Nadine mengayunkan langkah ingin masuk ke dalam rumah. Satu paper bag kecil berada di tangannya. Hadiah dari Rafael. "Eh, lihat anak pak Hermawan. Katanya minggu depan mau nikah ya."
"Kabarnya sih begitu. Yang saya dengar mereka sudah anu duluan. Mana sama kurir pengganti lagi. Gak jelas banget, padahal dia sudah punya tunangan lo. Tidak tahu diri sekali. Maklum anak muda zaman sekarang. Suka gak tahan." Nadine memejamkan mata, sudah dua minggu ini kalimat itu sering dia dengar. Baik yang bisik-bisik maupun yang terang-terangan. Perempuan itu sejatinya lelah. Tidak di kantor, tidak di rumah. Semua menggosipkannya. Di kantor bahkan lebih parah. Kariernya yang cemerlang tenggelam oleh berita yang hasil akhirnya jadi tidak sesuai cerita pakem. "Aku lelah, ya Tuhan." Nadine kembali menangis. Hidupnya berubah drastis karena kejadian ini. Senyum ceria itu kini berganti muram. Tak ada lagi bahagia dalam hidup Nadine. Semua sirna bersama kejadian malam itu. Tunggu dulu, ada yang memukulnya saat Nadine sampai di hotel. “Siapa yang melakukannya?”Gumam Nadine terus berpikir. Nadine mulai mengingat-ingat kejadian hari itu. Tapi buntu, dia tidak menemukan clue, sampai dia bangun dan melihat Rafael terbaring di sampingnya, dengan David menatap jijik padanya. "Dia perusak mimpi dan cita-citaku!" geram Nadine. Kekesalan Nadine pada Rafael terus berlanjut hingga ketukan pintu membuyarkan pikiran Nadine. "Apa, Ta?" Sita, adik Nadine berdiri di depan pintu dengan wajah judes. Dia adalah antagonis di rumah ini selain sang ibu yang juga tidak bersikap baik padanya. Entahlah, apa yang salah dengan Nadine, tapi dia merasa Sita tak menyukainya. "Ada calon suami Kakak tu di depan. Abang kurir dekil ngajakin jalan keknya," kata Sita dengan senyum lebar penuh ejekan. Nadine merotasi mata. Dia sungguh ingin menolak pernikahan ini. Tapi warga keburu tahu kalau dia dan Rafael sudah tidur bersama. Apa yang salah coba. Di luar sana banyak pasangan melakukan hal itu, mereka fine-fine saja. Giliran dia, satu kampung menghujat, menghina lalu menempelkan label murahan di jidatnya. Masyarakat zaman sekarang. Ampun sekali. Akhirnya demi nama baik keluarga, Nadine terpaksa menerima pernikahan ini. "Nadine, ada Rafa, dia mau ngajakin kamu jalan." Wanita itu menghela napas. Tak bisa berkata tidak pada perintah sang ayah. Rafael mengulurkan helm buluk pada Nadine tanpa kata. "Serius kamu mau aku pakai ini? Pakai mobil aja." "Aku gak bisa nyetir," balas lelaki itu datar. Nadine menatap Rafael, sikap lelaki itu makin menambah kadar benci dalam hatinya. "Aku saja yang nyetir." Tak ada jawaban. Nadine mendengus kesal, ketika pria itu justru sudah siap dengan jaket lusuh dan helm kusamnya. Motor mulai dihidupkan, di belakang punggung Rafael, Nadine berdecih pelan. Dia memegang ujung jaket Rafael. "Pelan-pelan bisa?!" protes Nadine ketika Rafael memutar gas motor bututnya. Terpaksa gadis itu memeluk tubuh Rafael. Nadine terdiam sesaat, hingga dia menyadari sesuatu. Parfum yang Rafael pakai adalah aroma mahal berharga jutaan. Nadine jadi kepo akan identitas orang ini. Mereka melintasi jalanan yang lumayan ramai. Dalam kesempatan itu tak ada yang bicara. Nadine yang sebenarnya enggan. Sementara Rafael tampak fokus pada sesuatu. "Pegangan!" Nadine langsung mengumpat ketika Rafael menggeber motornya tanpa peringatan. "Apaan sih?!" Nadine protes di telinga Rafael. Pria itu tersenyum, merasakan tubuh Nadine menempel padanya. "Mobil box itu bikin aku curiga." Nadine turut mengikuti arah pandang Rafael. "Kok mereka masih berkeliaran di jam segini. Harusnya sudah off kan?" Keduanya mengekor mobil box dengan logo familier tersebut. "Diam di sini!" pinta Rafael. "Idih ogah. Takut, sepi!" Nadine melirik kiri dan kanan. Ini tempat apa? Nadine buru-buru menarik ujung jaket Rafael ketika lelaki itu bergerak menjauh. "Lihat langkahmu." Nadine membekap mulutnya sendiri