Pukulan Telak Untuk Silvi[ Kamu nggak salah membuang Wita demi janda beranak tiga, Mas? Aku yakin kau tak sebodoh itu!] Aku yang tak sengaja membaca pesan masuk di ponsel Mas Rafli langsung menggigit bibirku kuat-kuat. Tadinya aku ingin memesan makanan online karena aku tak masak untuk makan malam. Jika wanita bernama Silvi itu di depanku, sudah pasti kuukir wajahnya yang glowing itu dengan ukiran dari tanganku. Aku menarik napasku perlahan untuk meredam gejolak emosiku. [ Maksudmu?] Aku berpura-pura seolah Mas Rafli yang membalas pesan tersebut. Aku ingin tahu apa yang akan dia katakan pada suamiku. [ Mas, serius kamu nggak ngerti? Jelas-jelas bedanya dengan Wita seperti langit dan bumi. Lihat Wita, Mas. Dia sempurna. Semua wanita bahkan iri dengan kecantikannya. Ingat, Mas. Kau pernah segila itu padanya. Jangan merendahkan harga dirimu seperti ini. Kau seperti bukan Mas Rafli yang kukenal. Kemana seleramu yang highclass itu? Ayolah, Mas. Kau sungguh mencederai selera laki-laki
[ Wahai wanita gatal, ada kepentingan apa ingin bertemu suamiku? ] Pesan berubah biru seketika. Setelah itu satu per satu pesan yang dia kirimkan mulai dihapus. Aku tersenyum licik. Kukirimkan sceenshootan yang tadi sudah kuambil. Kita lihat apa reaksi wanita itu. [ Kurang ajar. Kau mengerjaiku?! Apa maumu? Jangan macam-macam! ] Kelihatannya dia mulai panik. Tentu saja hanya kubaca pesan bernada kekhawatiran itu tanpa langsung kujawab. Kubayangkan wanita tersebut duduk di pojokan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku yakin dia tengah kelabakan karena aku sudah menyimpan bukti keusilannya menganggu suamiku. [ Mbak. Mohon dihapus screenshootannya. Aku janji nggak akan ke kantor Mas Rafli] Akhirnya dia mengirim pesan bernada pasrah. Lagi-lagi kubiarkan pesan tersebut setelah membacanya. Disaat yang bersamaan pesanan di aplikasi menunjukkan waktu pengantaran. Aku berjalan ke ruang tengah dan meminta Mas Rafli bersiap menunggu kurir yang mengantar makanan tersebut. [ Mbak ]
Akibat Berani Mengusikku"Kamu ngechat Silvi pakai hpku?" tanya Mas Rafli melalui sambungan telepon. Aku yang tengah berada di balik mesin kasir restoran cukup kaget saat Mas Rafli menghubungiku dan langsung menanyakan hal itu. Bahkan dia lupa menanyakan hal lain yang biasanya dia lakukan. Aku menarik napas cukup panjang dan bersiap menjelaskan pada suamiku. Bagaimana pun dia harus tahu karena aku telah memakai ponselnya tanpa meminta izin. "Silvi menghubungimu, Mas?" tanyaku balik bertanya. Kudengar suara tangis yang tak jauh dari posisi suamiku. Hatiku langsung panas menyadari siapa yang tengah berada dengan suamiku. "Sayang, Silvi ke kantorku. Dia mengatakan…," ucap Mas Rafli menggantung. Aku yakin dia mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan hingga ragu untuk menyampaikannya padaku. "Apa, Mas? Apa yang wanita itu katakan?" tantangku padanya. Aku ingin tahu reaksi Mas Rafli jika ada orang yang berkata tidak-tidak mengenai istrinya. "Vinda, apapun yang dia katakan aku lebih mem
"Vinda. Ibu minta maaf atas segala kejadian tak mengenakkan di masa lalu," ucapnya terlihat penuh penyesalan. Ada ragu yang harus cepat-cepat kututupi mengingat selama ini dia tak pernah menunjukkan rasa sukanya padaku. Bahkan dengan sangat terang-terangan dia meminta anaknya menceraikanku karena aku bukan memenuhi kriteria menantu yang diinginkannya. "Vinda. Mungkin kau sudah mendengar kabar mengenai kondisi keluarga kami saat ini. Bapakmu saat ini sakit, kondisinya amat buruk." Bapakmu? Sejak kapan laki-laki yang memiliki perangai amat buruk dengan ego yang luar biasa itu mengaku aku sebagai anaknya? Bahkan kalimat penghinaan itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Sifat sombongnya yang tak ada lawan pun semakin mengukuhkannya menjadi laki-laki paling arogan yang pernah kukenal. Bahkan selama aku menjadi menantunya saja tak pernah kudapatkan perlakuan manusiawi. Lalu kini dengan sangat percaya diri dia menyebut suaminya sebagai bapakku? Rasanya aku ingin mengingatkannya mengena
