Lillia juga tahu alasannya.Dengar-dengar sewaktu syuting, Fanny bahkan dimarah lantaran menggaruk tangannya yang gatal itu. Fanny mengatakan bahwa tangannya sangat gatal akibat alergi dingin. Setelah sutradara melihatnya, dia malah merasa merah-merah di tangan Fanny sangatlah cocok dengan perannya. Dia pun menyuruh Fanny untuk mempertahankan alergi di tangannya.Oleh sebab itu, kondisi tangan Fanny lebih parah daripada Lillia. Kulitnya bahkan telah pecah-pecah dan terasa sakit.Kepikiran dengan betapa kasihannya Fanny, Lillia mengeluarkan sarung tangan elektriknya, lalu menaruhnya di tangan Fanny. “Saat kamu nggak lagi syuting, kamu pakai sarung tangan ini saja. Sarung tangan ini bisa diisi daya, jadi kamu bisa merasa hangat ketika mengenakannya. Nanti suruh asistenmu buat beli obat untuk olesin tanganmu.”“Kamu kasih aku? Gimana sama kamu?” Fanny merasa tidak enak hati.“Aku bisa kompres pakai air hangat, kok. Kondisimu beda sama aku. Kamu mesti sering berada di luar ruangan,” balas
Lillia memperlihatkan tangannya kepada apoteker. Setelah melihat tangannya, si apoteker pun berkata, “Apa kamu sering beraktivitas di luar ruangan? Kalau di dalam ruangan, tanganmu nggak mungkin akan seperti ini.”“Emm, aku bekerja di luar ruangan,” balas Lillia.Claude bertanya dengan suara dingin, “Selain cara yang dia katakan tadi, apa masih ada cara lain lagi? Dia kerjanya selalu di luar ruangan, apa ada cara lain?”Lillia memelototi Claude sejenak. “Kamu nggak usah ikut campur dalam masalahku!”Apoteker segera meredakan kecanggungan. “Dia juga lagi perhatian sama kamu. Pak, kalau dia kegiatannya di luar terus, dia mesti menghangatkan tubuhnya. Kalau nggak, nggak ada gunanya dioles obat apa pun.”“Kamu cukup beri tahu aku, bisa nggak diobati dengan jarum?” Lillia mulai merasa khawatir. Tidak sedikit kru di lokasi syuting mengalami hal seperti ini.“Emm, bisa sih bisa …. Tapi sebenarnya nggak perlu berbuat seperti itu. Kamu cukup beraktivitas di dalam ruangan selama 3 atau 4 hari sa
Claude meraih kaki Lillia, lalu menatapnya. “Kakimu nggak boleh ditusuk. Bagian kaki akan terasa lebih sakit daripada bagian tangan. Aku pijat saja.”Lillia merasa agak geli. Dia berkata dengan mengerutkan keningnya, “Lepasin aku ….”Claude duduk di sofa sembari memijat bagian tumit Lillia yang merah. Suaranya terdengar agak dingin. “Semuanya akan membaik setelah dipijat. Kenapa kamu nggak beli penghangat sepatu?”“Penghangat juga nggak ada gunanya,” jawab Lillia.Padahal Lillia sudah memakai sepatu bot. Hanya saja, dia terlalu sering beraktivitas di atas tumpukan salju. Sepatunya juga sering basah. Claude tidak berbicara lagi. Dia memijat kaki Lillia dengan sangat serius. Setelah dipijat, rasa gatal pun mulai menghilang.“Gimana?” Setelah Claude memijat setengah jam, tangannya terasa agak pegal. “Emm … lumayan.” Lillia merasa agak malu.Ujung bibir Claude melengkung ke atas. Dia menggerakkan tangannya, lalu berkata pada Lillia, “Kamu pergi mandi sana. Aku juga kembali ke kamar dulu.
Lillia meronta mendorong Claude.“Hotel ini memang bukan milik tim produksi. Tapi gimana kalau ada paparazi yang lagi sembunyi di dalam hotel ini?” ucap Lillia sembari memelototi Claude.Claude tersenyum sinis. “Apa kamu takut hubungan kita akan terekspos?”“Suasana hatiku sekarang sama seperti dulu di saat kamu nggak suka sama aku, takut kabar pernikahan kita akan terekspos,” sindir Lillia yang tidak mau kalah.Claude melepaskan tangannya. Tatapan Claude tertuju pada diri Lillia. “Lillia, aku ingin tanya sama kamu. Apa benar kamu bisa melepaskan perasaanmu dengan gampangnya?”Seingat Claude, Lillia bisa menikah dengannya karena pernah mencintainya.“Gimana kalau aku bilang aku menyesal untuk suka sama kamu, apalagi nikah sama kamu? Sejak nenekmu menaruh obat, aku merasa semakin menyesal saja. Kamu juga bisa meninggalkanku hanya demi Nikita dan juga nenekmu. Aku selalu ditinggalkan olehmu,” balas Lillia dengan tersenyum sinis.Claude terdiam dalam waktu lama. Kemudian, dia baru berkata
“Cut! Liman! Ada apa denganmu hari ini? Kamu mau syuting lagi nggak? Jangan tunda waktu semua orang!” Ini adalah ketiga kalinya Jaivyn marah lantaran Liman tidak fokus.Liman melihat ke sisi Jaivyn dengan penuh rasa bersalah. “Maaf, beri aku waktu 10 menit untuk istirahat.”Jujur saja, Liman sungguh tidak habis pikir. Kenapa Lillia bisa memberikan sarung tangan pemberiannya kepada Fanny?Melihat Liman langsung pergi, Jaivyn pun segera mengejarnya dan bertanya dengan suara kecil, “Ada apa? Apa kamu nggak enak badan?”“Bukan, beri aku waktu 10 menit. Aku jamin kondisiku akan seperti biasa lagi.” Nada bicara Liman sangatlah datar. Dia tidak sanggup menyembunyikan rasa sedih di hatinya.Setelah kembali ke ruang istirahat, Liman duduk di atas bangku sembari memejamkan matanya. Dia teringat dengan sarung tangan yang dikenakan Fanny. Emosinya mulai tidak stabil.“Bawakan ponselku.” Tiba-tiba Liman berkata pada asisten yang sedang menuangkan air hangat untuknya.Biasanya Liman sangat jarang me
Fanny menempel di pundak Lillia dengan mesranya. “Sudah nggak begitu bengkak lagi. Setelah selesai syuting, aku akan ke studiomu untuk memesan gaun!”“Boleh.” Lillia langsung tersenyum.Raut wajah Liman sekali muram lagi.Saat Claude datang untuk menjemput Lillia, keningnya spontan berkerut ketika melihat sosok Liman.Setiap harinya bocah itu selalu menempel dengan Lillia. Saat lari pagi, Liman juga sering meliriknya. Kenapa ekspresinya malah jadi seperti ini?Claude yang selalu berwaspada terhadap Liman kembali meningkatkan kewaspadaannya.Tak lama setelah Lillia kembali ke kamarnya, Claude pun masuk. Dia memesan makanan untuk diantar ke kamar.Hanya saja, Claude merasa set makanan hotel ini sangat tidak lezat. Claude duduk di samping Lillia, lalu mulai memijat tangannya.“Aku lagi isi air untuk rendaman.” Lillia berencana melepaskan tangannya.Bagian merah bekas tusukan sudah tidak bengkak dan gatal lagi. Lillia mengisi air di ember hanya untuk merendam kakinya saja.Lillia tidak mer
Keesokan paginya, Jaivyn meliburkan semua orang hari ini.Fanny pergi ke kamar Lillia untuk menggosip.“Dengar-dengar semalam Kak Liman mandi salju semalam. Pakaiannya basah kuyup hingga kulitnya keunguan. Pak Jaivyn bawa dia kembali ke hotel. Dia juga dimarahi dengan kasarnya,” cerita Fanny dengan kedua mata dilebarkan.Sekarang Fanny sedang di usia penuh energik. Jadi, ketika membahas masalah ini, kedua matanya tampak berkilauan.“Mungkin dia lagi cari ilham,” ucap Lillia dengan bingung. Dia sendiri juga tidak mengerti.Seusai mendengar, Fanny pun mengerutkan keningnya. “Jangan-jangan karena dia ada adegan hampir mati, jadi dia ingin menyiksa dirinya, berusaha untuk mendalami perannya?”Lillia menggeleng sembari meminum teh susu hangatnya. Dia merasa sangat nyaman bisa duduk sambil memandang salju dari dalam ruangan.“Sepertinya aku masih kalah jauh kalau dibandingkan sama Kak Liman. Aku pergi dulu.” Fanny segera berdiri.Lillia mengiakan. Dia tidak perlu bekerja hari ini. Jadi, Lill
Claude memeluk Lillia, lalu menyandarkan dagu di atas pundaknya. “Kamu bisa mengatakannya kepadaku berarti kamu peduli dengan pemikiranku. Kamu berharap aku bisa setuju. Nggak seharusnya aku cemburu, kamu jadi nggak senang. Jangan marah lagi, ya?”Kening Lillia spontan berkerut. Dia mendorong Claude, lalu berjalan ke sisi ranjang tanpa bersuara sama sekali. Dia berbaring di atas ranjang, lalu menutup kepalanya dengan selimut. “Aku mau tidur. Jangan bicara lagi.” Lillia tidak ingin berbicara dengan Claude lagi.Semakin Lillia kepikiran dengan kebaikan yang dilakukan Claude, Lillia akan lupa sebenarnya bagaimana posisinya di hati Claude.Dulu Lillia selalu mengikuti apa kemauan Claude. Namun sekarang, berhubung Claude memperlakukannya dengan baik, dia pun berani bersikap dingin terhadap Claude.Claude mengerutkan keningnya, lalu duduk di sofa dengan terdiam. Beberapa saat kemudian, Claude mengambil sarung tangan berjalan ke depan pintu sembari mengirim pesan kepada asisten, menyuruhnya u