ketika seekor ular melintas di gerumbul semak di depannya. "Ular, Raf," bisik Nadine ketakutan. Rafael tampak diam tanpa bicara, membiarkan Nadine memeluk lengannya, yang ternyata keras kayak batu. "Tungguin!" Ingin Nadine memaki, katanya ngajakin jalan eh beneran ngajakin jalan sih. Tapi tujuannya tidak sesuai ekspektasi wanita itu. Kali ini Rafael melebarkan mata, menatap layar ponsel yang tengah merekam. "Mereka lagi ngapain?" Rafael memberi kode untuk diam pada Nadine. Takut ketahuan. Nadine merengut, turut melihat ke layar benda pipih Rafael. Sampai gadis itu menjerit ketakutan, untung gegas dibekap Rafael. "Ular, Raf! Lagi!" Nadine bersembunyi di balik tubuh Rafael. Pria itu terdiam untuk beberapa waktu. Kemudian dia melempar batu dan si ular kabur. Tapi nahasnya suara lemparan batu Rafael cukup keras, hingga menarik perhatian orang yang ada didalam sana. "Hei! Siapa di sana!" "Sial!" Rafael memaki, lelaki itu spontan menarik tangan Nadine, membawanya lari dari sana. Nadine ikut mengumpat kala Rafael membawanya kabur, tanpa peduli ada semak dan ilalang cukup tinggi. Rafael main terabas saja. "Heh!" "Diam!" Rafael mendekap tubuh Nadine, saat keduanya masuk berhimpitan ke dalam celah sempit antara dua bangunan. Posisi keduanya sangat dekat. Nadine sama sekali tak berani bergerak. Sedikit dia mengangkat wajah, akan ada ciuman yang terjadi. Rafael menundukkan wajah saat seorang pria berbadan besar lewat. Tingkat ketegangannya sama berbahayanya dengan debar jantung Nadine yang nyaris membuatnya kena serangan jantung. "Cari terus, jangan sampai lepas. Kita harus menemukannya lalu melenyapkannya." Glek! Nadine menelan ludahnya susah payah. Dilenyapkan? Dibunuh maksudnya? "Raf, takut," cicit Nadine. "Sstt!" Rafael memperingatkan. Rafael mengeluarkan masker dari kantong jaket, memakaikannya pada Nadine berikut topi yang tadi dipakai Rafael. Lelaki itu menggulung rambut panjang Nadine, memasukkannya ke dalam topi. "Ayo." Rafael menarik Nadine bangun. "Aman, percaya sama aku." Rafael meyakinkan kali ini, sambil melirik kiri dan kanan. Baru juga berjalan dua langkah. Satu suara membuat Nadine memaki Rafael. "Aman dari mana? Kita akan dilenyapkan Raf!" Nadine menjerit di bawah tarikan tangan Rafael. Pria itu memaksanya sprint di tengah pekatnya malam, ditambah rimbunan semak belukar yang harus mereka lalui. Juga kejaran dua lelaki dengan body macam Hulk. "Ya, Tuhan apa dosaku. Kenapa juga aku harus ketemu sama kamu." Nadine memaki dengan kaki terus menendang-nendang kesal. Mereka berhasil kabur dari dua pria tadi. Rafael muncul dengan satu porsi lele bakar plus sambal dan lalapan, tak terlalu menanggapi perkataan Nadine. "Makan, upah nemenin aku ngintipin penjahat," ujar Rafael. "Emang apa yang mereka lakukan?" tanya Nadine penasaran. Rafael terdiam. Dari wajahnya, ia seperti enggan membicarakan sesuatu. Pria itu hanya mengedikkan bahu, membuat Nadine kian jengkel. Dia pikir Rafael sungguh-sungguh ingin menangkap penjahat. "Apa yang mereka lakukan sebenarnya. Kenapa mereka mereka menggunakan mobil ekspedisi, dan apa yang mereka kirimkan?" Tanya berputar di kepala Rafael, pria itu menarik sudut bibir melihat Nadine makan dengan lahap meski menu sederhana. Rafael bertekad akan terus mendampingi Nadine, hingga wanita itu tak lagi ingat akan kesedihannya. Sampai pria tersebut menarik topi yang Nadine kenakan. Mengurai rambut panjang sang calon istri. "Apaan sih?" Rafael memberi kode diam. Bola mata Nadine melotot dengan tubuh bergeser mendekati Rafael. "Tidak ada. Dua-duanya cowok. Aku lihat dengan jelas." "Sialan! Bagaimana mereka bisa lepas." "Ayo cari lagi, mereka harus dikasih pelajaran."SAH!"Setelah ijab kabul selesai dilakukan, suasana haru menyelimuti ruang tamu sederhana yang dihiasi bunga-bunga segar.Akad nikah diadakan di rumah mempelai wanita dengan nuansa sederhana penuh kepedihan. Hanya dihadiri keluarga