"Tolong Vinda. Hanya kamu harapan Ibu satu-satunya. Jika saja Galih tak menghianati Soraya karena digoda oleh Mita… .""Bu. Tidak hanya Mita yang salah dalam hal ini. Mas Galih juga salah. Jangan menyalahkan orang lain sementara anak sendiri selalu Ibu bela. Selingkuh itu perbuatan dua orang. Dua-duanya juga harus disalahkan. Seperti aku dulu menyalahkan Mas Galih dan Soraya karena perbuatan jahat mereka. Bahkan orang-orang di sekitar yang mendukung perselingkuhan mereka pun kusalahkan. Ibu lihat hasilnya saat ini, sesuatu yang diawali dengan menyakiti perasaan orang lain maka tak akan ada keberkahan di dalamnya. Dan sekarang Ibu merasa bersalah pada Soraya hingga tak mau meminta tolong padanya, lalu mengapa padaku Ibu tak terkesan merasa bersalah sedikit pun? Bahkan dengan percaya diri Ibu meminta sesuatu yang selamanya tak akan kukabulkan. Maaf, Bu. Dengan sangat tegas aku menolak meminta tolong suamiku untuk membantu kebebasan Mas Galih. Dia layak berada di tempatnya saat ini. Du
Pelajaran Pertama Untuk Silvi "Dia kenapa? Kok bisa-bisanya minta uang padamu?" Kutatap wajah penuh make up di depanku. Wajah yang tadi malam sempat ingin kucakar-cakar karena chat busuknya itu berada tepat di hadapanku. "Kau tahu, wanita itu sekarang jatuh miskin. Suaminya saat ini terkenal stroke. Tak bisa beranjak dari manapun tanpa dibantu. Untuk berobat saja tak mampu. Sedangkan mantan suamiku saat ini berada di dalam bui karena dilaporkan oleh istrinya akibat selingkuh! Karirnya hancur, jadi narapidana pula! Kau lihat, seperti itulah nasib orang-orang yang berani mengusik kehidupanku!" Aku menyeringai seiring terbitnya wajah pucat wanita gatal itu. "Aku minta waktumu sebentar," ucapnya dengan wajah gugup yang terlihat sekali berusaha ditutupi. Aku mempersilahkan dia duduk di sofa yang kutunjuk di ruangan pribadiku. "Mas Rafli sudah menghubungimu, 'kan?" tanyanya penuh percaya diri. Aku tak menanggapi pertanyaannya. "Aku minta maaf. Tolong jangan perpanjang urusan ini. Aku
"Kau benar-benar wanita tak tahu diri. Hubungan pertemananku dengan Mas Rafli jauh sebelum kamu memasuki kehidupannya. Mengapa sekarang kau seolah berusaha menjauhkan posisi kami? Memang wanita dari kalangan rendahan selamanya tak akan mampu memahami gaya pertemanan kalangan atas. Kau berbeda sekali dengan Wita. Dia sangat membebaskan suaminya bergaul dengan siapapun tanpa adanya rasa cemburu yang berlebihan. Ya… Aku tahu. Sikapmu yang berlebihan itu karena kau yang tak berharga itu takut di tinggal oleh Mas Rafli hingga kau over protektif seperti ini. Sayangnya kau justru terlihat konyol dan tak berkelas sama sekali." Wajah cantiknya menyunggingkan senyum penuh kemenangan setelah mengucapkan kalimat itu untukku. Aku menetralkan emosi yang menggelegak tak terkontrol. "Kalau boleh tahu, seperti apa gaya pertemanan kalangan atas? Tak saling menjaga privasi, bebas melakukan apapun tanpa dibatasi norma dan adab, termasuk saling bertukar suami seperti yang dilakukan oleh sahabatmu itu?
Silvi Tak Main-MainAku melirik Mas Rafli yang tengah menerima panggilan. Wajahnya nampak berkerut. Entah siapa yang menghubunginya hingga dia bereaksi seperti itu. Aku yang tengah membuka beranda aplikasi layar biru tak berani bertanya siapa yang berada di ujung panggilan. "Sayang, Silvi tadi ke resto sebelum aku menjemputmu?" tanyanya. Aku mengangguk. Memang tadi aku tak memberitahu dirinya bahwa wanita itu nekat mendatangi tempat usahaku. Mas Rafli mendekat dan mengangkat wajahku agar tepat berhadapan dengannya. Matanya membesar seiring tangannya menyentuh dahiku. "Apakah tanda luka ini karena kelakuannya?" Aku mengalihkan tangan Mas Rafli dari dahiku. Aku tak menyadari apakah bekas lemparan botol mineral itu terlihat jelas di sana. Memang rasanya agak nyeri, kalau sampai ternyata meninggalkan bekas aku tak memperhatikannya. "Apa yang dia lakukan?!" todongnya. Aku bisa melihat tatapannya begitu mengkhawatirkanku. Tangannya meraih kedua pipiku hingga kurasakan hangat menjalar ke
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa