Diceraikan Karena Bukan Wanita Karier (100) Tegas 1"Kalau begitu kamu ikut!" ujar Mas Rafli lebih mirip perintah. Aku menatap matanya yang memancarkan kesungguhan. Kemudian kuanggukkan kepala sambil tersenyum. [ Mas, jangan lupa pakai baju denim kesukaanku!]Aku tersenyum miring. Tunggulah Wita. Akan kubuat kau terkejut hingga jantungmu meronta-ronta melihat apa yang akan kulakukan! Wanita tak tahu diri sepertimu memang harus kupatahkan semangatnya hingga remuk tak berbentuk. Bukan jahat, hanya saja aku tak ingin milikku terus menerus kau usik! "Mas, pakai ini!" Kuambilkan dengan perlahan satu helai baju dari tumpukan baju milik Mas Rafli. Laki-laki itu mengernyit heran. "Kok?" "Pakai, Mas!" ucapku lagi sambil memilih baju yang tepat untuk kukenakan. "Serius, Yang?" tanyanya. Aku mengangguk mantap. "Baiklah."***Parkiran kafe sudah cukup penuh. Beruntung di sudut kanan masih cukup space untuk kendaraan roda empat milik Mas Rafli. Diraihnya ponsel yang sedari tadi berada di
Tegas 2Kudengar derap langkah kaki yang makin menghilang. Sepertinya dia meninggalkan tempat ini. Dengan gerakan super pelan, aku melangkahkan kaki keluar. Kubenarkan pasmina yang kupadukan dengan baju denim yang melekat di tubuhku. Baju yang sengaja kupilih agar terlihat serasi dengan baju suamiku. Setelah memastikan tak ada yang kurang dari riasanku, aku melangkahkan kaki keluar. Mas Rafli sudah tak ada di tempat tadi dia berada. Apakah dia sudah bersama dengan si sund*l itu? Benar. Mataku menangkap mereka berada di meja paling ujung. Mas Rafli menatap ke arahku, sedangkan Mbak Wita yang duduk membelakangiku sepertinya tak menyadari kehadiranku. "Hai, Apakah kalian tengah reuni?" tanyaku setelah duduk di sebelah Mas Rafli. Kusunggingkan senyum semanis mungkin pada wanita di depanku yang berubah pias layaknya melihat hantu menakutkan. Ya… Mungkin kehadiranku baginya layaknya hantu di siang bolong seperti ini. "K-ka-mu? Kenapa di sini?" tanyanya tergagap. "Aku? Bukankah Mas
Harapan 1"Dan kini kamu hadir lagi menginginkan posisi yang pernah kamu sia-siakan di masa lalu? Bahkan jika aku masih sendiri saja aku pastikan tak akan kembali padamu. Apalagi saat ini? Saat ada seseorang yang hatinya harus selalu kujaga? Saat ayahnya sudah melimpahkan kebahagiaannya menjadi tanggung jawabku satu-satunya? Kamu tahu, Wita. Susah payah kutaklukan wanita ini. Dia bukan wanita kebanyakan yang berserak di luar sana. Dia wanita tangguh yang mengedepankan kepentingan anak-anak di atas segalanya. Apa yang bisa membuatku berpaling dari hatinya yang tiap saat tak pernah lelah menghujaniku dengan kepatuhan yang sudah dia janjikan di depan Tuhannya""Mas! Cukup! Kamu benar-benar sudah berubah! Kamu nggak menghargai perasaanku sama sekali! Bahkan aku rela meninggalkan karirku di kota dengan kembali bekerja di perusaan kecil agar dekat denganmu, Mas! Dengan seenaknya kamu malah menikahi wanita sial*n ini! Dimana otakmu, Mas? Tidak usah mengada-ada cintamu sebesar itu pada wan
Harapan 2Mas Rafli menuntun tanganku untuk melingkar di lengannya. Dengan gerakan cukup cepat kami berjalan ke arah mobil. Teriakan Mbak Wita sama sekali tak menyurutkan langkah kami agar segera meninggalkan tempat itu. Umpatan-umpatan kasar keluar berlarik-larik dari bibir cantik wanita itu. Sungguh sangat disayangkan. Dia yang amat berkelas itu menjatuhkan harga diri serendah-rendahnya demi laki-laki yang sudah sah menjadi milik orang lain. Aku mengeratkan peganganku. Bahkan setelah di dalam mobil, aku merebahkan diri di lengan Mas Rafli hingga dia berkali-kali harus memastikan aku baik-baik saja. "Kamu sakit?" tanyanya khawatir. Aku tak menjawab, memang rasanya kepalaku mendadak pusing. Pandangan mataku berkunang-kunang. Aku sendiri tak yakin apakah efek serangan dari Mbak Wita atau bukan. Karena sore tadi saat aku berada di kamar mandi, kepalaku tiba-tiba terasa berat seperti ini. Bahkan aku sempat duduk beberapa saat di atas kloset duduk demi meredakan nyeri yang menyerang k
Kabar Bahagia 1Mas Rafli menyenderkan tubuhnya di tembok depan kamar mandi kamar kami. Wajahnya penuh harap, diraihnya tanganku yang menggenggam alat tes kehamilan. Tadi kami menyempatkan diri untuk mampir ke apotek untuk membeli alat tersebut. "Garis dua? Artinya… ." Mas Rafli menatapku lekat. Wajahnya menanti jawaban dariku untuk memastikan penglihatannya. Berkali-kali dia membesarkan matanya agar tak salah melihat. Tetapi aku… sudah dua kali aku mengalami hal serupa sehingga langsung yakin dengan apa yang tertera pada alat tersebut. "Sayang? Apakah artinya kamu… hamil?" Aku tersenyum sambil menentramkan debaran jantungku. Tanganku sedikit bergetar karena sangat bahagia. Kuanggukkan kepala perlahan seraya mengucapkan syukur pada Sang Pencipta. "Allah… alhamdulillah… alhamdulillah… alhamdulillah," ucap Mas Rafli sambil memeluk tubuhku. Dihujaninya puncak kepalaku berkali-kali. Bibirnya tak henti berucap terima kasih padaku. "Sayang… Terima kasih," lirihnya di telingaku. Bebera
Kabar Bahagia 2Kami berdua berpandangan. Sudah pasti ibu marah dengan apapun alasan kami menemui wanita itu. Apalagi jika dia tahu kerudung yang kugunakan ditarik paksa oleh Wita. Aku sendiri sangsi tidak ada yang mengabadikan melalui video mengenai kejadian tidak menyenangkan di kafe tadi. "Bu… tadi… ." Mas Rafli mencoba memberi penjelasan pada ibu. "Pokoknya jangan kamu dekat-dekat wanita itu lagi! Apalagi jika dia tahu Vinda hamil. Ibu tak mau Vinda kenapa-kenapa karena ulahnya. Kamu dengar Rafli, jangan mendekati wanita itu! " Ibu mengeraskan suaranya lagi. Wajah Mas Rafli terlihat pias karena reaksi wanita itu. Ibu memutus panggilan secara sepihak. Tetapi tak lama kemudian dia melakukan panggilan video pada ponsel suamiku. Dengan ragu Mas Rafli mengusap tombol hijau dan menghadapkan ponselnya di depan kami berdua. "Selamat sayang… akhirnya kamu hamil. Kau bisa membuktikan bukan betapa perkasanya anakku?" Ibu bertanya dengan nada bercanda pada kalimat yang dia lontarkan. Aku
Kedatangan Orang Tua Wita 1Aku melambaikan tangan ke arah Mas Rafli yang akan berangkat ke kantornya. Mulai saat ini aku diminta membatasi kegiatanku di restoran. Tentu saja mau menyanggupi perintahnya karena keberadaan Putri yang sudah sangat bisa dipercaya untuk mengelola usahaku itu. Aku hanya akan memantaunya beberapa kali dalam seminggu. Mas Rafli juga mewanti-wanti Mbok Minem untuk tak membiarkan aku terlalu lelah mengerjakan urusan rumah. Menurutku sangat berlebihan, mengingat aku yang terbiasa melakukan pekerjaan berat. Tetapi demi baktiku pada suami, aku lagi-lagi menyanggupinya. Belum lagi tingkah konyolnya beberapa hari ini. Tiap pagi saat bangun tidur, dia langsung beringsut mendekati perutku, mengajak bicara janin yang bahkan baru berusia kurang lebih satu bulan itu. "Selamat pagi anak Ayah… jangan nakal di perut Bunda… sehat selalu sayang… ." Kemudian dia akan menghujani ciuman di perutku itu. "Mas. Baru usia sebulan. Belum ada nyawanya, jadi belum bisa diajak ngobr
Kedatangan Orang Tua Wita 2"Mohon maaf, Mas Rafli sedang tidak ada di rumah. Perlukah aku menghubungi suamiku karena kedatangan kalian?" tanyaku hati-hati. Aku kira mereka orang yang dekat dengn Mas Rafli. Buktinya pria ini memanggil suamiku tanpa sapaan apapun. Kupersilahkan mereka masuk. Aku beranjak ke dapur untuk membuatkan minuman mereka. "Ada tamu, Mbak?" tanya Mbok Minem. Aku mengangguk. "Bisakah Mbok mengantar minuman ke depan? Aku mau menelepon Mas Rafli. Sepertinya tamu penting. Mereka bahkan ingin bertemu dengan suamiku langsung." Mbok Minem menuruti permintaanku. Segera kuhubungi Mas Rafli. Beruntung suamiku sedang meninjau swalayannya yang tak jauh dari rumah. Dia mengiyakan untuk pulang sebentar menemui tamunya. Sayangnya aku lupa bertanya siapa pasangan suami istri itu hingga tak bisa menjawab pertanyaan darinya. "Mbak. Serius meminta Mas Rafli pulang?" tanya Mbok Minem. Raut wajahnya terlihat berbeda dengan saat dia keluar tadi. "Kenapa, Mbok?""Itu… yang di dep