"Swinger? Apa itu?" tanya ibu. Kami saling berpandangan. Rasa bingung yang kuat menyerang kami, mengingat istilah dan trend gila tersebut memang baru ada di zaman sekarang. Ibu pasti sangat asing dengan istilah itu. Tetapi pantaskah jika kami menjelaskan apa itu swinger padanya? Apakah tak akan membuat kesehatan mentalnya akan terganggu? "Swinger itu perilaku seks menyimpang, Bu. Para pelakunya saling bertukar pasangan untuk melakukan hubungan suami istri, bahkan mereka bisa melakukukannya di tempat yang sama." Aku mencoba menerangkan sejauh yang kuketahui pada ibu. Seketika wanita itu menutup mulutnya dengan kuat. Siapa yang tak akan jijik membayangkan hal tak bermoral seperti itu?"Gila!" Akhirnya Mas Tama mengeluarkan kemarahannya. Kulihat tangannya mengepal, semantara Mbak Fatma hanya memandang ke depan dengan tatapan kosong. "Aku tak percaya dia serendah itu," ucapnya dengan lirih. "Kau tahu Mbak, bahkan dia meminta kembali menjadi istri Mas Rafli. Bahkan tak mempermasalahkann
Langkah Mematikan Mbak Fatma 1"Sudah kubilang hanya Rafli yang kuminta datang, kenapa kalian datang rombongan seperti ini?" ucapnya persis dengan apa yang diucapkan anak perempuannya. "Lho, bagaimana kau ini Jeng Tika. Bukankah lebih baik datang bersama-sama seperti ini. Bersama Tama pula. Jadi anakmu tak perlu susah payah menghubunginya diam-diam tiap tengah malam seperti kemarin . Dia bisa bertemu langsung dengan kedua anak lelakiku sekaligus." Ibu mengangkat dagunya tinggi. "Apa maksudmu?!" "Apakah tak sebaiknya kami duduk terlebih dahulu?" tantang ibu mertuaku. Tak ada jawaban dari Bu Tika yang akhirnya membuat ibu langsung duduk tanpa menunggu persetujuannya lagi. Langkah ibu langsung diikuti oleh kami berempat. Kulihat Bu Tika mulai terlihat tak nyaman. Mungkin instingnya bekerja dengan baik hingga merasakan bahaya yang akan menimpanya. Berkali-kali dia melihat ke arah dalam rumahnya. Mungkin dia menunggu kehadiran suami dan anaknya. "Apa yang kalian inginkan?" tanyanya de
"Kalau begitu katakan pada anakmu, jangan mengusik kehidupan kami. Jangan pula mengganggu suami-suami kami. Jadilah wanita yang punya harga diri, jangan bertindak bodoh dengan mengikuti hawa nafsu! Kami tahu, wanita memang memiliki hawa nafsu yang besar, tetapi bukan berarti dia mengumbar seenaknya sendiri. Maaf, aku tak bisa menahan emosiku karena dari tadi sepertinya ibu selalu melindungi Wita. Pantas saja tingkahnya seliar itu, dukungan dari ibunya membabi buta!" Suara Mbak Fatma keluar dengan suara bergetar hebat. Aku tersentak karena Mbak Fatma mengucapkan kalimat yang lumayan kasar. "Apa maksudmu?" tanya Mas Pandu dengan wajah garang. Sepertinya dia tak terima dengan kalimat yang dituduhkan pada adiknya. "Wita kami didik dengan sangat baik. Dia kami kasihi dengan limpahan materi dan kasih sayang. Kenapa dari tadi kalian menyudutkannya terus? Apakah itu untuk menutupi kesalahan kalian sendiri? Tak usah mengajari kami bagaimana cara mendidiknya! Wita tetap berharga di mata kami
Wita Belum Menyerah "Ibu… tolong Mbak Wita, dia… diaa… ." Seorang berpakaian daster motif bunga datang ke ruang tamu dengan tergopoh. Wajahnya pucat, menandakan sesuatu yang buruk telah terjadi. "Tolong… tangan Mbak Wita berdarah," ucapnya susah payah. Kakak dan ibunya Wita berlari menuju ke dalam. Sementara kami berpandangan bingung mengambil langkah selanjutnya. "Kita pulang!" ucap Mbak Fatma yang lebih mirip perintah. Wajahnya sebanding dengan ucapannya yang serius. "Paling drama lagi, nggak perlu pusing. Setidaknya ada kakak dan ibunya, ngapain kita yang bukan siapa-siapa ikut pusing?!" Mbak Fatma menenteng tasnya dan berjalan cepat keluar diiringi suaminya. Mas Rafli mengangkat pundaknya dan memilih mengikuti langkah kakaknya. "Kita juga pulang, Vin. Urusan kita juga sudah selesai." Aku dan ibu berjalan bersisian. Dari arah belakang terdengar suara teriakan dari Bu Tika yang mau tidak mau membuat kami yang berada di belakang langsung menoleh. Baju wanita itu penuh dengan no
