Pernyataan Menohok Mas Rafli 1"Apakah Wita tidak memberitahu kalian? Saat kutanyakan apakah Wita menginginkan swalayan yang di Candipura dia menolaknya. Alasannya karena ingin mengembangkan karirnya sendiri. Akhirnya kuberi separuh total nilai swalayan itu. Uangnya sudah kukirimkan ke rekening Wita bahkan tidak sampai satu bulan perceraian kami."Keterangan dari Mas Rafli membuat dua orang di depan kami membelalak. Kalimat Mas Rafli sepertinya memberi pukulan telak untuk mereka. "Kurasa aku sudah memberikan seluruh hak Wita. Tak ada yang terabaikan sama sekali. Jika kalian merasa Wita tak mendapatkan keadilan, sepertinya putri kalian sendiri yang sudah membohongi kalian berdua."Kedua orang itu saling menatap dengan ekspresi yang sulit ditebak. Setelah itu mereka menatapku dengan wajah tak suka. "Bisa kita bicara denganmu saja? Maksud kami, tidak ada orang lain selain kita bertiga?" Pertanyaan dari ibunya Wita membuatku agak tersentak. Panas dingin kutunggu reaksi dari Mas Rafli.
Pernyataan Menohok Mas Rafli 2"Maaf, Bu. Sepertinya saya tak bisa menjenguknya. Meskipun istriku ternyata mengizinkannya, aku tetap tak akan pergi. Aku laki-laki, punya prinsip yang harus kupedomani. Sebagai seorang laki-laki dan suami, tentu saja itu mencederai diri saya. Maaf, sampaikan salamku saja untuk Wita. Hiduplah dengan baik. Aku tak ingin dia larut dalam penyesalan. Bimbing dan dukunglah dia. Wita masih muda, masih bisa mengejar dan menggapai mimpi sekaligus membangun rumah tangganya. Percayalah, dia akan mendapatkan orang yang tepat untuknya." "Orang yang tepat itu kamu, Rafli. Kami setuju saat Wita menyampaikan keinginannya untuk menjadi istri kedua untukmu. Kami tak keberatan. Apalagi Wita sudah bersedia punya anak. Tentu impianmu masih sama seperti dulu, bukan?" Ucapan ibunya Wita membuatku menggigit bibirku kencang. Rasanya aku ingin memukulkan tas jinjing yang kutahu harganya di atas dua puluh juta yang dipakai wanita itu. Apakah dia sudah gila?Tanpa berpikir banya
Pesan Ibu Mertua 1Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Mas Rafli mengikutiku dari belakang. Aku tak bisa berpura-pura biasa saja atau tak terpengaruh dengan permintaan gila orang tua Wita tadi. Jika tak ingat mereka orang tua, aku sungguh ingin mencaci maki mereka. Sama seperti yang anaknya lakukan padaku beberapa waktu lalu. Beruntung aku masih bisa mengontrol emosi, aku masih bisa membaca keadaan. Rasanya tak pantas aku melakukan hal seburuk itu terlebih pada orang tua. "Sayang," ucap lembut Mas Rafli. Aku berpura-pura memejamkan mata sejenak. Rasanya aku belum siap menghadapi suamiku setelah kejadian ini. Aku takut rasa kesalku pada orang tua Wita kulampiaskan pada suamiku. "Mas, aku ingin tidur. Pergilah. Bukankah urusanmu belum selesai?" Kudengar suara napas Mas Rafli berhembus kasar. Kurasakan sentuhan lembut di pipiku. Jika tak sedang merasa kesal, sudah pasti aku akan menghambur di pelukannya setelah diperlakukan semanis ini. "Bahkan aku tak ingin berangkat lagi, ken
Pesan Ibu Mertua 2"Mas?" kusentuh tangan suamiku agar dia menjelaskan pada ibunya. "Apa? Sudah kuingatkan, di kehamilan muda ini rawan melakukan hal itu. Astaga Rafli. Apakah kau tak percaya kata-kata Ibu? Bahkan kau membahayakan anakmu sendiri!" "Bu. Maaf, tak ada kejadian apapun tadi di kamar. Aku berani jamin. Hanya saja aku tak tahu mengapa Mas Rafli mengunci kamar," ucapku membela diri. Tentu aku tak ingin dicap menantu pembangkang meski pada akhirnya aku terkesan mengumpankan suamiku sendiri. "Benarkah? Lalu mengapa kau tak bekerja, Rafli? Kau kira hartamu yang tak seberapa sudah lebih dari cukup memenuhi kebutuhan keempat anakmu nanti?" Ibu menajamkan pandangannya ke arah suamiku. Aku hanya melihat suamiku tersenyum sedikit saat mendengar penuturan ibunya. "Tenang, Bu. Aku sudah tahu sampai dimana kemapanan finansialku," jawab Mas Rafli sedikit jumawa. "Astaga! Apakah perlu kubenturkan kepalamu ke tembok? Pergi bekerja sekarang! Bahkan tahun depan Zoya harus masuk ke play
