"Bagaimana?""Dia bilang tidak tahu. Padahal dia seharusnya mengetahui, kecelakaan itu terjadi di wilayah tugasnya."Pria paruh baya itu terdiam untuk beberapa lama. "Perempuan itu harus kita temukan lebih dulu, atau Rafael akan punya celah untuk menyerang. Dia kelemahan Rafael," ujarnya menatap keluar jendela."Ikuti dia. Dia pulang ke mana, kita pasti tahu cepat atau lambat andai dia menyembunyikannya," titah si pria.Sang asisten mengangguk paham, lantas undur diri. "Dia sudah menggagalkan rencanaku menjadikan Eva nyonya muda De Angelo. Kali ini tidak akan kubiarkan dia mengacaukan usahaku untuk merebut harta mendiang ayah. Tidak peduli surat wasiat sudah dibuat. Aku bisa memanipulasinya. Harta itu tidak boleh jatuh ke tangan Megantari."Kembali ke tempat Bram, pria itu terlihat menghubungi Sinta. Bertanya kabar mengenai Meera."Dia sehat-sehat saja hari ini. Dia sudah balik ngajar, berangkat jalan kaki sambil jemput Ayu. Ada apa to, Bram? Kedengarannya panik gitu," tanya Sinta.
"Kenapa kamu bertanya soal itu padanya?"Sinta mengerutkan dahi saat melihat Bram duduk di depannya. Ini kesekian kalinya, Sinta dibuat curiga oleh tingkah Bram."Yang kutanyakan wajar kan? Kamu tidak ada kabarin kita, tiba-tiba kamu pulang bawa istri. Aku juga tidak tahu dia sebelumnya," Sinta berujar santai."Tapi yang kamu lakukan buat dia sakit kepala lagi." Ketiganya sudah pulang ke rumah, Bram muncul di saat yang tepat untuk menjawab pertanyaan Sinta yang membuat sakit kepala Meera kambuh. Saat ini perempuan tersebut sudah tidur setelah minum obat."Maaf," lirih Sinta.Bram menghela napas, dia tadi melihat motor Sinta yang terparkir di depan kafe, pria itu lantas mampir."Lain kali ajak bicara Meera hal biasa saja. Sesuaikan dengan bahan obrolan yang dia berikan."Sinta mengangguk paham. Saat Bram masuk ke kamar untuk menyusul Nadine, sebuah panggilan masuk ke ponsel Sinta yang langsung membuat perempuan itu melompat kegirangan. Sang suami pasti sudah kembali dari lokasi antah
"Info begitu kau bilang penting? Aku juga tahu kalau dia punya hubungan sama Sharif. Syarif itu salah satu asistenku!" Meta menjauhkan ponsel dari kupingnya. Baru kali ini, Rafael bisa berteriak meluapkan kemarahan. Gara-gara telepon tidak penting dari Meta dia gagal mengikuti perempuan bernama Meera. "Sudahlah, berhenti kau ikuti dia. Dia maniak seks. Sama kayak Eva!" "Lah kamu tahu?" "Emangnya kenapa? Jangan bilang kamu sudah kena sama dia?" cecar Rafael. Kebisuan Meta langsung membuat pria itu tahu kalau dugaannya benar. "Meta! Kamu sudah tidur sama dia?" Meta mengangguk seolah Rafael ada di depannya. "Astaga! Apa yang sudah kulakukan. Ini aku yang salah apa kamu yang bego sih. Bisa-bisanya kamu kasih tubuh kamu ke laki-laki yang hobinya celup sana sini." "Iya, aku memang bego! Puas kamu!" Telepon diakhiri dengan mata Meta langsung berembun. Tidak, dia tidak sedih tapi terharu. Dari nadanya dia tahu Rafael memakinya bukan karena marah tapi karena dia peduli. Se
"Nadine Ameera De Angelo, istri Rafael Maxim De Angelo. Apa yang sudah kau lakukan Bram?" jerit Sinta dalam hati.Wanita itu seketika mencari Meera, detik setelahnya wanita itu limbung, nyaris oleng andai dia tidak segera sadar untuk menyeimbangkan tubuhnya. Rafael Maxim De Angelo sudah berada di depan Meera atau siapapun itu, Sinta bingung saat ini."Mampus, ini bener mereka suami istri atau cuma hoax."Perempuan itu lekas search di internet, sementara di depan sana, ada Meera yang mengerutkan dahi melihat seorang pria yang berdiri di depannya, menatapnya dengan pandangan ... rindu dan penuh cinta."Anda siapa?" Pertanyaan Meera membuat Rafael bak dihantam batu besar kepalanya. Meski Reva pernah memperingatkan kemungkinan terburuk dari cidera kepala Nadine adalah hilang ingatan. Namun ketika dia dihadapkan sendiri pada kenyataan itu, hatinya jelas terasa perih.Nadine melupakannya. Itu yang paling menyakiti hatinya."Aku Rafael, suamimu," ujar Rafael memelas."Anda jangan sembaranga
"Kau harus bicara dulu dengan perempuan bernama Laras. Dia yang melaporkanmu atas kematian suaminya tiga tahun lalu."Dada Rafael seperti sesak. Laras melaporkannya ke polisi? Bagaimana bisa? Bukankah kemarin hubungan mereka baik-baik. Untungnya Rafael mengikuti saran bapak Lyli untuk menyewa supir saat kembali ke ibu kota. Mengingat kondisi sudah malam dengan Rafael sudah pasti tidak hafal kondisi jalanan saat hari gelap. Beda dengan saat mengemudi waktu siang. Si supir mengendalikan laju kendaraannya sementara Rafael terus terhubung dengan Rion dan Sandy.Sandy lekas memberitahu kalau dia tidak bisa menghandle video yang sudah terlanjur menyebar. Jagat media tentu akan segera dihebohkan dengan berita seorang Rafael menabrak pengemudi mobil hingga tewas.Ingat kejadian Lio yang meninggal karena ditabrak adik Pram, kali ini berbalik, Rafael yang berada di posisi adik Pram. Pria itu seketika punya pemikiran tersendiri mengenai peristiwa tiga tahun lalu. Dugaan yang dia pikir sangat ma
"Saya tidak tahu, Tuan. Sungguh."Syarif kekeuh dengan pendiriannya yang tidak tahu menahu soal video yang beredar juga surat tuntutan yang ditujukan pada Rafael."Lalu kenapa kalian pindah?" Rafael lanjut bertanya setelah dia hanya mengangguk paham atas keteguhan hati Syarif."Saya tidak enak hati pada Tuan. Semua sudah Tuan sediakan, jadi saya ingin berperan sedikit untuk keluarga saya."Rafael melebarkan senyum. "Tidak masalah, hanya saja bisakah aku bertemu Delia.""Tentu saja, dia sudah mulai PAUD sekarang."Suami Nadine mengangguk. Dia membiarkan Syarif begitu saja, membuat Rion dan Sandy yang berada di ruang sebelah mengerutkan dahi. Apa itu artinya Rafael akan memenuhi panggilan polisi.Reputasi mereka dipertaruhkan, juga dengan harga saham. Rafael adalah image DA Grup. Segala tindak tanduknya bakal disorot apalagi ini berita yang berdampak negatif. Media akan membesar-besarkannya, netijrong pun bakal ikut berkomentar.Melempar kritik pedas agar keadaan semakin memanas. Separa
"Nadine! Kenapa kamu bisa melakukan hal memalukan itu!"Suara penuh kekecewaan itu membuat sosok bernama Nadine membeku."Aku tidak melakukan apapun, Bu! Sungguh!"Heni, ibu Nadine, menatap nanar putrinya, "Tapi Dave sendiri yang memergoki yang kalian lakukan berdua di kamar itu!"Sebelumnya, Nadine tertangkap basah tengah tidur dengan pria tak dikenal, yang saat ini ada di sampingnya, menatapnya tanpa ekspresi.Saat itu, ketika Nadine terbangun, hal yang pertama kali ia lihat adalah ekspresi kekecewaan Dave yang melihatnya dengan pria asing, tanpa sehelai benang pun."Bu, dengarkan aku dulu. Aku datang ke sana setelah mendapatkan pesan kalau Dave katanya pingsan di kamar hotel.” Nadine menarik nafas lalu melanjutkan, "dan saat aku sampai di sana, tiba-tiba seseorang memukulku sampai aku tak sadarkan diri.”"Cukup bualanmu, Nadine. Aku tak menyangka kamu bisa melakukan hal menjijikkan seperti ini dan masih membela dirimu!"Nadine tersentak dan menatap calon tunangannya itu tak
Nadine sejak tadi mondar mandir di kamarnya. Rafael baru saja pamit setelah bicara dengan sang ayah. Kepalanya masih terngiang percakapan Rafael tadi. "Bisnis? Aset? Sepertinya tidak mungkin kalau dia punya bisnis, apalagi aset," gumam Nadine.Kalau Rafael punya dua hal tersebut, mustahil pria itu akan hidup miskin. Baju lusuh, motor butut, juga tampilannya pasti akan lebih bersih. Setidaknya hidup Rafael akan terlihat lebih baik.Nadine melemparkan tubuhnya ke kasur. Menatap hampa langit-langit kamarnya. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Membayangkan apa yang akan terjadi padanya besok. Nadine tiba-tiba tertawa miris untuk sesaat.Perempuan itu pada akhirnya melupakan pembicaraan Rafael tadi. Menepis kemungkinan kalau Rafael bisa saja orang kaya. Nadine memilih pasrah dengan hidup yang dia jalani.Hingga kemudian helaan napas kasar terdengar. "Sudahlah, sepertinya aku tidak punya pilihan selain menerima dia jadi suamiku. Mungkin sudah takdir dan nasibku begini."Namun, dalam benakny