"Kau harus bicara dulu dengan perempuan bernama Laras. Dia yang melaporkanmu atas kematian suaminya tiga tahun lalu."Dada Rafael seperti sesak. Laras melaporkannya ke polisi? Bagaimana bisa? Bukankah kemarin hubungan mereka baik-baik. Untungnya Rafael mengikuti saran bapak Lyli untuk menyewa supir saat kembali ke ibu kota. Mengingat kondisi sudah malam dengan Rafael sudah pasti tidak hafal kondisi jalanan saat hari gelap. Beda dengan saat mengemudi waktu siang. Si supir mengendalikan laju kendaraannya sementara Rafael terus terhubung dengan Rion dan Sandy.Sandy lekas memberitahu kalau dia tidak bisa menghandle video yang sudah terlanjur menyebar. Jagat media tentu akan segera dihebohkan dengan berita seorang Rafael menabrak pengemudi mobil hingga tewas.Ingat kejadian Lio yang meninggal karena ditabrak adik Pram, kali ini berbalik, Rafael yang berada di posisi adik Pram. Pria itu seketika punya pemikiran tersendiri mengenai peristiwa tiga tahun lalu. Dugaan yang dia pikir sangat ma
"Saya tidak tahu, Tuan. Sungguh."Syarif kekeuh dengan pendiriannya yang tidak tahu menahu soal video yang beredar juga surat tuntutan yang ditujukan pada Rafael."Lalu kenapa kalian pindah?" Rafael lanjut bertanya setelah dia hanya mengangguk paham atas keteguhan hati Syarif."Saya tidak enak hati pada Tuan. Semua sudah Tuan sediakan, jadi saya ingin berperan sedikit untuk keluarga saya."Rafael melebarkan senyum. "Tidak masalah, hanya saja bisakah aku bertemu Delia.""Tentu saja, dia sudah mulai PAUD sekarang."Suami Nadine mengangguk. Dia membiarkan Syarif begitu saja, membuat Rion dan Sandy yang berada di ruang sebelah mengerutkan dahi. Apa itu artinya Rafael akan memenuhi panggilan polisi.Reputasi mereka dipertaruhkan, juga dengan harga saham. Rafael adalah image DA Grup. Segala tindak tanduknya bakal disorot apalagi ini berita yang berdampak negatif. Media akan membesar-besarkannya, netijrong pun bakal ikut berkomentar.Melempar kritik pedas agar keadaan semakin memanas. Separa
"Nadine! Kenapa kamu bisa melakukan hal memalukan itu!"Suara penuh kekecewaan itu membuat sosok bernama Nadine membeku."Aku tidak melakukan apapun, Bu! Sungguh!"Heni, ibu Nadine, menatap nanar putrinya, "Tapi Dave sendiri yang memergoki yang kalian lakukan berdua di kamar itu!"Sebelumnya, Nadine tertangkap basah tengah tidur dengan pria tak dikenal, yang saat ini ada di sampingnya, menatapnya tanpa ekspresi.Saat itu, ketika Nadine terbangun, hal yang pertama kali ia lihat adalah ekspresi kekecewaan Dave yang melihatnya dengan pria asing, tanpa sehelai benang pun."Bu, dengarkan aku dulu. Aku datang ke sana setelah mendapatkan pesan kalau Dave katanya pingsan di kamar hotel.” Nadine menarik nafas lalu melanjutkan, "dan saat aku sampai di sana, tiba-tiba seseorang memukulku sampai aku tak sadarkan diri.”"Cukup bualanmu, Nadine. Aku tak menyangka kamu bisa melakukan hal menjijikkan seperti ini dan masih membela dirimu!"Nadine tersentak dan menatap calon tunangannya itu tak
Nadine sejak tadi mondar mandir di kamarnya. Rafael baru saja pamit setelah bicara dengan sang ayah. Kepalanya masih terngiang percakapan Rafael tadi. "Bisnis? Aset? Sepertinya tidak mungkin kalau dia punya bisnis, apalagi aset," gumam Nadine.Kalau Rafael punya dua hal tersebut, mustahil pria itu akan hidup miskin. Baju lusuh, motor butut, juga tampilannya pasti akan lebih bersih. Setidaknya hidup Rafael akan terlihat lebih baik.Nadine melemparkan tubuhnya ke kasur. Menatap hampa langit-langit kamarnya. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Membayangkan apa yang akan terjadi padanya besok. Nadine tiba-tiba tertawa miris untuk sesaat.Perempuan itu pada akhirnya melupakan pembicaraan Rafael tadi. Menepis kemungkinan kalau Rafael bisa saja orang kaya. Nadine memilih pasrah dengan hidup yang dia jalani.Hingga kemudian helaan napas kasar terdengar. "Sudahlah, sepertinya aku tidak punya pilihan selain menerima dia jadi suamiku. Mungkin sudah takdir dan nasibku begini."Namun, dalam benakny
