Pelajaran Pertama Untuk Silvi "Dia kenapa? Kok bisa-bisanya minta uang padamu?" Kutatap wajah penuh make up di depanku. Wajah yang tadi malam sempat ingin kucakar-cakar karena chat busuknya itu berada tepat di hadapanku. "Kau tahu, wanita itu sekarang jatuh miskin. Suaminya saat ini terkenal stroke. Tak bisa beranjak dari manapun tanpa dibantu. Untuk berobat saja tak mampu. Sedangkan mantan suamiku saat ini berada di dalam bui karena dilaporkan oleh istrinya akibat selingkuh! Karirnya hancur, jadi narapidana pula! Kau lihat, seperti itulah nasib orang-orang yang berani mengusik kehidupanku!" Aku menyeringai seiring terbitnya wajah pucat wanita gatal itu. "Aku minta waktumu sebentar," ucapnya dengan wajah gugup yang terlihat sekali berusaha ditutupi. Aku mempersilahkan dia duduk di sofa yang kutunjuk di ruangan pribadiku. "Mas Rafli sudah menghubungimu, 'kan?" tanyanya penuh percaya diri. Aku tak menanggapi pertanyaannya. "Aku minta maaf. Tolong jangan perpanjang urusan ini. Aku
"Kau benar-benar wanita tak tahu diri. Hubungan pertemananku dengan Mas Rafli jauh sebelum kamu memasuki kehidupannya. Mengapa sekarang kau seolah berusaha menjauhkan posisi kami? Memang wanita dari kalangan rendahan selamanya tak akan mampu memahami gaya pertemanan kalangan atas. Kau berbeda sekali dengan Wita. Dia sangat membebaskan suaminya bergaul dengan siapapun tanpa adanya rasa cemburu yang berlebihan. Ya… Aku tahu. Sikapmu yang berlebihan itu karena kau yang tak berharga itu takut di tinggal oleh Mas Rafli hingga kau over protektif seperti ini. Sayangnya kau justru terlihat konyol dan tak berkelas sama sekali." Wajah cantiknya menyunggingkan senyum penuh kemenangan setelah mengucapkan kalimat itu untukku. Aku menetralkan emosi yang menggelegak tak terkontrol. "Kalau boleh tahu, seperti apa gaya pertemanan kalangan atas? Tak saling menjaga privasi, bebas melakukan apapun tanpa dibatasi norma dan adab, termasuk saling bertukar suami seperti yang dilakukan oleh sahabatmu itu?
Silvi Tak Main-MainAku melirik Mas Rafli yang tengah menerima panggilan. Wajahnya nampak berkerut. Entah siapa yang menghubunginya hingga dia bereaksi seperti itu. Aku yang tengah membuka beranda aplikasi layar biru tak berani bertanya siapa yang berada di ujung panggilan. "Sayang, Silvi tadi ke resto sebelum aku menjemputmu?" tanyanya. Aku mengangguk. Memang tadi aku tak memberitahu dirinya bahwa wanita itu nekat mendatangi tempat usahaku. Mas Rafli mendekat dan mengangkat wajahku agar tepat berhadapan dengannya. Matanya membesar seiring tangannya menyentuh dahiku. "Apakah tanda luka ini karena kelakuannya?" Aku mengalihkan tangan Mas Rafli dari dahiku. Aku tak menyadari apakah bekas lemparan botol mineral itu terlihat jelas di sana. Memang rasanya agak nyeri, kalau sampai ternyata meninggalkan bekas aku tak memperhatikannya. "Apa yang dia lakukan?!" todongnya. Aku bisa melihat tatapannya begitu mengkhawatirkanku. Tangannya meraih kedua pipiku hingga kurasakan hangat menjalar ke
"Jangan bertindak sendirian. Kau itu punya aku, apalagi menghadapi wanita seperti Silvi," ucapnya sambil merebahkan diri di pangkuanku. Rambutnya yang wangi menthol membuatku tergerak untuk menciumnya lekat-lekat. "Mas. Apakah yang Silvi katakan saat berada di kantormu?" tanyaku pelan. "Sudahlah. Jangan membahas sesuatu yang nantinya akan membuatmu terganggu. Yang jelas apapun yang dia katakan, aku lebih mempercayaimu.""Mas, please. Aku ingin tahu bagaimna si jalang itu mengadu pada mantan pacarnya.""Vinda…Mas bilang tak usah membahas wanita itu lagi. Kupastikan juga untuk menghindarinya. Tapi tenang saja, perlakuannya padamu tak akan kubiarkan bebas begitu saja. Setidaknya dia tak akan berani macam-macam denganmu. Kau wanitaku, tak boleh ada yang melukaimu sedikit pun," ucapnya sungguh-sungguh. "Mas… ," ucapku masih belum menyerah. Aku memang sangat penasaran bagaimana versi wanita itu mengenai perseteruan kami saat berbalas pesan melalui whatsapp."Dia mengatakan kau menerorny
