Kenyataan Wita di Masa Lalu 1"Jangan paksa anakku untuk melakukan hal sebodoh itu! Jangan pula menutup mata dengan kelakuan anak kalian selama ini. Aku yakin kalian tahu bagaimana kelakuan Wita selama menjadi menantuku. Bahkan dia mencoba merayu Tama yang merupakan kakak kandung suaminya saat itu!" teriak ibu saat aku baru saja melangkahkan kaki di teras rumahnya yang besar. Karena jarak pintu rumah dengan pintu gerbang lumayan jauh mungkin saja mereka tak menyadari kehadiranku. Apalagi tadi aku memang memakai taksi online yang otomatis hanya turun sampai di depan pintu gerbang. Kuarahkan Zoya yang tadinya sudah hampir berlari mencari ibu mertuaku untuk berhenti sejenak. Zoya memandangku lama, seolah mempertanyakan apa yang telah terjadi di rumah eyangnya? Suara ibu yang penuh emosi itu pasti membuat Zoya bertanya-tanya. "Tapi, Jeng. Kita tahu bahwa Wita dan Rafli sangat serasi. Lagi pula apa mungkin Wita sampai berbuat sejauh itu? Jangan menyalahkan anak kami saja atas kejadian
Kenyataan Wita di Masa Lalu 2"Ibu, mau kubuatkan teh hangat?" tawarku sambil mencium punggung tangannya. Zoya mengikuti langkahku dan segera duduk di samping eyangnya. Matanya menelisik wajah ibu dengan tatapan penuh tanya. "Tidak. Duduklah," Ibu menepuk sofa di samping kirinya yang masih kosong. Tanpa pikir panjang aku segera duduk di sampingnya. Tiba-tiba wanita yang mengenakan dress selutut dengan motif bunga itu mengusap perutku dengan lembut. Wajahnya nampak serius menatap perutku yang masih rata. "Berjanjilah dengan eyang, jadilah anak yang kuat. Bantu bundamu untuk tetap tegar karena ke depan banyak sekali halangan yang akan mengganggu perjalanannya. Jadilah peneduh saat keadaan sekelilingnya berhawa panas. Berjanjilah dengan eyang, Nak. Jadilah penguat hubungan kedua orang tuamu." Tiba-tiba matanya melelehkan butiran kristal bening yang makin lama makin menderas. Tak ada yang dapat aku lakukan selain memeluknya dengan erat. Aku tak bisa membayangkan wanita yang sangat meny
Jangan Mengusik Anak-Anakku! 1Pov Ibu MertuaDadaku rasanya sesak melihat kedua manusia itu sudah merusuh sepagi ini di rumahku. Aku yang tengah menyiapkan bubur kacang hijau untuk anakku Vinda harus menunda kegiatanku di dapur. Mereka masih seperti tiga tahun yang lalu, menampakkan wajah angkuh dan menganggap semua orang berada jauh di bawahnya. Aku tak gentar meski berkali-kali mereka memandangku penuh intimidasi. Aku penasaran apa yang mereka inginkan hingga mendatangiku seperti ini. Kuyakin ada hubungannya dengan anak mereka, Wita. Tanpa kuminta Mbok Tum sudah menyajikan dua cangkir teh hangat untuk mereka. Meskipun aku sendiri ragu, apakah mereka akan meminum buatan Mbok Tum mengingat berapa angkuh dan arogannya mereka sekeluarga. "Apa kabar, Jeng Pur?" tanya Bu Tika, ibunya Wita. Sementara Pak Santoso yang duduk di sampingnya masih terdiam. Tetapi matanya masih memandangku dengan sorot mata yang dingin penuh kebekuan. "Alhamdulillah, makin sehat dan bahagia," jawabku penuh
Jangan Mengusik Anak-anakku! 2"Tak perlu takut mengetahui reaksi orang jika mereka tahu latar belakang Vinda. Justru kalianlah yang harus takut jika orang-orang tahu seperti apa tingkah laku anak kalian itu!" "Apa maksudmu, Mbak? Kau tengah membicarakan anakku Wita? Apakah ada yang ingin kau jelaskan?" "Kau tanyakan istrimu. Aku yakin dia sudah tahu apa yang kukatakan. Sebagai ibunya kau pasti sudah paham aib apa yang dimiliki oleh anak perempuanmu!" tunjukku pada Bu Tika. Wanita itu melotot setelah kuberikan serangan mendadak. "Bu? Apa yang Mbak Pur katakan?" tanya Pak Santoso pada istrinya. Aku jadi tahu selama ini laki-laki itu tak benar-benar paham alasan apa yang membuat putrinya bercerai dengan anakku. "Tak perlu didengarkan. Wanita ini sedang mempermainkan kita dengan memfitnah Wita." Bu Tika berusaha menutupi kebusukan anaknya. Padahal saat menjelang perceraian Wita dan Rafli, aku sudah menceritakan kebusukan anaknya yang terang-terangan mencoba mengusik kehidupan rumah
Pil KB Wita 1Kutekan dadaku yang terasa nyeri sesaat setelah kepergian kedua manusia itu. Rasanya sekelilingku berputar setelah beradu argumen dengan mereka. Gondok luar biasa kurasakan menghadapi mantan besanku itu. Nyatanya mereka benar-benar tak punya malu sedikitpun. Terutama Bu Tika, ibunya Wita. Sudah kuberitahu kelakuan anak perempuannya saat menjelang sidang pertama perceraian Wita dan Rafli. Seharusnya dia punya sedikit malu mengajukan permintaan tersebut. Aku sedikit kasihan pada Pak Santoso, sepertinya dia tak diberitahu oleh istrinya mengenai kelakuan Wita sesungguhnya. Buktinya dia terlihat bingung dengan serangan yang kutujukan untuk istrinya. Aku sengaja memberitahu Bu Tika karena aku tak ingin dicap sebagai mertua dzalim, yang hanya perkara anak justru mendukung sebuah perceraian. Meski Wita yang memakai KB diam-diam juga merupakan kesalahan yang fatal, mengingat tujuan berumah tangga salah satunya memiliki keturunan. Akan lain ceritanya jika memang Wita atau Rafli
Pil KB Wita 2Aku tahu, Rafli termasuk orang yang tertutup mengenai kehidupan rumah tangganya. Jauh-jauh hari aku sudah meyakinkan diriku untuk tak mengusik kehidupan rumah tangga anak-anak sejauh mereka tak menemui permasalahan. Tetapi yang terjadi kini, nyatanya Wita berlaku curang. Aku tak boleh diam saja. Hingga beberapa hari setelah itu, Rafli bersikap biasa saja, terlebih pada istrinya. Wita yang memang tak menyadari kebohongannya sudah diketahui anakku pun bersikap layaknya istri pada umumnya. Aku sangat mengerti dia yang tak pernah mau terjun menyiapkan makanan untuk suami karena pekerjaannya sebagai konsultan keuangan di perusahaan swasta menyita banyak waktu. Hanya saja kali ini Rafli terlihat mulai jengah dengan kehidupannya karena Wita terlalu keras untuk diatur. "Mas, minggu depan aku ke Surabaya," ucap Wita di sela-sela makan malam. Rafli menghentikan aktivitas mengunyahnya. Dia menatap datar ke wajah istrinya. Pakaian rumahan yang memperlihatkan lengan dan punggungnya
Kebusukan Wita 1"Ada yang mau Ibu tanyakan. Duduklah!" ucapku pada anak pertamaku. Tanpa ragu Tama duduk di depanku. Dilihat dari postur tubuhnya Tama hampir sama dengan Rafli. Hanya kulitnya saja yang lebih gelap dari Rafli. Wajah mereka pun memiliki kemiripan, sama-sama menuruni alis tebal milik ayah mereka yang sudah meninggalkanku belasan tahun silam. "Ada apa, Bu? Sepertinya penting sekali hingga menunggu semua orang pergi beraktivitas," tanya Tama yang sepertinya masih belum tahu apa yang akan kukatakan dan kutanyakan padanya. Tama lebih pendiam daripada Rafli yang terkadang masih memiliki sifat jahil. Sedangkan Tama, dia tak pernah berkata untuk hal-hal yang tidak penting. Terkadang dia harus kutanya terlebih dahulu baru bisa mendengar suaranya. "Tama. Ibu melihat apa yang terjadi antara kamu dan Wita di kamarmu!" ucapku dengan nada tinggi. Tama sedikit tersentak mendengar kalimatku. Sebenarnya aku sangat takut mendengar apa yang akan Tama katakan. Aku takut jika ternyata me
"Kejadian di kamarku kemarin itu adalah yang kedua, Bu." Tama menyugar rambutnya kasar. Wajahnya merah menahan amarah. "Apakah kita harus memberi tahu Rafli?" tanyaku memberi pertanyaan yang tak perlu dijawab. Kami berdua sama-sama tahu, bagaimana kelanjutan cerita ini. "Jangan, Bu. Aku tak ingin dia terluka. Terlebih hingga saat ini mereka belum dikaruniai anak. Aku takut Rafli makin kehilangan percaya dirinya karena Wita sudah terbukti tak bermasalah. Aku yakin Rafli akan menyalahkan dirinya karena tak mampu menunaikan tugas sebagai seorang suami hingga Wita menempuh langkah sejauh itu." " Kita akan tahu hasilnya sebentar lagi. Apakah Rafli memang bermasalah atau memang kelicikan Wita adalah satu-satunya penyebab mereka belum memiliki anak.""Maksud Ibu?" Aku tak menjawab pertanyaan Tama. Kulayangkan tatapanku ke arah luar memandang hijaunya tanaman bungaku. Rasanya kepalaku mau pecah mengetahui kebusukan tersimpan lama di rumahku ini. "Kita tunggu beberapa waktu lagi, Ibu tak
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa