"Beliau terkena serangan jantung. Mengakibatkan stroke tapi masih ringan. Untuk beberapa hari harus dipantau. Bagian tubuh sebelah kiri yang terkena dampaknya. Tidak sampai lumpuh, hanya terasa lemas dan kaku. Dalam beberapa hari ke depan akan ada terapis yang melakukan terapi pada beliau. Supaya kakunya tidak berkelanjutan."Penjelasan panjang lebar dari dokter membuat Nadine dan Rafael mengangguk. Keduanya paham dengan perkataan lelaki dengan snelli melekat di badan.Tampak hormat dan sungkan pada Rafael. Raut wajah lelaki itu padahal terlihat biasa saja. "Loh Raf, kok dikasih yang VIP sih. Kelas tiga tidak apa-apa." Nadine protes ketika tahu Hermawan ditempatkan di kamar VIP."Tidak apa-apa." Lelaki itu mendekat ke arah Hermawan yamg masih memejamkan mata. Tadi Rafael yang mengurus administrasi Hermawan."Tidak apa-apa bagaimana? Kan mahal, bayarnya bagaimana?""Tinggal dibayar saja." Nadine membuat gerakan meremas dengan tangannya. Sungguh kesal dengan sikap Rafael yang tampak san
Rafael membalikkan badan, setelah seorang pria mengangguk padanya lantas undur diri. Cukup terkejut mendapati ibu mertua dan adik iparnya ada di sana. "Siapa dia?" Heni bertanya to the poin."Bukan siapa-siapa," balas Rafael enteng.Wajah mencemooh segera muncul di paras Heni. "Bosmu? Atau orang yang pernah kamu hutang uangnya," sindir Heni.Rafael mengedikkan bahu, berjalan menjauhi dua orang yang seketika mengumpat. "Gak sopan banget sih!" Maki Sita langsung.Rafael tak peduli. Heni dan Sita keluar kamar, itu artinya Nadine sendirian. Seorang pria muncul tiba-tiba dari sisi kiri, menyerahkan dua paper bag pada Rafael, membungkuk, lalu segera pergi dari hadapan suami Nadine. Tanpa kata, hanya gesture penuh hormat yang terlihat.Rafael membuka pintu, melihat Nadine tengah berbincang dengan Hermawan. Sepertinya lelaki itu sudah bangun. "Bapak, pulang saja. Bapak sudah tidak apa-apa." Pinta lelaki itu ketika melihat Rafael mendekat."Istirahat dulu beberapa hari ini. Jangan cemaskan yan
Wajah David merah padam, menahan malu sekaligus marah. Tak pernah dia dipermalukan seperti ini di hadapan banyak orang. Nadine menyiram wajahnya dengan sisa orange juice yang tinggal separuh. "Lihat saja kau perempuan sombong! Kupastikan kau akan bertekuk lutut di bawah kendaliku. Memohon-mohon agar aku kembali padamu. Saat itu aku bisa melakukan apapun padamu." Kata David sembari membersihkan sisa orange juice di kemejanya, yang apesnya tidak bisa hilang. "Sialan!" Emosi David meluap-luap. Dia sangat marah, kepalan tangannya begitu kuat hingga memutih. Lelaki itu keluar dari toilet, mengabaikan tatapan serta bisik-bisik staf yang tadi sempat melihat perbuatan Nadine padanya. "Beb, kamu tidak apa-apa? Aku dengar tadi Nadine menyirammu?" David berhenti guna menatap Eva yang menahan lengannya. "Pergi sana! Jangan ganggu aku!" David menepis tangan Eva, meninggalkan sang wanita yang sejenak terkejut. Eva kemudian berbalik, ganti mencari pelampiasan karena barusan dibuat kesal oleh
Rafael menatap Nadine yang berjalan di sisinya. Mereka berada di alun-alun kota. Menikmati suasanan malam, sambil jajan. Rafael rupanya tahu kalau Nadine hobi jajan. Lelaki itu mengulas senyum tipis, melihat Nadine memakan seporsi cilok. Setelah sebelumnya meminun satu cup besar es teler. Katanya biar hatinya adem. Panas dan kesal melihat David datang ke rumah. "Mau apa lagi?" Rafael bertanya singkat. Pria itu tengah meminum kopi hangat yang dibeli di satu food truck yang mangkal di sana. "Nanti lagi, aku capek." Keduanya duduk di bangku yang banyak berjajar di tempat tersebut. Nadine tampak mengamati Rafael, sikapnya begitu tenang. Lebih banyak diam, gayanya terlihat elegan khas orang kaya. Semua jajan dibayari Rafael. Cash, ciri kalangan menengah ke bawah. "Kenapa?" Rafael sadar sejak tadi dipantau oleh sang istri. "Kamu siapa?" Tanya Nadine pada akhirnya, menyadari kalau dia tak pernah mencari tahu soal siapa Rafael. Awalnya Nadine tak peduli, tapi semakin ke sini, Nadine mer
