[ Wahai wanita gatal, ada kepentingan apa ingin bertemu suamiku? ] Pesan berubah biru seketika. Setelah itu satu per satu pesan yang dia kirimkan mulai dihapus. Aku tersenyum licik. Kukirimkan sceenshootan yang tadi sudah kuambil. Kita lihat apa reaksi wanita itu. [ Kurang ajar. Kau mengerjaiku?! Apa maumu? Jangan macam-macam! ] Kelihatannya dia mulai panik. Tentu saja hanya kubaca pesan bernada kekhawatiran itu tanpa langsung kujawab. Kubayangkan wanita tersebut duduk di pojokan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku yakin dia tengah kelabakan karena aku sudah menyimpan bukti keusilannya menganggu suamiku. [ Mbak. Mohon dihapus screenshootannya. Aku janji nggak akan ke kantor Mas Rafli] Akhirnya dia mengirim pesan bernada pasrah. Lagi-lagi kubiarkan pesan tersebut setelah membacanya. Disaat yang bersamaan pesanan di aplikasi menunjukkan waktu pengantaran. Aku berjalan ke ruang tengah dan meminta Mas Rafli bersiap menunggu kurir yang mengantar makanan tersebut. [ Mbak ]
Akibat Berani Mengusikku"Kamu ngechat Silvi pakai hpku?" tanya Mas Rafli melalui sambungan telepon. Aku yang tengah berada di balik mesin kasir restoran cukup kaget saat Mas Rafli menghubungiku dan langsung menanyakan hal itu. Bahkan dia lupa menanyakan hal lain yang biasanya dia lakukan. Aku menarik napas cukup panjang dan bersiap menjelaskan pada suamiku. Bagaimana pun dia harus tahu karena aku telah memakai ponselnya tanpa meminta izin. "Silvi menghubungimu, Mas?" tanyaku balik bertanya. Kudengar suara tangis yang tak jauh dari posisi suamiku. Hatiku langsung panas menyadari siapa yang tengah berada dengan suamiku. "Sayang, Silvi ke kantorku. Dia mengatakan…," ucap Mas Rafli menggantung. Aku yakin dia mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan hingga ragu untuk menyampaikannya padaku. "Apa, Mas? Apa yang wanita itu katakan?" tantangku padanya. Aku ingin tahu reaksi Mas Rafli jika ada orang yang berkata tidak-tidak mengenai istrinya. "Vinda, apapun yang dia katakan aku lebih mem
"Vinda. Ibu minta maaf atas segala kejadian tak mengenakkan di masa lalu," ucapnya terlihat penuh penyesalan. Ada ragu yang harus cepat-cepat kututupi mengingat selama ini dia tak pernah menunjukkan rasa sukanya padaku. Bahkan dengan sangat terang-terangan dia meminta anaknya menceraikanku karena aku bukan memenuhi kriteria menantu yang diinginkannya. "Vinda. Mungkin kau sudah mendengar kabar mengenai kondisi keluarga kami saat ini. Bapakmu saat ini sakit, kondisinya amat buruk." Bapakmu? Sejak kapan laki-laki yang memiliki perangai amat buruk dengan ego yang luar biasa itu mengaku aku sebagai anaknya? Bahkan kalimat penghinaan itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Sifat sombongnya yang tak ada lawan pun semakin mengukuhkannya menjadi laki-laki paling arogan yang pernah kukenal. Bahkan selama aku menjadi menantunya saja tak pernah kudapatkan perlakuan manusiawi. Lalu kini dengan sangat percaya diri dia menyebut suaminya sebagai bapakku? Rasanya aku ingin mengingatkannya mengena
"Tolong Vinda. Hanya kamu harapan Ibu satu-satunya. Jika saja Galih tak menghianati Soraya karena digoda oleh Mita… .""Bu. Tidak hanya Mita yang salah dalam hal ini. Mas Galih juga salah. Jangan menyalahkan orang lain sementara anak sendiri selalu Ibu bela. Selingkuh itu perbuatan dua orang. Dua-duanya juga harus disalahkan. Seperti aku dulu menyalahkan Mas Galih dan Soraya karena perbuatan jahat mereka. Bahkan orang-orang di sekitar yang mendukung perselingkuhan mereka pun kusalahkan. Ibu lihat hasilnya saat ini, sesuatu yang diawali dengan menyakiti perasaan orang lain maka tak akan ada keberkahan di dalamnya. Dan sekarang Ibu merasa bersalah pada Soraya hingga tak mau meminta tolong padanya, lalu mengapa padaku Ibu tak terkesan merasa bersalah sedikit pun? Bahkan dengan percaya diri Ibu meminta sesuatu yang selamanya tak akan kukabulkan. Maaf, Bu. Dengan sangat tegas aku menolak meminta tolong suamiku untuk membantu kebebasan Mas Galih. Dia layak berada di tempatnya saat ini. Du
Pelajaran Pertama Untuk Silvi "Dia kenapa? Kok bisa-bisanya minta uang padamu?" Kutatap wajah penuh make up di depanku. Wajah yang tadi malam sempat ingin kucakar-cakar karena chat busuknya itu berada tepat di hadapanku. "Kau tahu, wanita itu sekarang jatuh miskin. Suaminya saat ini terkenal stroke. Tak bisa beranjak dari manapun tanpa dibantu. Untuk berobat saja tak mampu. Sedangkan mantan suamiku saat ini berada di dalam bui karena dilaporkan oleh istrinya akibat selingkuh! Karirnya hancur, jadi narapidana pula! Kau lihat, seperti itulah nasib orang-orang yang berani mengusik kehidupanku!" Aku menyeringai seiring terbitnya wajah pucat wanita gatal itu. "Aku minta waktumu sebentar," ucapnya dengan wajah gugup yang terlihat sekali berusaha ditutupi. Aku mempersilahkan dia duduk di sofa yang kutunjuk di ruangan pribadiku. "Mas Rafli sudah menghubungimu, 'kan?" tanyanya penuh percaya diri. Aku tak menanggapi pertanyaannya. "Aku minta maaf. Tolong jangan perpanjang urusan ini. Aku
"Kau benar-benar wanita tak tahu diri. Hubungan pertemananku dengan Mas Rafli jauh sebelum kamu memasuki kehidupannya. Mengapa sekarang kau seolah berusaha menjauhkan posisi kami? Memang wanita dari kalangan rendahan selamanya tak akan mampu memahami gaya pertemanan kalangan atas. Kau berbeda sekali dengan Wita. Dia sangat membebaskan suaminya bergaul dengan siapapun tanpa adanya rasa cemburu yang berlebihan. Ya… Aku tahu. Sikapmu yang berlebihan itu karena kau yang tak berharga itu takut di tinggal oleh Mas Rafli hingga kau over protektif seperti ini. Sayangnya kau justru terlihat konyol dan tak berkelas sama sekali." Wajah cantiknya menyunggingkan senyum penuh kemenangan setelah mengucapkan kalimat itu untukku. Aku menetralkan emosi yang menggelegak tak terkontrol. "Kalau boleh tahu, seperti apa gaya pertemanan kalangan atas? Tak saling menjaga privasi, bebas melakukan apapun tanpa dibatasi norma dan adab, termasuk saling bertukar suami seperti yang dilakukan oleh sahabatmu itu?
Silvi Tak Main-MainAku melirik Mas Rafli yang tengah menerima panggilan. Wajahnya nampak berkerut. Entah siapa yang menghubunginya hingga dia bereaksi seperti itu. Aku yang tengah membuka beranda aplikasi layar biru tak berani bertanya siapa yang berada di ujung panggilan. "Sayang, Silvi tadi ke resto sebelum aku menjemputmu?" tanyanya. Aku mengangguk. Memang tadi aku tak memberitahu dirinya bahwa wanita itu nekat mendatangi tempat usahaku. Mas Rafli mendekat dan mengangkat wajahku agar tepat berhadapan dengannya. Matanya membesar seiring tangannya menyentuh dahiku. "Apakah tanda luka ini karena kelakuannya?" Aku mengalihkan tangan Mas Rafli dari dahiku. Aku tak menyadari apakah bekas lemparan botol mineral itu terlihat jelas di sana. Memang rasanya agak nyeri, kalau sampai ternyata meninggalkan bekas aku tak memperhatikannya. "Apa yang dia lakukan?!" todongnya. Aku bisa melihat tatapannya begitu mengkhawatirkanku. Tangannya meraih kedua pipiku hingga kurasakan hangat menjalar ke
"Jangan bertindak sendirian. Kau itu punya aku, apalagi menghadapi wanita seperti Silvi," ucapnya sambil merebahkan diri di pangkuanku. Rambutnya yang wangi menthol membuatku tergerak untuk menciumnya lekat-lekat. "Mas. Apakah yang Silvi katakan saat berada di kantormu?" tanyaku pelan. "Sudahlah. Jangan membahas sesuatu yang nantinya akan membuatmu terganggu. Yang jelas apapun yang dia katakan, aku lebih mempercayaimu.""Mas, please. Aku ingin tahu bagaimna si jalang itu mengadu pada mantan pacarnya.""Vinda…Mas bilang tak usah membahas wanita itu lagi. Kupastikan juga untuk menghindarinya. Tapi tenang saja, perlakuannya padamu tak akan kubiarkan bebas begitu saja. Setidaknya dia tak akan berani macam-macam denganmu. Kau wanitaku, tak boleh ada yang melukaimu sedikit pun," ucapnya sungguh-sungguh. "Mas… ," ucapku masih belum menyerah. Aku memang sangat penasaran bagaimana versi wanita itu mengenai perseteruan kami saat berbalas pesan melalui whatsapp."Dia mengatakan kau menerorny