"Lagi kerja tapi sudah selesai. Mau balik ke kantor, Kek." Nadine menjawab santun. Mereka ada di sebuah warung makan nasi padang tepi jalan. Tak jauh dari lokasi kejadian si kakek hampir ditabrak mobil."Nad, aku balik duluan kalau begitu. Mau mampir ATM, mumpung bisa keluar. Aku naik ojol saja. Nanti ketemu di kantor." Teman Nadine pamit lebih dulu setelah mengucapkan terima kasih atas makan siang yang si kakek berikan."Nanti aku call," si teman menghilang, bersamaan dengan wajah Nadine yang kebingungan."Cantik, mau ya tak jodohkan sama cucuku. Sudah tua belum mau kewong. Keburu aku mati belum sempat nimang cicit." Nadine melongo, mendengar permintaan blak-blakan sang kakek. Belum ada dua jam mereka kenal, lelaki tua itu sudah sibuk menjodohkannya."Maaf, Kek. Tapi saya sudah menikah." Nadine menunjukkan cincin berkilau cerah di jarinya. Si kakek tertegun sesaat, kemudian mendesah kecewa."Kalah start maning inyonge." Nadine terbahak dengan guyonan pria tua di depannya. Hingga lima
"Balikin! Itu punyaku!" Nadine melompat, mencoba menggapai tangan Rafael yang terangkat tinggi. Ampun sekali tinggi lelaki ini. 185 senti plus tangan, satu setengah meter lebih kali ya. "Ayo Raf, balikin!" Akhirnya Nadine memohon. Sementara Rafael masih memeriksa benda di tangannya dengan wajah datar, juga kening berkerut dalam. "Sebentar, aku lihat dulu," balas Rafael, sibuk menghalau tangan Nadine yang ingin merebut ponsel baru dari kendalinya."Semua aman. Tidak ada yang aneh," gumam Rafael sesaat terdiam, untuk kemudian menoleh, mendengar Nadine yang menjerit kegirangan. Seperti anak kecil dapat mainan baru."Tadi nangis, sekarang tertawa." Nadine menghentikan aksinya lompat-lompat di kasur sambil mencium benda pipih baru miliknya, lalu memandang sang suami."Sudah bisa nyinyiran orang ya," ledek Nadine yang seketika membuat Rafael melengos."Kamu iri sama ponsel aku?" Goda Nadine. Rafael mencebik kesal mendengar olokan sang istri. Pria itu tak membalas, dia hanya kembali menata
Sebenarnya Rafael bukan pria yang gila terima kasih, gila pujian. Dia hanya perlu disuguhi wajah tulus, tanpa pura-pura. Itu sudah cukup untuknya. Namun sikap Heni dan Sita sungguh menguji kesabaran Rafael. Inginkan hati dia mau marah. Ngamuk sejadi-jadinya. Toh, pernikahan dia dan Nadine berlangsung sederhana, bahkan sangat sederhana.Dia memang tidak memberi uang tukon, istilahnya dalam tradisi Jawa, uang yang digunakan untuk membantu pihak perempuan memenuhi kebutuhan saat pernikahan berlangsung. Mungkin termasuk pesta dan printilannya.Namun dia pikir, pernikahannya juga tidak menghabiskan banyak biaya. Petugas KUA, cuma bayar enam ratus ribu karena diundang ke rumah. Make up, Nadine dan dirinya tidak mengundang MUA manapun. Nadine merias wajahnya sendiri. Hasilnya tak kalah cantik dari polesan make up artist profesional.Jadi uang hampir empat belas juta tadi sebagai ganti tukon? Kenapa terdengar tidak elit sekali di telinga Rafael. Apa susahnya mengatakan terima kasih, toh itu t