dekat, dan beberapa teman Nadine. Senyum terpaksa menghiasi wajah-wajah yang hadir, sementara hati mereka mengasihani Nadine dalam diam, mengiringi doa-doa penuh harap yang diselimuti kesedihan mendalam."Selamat, Nad. Jangan menangis, aku yakin bahagia sedang menunggumu," bisik Tia yang datang menyaksikan pernikahan sang sahabat.Gadis itu sempat melihat suami Nadine, memang dekil. Meski pakaiannya tampak rapi."Cincinnya yang kemarin," bisik Rafael. Nadine mendengus geram, segera mengambil cincin dari kamarnya. Dari pada dia sendiri malu, karena tak ada cincin pernikahan. Lebih baik ada meski palsu. Toh tidak ada yang tahu.Acara sangat sederhana, hanya jamuan makan seadanya. Padahal Nadine punya gaji jika ingin sekedar pesta yang lebih layak, tapi sang
Bertempat di sebuah ruangan privat di satu restoran. Beberapa orang tengah bertemu, pembicaraan serius sepertinya sedang terjadi."Pastikan semua aman, aku ingin semua berjalan lancar macam biasa." Seorang pria bertitah dengan lelaki lain membungkuk mengiyakan perintah atasannya."Dia pandai sekali menyembunyikan diri.""Berandalan itu, sangat tidak bertanggung jawab, tapi Kakek malah mewariskan semua padanya. Kita harus bisa menyingkirkannya."Dua orang itu saling pandang untuk kemudian kompak mengangguk. "Stempel itu, kita harus mendapatkannya, sebelum anak itu menikah. Syaratnya akan terpenuhi jika dia sudah menikah, kedudukannya tidak akan bisa kita singkirkan dengan mudah jika sudah begitu.""Jangan lupa. Dia masih harus melawan ayahnya, jika membangkang.""Bukankah dia sudah menunjukkannya saat ini. Tenang saja, andai dia kembali, kita sudah punya alat untuk menjeratnya."Dua pria tersebut tersenyum bersamaan. Senyum itu makin lebar ketika satu lelaki masuk sembari mengatakan pe
Nadine hanya bisa bengong sepanjang sisa hari. Dia sama sekali tak bisa fokus. Otaknya dipenuhi oleh adegan saat Eva mendesah nikmat sembari membuka lebar dua kakinya di atas meja, sementara seorang pria tengah menghentaknya."Dasar brengsek!" Baru kemarin dia menikah, dan kini dia dihadapkan pada kenyataan pahit kalau dirinya sudah dikhianati oleh sahabat dan tunangannya sendiri.Iya, pria yang sudah membuat Eva memberikan akses penuh pada area pribadinya adalah David, pria yang selama ini dia anggap baik.Karena berpikir demikian maka Nadine tidak banyak membantah ketika David memutuskan pertunangan mereka. Dia pikir David terlalu baik untuk dirinya yang kini hanya seonggok sampah.Namun sekarang, Nadine berpikir kalau David dan dirinya lebih kurang sama. Sama kotornya. Bedanya Nadine dipaksa sedang David dengan senang hati melakukannya. Lebih sakit lagi ketika tahu perempuan itu adalah Eva, sahabatnya sendiri."Ahh, sialan!" Maki Nadine kemudian. Hatinya tak henti mengumpat perbuat
"Aku tidak mau tahu!" Kalimat itu diiringi desisan penuh peringatan. Paras Rafael tampak menegang dengan ekspresi serius kentara di sana. Namun raut wajah itu berubah secepat detik bergulir, kala suara Nadine terdengar memanggil.Lelaki itu mencabut ear phone yang menempel di telinga, memasukkannya ke dalam saku celana pendek. "Raf, kamu ngapain?" Nadine berteriak heboh melihat Rafael berjongkok di area belakang rumah yang berumput tinggi. Ada tumpukan rumput di samping pria tersebut."Potong rumput.""Itu bukan potong rumput tapi cabut rumput. Ibu ini bagaimana sih? Keterlaluan sekali, masak disuruh cabut rumput." Nadine berbalik masuk rumah, ingin protes.Namun Rafael lebih dulu menarik sang istri, hingga perempuan itu berakhir duduk di samping Rafael. "Tidak perlu.""Raf, jangan pasrah-pasrah amat. Lawan dong sesekali." Nadine benci melihat diamnya Rafael saat dikerjai ibu dan adiknya. "Kan bukan kerjaan berat." Nadine mencebik kesal mendengar ucapan Rafael yang terkesan membiarka
"Serius?" Tia bertanya dengan mata membulat sempurna. "Ishh, jangan melotot begitu, serem." Tia buru-buru menormalkan netranya lagi. Mereka sedang berada di kantin, makan siang seperti biasa. Kali ini hanya ada mereka berdua. Sebab Eva lebih memilih bergabung dengan barisan manager yang makan di tempat itu."Dasar muna! Kemarin baik-baikin kamu itu sebab ada maunya ya." Nadine mengedikkan bahu, melihat ke arah Eva yang tersenyum sinis padanya. "Dasar murahan!" Batin Nadine kesal. Sungguh, perempuan itu seperti baru saja dihantam dengan kenyataan perih.Tunangannya direbut temannya, tunangannya juga tega menjebak dirinya, membuat dia dan Rafael harus menikah. Meski ya dalam pandangan Nadine, Rafael punya nilai plus lebih sedikit. Pria itu, entahlah Nadine bingung menjabarkan. Sangat dingin, datar, misterius, tapi ... Rafael seperti punya perhatian untuknya. "Maaf, boleh minta tolong. Kerjakan ini untuk meeting besok, harus sudah selesai hari ini."Nadine menggeram, ingin rasanya men
"Ibu dari mana saja?" Hermawan bertanya pada Heni yang baru kembali entah dari mana. "Dari rumah bu Surti, biasa arisan. Bapak sudah pulang?" Hermawan mengangguk. Lelaki itu lantas melihat ke arah Rafael, lalu memanggilnya."Sudah, hentikan itu. Bapak tahu kamu baru balik kerja." Rafael mengangguk santun, berujar kalau sebentar lagi dia akan selesai. Hermawan masuk ke kamar diikuti Heni, biasanya perempuan itu akan memijit kaki Hermawan setelah kerja. Rafael pernah melihatnya.Setelah Hermawan dan Heni tak terlihat lagi, Rafael gegas meraih ponselnya. Dia bicara melalui benda kecil di telinga. Rafael tampak terlibat pembicaraan serius. Sembari duduk membelakangi teras belakang. Tangannya iseng bergerak, agar terlihat bekerja.Hampir lima belas menit Rafael berdebat melalui benda pipih miliknya. Sampai dia tiba-tiba berdiri, hanya memberi perintah "bereskan." Rafael masuk ke dalam rumah, mengganti pakaiannya lantas mengetuk kamar mertuanya. Meminta izin keluar. Tak ada jawaban, Rafae
Rafael keluar dari kamar mandi. Mereka baru sampai rumah naik motor, meninggalkan David begitu saja. Tentu setelah Nadine menghubungi bengkel langganannya untuk mengambil mobilnya. Nadine jelas senang sekali melihat Rafael datang tepat waktu. Hingga dia tidak perlu menghadapi mantan tunangan yang sedang tidak waras.Rafael melihat Nadine yang masih berkutat dengan laptopnya. "Kamu tahu adikmu punya pacar?" Dia ingat kejadian dua hari lalu.Nadine menoleh, melihat Rafael sedang mengeringkan rambut. "Sepertinya begitu. Aku dengar ibu beberapa kali menyebut namanya, tapi aku lupa. Kenapa?" "Pernah melihat mengantar Sita. Orang kaya?" Nadine mengedikkan bahu, tidak tahu."Memangnya kenapa?" Nadine mengetahui kalau ibunya dan adiknya sering menghina Rafael."Kamu dibanding-bandingkan sama dia?""Tidak juga, memang kenyataannya begitu. Aku ini pengangguran," balas Rafael santai. Pria itu merebahkan tubuh di kasur Nadine. Tempat itu sungguh nyaman. Rafael mengurungkan niat memejamkan mata k
Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui tirai jendela kamar yang terbuka. Suara ribut dari luar kamar membuat Nadine membuka mata. Wanita itu meringis, merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Terutama area intinya, terasa perih."Semalam itu ...." Nadine menggigit bibir bawahnya, teringat kejadian tadi malam. Saat Rafael sungguh memasukinya. Sakit luar biasa. Nadine ingat Rafael sempat berucap, "Kamu bisa lakukan apa pun padaku, jika ini menyakitimu." Alhasil Nadine menggigit bahu, juga mencakar punggung suaminya. "Jadi rasanya seperti itu," gumam Nadine. Dia tidak merasakan ini semua saat dipergoki tidur telanjang berdua dengan Rafael oleh David hari itu.Nadine mengepalkan tangan, berarti dia dan Rafael hanya dijebak tidur bersama tanpa melakukan apa pun. "Dasar David sialan!" Maki Nadine. Perempuan itu menaikkan selimutnya sampai ke dada, menyadari kalau tubuhnya polos tanpa pakaian. Pikiran Nadine melayang, otaknya dipenuhi oleh semua yang Rafael lakukan padanya. Nadine belum pe