uang lagi," sendu Sita bertanya.Teo lekas menggenggam tangan Sita. Pria itu menatap intens wajah cantik Sita. Jelas terlihat jika Sita adalah gadis polos dan lugu. Teo yang beberapa hari ini terpaksa bersembunyi di tempat jelek ini, jelas merasa bosan.Apalagi dia dilarang berkeliaran lebih dulu. Cuma Sita yang bisa Teo suruh datang. Perempuan ini sudah cinta buta padanya. Akan melakukan apa saja sesuai perintahnya."Soal uang itu, aku janji akan mendapatkannya kembali. Hanya saja aku perlu waktu untuk berpikir. Juga modal lagi. Aku sekarang tid
Nadine memejamkan mata, menahan diri untuk tidak terpancing oleh ucapan Sita. Deru napasnya dia atur. Sebisa mungkin jadi tenang. "Kamu ini bicara apa? Kakakmu tidak salah, kenapa kamu marahi. Sita, kamu itu harusnya sadar ....""Belain terus! Belain! Semua yang Sita kerjakan selalu salah di mata Bapak. Sedang kakak, akan selalu benar meski jelas salah." Sita berucap lantang.Hermawan melebarkan mata. Tidak paham dengan cara berpikir putri bungsunya. "Bapak tidak belain kakakmu. Kenyataannya kakakmu tidak buat salah.""Tidak buat salah? Dia tidur sama suaminya sebelum nikah, Pak. Kata Bapak itu benar. Hebat sekali.""Sita, kalau kamu tidak tahu kejadian sebenarnya jangan asal bicara," desis Nadine penuh peringatan."Kenapa? Mau cari pembenaran diri. Sita pusing dengar semua orang menggunjingkan kita. Jangan sok benar, sok suci, Kak. Kalau kenyataannya Kakak sama saja dengan mereka.""Mereka? Mereka siapa? Kamu mau sebut Kakak sama dengan pelacur di luar sana? Asal kamu tahu ya, Kakak
Eva berjalan mondar mandir di apartemen miliknya, wanita itu begitu cemas ketika tahu Nadine masih punya rekaman video panasnya. Yang dia takutkan adalah kalau sampai direktur tahu. Bisa-bisa dia dipecat. Dia tidak takut kehilangan pekerjaan, hanya saja dia malas mendengar ocehan ayahnya.Malam mulai merayap larut ketika Eva mendapat telepon dari seseorang. "Datanglah kemari, kita perlu bicara. Ini soal proyek anak buahmu."Tak sampai lima belas menit, Eva sampai di tempat tujuannya. Sebuah hotel, begitu masuk dia mendapati Sandy tersenyum manis padanya. Di depannya ada seorang pria yang tentu saja sangat mereka kenal."Jadi apa mau bapak?" Eva bertanya to the poin. "Masak aku dipanggil bapak. Fisikku masih sama hotnya dengan Sandy." Kata pria itu, membuat Sandy dan Eva tertawa."Panggil nama juga tidak masalah." Dia memberi kode pada Sandy untuk memberikan dokumen pada Eva."Dia tidak boleh berhasil. Gagalkan dia bagaimanapun caranya."Seseorang di seberang sana mengepalkan tangan,
Pagi menjelang di kediaman keluarga Hermawan. Suasana masih tegang dengan sorot mata tidak terima terpancar dari Sita. Dia menatap sengit sang kakak yang berusaha abai dengan sikapnya. Pandangan yang sama juga terarah pada Rafael. Namun seperti biasa, suami Nadine sudah kebal dengan semua itu.Selama Nadine dan Hermawan tidak mengubah sikap, Rafael akan tetap berdiri tegap, menghadapi segalanya. Termasuk hinaan dan rasa tidak suka Sita. Peduli setan dengan keduanya. Yang penting dia sudah berusaha memperlihatkan sikap baik di hadapan mereka. Diterima ya beneran, tidak ya sudah."Aku mungkin lembur lagi, tapi makan siang akan kuantar nanti, mau apa?" Harusnya ucapan Rafael jadi sebuah kalimat manis penuh perhatian dari seorang suami pada istrinya. Namun di bibir Rafael semua jadi hambar, seolah pria itu tengah menantang lawan bicaranya. Sebab diucapkan dengan nada dingin dan datar."Seblak," pinta Nadine penuh semangat."Tidak mengenyangkan. Nanti malam saja seblaknya." Nadine manyun,