Rafael menatap tenang pria berkaca mata yang berdiri di depannya. "Selamat malam, tuan direktur. Sebuah kehormatan bisa bertemu Anda di sini." Kata "sini" Rafael ucapkan untuk menekankan kalau kehadiran pria itu di tempat ini seperti hal luar biasa. Seolah lelaki di hadapan Rafael tak seharusnya berada di sana. "Jangan berkata seperti itu. Aku kebetulan lewat dan melihat motormu. Dia yang mengajakku turun." Pria itu melemparkan pandangan jauh ke depan. Fokus ke komedi putar yang masih terus berpusing. Di mana sorot kebencian para makhluk mungil makin kentara. Kala satu lagi entitas dewasa menginvansi area mereka. "Ishh, tante kenapa bawa bala bantuan. Ini daerah milik kita!" Nadine menatap bocah bergaun pink dengan bando senada di atas kepala. Tampilan manis, tapi kalimatnya sadis untuk umur anak itu. "Tante cuma sama om, dan dia nunggu di sana. Yang ini tidak kenal tu." Netra Nadine memicing, menangkap kehadiran David yang berdiri di samping Rafael. Decakan kesal terdengar dari
Suasana seketika berubah heboh, hectic. Berita yang trending di sosial media membuat Heni dan Sita kalang kabut. Ketakutan, panik secara bersamaan. "Ini bagaimana ceritanya?" Heni bertanya cemas. Wajahnya menampilkan kekalutan yang nyata."Teo tidak bisa dihubungi." Sita berujar frustrasi. Dalam kabar yang diposting oleh sebuah media berita lokal, kemudian diteruskan berkali-kali hingga viral disebutkan kalau perusahaan jual beli saham milik Teo terindikasi sebagai fiktif, alias tidak nyata. Lebih gampangnya disebut tukang tipu.Sudah banyak korban yang bermunculan di kolom komentar. Menuliskan nominal yang sudah disetor pada perusahaan tersebut dengan iming-iming untung besar. Pun dengan Heni dan Sita. Mereka tergiur profit yang Teo tawarkan. Hingga tak tanggung-tanggung mencari pinjaman ke sana ke sini untuk menanam saham di sana."Terus ini bagaimana?" Ibu Nadine kembali bertanya, Heni terduduk lemas. Dengan Sita hanya bisa diam membisu, tak punya nyali untuk bicara."Memangnya kal
Nadine menghela napas begitu masuk ke dalam kamar. Peliknya persoalan keluarga yang dia hadapi semua berujung perkara uang. Dia tidak masalah jika harus kehilangan tabungannya, yang sejatinya ingin dia gunakan untuk menyambung pendidikannya. Jika itu bisa membuat keluarganya harmonis.Namun seringkali sudah habis-habisan, sikap tidak menghargai yang dia terima. Seolah dia hanyalah pion yang dibutuhkan saat keadaan terdesak. Jika tidak begitu, ibu dan adiknya mungkin tak pernah menganggapnya ada.Seperti hari ini, dia selesai mengirim sejumlah uang ke rekening sang ibu. Saat uang masuk, Heni tersenyum manis, sambil mengatakan terima kasih. Kamu yang terbaik, kamu memang yang paling bisa diandalkan. Memuji setingi langit pada Nadine.Namun besok, lihat saja sikap Heni akan kembali ke mode asal. Menganggap Nadine cuma orang yang hanya diperlukan saat situasi genting. Kadang wanita itu berpikir dia ini anak kandung Heni atau bukan, kenapa perlakuannya berbeda sekali dengan Sita."Jangan m
"Aku ditipu, sayang. Mereka ternyata membawa lari uangku. Aku dijebak, sekarang polisi mengejarku. Aku dituduh jadi kriminal, tukang tipu. Mereka akan menangkapku, lalu memenjarakanku."Sita tertegun melihat Teo yang menangis tersedu di hadapannya. Pria itu tampak baik-baik saja, meski tampilannya agak berantakan. Namun itu justru membuat pesona Teo berlipat-lipat di mata Sita."Terus uangku bagaimana? Ibu marah besar, dia tidak mau memberiku uang lagi," sendu Sita bertanya.Teo lekas menggenggam tangan Sita. Pria itu menatap intens wajah cantik Sita. Jelas terlihat jika Sita adalah gadis polos dan lugu. Teo yang beberapa hari ini terpaksa bersembunyi di tempat jelek ini, jelas merasa bosan.Apalagi dia dilarang berkeliaran lebih dulu. Cuma Sita yang bisa Teo suruh datang. Perempuan ini sudah cinta buta padanya. Akan melakukan apa saja sesuai perintahnya."Soal uang itu, aku janji akan mendapatkannya kembali. Hanya saja aku perlu waktu untuk berpikir. Juga modal lagi. Aku sekarang tid
Nadine memejamkan mata, menahan diri untuk tidak terpancing oleh ucapan Sita. Deru napasnya dia atur. Sebisa mungkin jadi tenang. "Kamu ini bicara apa? Kakakmu tidak salah, kenapa kamu marahi. Sita, kamu itu harusnya sadar ....""Belain terus! Belain! Semua yang Sita kerjakan selalu salah di mata Bapak. Sedang kakak, akan selalu benar meski jelas salah." Sita berucap lantang.Hermawan melebarkan mata. Tidak paham dengan cara berpikir putri bungsunya. "Bapak tidak belain kakakmu. Kenyataannya kakakmu tidak buat salah.""Tidak buat salah? Dia tidur sama suaminya sebelum nikah, Pak. Kata Bapak itu benar. Hebat sekali.""Sita, kalau kamu tidak tahu kejadian sebenarnya jangan asal bicara," desis Nadine penuh peringatan."Kenapa? Mau cari pembenaran diri. Sita pusing dengar semua orang menggunjingkan kita. Jangan sok benar, sok suci, Kak. Kalau kenyataannya Kakak sama saja dengan mereka.""Mereka? Mereka siapa? Kamu mau sebut Kakak sama dengan pelacur di luar sana? Asal kamu tahu ya, Kakak
"Sah?" "Sah!" Ucapan syukur terdengar melaung di ruang luas kediaman Rafael yang kini disulap jadi sebuah tempat berhias penuh bunga. Area di mana Rionald akhirnya bisa menikahi Dewi kembali. Pria itu tak bisa menahan haru kala melihat Dewi muncul diantar Paramita. "Ingat, Bang. Jangan sia-siakan kesempatan kedua yang sudah diberikan. Jangan sampai kamu sakiti dia lagi. Malu sama cucu yang sudah seabrek dan masih mau nambah lagi." Paramita memperingatkan Rionald yang langsung mengangguk. Diraihnya tangan Dewi, dipandanginya paras perempuan yang kini kembali jadi istrinya. Dalam pandangan Rionald, wajah Dewi masih sama cantiknya seperti tiga puluh tahun lalu. "Ingatkan aku jika aku berbuat salah, pukul kalau perlu." Rionald sungguh ingin memperbaiki semua. Dia hanya ingin menghabiskan sisa hidup bersama Dewi sambil merawat cucu kandung mereka yang lima bulan lagi akan lahir. Dewi mengangguk, dia sangat terharu juga tersentuh, setelah melihat kesungguhan Rionald yang ingin ber
"Cedric Laurent De Angelo dan Celine Laura De Angelo. Intinya mereka adalah sumber kebahagiaan, bukankah surga itu tempat di mana semua orang merasa bahagia. Nama mereka juga bermakna pemenang. Walau perjalanan mereka sejujurnya baru saja dimulai." Nadine tak bisa berhenti tersenyum, menatap dua buah hatinya yang sedang tidur pulas, setelah tadi menjerit karena lapar. Seperti kata Rafael, ASI Nadine memang keluar lebih awal, hingga perempuan itu tak kesusahan pasal ASI. Anugerah lain yang tidak semua perempuan dapatkan. Sita contohnya, ASI-nya baru keluar di hari keempat, dan mulai lancar setelah satu minggu. Nadine sendiri langsung bisa duduk dan berjalan ke kamar mandi, persalinan normal memang lebih cepat pulih. Terlebih perempuan itu melahirkan tanpa jahitan sama sekali. Yang Nadine rasakan tinggal rasa perut yang masih tidak nyaman dan kesulitan jika akan ke kamar mandi. Langkahnya juga masih pelan, belum secepat keadaan normal. Karenanya dia masih memakai kursi roda jika
"Bayinya tidak menangis," gumam seorang staf tanpa sadar. Dirinya baru menyadari kesalahannya saat sang rekan menyenggol lengannya, dan reflek menutup mulutnya.Sementara Reva serta sang dokter langsung memeriksa, dan wajah keduanya seketika berubah pucat berbalut panik. Leher bayi laki-laki Nadine terlilit tali pusat. Bagaimana bisa, padahal USG terakhir tidak menunjukkan hal tersebut.Pertolongan lekas dilakukan . Tali pusat dipotong dengan oksigen segera diberikan. Namun bayi mungil itu tak jua memberi respon, sedangkan saudarinya terus menjerit melengking.Suaranya terdengar sampai ke ruang tunggu di mana hampir semua anggota keluarga De Angelo plus Hermawan dan Heni ada di sana."Pak, kenapa cuma satu yang menangis?" Heni bertanya dengan kecemasan level tinggi pada sang suami. "Berdoa ya, Bu. Semua mohon doanya. Semoga Nadine dan bayinya diberi keselamatan."Semua orang lantas menundukkan, berdoa dalam hati masing-masing. Bahkan David, orang yang tak kenal kata doa ikut trenyuh
"La? Malah sudah pecah. Bukaan baru empat.""Kita masih bisa tunggu, Dok." Reva mengangguk paham, sebagai dokter dia tahu kalau mereka punya waktu dua puluh empat jam setelah ketuban pecah untuk melahirkan bayi, tanpa ada efek samping yang membahayakan bayinya.Meski kehamilan Nadine lemah di awal tapi semakin ke sini, kandungan Nadine menunjukkan kekuatannya. Hingga tidak ada masalah jika mereka harus menunggu lagi, tanpa perlu tindakan sesar."Sabar ya, aku tahu rasanya sakit. Tapi percaya deh, yang sedang kamu perjuangkan melalui rasa sakit ini adalah hal yang tak ternilai harganya."Nadine mengangguk mendengar ucapan Reva. Selang oksigen dan infus sudah terpasang, sebab tadi Nadine mengeluh sesak. Saat itulah ponsel Reva berdering. Perempuan itu melihat siapa penelponnya. Hingga dia menjawabnya di situ, tanpa berpindah tempat."Kenapa, Re?" Tanya Rafael dari ujung sana."Abang cepet ke rumah dah, anakmu tidak sabar ingin segera melihat dunia," balas Reva bersamaan dengan Nadine
"Kok makin kenceng, Re. Aduh sorry." Sita melotot melihat tangannya diremas reflek oleh sang kakak. Suasana mobil berubah panik. Reva yang menyetir bak orang gila turut menambah atmosfer Too Fast Too Furious di dalamnya."Re, slow, Re! Banyak nyawa di dalam sini." Paramita memperingatkan. Perempuan itu mendekap erat dua cucunya. Takut kalau Reva membuat kesalahan fatal."Tenang Ma, Reva punya lisensi balapan F1," Reva menjawab asal. Sebuah wireless blue tooth terpasang di telinganya. Perempuan itu tengah berkoordinasi dengan dokter di rumah sakit."Jangan ngaco kamu. F1 cuma buat kamu doang penumpangnya, ini se-erte penumpangnya." Paramita masih bisa berteriak di sela desis kesakitan Nadine. Perempuan itu dengan cepat kehilangan rona merah di parasnya."Santai Ma. Santai Nad. Jangan jejeritan. Nanti tenaganya habis. Kalau betul kontraksi mungkin itu baru satu atau dua. Aku bisa periksa tapi gak mungkin kan aku lakukan di sini, depan anak-anak pula. Jadi tahan ya, kita cus ke rumah s
Meski bahasanya masih belepotan, belum jelas pengucapannya, tapi Maira yang tadinya ditindih Laiv sampai menjerit melengking, bisa paham apa yang Nadine perintahkan. Bocah yang masih memakai baju tidur itu lekas berlari ke arah dapur, di mana Paramita tadi berada. Tak berapa lama perempuan itu datang dengam seorang ART mengikuti. "Bukan kontraksi kan?" Tanya Paramita. Dia dan sang ART memapah Nadine untuk duduk di sofa."Kayaknya bukan, Nadine cuma kaget, Maira di-smack down Laiv."Paramita melotot pada sang cucu sementara yang dimarah malah pasang muka innocent, tidak bersalah. Laiv kadang bisa kalem, kadang bisa ikutan tantrum macam Maira yang memang hobi ngereog."Maira, bisa tolong panggilkan Tante Reva di kamar. Bilang Tante Nadine perutnya sakit. Laiv tunggu di sini.""Peyut atit," kutip Maira sambil melangkah pergi seraya melompat kegirangan.Sepeninggal Maira, giliran Laiv yang ditatar Paramita. "Laiv, Sayang. Lain kali gak boleh kayak gitu lagi. Maira nanti bisa terluka. Bi
