Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (88) Tak Kubiarkan Suasana arisan kalangan atas memang beda. Hidangan yang tersaji bahkan lebih layak dikatakan hidangan pesta. Ibu mertuaku menuntunku di tengah-tengah kenalannya. Beberapa orang menyipit menyaksikan tingkah ibu mertuaku. Bahkan ada yang bisik-bisik di belakang menyaksikan hal yang menurut mereka terlihat ganjil. "Mbak Pur, itu siapa yang digandeng?" tanya wanita yang berbadan gempal dengan balutan kain satin warna mint. Bibirnya yang merona merah membuatnya terkesan sedikit galak. Tatapannya memindaiku dari atas ke bawah tanpa berkedip. "Oh… perkenalkan. Ini menantu saya. Namanya Vinda. Rafli menikahinya beberapa bulan yang lalu." Ibu mertua berucap dengan nada riang di depan teman-temannya. Aku sedikit kikuk, namun kupaksakan tersenyum. "Cantik. Masih gadis?" tanya seseorang lagi. Aku menghentikan senyumanku, kemudian beralih menatap ibu. "Bukan. Dia sudah punya tiga orang anak. Hebat sekali bukan? Aku langsung punya cucu
"Tentu saja. Aku mengenal Mas Rafli sejak lama. Mas Rafli sudah menungguku sejak aku duduk di bangku SMA. Saat itu dia sudah kuliah di semester akhir. Bahkan dia rela menungguku lama hingga aku lulus kuliah dan mengejar karirku. Banyak yang bilang kami pasangan serasi. Semua orang iri dengan kebahagiaan kami." "Hebat sekali. Nyatanya semua harus berakhir," ucapku dengan senyum yang kupaksa. "Ya… kalau diingat-ingat aku menyesal menempuh jalan perceraian dengan Mas Rafli. Padahal hanya persoalan kecil saja yang menerpa kehidupan kami.""Maksudmu … keenggananmu memiliki anak itu adalah hal kecil ?" tanyaku yang membuatnya sedikit terhenyak. Dia terlihat salah tingkah dengan pertanyaanku. " Kau tahu persoalan itu?" tanyanya dengan raut wajah memerah. Kini tak terlihat lagi senyumnya yang mengembang seperti tadi. "Tahu sekali. Bahkan Mas Rafli dan ibu, mereka berdua menjelaskan segala hal berhubungan denganmu. Termasuk diam-diam meminum pil KB agar tak memiliki anak. Tadinya Mas Rafli
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (90) Benarkah Ini Karma? (1)Sesuai hasil rundingan aku dan Mas Rafli, kami memutuskan untuk pindah rumah menempati rumah Mas Rafli yang terletak di pusat perkotaan. Tentu saja sebelumnya aku meminta izin pada ayah dan ibu mengenai rencana ini. Dengan hati-hati kami menyampaikan kepindahan kami pada ayah dan ibu. Beruntungnya, mereka berdua memahami kondisi ini. Hanya saja tetap ada ketidakrelaan terpancar di wajah mereka saat harus berpisah dari cucu-cucunya. "Usahan setiap Minggu main, Vin. Ayah dan Ibu juga tak keberatan kalau harus menjemput anak-anak ke rumah kalian nantinya. Kami paham dengan kesibukan kalian." Ayah berucap sambil membantuku membereskan barang-barang kami. "Mainan tak perlu di bawa semua, bawa saja boneka lusuh milik Zoya yang ke mana-mana selalu dibawanya. Yang lain ditinggal, biar dia punya mainan saat ke rumah ini," ucap ayah yang kubalas dengan anggukan. "Vin. Zayn dan Ziyan siapa yang akan mengantar jemput mereka?"
Benarkah Karma ? (2)Kulihat dari gesture tubuhnya, mantan ibu mertuaku terlibat cekcok dengan selingkuhan anaknya. Eh… Selingkuhan? Atau sekarang sudah naik jabatan menjadi istri? Wanita muda itu terlihat mengusap perutnya yang sedikit membuncit. Benar, ternyata dia tengah hamil. Lama juga aku tak mendengar kabar keluarga itu. Setelah kabar penjemputan paksa Mas Galih ke kantor polisi, aku tak mendengar apapun lagi. Rasanya malas saja memenuhi otakku dengan kasus yang mereka hadapi saat ini. Kuamati lagi pemandangan di depanku. Bu Mirna mengambil paksa sebuah ember yang tengah dibawa Mita. Dengan kasar wanita setengah baya itu melemparnya ke halaman ruko yang mereka tempati. Aku tersentak, terlebih melihat ikan-ikan lucu itu menggelepar di atas aspal panas jalanan depan ruko. Tidak hanya itu, Bu Mirna bahkan mencengkeram lengan Mita hingga dia terlihat kesakitan. Gegas aku turun, tak ingin hal-hal buruk terjadi lagi pada Mita. Semata-mata kulakukan karena rasa empatiku untuk sesam
Gangguan dari Wita 1Aku masuk ke dalam mobil setelah berjalan cepat meninggalkan Bu Mirna dan menantunya. Meski tetap menghadapi cemoohannya, paling tidak aku mengingatkannya untuk tidak berbuat kasar pada Mita. Bagaimana mungkin dia setega itu berbuat kasar hanya karena kehilangan Soraya yang jelas-jelas tak mampu memberikannya cucu? Dan mengenai Mas Galih yang harus kehilangan pekerjaan yang selalu dibanggakannya, memang begitulah seharusnya dari dulu. Hanya saja aku tetap saja khawatir, bagaimana jika kelak anak-anakku tahu mengenai ayahnya yang seorang narapidana? Tak lama, Mas Rafli terlihat berjalan ke arah mobil dari arah lain. Sesaat setelah dia masuk, dia menatapku cukup lama. "Lain kali tak perlu menemui wanita itu lagi. Aku tak suka kamu dibentak-bentak seperti tadi," ucapnya dengan sorot mata serius. "Jangan buang-buang waktu lagi mengurusi kehidupan mereka," lanjutnya sambil menjalankan mobilnya. Aku menatap ke arah ruko yang disewa mantan suamiku itu. Di sana nampak
Gangguan dari Wita 2Penjelasan Mas Rafli membuatku makin tak percaya. Ternyata wanita itu benar-benar membuktikan ancamannya padaku. Sepertinya aku harus pasang badan lebih kuat lagi untuk menghadapi serangannya. Panggilan yang ke tiga kalinya membuat tanganku gatal. Kuraih ponsel Mas Rafli dan menggeser tombol hijau di layar tersebut. Lekas kudekatkan ponsel tersebut ke telinga kananku. "Mas… Akhirnya kau mengangkat teleponku. Aku yakin kau akan mengangkatnya. Pasti kau tadi sedang bersama istrimu ya? Bagaimana kabarmu, Mas? Tahu tidak, Mas. Aku sekarang berada di villa tempat kita bulan madu dulu, Mas. Ternyata melepaskan diri dari bayang-bayangmu sangatlah sulit. Aku tak bisa melupakanmu begitu saja. Aku yakin kau juga begitu. Kau hanya menjadikan wanita itu pelarianmu saja. Bahkan aku ingin mengabarkanmu, saat ini aku sudah bersedia melahirkan anak untukmu. Berapa yang kau minta dulu, Mas? Empat? Aku siap, Mas. Maafkan kesalahanku yang dulu. Aku benar-benar menyesal, Mas." U
Tak Tahu Malu 1Aku memasuki rumah yang memang sudah disiapkan oleh Mas Rafli jauh sebelum kami menikah. Menurut pengakuannya, rumah ini sudah dibangunnya sejak dua tahun yang lalu. Rumah dengan nuansa putih dengan dua pilar utama yang besar membuat kesan kokoh bangunan tersebut. Beberapa waktu yang lalu juga Mas Rafli sengaja membuat kolam ikan dengan ukuran hampir sama seperti di belakang rumahku. Tujuannya tak lain karena khawatir Zayn dan Ziyan merasakan kehilangan karena tak bisa bermain di kolam ikan yang dibuat ayahku. "Kamar adek di samping kamar kita, tetapi sementara dia tidur dengan kita dulu saja. Aku tidak tega anak sekecil itu tidur sendirian," ucap Mas Rafli sambil memasukkan koper ke dalam kamar kami. Ruangan cukup luas itu nampak lapang karena Mas Rafli tak banyak meletakkan barang-barang di sana. "Kamu bisa menambahkan perabot di kamar kita, hanya mungkin jangan terlalu banyak. Aku kurang suka dengan ruangan yang penuh sesak." Ucapan Mas Rafli membuatku terhenyak.
Tak Tahu Malu 2Aku menganga mendengar keterangan dari Mbok Minem. Bukankah Mas Tama… . "Mas Tama itu… suami Mbak Fatma?" tanyaku menelisik wajah gembul di depanku. Wanita itu mengangguk mantap. "Iya. Tetapi sepertinya hanya Mbok dan Ibu saja yang mengetahui hal itu. Mas Rafli dan Mbak Fatma tidak tahu. Beruntung sekali Mas Tama tidak tergoda sama sekali. Itu yang membuat Ibu tak melaporkan perbuatan bejat wanita itu. Hingga akhirnya Mas Rafli memilih bercerai karena Mbak Wita diam-diam meminum pil KB, hal itu didukung penuh oleh Ibu." Mbok Minem melanjutkan ceritanya sambil memasukkan sop ayam ke mangkuk besar. Kini aku memilih duduk di kursi makan sambil mendengarkan ceritanya. Seluruh menu untuk makan malam kami sudah siap tersaji di atas meja. "Mas Rafli pantas mendapatkan wanita yang baik. Seperti Mbak Vinda ini tentunya!" lanjutnya sambil tersenyum lebar. "Mbok nggak sampai hati melihat Mbak Wita terus-terusan bertingkah di belakang Mas Rafli. Bahkan Mbok pernah mendengar M