Tayangan Masa Lalu 1 [Ibu. Tidakkah kau ingin mengulang kebersamaan ini lagi? Wita kangen Ibu. Wita ingin dipeluk Ibu seperti ini lagi… sebagai menantu ] Di bawahnya terpampang jelas foto Wita dan ibu tengah berpelukan dengan sangat hangat. Dari pakaian yang digunakan Wita aku yakin momen itu diambil saat Wita dan Mas Rafli melangsungkan pernikahan. Foto itu membuatku iri sekaligus kesal meski akal sehatku berbicara bahwa itu hanya masa lalu yang sudah terhapus. "Tak tahu malu… ." Tanpa sadar aku mengucapkan hal itu dan meremas ponsel warna silver milik ibu mertuaku. "Baca sampai atas. Ibu tak ingin dicap menusukmu dari belakang. Selain itu juga kamu lebih tahu wanita seperti apa yang sedang berusaha memasuki rumah tangga kalian berdua," sambung ibu memintaku membaca chat dari Wita padanya. Tanpa ragu kuturuti keinginannya. Jujur saja aku penasaran pendekatan seperti apa yang sudah dilakukan mantan menantu wanita di depanku. [ Ibu. Tadi nggak ikut arisan di rumah ibunya Nanda? P
Tayangan Masa Lalu 2Setelah memeriksa pekerjaan kedua anak kembarku, aku meminta mereka membereskan buku-buku yang masih berserakan di lantai kamarnya. Dari arah ruang televisi kudengar suara Zoya tengah merajuk pada ayahnya. Suaranya yang manja membuat Mas Rafli terlihat asyik meledeknya. "Ayah… ayo. Cekarang. Zoya mau es klim." Ternyata Zoya merajuk meminta es krim pada ayahnya. Kulangkahkan kaki ke dapur untuk mengambil secangkir lemon tea hangat yang akhir-akhir ini lumayan membantuku mengurangi mual serta rasa di mulutku yang tak nyaman akibat kehamilan di trimester awal. "Bilang sama Bunda, boleh nggak keluar beli es krim sekarang?" ucap Mas Rafli melemparkan keputusannya padaku. Aku menoleh ke arah Zoya yang harap-harap cemas menunggu persetujuanku. "Di kulkas habis?" tanyaku sambil mencubit gemas pipi gembul Zoya. Anak itu langsung menutup mulutnya dengan tangan seraya menggeleng. "Zoya boling di rumah… pengin jalan-jalan… ." Aku dan Mas Rafli berpandangan. Dari mana an
Apakah Karma? 1"Tak usah manja! Membawa barang seperti ini tak akan membuatmu keguguran. Apalagi sudah sebesar itu di perutmu! Mana mungkin dia akan m*ti begitu saja! Bukankah anakmu itu calon preman? Sudah kuberi obat penggugur kandungan saja masih adem ayem tumbuh di dalam sana!" Kalimat yang dilontarkan Bu Mirna membuat jantungku berdetak lebih cepat. Rasanya aku ikut tersayat mendengar kata-kata kasar tak manusiawi itu keluar dari mulutnya. "Kau yang bawa! Ibu mau naik ojek saja. Kau naiklah becak agar barang belanjaan kita tak ada yang tercecer di jalanan. Paham?" Dari pantulan spion aku melihat Mita mengangguk sambil mengusap air matanya. Tak lama, Bu Mirna pergi menaiki ojek yang mungkin sudah dipesannya. Tak lama setelah Bu Mirna pergi, aku melihat Mita yang tengak-tengok dengan satu tangannya mengusap perut sedangkan belanjaan di kantong plastik warna putih diletakkan tepat di kakinya. Dengan langkah hati-hati kudekati wanita itu. Matanya seketika membulat melihatku be
Apakah Karma 2Penjelasan dari Mita membuatku tanpa sadar memegang mulutku. Bayanganku mengarah pada sosok laki-laki yang setahun lalu masih menunjukkan taring kesombongan di hadapanku. Kubayangkan laki-laki dengan sorot mata tajam serta rahang yang kokoh kini harus mengalami kondisi tanpa daya seperti saat ini. Aku penasaran kehidupan seburuk apa yang sedang menimpa mereka. Mas Galih yang dipecat dengan tidak hormat sebagai seorang PNS pasti sudah tak memiliki penghasilan, ditambah dengan posisinya yang kini di penjara. Pasti tak mudah hidup dengan mengandalkan uang pensiun mantan mertuaku itu. Apalagi dengan sakitnya Pak Tanu, kurasa pengeluaran jauh lebih banyak. "Lalu siapa yang sekarang menjaga toko ikan hias kalian?""Tak ada. Tutup. Modalnya habis untuk tambahan biaya rumah sakit. Belum lagi ternyata gaji pensiun bapak juga digunakan untuk jaminan hutang. Tak ada lagi yang bisa kami harapkan, Mbak. Bahkan aku sudah nekat akan meninggalkan bayi ini setelah dia lahir. Aku masi