Nadine mengayunkan langkah ingin masuk ke dalam rumah. Satu paper bag kecil berada di tangannya. Hadiah dari Rafael. "Eh, lihat anak pak Hermawan. Katanya minggu depan mau nikah ya.""Kabarnya sih begitu. Yang saya dengar mereka sudah anu duluan. Mana sama kurir pengganti lagi. Gak jelas banget, padahal dia sudah punya tunangan lo. Tidak tahu diri sekali. Maklum anak muda zaman sekarang. Suka gak tahan."Nadine memejamkan mata, sudah dua minggu ini kalimat itu sering dia dengar. Baik yang bisik-bisik maupun yang terang-terangan. Perempuan itu sejatinya lelah. Tidak di kantor, tidak di rumah. Semua menggosipkannya.Di kantor bahkan lebih parah. Kariernya yang cemerlang tenggelam oleh berita yang hasil akhirnya jadi tidak sesuai cerita pakem. "Aku lelah, ya Tuhan." Nadine kembali menangis. Hidupnya berubah drastis karena kejadian ini.Senyum ceria itu kini berganti muram. Tak ada lagi bahagia dalam hidup Nadine. Semua sirna bersama kejadian malam itu.Tunggu dulu, ada yang memukulnya sa
SAH!"Setelah ijab kabul selesai dilakukan, suasana haru menyelimuti ruang tamu sederhana yang dihiasi bunga-bunga segar.Akad nikah diadakan di rumah mempelai wanita dengan nuansa sederhana penuh kepedihan. Hanya dihadiri keluarga dekat, dan beberapa teman Nadine. Senyum terpaksa menghiasi wajah-wajah yang hadir, sementara hati mereka mengasihani Nadine dalam diam, mengiringi doa-doa penuh harap yang diselimuti kesedihan mendalam."Selamat, Nad. Jangan menangis, aku yakin bahagia sedang menunggumu," bisik Tia yang datang menyaksikan pernikahan sang sahabat.Gadis itu sempat melihat suami Nadine, memang dekil. Meski pakaiannya tampak rapi."Cincinnya yang kemarin," bisik Rafael. Nadine mendengus geram, segera mengambil cincin dari kamarnya. Dari pada dia sendiri malu, karena tak ada cincin pernikahan. Lebih baik ada meski palsu. Toh tidak ada yang tahu.Acara sangat sederhana, hanya jamuan makan seadanya. Padahal Nadine punya gaji jika ingin sekedar pesta yang lebih layak, tapi sang
Bertempat di sebuah ruangan privat di satu restoran. Beberapa orang tengah bertemu, pembicaraan serius sepertinya sedang terjadi."Pastikan semua aman, aku ingin semua berjalan lancar macam biasa." Seorang pria bertitah dengan lelaki lain membungkuk mengiyakan perintah atasannya."Dia pandai sekali menyembunyikan diri.""Berandalan itu, sangat tidak bertanggung jawab, tapi Kakek malah mewariskan semua padanya. Kita harus bisa menyingkirkannya."Dua orang itu saling pandang untuk kemudian kompak mengangguk. "Stempel itu, kita harus mendapatkannya, sebelum anak itu menikah. Syaratnya akan terpenuhi jika dia sudah menikah, kedudukannya tidak akan bisa kita singkirkan dengan mudah jika sudah begitu.""Jangan lupa. Dia masih harus melawan ayahnya, jika membangkang.""Bukankah dia sudah menunjukkannya saat ini. Tenang saja, andai dia kembali, kita sudah punya alat untuk menjeratnya."Dua pria tersebut tersenyum bersamaan. Senyum itu makin lebar ketika satu lelaki masuk sembari mengatakan pe
Nadine hanya bisa bengong sepanjang sisa hari. Dia sama sekali tak bisa fokus. Otaknya dipenuhi oleh adegan saat Eva mendesah nikmat sembari membuka lebar dua kakinya di atas meja, sementara seorang pria tengah menghentaknya."Dasar brengsek!" Baru kemarin dia menikah, dan kini dia dihadapkan pada kenyataan pahit kalau dirinya sudah dikhianati oleh sahabat dan tunangannya sendiri.Iya, pria yang sudah membuat Eva memberikan akses penuh pada area pribadinya adalah David, pria yang selama ini dia anggap baik.Karena berpikir demikian maka Nadine tidak banyak membantah ketika David memutuskan pertunangan mereka. Dia pikir David terlalu baik untuk dirinya yang kini hanya seonggok sampah.Namun sekarang, Nadine berpikir kalau David dan dirinya lebih kurang sama. Sama kotornya. Bedanya Nadine dipaksa sedang David dengan senang hati melakukannya. Lebih sakit lagi ketika tahu perempuan itu adalah Eva, sahabatnya sendiri."Ahh, sialan!" Maki Nadine kemudian. Hatinya tak henti mengumpat perbuat