Keributan"Mas. Pinjam ponselnya," ucapku sambil menengadahkan tangan pada Mas Rafli yang sedang memainkan ponselnya. Laki-laki itu mengernyit. "Ada apa? Tumben? ""Lihat, Mas. Ada nomor baru masuk?" tanyaku menelisik. Mas Rafli membuka ponselnya. Seketika wajahnya berubah pucat. Aku segera meraih benda yang berada di tangannya. Benar, ada kontak baru yang kuyakini sebagai Wita. Hatiku memanas, sama dengan kekesalan yang dirasakan Mbak Fatma. Benar-benar wanita gat*l itu memiliki daya juang yang tinggi, persis dengan apa yang diucapkan Mas Rafli tadi. "Jangan ditanggapin. Biarkan. Aku nggak suka kamu marah-marah terus seperti itu. Ingat, kamu sedang hamil, Sayang. Jangan buat anak kita ikut-ikutan stres. Cukup Wita saja yang stres." Mas Rafli mulai lagi mengucapkan kalimat konyolnya. "Dengar dulu, Mas. Wita kembali menghubungi Mas Tama. Aku heran dengan wanita itu. Kukira dia benar-benar terobsesi dengan Mas Tama." Aku menyenderkan tubuhku sambil membuka pesan dari Wita. Mataku m
"Mita?" tanyaku tak percaya. Wanita itu mengangguk. Melihat keadaannya yang tak baik-baik saja, tentu saja kuajak dia ke ruang belakang untuk merebahkan bayinya. "Kamu, ada apa kemari?" Mita menunduk hingga bahunya terguncang. Dia menangis tersedu tanpa mengeluarkan jawaban untukku. Kulihat bayinya tertidur cukup pulas di kasur yang biasa kugunakan untuk melepas lelah. "Mbak. Aku… Aku minta maaf sebelumnya. Sepertinya aku… mau pinjam uang," ucapnya terbata-bata. Kulihat dia tak melanjutkan kalimatnya. "Maaf Mbak. Sebenarnya aku malu menyampaikan ini. Hanya saja… aku bingung pinjam ke mana lagi. Aku mau pulang ke rumah orangtuaku, Mbak.""Bu Mirna tahu kamu mau pulang?" tanyaku perlahan. Wanita itu menggeleng. "Tidak, Mbak. Aku pergi diam-diam. Bahkan aku tak sempat menyiapkan baju Khaira karena terburu-buru. Aku mengambil kesempatan pergi karena tak sengaja mendengar ibu berbicara melalui telepon pada Mbak Soraya…."Mita kembali melanjutkan tangisnya. Aku penasaran apa yang Bu Mi
Sakit Jiwa"Mbak! ""Aku bukan kakakmu setelah kau bercerai dari Rafli.""Mbak. Aku meminta bertemu denganmu karena aku ingin meminta izinmu baik-baik," kata Wita yang tetap membela dirinya. Dm"Ada apa ini?" tanyaku pada mereka karena peristiwa ini mengundang perhatian seluruh pelangganku. "Kau tanyakan pada wanita ini, penyakit apa yang membuatnya gat*l hingga selangk*ng*nnya ingin mencicipi suamiku. Kau amat menjijikkan! Kamu sakit, Wita!" Mbak Fatma berdiri sambil menunjuk Wita dengan penuh amarah. Aku mendekat ke arahnya dan mengusap punggungnya agar dia lebih tenang. Akhirnya dia mau duduk meski matanya tetap menatap nyalang ke wajah di depannya. "Kenapa harus teriak? Kau ingin semua orang tahu?" ucap Wita dengan ketus. Wajahnya jauh lebih segar dari terakhir kami melihatnya. "Beritahu aku apakah ada wanita yang tak teriak mendengar permintaan seorang wanita tak tahu malu yang terang-terangan meminta hal gila dari suaminya!" "Ada apa, Mbak?" tanyaku yang belum juga mendapat
"Kau… tak salah mencoba mengacaukan mentalku?" ucapku dengan tatapan menantang. Aku tak bisa memanjangkan rasa sabarku lagi padanya. Dia sudah keterlaluan. "Cih. Memang itu kenyataannya. Aku tahu Mas Rafli. Dia tak akan sebucin itu mencintai wanita bekas orang lain yang sudah melahirkan sebanyak tiga kali. Kau tahu kan maksudku?" Senyumnya yang licik sedikit membuatku terpancing. Tetapi aku buru-buru menguasai emosiku. Jangan sampai aku meledak yang pastinya akan membuatnya merasa berhasil. "Aku tak perlu mengatakan padamu seperti apa perlakuan Mas Rafli padaku. Bukankah keromantisan suami istri tak perlu dipamerkan ke semua orang? Bukannya apa-apa, aku hanya tak ingin orang yang tak mampu merasakan kebahagiaan seperti kami menjadi jatuh sakit dan frustasi karena membayangkan yang tidak-tidak setiap malam," jawabku dengan menegakkan kepalaku. Kubalas senyumnya dengan percaya diri. Wanita itu mendelik dan menarik napasnya kasar. Aku semakin semangat membuat mentalnya jatuh. "Kau tah
Jangan Berani Mengungkitnya! Seharian ini aku hanya menghabiskan waktu di rumah. Rasanya badan ada yang salah, lemas tak bertenaga dan hanya ingin kubawa tidur di atas kasur. Zayn dan Ziyan sudah berangkat sekolah, sedangkan Zoya sudah dijemput orang tuaku. Mereka berniat mengajak Zoya ke rumah saudara jauh yang sedang menggelar acara pertemuan keluarga."Lho, Mas...kok belum siap-siap? Jam berapa ini?" ucapku mengingatkan Mas Rafli. Dia masih mengenakan kaos oblong dengan celana olahraga. Seperti biasa, dia selalu menyempatkan diri melakukan olahraga ringan di pagi hari. Keringatnya yang membanjir membuat mulutku terasa gatal untuk tak mengomentarinya. "Mas, mandi cepat. Aku gatal liatnya," ucapku sambil menghindar darinya yang hendak menyentuh pipiku. "Bukankah keseksian laki-laki makin terlihat kalau dia berkeringat seperti ini?" goda Mas Rafli dengan senyum yang khas. "Kata siapa?" Mas Rafli menjawab pertanyaanku dengan suara tawanya. Kulihat dia mengambil handuk yang sudah
Langkahku terhenti saat melewati display baby shop yang kumasuki menampilkan sebuah gaun lucu untuk bayi perempuan. Mataku menelisik setiap aksen yang membuat gaun tersebut nampak indah. Kubayangkan betapa anakku nanti amat lucu memakainya. Terkadang aku mengingat masa-masa sulit dimana Zoya kecil tak disambut semeriah ini. Tetapi aku tak boleh menyalahkan apapun di masa lalu. Aku tak bisa egois membandingkan kehidupan yang dijalani masing-masing anakku. Mereka punya rezekinya masing-masing. Yang harus kulakukan saat ini adalah bersyukur karena kehidupanku di masa lalu sudah berubah dengan sangat drastis. "Sayang," panggil Mas Rafki dari belakang. Aku terhenyak karena melihatnya mendorong satu troli penuh perlengkapan bayi yang kebanyakan baju untuk newborn. "Mas. Kamu kok bisa ngambil segitu banyak? Jangan berlebihan. Nggak boleh juga," ucapku yang kali ini tak tahan karena melihatnya yang amat berlebihan. Kuteliti satu persatu belanjana di trolinya. Dia mengambil tiap jenis paka
Apakah yang Menimpa Mereka? Mas Rafli mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah keluar dari baby shop tadi tak ada pembicaraan di antara kami berdua. Aku sendiri tak ada keinginan untuk memulai percakapan dengan suamiku. Moodku hancur setelah pertemuan dnegna wanita bernama Silvi tadi. Meski di akhir pertemuan sempat kulontarkan kalimat yang seharusnya cukup membuat telinganya panas, nyatanya hatiku tak benar-benar lega. Rasanya aku masih ingin menyalurkan emosiku. "Silvi itu sudah punya suami. Suaminya seorang pengusaha batubara di Kalimantan. Anaknya juga sudah dua, sudah besar-besar pula." Kalimat yang dilontarkan Mas Rafli membuatku mau tak mau menoleh ke arahnya. "Apakah aku bertanya?" tanyaku dengan nada cukup ketus. Mas Rafli menarik napasnya perlahan. Kulihat dia menahan senyumnya. "Lalu kenapa kau diam?" Mas Rafli menyentuh kepalaku dan berniat mengusapnya. Aku segera menjauhkan tangannya dengan gerakan cepat. "Jangan menyentuhku. Bahkan kamu belum mencuci
Aku menunggu Mas Rafli di meja pojok yang dekat pintu keluar. Aku memilih tempat ini agar pandangan ke depan sekolah Zayn dan Ziyan mudah terpantau. Tempat ini lumayan menjadi favoritku di kala menunggu anak kembarku sekolah. Terkadang guru kelasnya memberi tugas atau pekerjaan yang melebihi jam pulang sekolah sehingga mau tak mau aku harus menunggu beberapa saat hingga mereka selesai. Agak trauma membuat mereka menunggu karena beberapa kali mereka mengatakan bahwa Mas Galih sempat ingin menjemput mereka dan mengajak mereka pulang ke rumah mantan mertuaku sebelum laki-laki itu masuk bui. Beruntung mereka sudah kuberitahu jika ayahnya menjemput harus benar-benar memastikan sudah meminta izin padaku. Bukan keterlaluan, hanya saja aku hapal perangai satu keluarga itu. Aku takut anak-anakku yang masih labil mendapat pengaruh buruk dari keluarga ayahnya. Kini saat Mas Galih sudah masuk penjara pun si kembar beberapa kali mengadu mereka mendapat cemoohan dari teman-temannya. Mereka sempa