Kecurigaan Mbak Fatma 1Aku hanya mematung mendengar cerita yang mengalir dari mulut ibu mertuaku. Aku bisa merasakan harga diri yang ikut tercabik karena tingkah wanita bernama Wita itu. Sangat wajar jika hingga detik ini ibu tak bisa memaafkan wanita itu. Jika ibu masih bisa bersikap baik selama ini pada Wita, entah bagaimana dengan besok. Kedatangan orang tua Wita menyulut amarah ibu yang selama ini seolah terpendam dalam lautan sunyi. Ibu bisa menyembunyikan rasa kecewa dan marahnya pada Wita demi menghargai perasaan Mas Rafli. Ada iba yang sangat kurasakan membayangkan bagaimana suamiku dulu begitu dicurangi oleh mantan istrinya. Laki-laki yang begitu baik itu nyatanya tak juga cukup di mata Wita. Tak ada rasa hormatku lagi padanya dan memanggilnya tanpa sebutan Mbak. Rasanya mubadzir dan sangat sia-sia menghormati wanita yang bahkan kehormatan dirinya tak bisa dijaga. "Hingga hasil tes yang Rafli lakukan keluar. Bisa ditebak bukan bagaimana diagnosa dokter? Rafli dinyatakan s
Menginjakkan kaki di restoran yang kurintis susah payah setelah berhari-hari rehat menimbulkan sensasi luar biasa. Ada sesuatu yang membuncah meski terkesan berlebihan. Seperti sebuah rumah yang lama kutinggal dan aku menginjakkan kaki lagi untuk pertama kali. Putri yang tidak kukabari berteriak histeris melihatku tiba-tiba muncul di depannya yang tengah duduk di meja kasir. Dia langsung menghambur memelukku. "Mbak Vindaa… Kangen. Rasanya aku pengin nyerah Mbak. Pusing ngatur sendirian. Mbak Vinda seriusan nggak bisa sering-sering kemari?" tanyanya sambil menggandeng lenganku. Aku tersenyum melihat bibirnya yang mengerucut. "InsyaAllah sekarang bisa sering ke mari. Morning sickku sudah lewat." Aku memang merasa agak baikan setelah melewati masa kehamilan trimester pertamaku. Rasanya sudah mulai enak makan, meski tiap pagi aku harus tetap berjuang meminum air putih hangat yang tetap menyisakan rasa pahit di akhir tegukan. "Meski Pak Rafli sering kemari untuk menengok restoran teta
Saling Menguatkan 1"Dari mana saja seharian ini?" tanya Mas Rafli sesaat setelah aku masuk ke dalam rumah. Pertemuanku dengan Mbak Fatma selama berjam-jam membuatku lupa diri. Mbak Fatma yang bercerita panjang lebar mengenai kecurigaannya membuatku tak tega. Apalagi dia berkata hanya bercerita padaku saja. Artinya dia memang butuh teman bicara. "Maaf, Mas. Habis ketemu Mbak Fatma langsung ke rumah ibu, tetapi Zoya nggak mau pulang. Dia bilang mau menginap," jawabku. Mas Rafli yang kali ini pulang lebih awal terlihat sudah segar di atas pembaringan kami. Kaos warna merah nampak cocok melekat di tubuhnya. Dia beringsut mendekatiku, aku buru-buru menghindar dan langsung menyelinap ke kamar mandi. Kulepaskan tawaku di dalam. Seperti biasa, Mas Rafli menggodaku dari luar sana. "Jangan terlalu lama, aku rindu." Astaga. Kutepuk dahiku mendapati lelaki yang lebih tua beberapa tahun dariku itu bertingkah bak remaja kasmaran. Tak hanya itu, Mas Rafli bahkan mengetuk pintu kamar mandi dengan
"Kemana kalian?" Baru akan masuk ke dalam mobil, langkah kami tertahan karena mendengar suara seorang wanita. Kuarahkan pandanganku pada sumber suara. Ibunya Wita berdiri tak jauh dari pintu gerbang yang baru saja dibuka oleh Mbok Tum. Aku dan Mas Rafli berpandangan. Seolah menyadari datangnya bahaya, Mas Rafli segera meraih tanganku saat wanita itu mendekat. "Rafli. Kumohon kali ini ikutlah denganku. Kami membutuhkan bantuanmu kali ini. Tak tahu kemana lagi untuk membujuk Wita. Kau satu-satunya harapan kami. Wita sudah mengurung diri di kamarnya selama dua hari setelah kepulangannya dari rumah sakit. Jika pun aku harus berlutut memohon padamu aku akan melakukannya," ucap wanita itu yang siap-siap bersimpuh. Mas Rafli meraih tubuh mantan mertuanya dengan sebelah tangannya."Jangan melakukan hal ini, Bu. Tak pantas dilihat. Berdirilah!" ucap Mas Rafli penuh ketegasan. Bu Tika berdiri dan menangkupkan tangannya. Kali ini dia yang datang sendiri tanpa ditemani suaminya terlihat sangat
Membongkar Rahasia 1"Mas. Sekarang jawab pertanyaanku. Ada hubungan apa kamu dengan Wita?!" Mbak Fatma setengah berteriak pada suaminya yang duduk di depannya. Sementara ibu yang duduk di sebelahku nampak memejamkan mata. Sebuah keributan besar terjadi antara Mas Tama dan Mbak Fatma karena wanita itu sudah tak mampu menahan emosinya. Beberapa malam terakhir Mas Tama menerima panggilan di tengah malam. Hingga entah sial atau sudah tiba waktunya si karma itu datang, dia melihat sebuah panggilan video masuk ke ponsel Mas Tama saat suaminya itu ke kamar mandi. Karena penasaran dia menggeser tombol hijau dan mengarahkan ponselnya ke atas. Namun dari arah samping dia masih mampu melihat dengan jelas siapa orang yang berada di dalam panggilan tersebut. Wita dengan gaun tidur yang transparan tengah memainkan rambutnya yang menurut Mbak Fatma sungguh membuat malu seluruh wanita normal dan sehat. Wanita itu murka dan secepat kilat mematikan panggilan video tersebut. Saat itu dia langsung me
"Swinger? Apa itu?" tanya ibu. Kami saling berpandangan. Rasa bingung yang kuat menyerang kami, mengingat istilah dan trend gila tersebut memang baru ada di zaman sekarang. Ibu pasti sangat asing dengan istilah itu. Tetapi pantaskah jika kami menjelaskan apa itu swinger padanya? Apakah tak akan membuat kesehatan mentalnya akan terganggu? "Swinger itu perilaku seks menyimpang, Bu. Para pelakunya saling bertukar pasangan untuk melakukan hubungan suami istri, bahkan mereka bisa melakukukannya di tempat yang sama." Aku mencoba menerangkan sejauh yang kuketahui pada ibu. Seketika wanita itu menutup mulutnya dengan kuat. Siapa yang tak akan jijik membayangkan hal tak bermoral seperti itu?"Gila!" Akhirnya Mas Tama mengeluarkan kemarahannya. Kulihat tangannya mengepal, semantara Mbak Fatma hanya memandang ke depan dengan tatapan kosong. "Aku tak percaya dia serendah itu," ucapnya dengan lirih. "Kau tahu Mbak, bahkan dia meminta kembali menjadi istri Mas Rafli. Bahkan tak mempermasalahkann
Langkah Mematikan Mbak Fatma 1"Sudah kubilang hanya Rafli yang kuminta datang, kenapa kalian datang rombongan seperti ini?" ucapnya persis dengan apa yang diucapkan anak perempuannya. "Lho, bagaimana kau ini Jeng Tika. Bukankah lebih baik datang bersama-sama seperti ini. Bersama Tama pula. Jadi anakmu tak perlu susah payah menghubunginya diam-diam tiap tengah malam seperti kemarin . Dia bisa bertemu langsung dengan kedua anak lelakiku sekaligus." Ibu mengangkat dagunya tinggi. "Apa maksudmu?!" "Apakah tak sebaiknya kami duduk terlebih dahulu?" tantang ibu mertuaku. Tak ada jawaban dari Bu Tika yang akhirnya membuat ibu langsung duduk tanpa menunggu persetujuannya lagi. Langkah ibu langsung diikuti oleh kami berempat. Kulihat Bu Tika mulai terlihat tak nyaman. Mungkin instingnya bekerja dengan baik hingga merasakan bahaya yang akan menimpanya. Berkali-kali dia melihat ke arah dalam rumahnya. Mungkin dia menunggu kehadiran suami dan anaknya. "Apa yang kalian inginkan?" tanyanya de
"Kalau begitu katakan pada anakmu, jangan mengusik kehidupan kami. Jangan pula mengganggu suami-suami kami. Jadilah wanita yang punya harga diri, jangan bertindak bodoh dengan mengikuti hawa nafsu! Kami tahu, wanita memang memiliki hawa nafsu yang besar, tetapi bukan berarti dia mengumbar seenaknya sendiri. Maaf, aku tak bisa menahan emosiku karena dari tadi sepertinya ibu selalu melindungi Wita. Pantas saja tingkahnya seliar itu, dukungan dari ibunya membabi buta!" Suara Mbak Fatma keluar dengan suara bergetar hebat. Aku tersentak karena Mbak Fatma mengucapkan kalimat yang lumayan kasar. "Apa maksudmu?" tanya Mas Pandu dengan wajah garang. Sepertinya dia tak terima dengan kalimat yang dituduhkan pada adiknya. "Wita kami didik dengan sangat baik. Dia kami kasihi dengan limpahan materi dan kasih sayang. Kenapa dari tadi kalian menyudutkannya terus? Apakah itu untuk menutupi kesalahan kalian sendiri? Tak usah mengajari kami bagaimana cara mendidiknya! Wita tetap berharga di mata kami