Tak Tahu Malu 1Aku memasuki rumah yang memang sudah disiapkan oleh Mas Rafli jauh sebelum kami menikah. Menurut pengakuannya, rumah ini sudah dibangunnya sejak dua tahun yang lalu. Rumah dengan nuansa putih dengan dua pilar utama yang besar membuat kesan kokoh bangunan tersebut. Beberapa waktu yang lalu juga Mas Rafli sengaja membuat kolam ikan dengan ukuran hampir sama seperti di belakang rumahku. Tujuannya tak lain karena khawatir Zayn dan Ziyan merasakan kehilangan karena tak bisa bermain di kolam ikan yang dibuat ayahku. "Kamar adek di samping kamar kita, tetapi sementara dia tidur dengan kita dulu saja. Aku tidak tega anak sekecil itu tidur sendirian," ucap Mas Rafli sambil memasukkan koper ke dalam kamar kami. Ruangan cukup luas itu nampak lapang karena Mas Rafli tak banyak meletakkan barang-barang di sana. "Kamu bisa menambahkan perabot di kamar kita, hanya mungkin jangan terlalu banyak. Aku kurang suka dengan ruangan yang penuh sesak." Ucapan Mas Rafli membuatku terhenyak.
Tak Tahu Malu 2Aku menganga mendengar keterangan dari Mbok Minem. Bukankah Mas Tama… . "Mas Tama itu… suami Mbak Fatma?" tanyaku menelisik wajah gembul di depanku. Wanita itu mengangguk mantap. "Iya. Tetapi sepertinya hanya Mbok dan Ibu saja yang mengetahui hal itu. Mas Rafli dan Mbak Fatma tidak tahu. Beruntung sekali Mas Tama tidak tergoda sama sekali. Itu yang membuat Ibu tak melaporkan perbuatan bejat wanita itu. Hingga akhirnya Mas Rafli memilih bercerai karena Mbak Wita diam-diam meminum pil KB, hal itu didukung penuh oleh Ibu." Mbok Minem melanjutkan ceritanya sambil memasukkan sop ayam ke mangkuk besar. Kini aku memilih duduk di kursi makan sambil mendengarkan ceritanya. Seluruh menu untuk makan malam kami sudah siap tersaji di atas meja. "Mas Rafli pantas mendapatkan wanita yang baik. Seperti Mbak Vinda ini tentunya!" lanjutnya sambil tersenyum lebar. "Mbok nggak sampai hati melihat Mbak Wita terus-terusan bertingkah di belakang Mas Rafli. Bahkan Mbok pernah mendengar M
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (96) Pesan 1"Setelah ini jangan lakukan hal yang sama lagi, aku tak mau ada penyusup masuk dalam keluarga kita." Mas Rafli dengan masih menggendong Zoya di punggungnya berhasil sampai di ruang tamu. Kulihat ekspresi kecewa dari Wita karena melihat Mas Rafli datang bersamaku dan Zoya. "Kenapa kalian berdua ikut ke mari? Bukankah tadi aku hanya ingin bertemu dengan Mas Rafli?" Ucapan Mbak Wita membuatku terhenyak. Wanita yang menurut Mas Rafli lebih tua dua tahun dariku itu menatapku kesal. Loh… bukannya aku yang seharusnya kesal? Dia menemui suamiku di rumah yang sedang kami tinggali. Lebih dari itu, aku sudah paham tujuannya ke mari demi mendekati suamiku lagi. "Lho. Mas Rafli suamiku. Kenapa aku tak boleh menemui tamu suamiku juga?" tanyaku balik bertanya. "Mas?!" panggilnya pada suamiku. Mungkin dia mengharapkan pembelaan dari laki-laki yang duduk di sampingku ini. Dia pikir dia siapa? Tapi tunggu. Mas Rafli diam, seketika aku khawatir
Pesan 2 "Bukannya tadi Mbak Wita bilang sudah cape-cape mikir konsep rumah ini, tetapi akhirnya kalian bercerai sebelum rumah ini dibangun. Sekarang rumah ini sudah selesai, dan aku istrinya Mas Rafli sekarang yang justru menikmati hasil mikir kalian berdua itu. Terima kasih lho, Mbak. Aku tak perlu cape-cape mikir," jawabku lagi. Kulihat wajah yang sedari tadi tegak penuh percaya diri kini bersemu merah menahan amarah yang siap meledak. Kuyakin kemarahannya tambah berlipat ganda karena Zoya merajuk ingin pindah ke kamar kakaknya di belakang. "Mas! Bisa nggak sih anak ini disuruh diam? Lagi ada tamu bukannya disuruh anteng di belakang sama ibunya, malah ikut-ikutan nimbrung di sini!" Mas Rafli menatap jengah wanita itu. Kulihat dia mengangkat Zoya tinggi-tinggi dan pamit pergi ke belakang. "Maaf, Wita. Anakku sepertinya tidak nyaman duduk di sini. Silahkan lanjutkan ngobrol dengan istriku. Dia teman ngobrol yang baik sejauh ini."Selepas itu, Mas Rafli langsung meninggalkan kami b
Jangan Mengusikku! 1Ibu mertua mengirimiku pesan whatsapp. Dia memintaku ke rumah setelah mengantar anak-anak berangkat sekolah. Mas Rafli berpamitan akan meninjau minimarketnya di kabupaten sebelah. Dia sudah siap dari subuh tadi. Semua perlangkapannya sudah kusiapkan."Mungkin aku akan pulang terlambat, Yang. Sebelum makan malam kuusahakan untuk pulang," ucapnya sambil mencium pucuk kepalaku saat aku mengantarnya ke depan mobil. Mas Rafli memelukku sebentar. Kupacu kuda besiku di jalanan yang mulai padat merayap di jam-jam sibuk seperti sekarang. Orang-orang berlalu lalang untuk beraktivitas. Jarak sekolah Zayn dan Ziyan ke rumah ibu sekitar setengah jam perjalanan. Zoya yang tahu kami akan mengunjungi eyangnya berseru kegirangan. Dia pasti rindu dengan ibu mertuaku itu."Vin. Ada yang ingin Ibu katakan padamu," ucap ibu setelah puas mencium Zoya dan meletakkan anakku itu di pangkuannya. Tetapi nampaknya anak itu tak betah berada di pangkuan neneknya. Dia merosot ke atas karpet da
Jangan Mengusikku!Mas Rafli berada di kamar mandi saat ponselnya berkedip memberi tanda pesan masuk ke sana. Saat meletakkan baju ganti untuk suamiku, kembali kulihat ponsel suamiku berbunyi. Kali ini suara panggilan yang masuk. "Mas, ada ponselmu bunyi." Aku memberitahu Mas Rafli tepat saat pintu kamar mandi terbuka. Aroma menthol dari tubuhnya menguar memenuhi indra penciumanku."Biarkan. Kalau penting nanti telepon lagi," ujarnya sambil mendekapku dari belakang. Aku sudah hapal dengan keisengannya yang satu ini. Dia sering menggodaku saat belum mengenakan pakaian. "Mas. Ponselmu," tunjukku pada laki-laki ini. Mas Rafli tetap tidak melepaskan pelukannya. Tangannya yang melingkar kencang di perutku membuatku sedikit susah bernapas. "Mas, siapa tahu penting. Angkat dulu!" Sesaat kemudian dia berlalu mengambil pakaiannya. "Coba angkat saja. Katakan aku sedang berganti baju di sebelahmu," ucap Mas Rafli sambil menampakkan senyumnya yang menawan. Tanpa pikir panjang, kugeser tombo
Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (100) Tegas 1"Kalau begitu kamu ikut!" ujar Mas Rafli lebih mirip perintah. Aku menatap matanya yang memancarkan kesungguhan. Kemudian kuanggukkan kepala sambil tersenyum. [ Mas, jangan lupa pakai baju denim kesukaanku!]Aku tersenyum miring. Tunggulah Wita. Akan kubuat kau terkejut hingga jantungmu meronta-ronta melihat apa yang akan kulakukan! Wanita tak tahu diri sepertimu memang harus kupatahkan semangatnya hingga remuk tak berbentuk. Bukan jahat, hanya saja aku tak ingin milikku terus menerus kau usik! "Mas, pakai ini!" Kuambilkan dengan perlahan satu helai baju dari tumpukan baju milik Mas Rafli. Laki-laki itu mengernyit heran. "Kok?" "Pakai, Mas!" ucapku lagi sambil memilih baju yang tepat untuk kukenakan. "Serius, Yang?" tanyanya. Aku mengangguk mantap. "Baiklah."***Parkiran kafe sudah cukup penuh. Beruntung di sudut kanan masih cukup space untuk kendaraan roda empat milik Mas Rafli. Diraihnya ponsel yang sedari tadi berada di
Tegas 2Kudengar derap langkah kaki yang makin menghilang. Sepertinya dia meninggalkan tempat ini. Dengan gerakan super pelan, aku melangkahkan kaki keluar. Kubenarkan pasmina yang kupadukan dengan baju denim yang melekat di tubuhku. Baju yang sengaja kupilih agar terlihat serasi dengan baju suamiku. Setelah memastikan tak ada yang kurang dari riasanku, aku melangkahkan kaki keluar. Mas Rafli sudah tak ada di tempat tadi dia berada. Apakah dia sudah bersama dengan si sund*l itu? Benar. Mataku menangkap mereka berada di meja paling ujung. Mas Rafli menatap ke arahku, sedangkan Mbak Wita yang duduk membelakangiku sepertinya tak menyadari kehadiranku. "Hai, Apakah kalian tengah reuni?" tanyaku setelah duduk di sebelah Mas Rafli. Kusunggingkan senyum semanis mungkin pada wanita di depanku yang berubah pias layaknya melihat hantu menakutkan. Ya… Mungkin kehadiranku baginya layaknya hantu di siang bolong seperti ini. "K-ka-mu? Kenapa di sini?" tanyanya tergagap. "Aku? Bukankah Mas