Waktu menunjukkan dini hari, langit masih gelap, tapi semburat oranye sudah mewarnai ufuk timur. Suara motor terdengar masuk halaman rumah Hermawan. Nadine masih setengah merem ketika Rafael membawanya pulang. "Tidurlah lagi," pinta Rafael."Tidak mau. Mau cuci baju.""Aku saja."Rafael diam ketika Nadine memberinya tatapan intimidasi. "Itu balasan untuk semalam," balas Nadine segera."Aku tidak bohong, Nad. Itu rumah punya bosku. Aku sering diminta bersih-bersih di sana kalau aku luang. Jadi aku punya akses masuk, juga kunci. Ditambah satpam di sana memang kenal aku sama motorku."Sejak bangun tidur tadi, Nadine terus mendesak Rafael untuk bercerita soal rumah yang mereka tempati semalam. Rumah besar nan mewah macam villa di luar negeri sana.Rafael menjelaskan kalau itu rumah atasannya. Namun Nadine tak percaya begitu saja. "Kalau rumah itu punyaku, aku tidak mungkin tinggal di kontrakan. Logikanya begitu, punya rumah bagus, buat apa tinggal di kontrakan kumuh," tambah Rafael.Nadin
Nadine sampai ke kantor dengan wajah kesal. Perselisihannya dengan Heni membuat Nadine bad mood. Ditambah dengan sikap Rafael yang membuatnya kepo tingkat tinggi. Siapa sebenarnya Rafael ini?"Nad, dipanggil pak Handoyo." Tia menyampaikan pesan."Buat apa?" Nadine sedang tidak ingin bertemu petinggi perusahaan, dia malas. Tia yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Istri Rafael baru saja akan beranjak dari kursinya ketika Eva sudah lebih dulu muncul dengan wajah sumringah."Nih, proposalmu. Ditolak, mereka lebih suka menggunakan ideku." Nadine lemas mendengar ucapan Eva. Baru kali ini proposalnya tidak diterima direktur marketing. Tapi ya sudahlah, yang penting dia sudah berusaha."Sekarang mulai persiapan untuk merealisasikan rencana ini." Eva kembali mengulurkan satu map lagi. Dengan Nadine segera membukanya. Ini ... ini ....""He! Ini kan ideku. Kenapa jadi namamu yang ada di sini?" Eva tampak menyeringai."Kenapa? Kamu keberatan? Idemu, ideku juga. Jadi sama saja kan?"Tangan Nadine
"Ha? Serius? Bukannya kemarin ditolak?" Nadine melongo ketika asisten Handoyo memanggilnya untuk menemui direktur marketing. Sialnya ada David di sana. Nadine tahu kalau marketing dan perencanaan akan selalu terhubung. Namun biasanya David jarang turun tangan untuk menangani proyek marketing."Tidak tahu. Baru saja turun perintah. Sepertinya kantor pusat ikut membaca proposalmu," sahut asisten Handoyo. Setelahnya, Nadine harus mendengarkan Handoyo bicara panjang lebar. Tidak masalah bagi Nadine, yang jadi masalah adalah adanya sosok David yang sejak tadi menatapnya tanpa berkedip."Astaga, lama-lama aku sungguh muak melihatnya." Tia tersenyum mendengar curhatan hati sang sahabat."Tenang, yang itu kamu pending. Hadapi yang ini dulu." Nadine menoleh mendengar perkataan sahabatnya. Nadine menghela napas, mendapati Eva berjalan cepat ke arahnya.Hermawan sedang menikmati teh dan camilannya ketika Heni lagi-lagi pergi entah ke mana. Padahal rumah masih berantakan, jadilah Rafael memberesk
Ughh! Lenguhan terdengar diikuti desahan mengalun setelahnya."Aku tidak mau tahu. Dia harus gagal." Suara itu terdengar di antara erangan yang beradu dengan hentakan."Susah, Va. Handoyo sendiri yang menyetujui proposal itu. Aku bahkan tidak tahu kalau dia mengubah keputusannya." Suara itu tersengal di antara deru napas yang memburu."Apa maksudmu? Jangan bilang kau tidak bisa membantuku." Eva ingin melepaskan penyatuan mereka tapi pria yang tengah menindihnya menahannya."Aku tidak menjanjikan apa pun padamu. Kau sendiri yang datang padaku. Menawarkan tubuhmu untuk kunikmati. Tidak kusangka, wanitanya direktur David, kini sedang membuka kakinya, pasrah untuk kumasuki. Bagaimana? Apa aku sama hebat dengan tunangan Nadine yang kau rebut?"Eva membelalakkan mata, mendengar rangkaian kalimat yang mengalir lancar dari bibir pria bertubuh seksi di atasnya. Tak kalah panas dengan body David. "Kau mempermainkanku? Sandy, dasar kurang ajar. Ughhh!" Makian Eva berakhir desah ketika Sandy menum