Seminggu sejak kasus Dewi masuk ke ranah pengadilan, persoalan itu justru merembet ke pihak berwajib. Ternyata si Jojo ini spesialias menikahi wanita untuk dikuras hartanya.Modusnya sama, pria itu akan menjerat janda yang dia nilai kaya, lalu istrinya akan menuntut si perempuan karena sudah mengganggu rumah tangganya. Jelas-jelas di sini Jonathan adalah seorang penipu, tapi para korbannya tidak mau melaporkan kejadian ini pada aparat keamanan. Dengan alasan malu. Mereka lebih suka menyerahkan harta bendanya, menanggung rugi dari pada aibnya tersebar luas.Sepertinya petualangan Jonathan bakal berakhir ketika dia berusaha menjerat Dewi. Bukannya untung, dia malah buntung. Jangan sangka jika Rafael akan diam saja, melihat tantenya ditipu mentah-mentah oleh lelaki yang tampang saja tak lebih baik dari satpam dirumahnya."Aku heran deh, dia pakai pelet apa waktu menipu, Tante."Itu komen Rafael yang masih tak habis pikir. Bagaimana bisa Dewi terjerat lelaki macam Jonathan."Tante pikir
"Siapa Jonathan?""Rivalnya Om," timpal Rafael cepat atas pertanyaan sang paman.Rionald lekas berdiri untuk mengintip sosok pria yang disebut Rafael sebagai saingannya. Tampak seorang lelaki mengenakan pakaian yang lumayan mahal, melongok dari luar gerbang. Terlihat kepo sekali dengan kediaman Rafael."B aja. Ganas siapa antara aku sama dia?" Selidik Rionald yang seketika membuat Dewi merona. Kenapa juga mantan suaminya malah menyinggung urusan ranjang. Dewi akui, Jonathan tak selihai Rionald, maklumlah, Rionald mantan player, pengalamannya menyenangkan wanita jangan ditanya lagi. Namun ketika membahasnya langsung dihadapan banyak orang, tentu saja Dewi malu setengah mati."Om, itu kan privasi. Tanyanya waktu di kamarlah, jangan di forum terbuka begini. Bikin malu aja," tandas Rafael seolah tahu apa yang Dewi pikirkan."Oke deh, nanti aku tanya kalau kita sudah sekamar lagi. Jadi, apa ni rencana kita?""Kita samperinlah, kita cari tahu apa maunya si Jojo ini."Tak berapa lama, Rafae
Ha? Suami baru? Kapan Dewi menikah lagi? Mereka tidak ada yang tahu. Dan kini mendadak wanita ayu yang masih diuber Rionald ini muncul di pintu kediaman Rafael. Minta bantuan untuk disembunyikan dari suami barunya. Kenapa?"Emang Tante kapan nikahnya?" Ceplos Nadine sambil menyuapi Rafael."Emm, dua bulan lalu," balas Dewi malu-malu."Terus kenapa kamu lari ke sini? Maaf, bukannya kami tidak menerimamu. Tapi akan jadi runyam urusannya kalau kamu sudah punya suami." Atma berujar pelan, penuh kehati-hatian agar tidak menyinggung perasaan perempuan yang bagaimanapun adalah ibu dari cucunya. Bahkan Rionald masih tergila-gila pada Dewi sampai detik ini. Rionald tidak mau menerima perempuan lain selain mama David."Maaf, Yah. Tapi aku sudah bingung harus cari perlindungan ke mana." Dewi mulai menangis dengan Paramita lekas mendekat untuk menenangkan."Jangan menangis, cerita dulu. Nanti kita lihat kami bisa bantu atau tidak."Paramita membimbing Dewi duduk di sebuah sofa, Arya mengulurkan