Kusiapkan baju untuk si kembar karena besok mereka ada kegiatan di sekolahnya dan mengharuskan mereka menginap selama dua malam. Berbagai bekal juga sudah kusiapkan. Sementara mereka berdua juga kuberi tugas untuk menyiapkan buku dan peralatan pribadi yang dibutuhkan selama acara tersebut berlangsung. Tak lupa aku memberi mereka nasihat mengenai hal apa yang tidak boleh mereka lakukan selama jauh dari bundanya. Rasanya agak berat melepas mereka seperti ini. Terlebih kegiatan ini adalah kali pertama mereka lakukan. Setelah semua urusan selesai, kuminta kedua anakku itu membersihkan diri sebelum beranjak tidur. Kutatap wajah mereka saat dengan cekatan melaksanakan apa yang kuperintahkan. Rasanya mereka cepat sekali dewasa seperti yang kulihat saat ini. Kupeluk mereka satu per satu hingga kupastikan mereka sudah berada di kasur merek masing-masing. Setelah memastikan Zayn dan Ziyan tidur, aku kembali melangkahkan kaki ke kamar yang kali ini kugunakan bersama Zoya dan Mas Rafli. Meski
Keributan"Mas. Pinjam ponselnya," ucapku sambil menengadahkan tangan pada Mas Rafli yang sedang memainkan ponselnya. Laki-laki itu mengernyit. "Ada apa? Tumben? ""Lihat, Mas. Ada nomor baru masuk?" tanyaku menelisik. Mas Rafli membuka ponselnya. Seketika wajahnya berubah pucat. Aku segera meraih benda yang berada di tangannya. Benar, ada kontak baru yang kuyakini sebagai Wita. Hatiku memanas, sama dengan kekesalan yang dirasakan Mbak Fatma. Benar-benar wanita gat*l itu memiliki daya juang yang tinggi, persis dengan apa yang diucapkan Mas Rafli tadi. "Jangan ditanggapin. Biarkan. Aku nggak suka kamu marah-marah terus seperti itu. Ingat, kamu sedang hamil, Sayang. Jangan buat anak kita ikut-ikutan stres. Cukup Wita saja yang stres." Mas Rafli mulai lagi mengucapkan kalimat konyolnya. "Dengar dulu, Mas. Wita kembali menghubungi Mas Tama. Aku heran dengan wanita itu. Kukira dia benar-benar terobsesi dengan Mas Tama." Aku menyenderkan tubuhku sambil membuka pesan dari Wita. Mataku m
"Mita?" tanyaku tak percaya. Wanita itu mengangguk. Melihat keadaannya yang tak baik-baik saja, tentu saja kuajak dia ke ruang belakang untuk merebahkan bayinya. "Kamu, ada apa kemari?" Mita menunduk hingga bahunya terguncang. Dia menangis tersedu tanpa mengeluarkan jawaban untukku. Kulihat bayinya tertidur cukup pulas di kasur yang biasa kugunakan untuk melepas lelah. "Mbak. Aku… Aku minta maaf sebelumnya. Sepertinya aku… mau pinjam uang," ucapnya terbata-bata. Kulihat dia tak melanjutkan kalimatnya. "Maaf Mbak. Sebenarnya aku malu menyampaikan ini. Hanya saja… aku bingung pinjam ke mana lagi. Aku mau pulang ke rumah orangtuaku, Mbak.""Bu Mirna tahu kamu mau pulang?" tanyaku perlahan. Wanita itu menggeleng. "Tidak, Mbak. Aku pergi diam-diam. Bahkan aku tak sempat menyiapkan baju Khaira karena terburu-buru. Aku mengambil kesempatan pergi karena tak sengaja mendengar ibu berbicara melalui telepon pada Mbak Soraya…."Mita kembali melanjutkan tangisnya. Aku penasaran apa yang Bu Mi
Sakit Jiwa"Mbak! ""Aku bukan kakakmu setelah kau bercerai dari Rafli.""Mbak. Aku meminta bertemu denganmu karena aku ingin meminta izinmu baik-baik," kata Wita yang tetap membela dirinya. Dm"Ada apa ini?" tanyaku pada mereka karena peristiwa ini mengundang perhatian seluruh pelangganku. "Kau tanyakan pada wanita ini, penyakit apa yang membuatnya gat*l hingga selangk*ng*nnya ingin mencicipi suamiku. Kau amat menjijikkan! Kamu sakit, Wita!" Mbak Fatma berdiri sambil menunjuk Wita dengan penuh amarah. Aku mendekat ke arahnya dan mengusap punggungnya agar dia lebih tenang. Akhirnya dia mau duduk meski matanya tetap menatap nyalang ke wajah di depannya. "Kenapa harus teriak? Kau ingin semua orang tahu?" ucap Wita dengan ketus. Wajahnya jauh lebih segar dari terakhir kami melihatnya. "Beritahu aku apakah ada wanita yang tak teriak mendengar permintaan seorang wanita tak tahu malu yang terang-terangan meminta hal gila dari suaminya!" "Ada apa, Mbak?" tanyaku yang belum juga mendapat
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa