Share

BAB TIGA

Nadine mengayunkan langkah ingin masuk ke dalam rumah. Satu paper bag kecil berada di tangannya. Hadiah dari Rafael. "Eh, lihat anak pak Hermawan. Katanya minggu depan mau nikah ya."

"Kabarnya sih begitu. Yang saya dengar mereka sudah anu duluan. Mana sama kurir pengganti lagi. Gak jelas banget, padahal dia sudah punya tunangan lo. Tidak tahu diri sekali. Maklum anak muda zaman sekarang. Suka gak tahan."

Nadine memejamkan mata, sudah dua minggu ini kalimat itu sering dia dengar. Baik yang bisik-bisik maupun yang terang-terangan. Perempuan itu sejatinya lelah. Tidak di kantor, tidak di rumah. Semua menggosipkannya.

Di kantor bahkan lebih parah. Kariernya yang cemerlang tenggelam oleh berita yang hasil akhirnya jadi tidak sesuai cerita pakem. "Aku lelah, ya Tuhan." Nadine kembali menangis. Hidupnya berubah drastis karena kejadian ini.

Senyum ceria itu kini berganti muram. Tak ada lagi bahagia dalam hidup Nadine. Semua sirna bersama kejadian malam itu.

Tunggu dulu, ada yang memukulnya saat Nadine sampai di hotel. “Siapa yang melakukannya?”Gumam Nadine terus berpikir.

Nadine mulai mengingat-ingat kejadian hari itu. Tapi buntu, dia tidak menemukan clue, sampai dia bangun dan melihat Rafael terbaring di sampingnya, dengan David menatap jijik padanya.

"Dia perusak mimpi dan cita-citaku!" geram Nadine.

Kekesalan Nadine pada Rafael terus berlanjut hingga ketukan pintu membuyarkan pikiran Nadine. "Apa, Ta?" Sita, adik Nadine berdiri di depan pintu dengan wajah judes. Dia adalah antagonis di rumah ini selain sang ibu yang juga tidak bersikap baik padanya. Entahlah, apa yang salah dengan Nadine, tapi dia merasa Sita tak menyukainya.

"Ada calon suami Kakak tu di depan. Abang kurir dekil ngajakin jalan keknya," kata Sita dengan senyum lebar penuh ejekan.

Nadine merotasi mata. Dia sungguh ingin menolak pernikahan ini. Tapi warga keburu tahu kalau dia dan Rafael sudah tidur bersama. Apa yang salah coba. Di luar sana banyak pasangan melakukan hal itu, mereka fine-fine saja. Giliran dia, satu kampung menghujat, menghina lalu menempelkan label murahan di jidatnya.

Masyarakat zaman sekarang. Ampun sekali. Akhirnya demi nama baik keluarga, Nadine terpaksa menerima pernikahan ini. "Nadine, ada Rafa, dia mau ngajakin kamu jalan." Wanita itu menghela napas. Tak bisa berkata tidak pada perintah sang ayah.

Rafael mengulurkan helm buluk pada Nadine tanpa kata.

"Serius kamu mau aku pakai ini? Pakai mobil aja."

"Aku gak bisa nyetir," balas lelaki itu datar. Nadine menatap Rafael, sikap lelaki itu makin menambah kadar benci dalam hatinya.

"Aku saja yang nyetir."

Tak ada jawaban. Nadine mendengus kesal, ketika pria itu justru sudah siap dengan jaket lusuh dan helm kusamnya.

Motor mulai dihidupkan, di belakang punggung Rafael, Nadine berdecih pelan. Dia memegang ujung jaket Rafael.

"Pelan-pelan bisa?!" protes Nadine ketika Rafael memutar gas motor bututnya.

Terpaksa gadis itu memeluk tubuh Rafael. Nadine terdiam sesaat, hingga dia menyadari sesuatu. Parfum yang Rafael pakai adalah aroma mahal berharga jutaan. Nadine jadi kepo akan identitas orang ini.

Mereka melintasi jalanan yang lumayan ramai. Dalam kesempatan itu tak ada yang bicara. Nadine yang sebenarnya enggan. Sementara Rafael tampak fokus pada sesuatu.

"Pegangan!"

Nadine langsung mengumpat ketika Rafael menggeber motornya tanpa peringatan.

"Apaan sih?!" Nadine protes di telinga Rafael. Pria itu tersenyum, merasakan tubuh Nadine menempel padanya.

"Mobil box itu bikin aku curiga." Nadine turut mengikuti arah pandang Rafael.

"Kok mereka masih berkeliaran di jam segini. Harusnya sudah off kan?"

Keduanya mengekor mobil box dengan logo familier tersebut.

"Diam di sini!" pinta Rafael.

"Idih ogah. Takut, sepi!" Nadine melirik kiri dan kanan. Ini tempat apa? Nadine buru-buru menarik ujung jaket Rafael ketika lelaki itu bergerak menjauh.

"Lihat langkahmu." Nadine membekap mulutnya sendiri ketika seekor ular melintas di gerumbul semak di depannya.

"Ular, Raf," bisik Nadine ketakutan.

Rafael tampak diam tanpa bicara, membiarkan Nadine memeluk lengannya, yang ternyata keras kayak batu.

"Tungguin!" Ingin Nadine memaki, katanya ngajakin jalan eh beneran ngajakin jalan sih. Tapi tujuannya tidak sesuai ekspektasi wanita itu.

Kali ini Rafael melebarkan mata, menatap layar ponsel yang tengah merekam.

"Mereka lagi ngapain?" Rafael memberi kode untuk diam pada Nadine. Takut ketahuan. Nadine merengut, turut melihat ke layar benda pipih Rafael. Sampai gadis itu menjerit ketakutan, untung gegas dibekap Rafael.

"Ular, Raf! Lagi!" Nadine bersembunyi di balik tubuh Rafael. Pria itu terdiam untuk beberapa waktu. Kemudian dia melempar batu dan si ular kabur. Tapi nahasnya suara lemparan batu Rafael cukup keras, hingga menarik perhatian orang yang ada didalam sana.

"Hei! Siapa di sana!"

"Sial!" Rafael memaki, lelaki itu spontan menarik tangan Nadine, membawanya lari dari sana. Nadine ikut mengumpat kala Rafael membawanya kabur, tanpa peduli ada semak dan ilalang cukup tinggi. Rafael main terabas saja.

"Heh!"

"Diam!" Rafael mendekap tubuh Nadine, saat keduanya masuk berhimpitan ke dalam celah sempit antara dua bangunan. Posisi keduanya sangat dekat. Nadine sama sekali tak berani bergerak. Sedikit dia mengangkat wajah, akan ada ciuman yang terjadi.

Rafael menundukkan wajah saat seorang pria berbadan besar lewat. Tingkat ketegangannya sama berbahayanya dengan debar jantung Nadine yang nyaris membuatnya kena serangan jantung.

"Cari terus, jangan sampai lepas. Kita harus menemukannya lalu melenyapkannya."

Glek! Nadine menelan ludahnya susah payah. Dilenyapkan? Dibunuh maksudnya?

"Raf, takut," cicit Nadine.

"Sstt!" Rafael memperingatkan. Rafael mengeluarkan masker dari kantong jaket, memakaikannya pada Nadine berikut topi yang tadi dipakai Rafael. Lelaki itu menggulung rambut panjang Nadine, memasukkannya ke dalam topi.

"Ayo." Rafael menarik Nadine bangun.

"Aman, percaya sama aku." Rafael meyakinkan kali ini, sambil melirik kiri dan kanan. Baru juga berjalan dua langkah. Satu suara membuat Nadine memaki Rafael.

"Aman dari mana? Kita akan dilenyapkan Raf!" Nadine menjerit di bawah tarikan tangan Rafael.

Pria itu memaksanya sprint di tengah pekatnya malam, ditambah rimbunan semak belukar yang harus mereka lalui. Juga kejaran dua lelaki dengan body macam Hulk.

"Ya, Tuhan apa dosaku. Kenapa juga aku harus ketemu sama kamu." Nadine memaki dengan kaki terus menendang-nendang kesal. Mereka berhasil kabur dari dua pria tadi.

Rafael muncul dengan satu porsi lele bakar plus sambal dan lalapan, tak terlalu menanggapi perkataan Nadine.

"Makan, upah nemenin aku ngintipin penjahat," ujar Rafael.

"Emang apa yang mereka lakukan?" tanya Nadine penasaran.

Rafael terdiam. Dari wajahnya, ia seperti enggan membicarakan sesuatu.

Pria itu hanya mengedikkan bahu, membuat Nadine kian jengkel. Dia pikir Rafael sungguh-sungguh ingin menangkap penjahat.

"Apa yang mereka lakukan sebenarnya. Kenapa mereka mereka menggunakan mobil ekspedisi, dan apa yang mereka kirimkan?"

Tanya berputar di kepala Rafael, pria itu menarik sudut bibir melihat Nadine makan dengan lahap meski menu sederhana.

Rafael bertekad akan terus mendampingi Nadine, hingga wanita itu tak lagi ingat akan kesedihannya. Sampai pria tersebut menarik topi yang Nadine kenakan. Mengurai rambut panjang sang calon istri.

"Apaan sih?"

Rafael memberi kode diam. Bola mata Nadine melotot dengan tubuh bergeser mendekati Rafael.

"Tidak ada. Dua-duanya cowok. Aku lihat dengan jelas."

"Sialan! Bagaimana mereka bisa lepas."

"Ayo cari lagi, mereka harus dikasih pelajaran."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status