Membiarkanmu Menang SesaatAku turun dari mobil Mas Rafli di depan pintu gerbang rumah ibu mertuaku. Dia tak bisa ikut turun karena pekerjaan yang memburunya. Ada sedikit masalah yang membelit usahanya terkait izin proyek pendirian minimarket barunya. "Mungkin aku tak bisa menjemputmu dalam waktu dekat. Tinggallah lebih lama di rumah ibu. Zayn dan Ziyan biar kuhubungi sekolahnya untuk mengantar mereka ke rumah," titah suamiku. Sebenarnya agak ribet kalau aku tak menggunakan mobil sendiri. Tetapi Mas Rafli bersikeras melarangku. "Zoya…baik-baik sama Bunda, jangan nakal." Mas Rafli melambaikan tangannya pada putri kecil kami. Zoya tersenyum sambil memandangi mobil Mas Rafli melaju pelan meninggalkan kami. Aku segera masuk ke halaman rumah ibu. Hawa sejuk karena penataan tanaman yang brilian semakin membuat lahan yang cukup luas itu sangat memanjakan mata. Tiba-tiba mataku fokus menyadari sebuah mobil yang asing bagiku sudah terparkir tepat di halaman rumah ibu. Aku tak pernah meliha
"Assalamu'alaikum." Ucapan salam dariku cukup membuat semua orang yang ada di sana terperangah. Tatapan mataku fokus pada ibu yang terlihat sedikit tak nyaman. Dewi mulai mendekati anaknya yang bermain dengan dua anak yang lebih tua dirinya. Sementara Silvi, dia memandangku dengan tatapan meremehkan. Senyumannya yang tak simetris cukup membuatku menyadari dia memang sedang berusaha menjatuhkan mentalku. "Ah Zoya… eyang kangen betul dengan anak cantik ini." Ibu meraih Zoya dalam pelukannya dan menciumi pipi manis anak itu. "Wah… ini anak gadisnya ayah Rafli ya? Cantik sekali. Beruntung sekali Mas Rafli. Baru menikah sudah dapat hadiah anak segede ini," ucap Silvi penuh basa-basi. Aku sangsi mulut itu betul-betul mengucapkan kalimat pujian atau justru sindiran mengenai statusku yang seorang janda beranak tiga saat dinikahi Mas Rafli. Dewi tak berucap banyak, hanya saja dari sikapnya dapat terlihat sekali dia berusaha menghindari tatapan mata denganku. Kubiarkan Dewi melakukan hal yan
"Zoya datang kemari tak membawa mainan apapun. Dia yang bergabung dengan Tiara, Zanita dan Kinan yang sudah asyik bermain bersama sebelum kedatangannya. Mengapa jadi anakku saja yang disalahkan? Anak ini juga pantas disalahkan. Nggak tahu sopan santun! Punya orang main embat saja!" lanjutnya sambil menatap murka anakku. Zoya amat ketakutan dengan tingkah tantenya. Aku pun kaget dengan reaksi yang diperlihatkan Dewi. "Dewi! Ibu dari tadi juga memperhatikan mereka bermain. Tadi Tiara tak mempermasalahkan Zoya memainkan boneka yang tak digunakan. Mengapa sekarang dia jadi seculas itu?" "Ibu! Bela terus Zoya dan ibunya! Ingat, Bu! Dia bukan cucu kandung Ibu! Dia cuma anak tiri Mas Rafli. Tak seharusnya Ibu memperlakukannya bak ratu yang selalu dibela. Anak ini juga harus diajari sopan santun. Jangan menginginkan barang yang bukan punyanya! Dia harus tahu diri! Jangan seperti ibunya!" Plak. Sebuah tamparan cukup keras mendarat di pipi Dewi. Ibu melayangkan tangan kanannya dengan cukup
SyokHari ini aku membulatkna tekad untuk mendatangi Silvi di rumahnya. Setelah pertemuan kami minggu kemarin di rumah ibu mertuaku, hampir tiap malam dia mengirimi pesan yang membuatku muak dan mual sekaligus. Belum lagi status whatsapp Dewi yang juga menyindirku dengan berbagai perumpamaan. Sungguh aku tak menyangka adik kandung Mas Rafli itu kurang atau bahkan tidak menyukaiku. Entah dari kapan, karena selama ini kami jarang sekali bertemu. Bahkan Mas Rafli dan Mbak Fatma kompak menanyaiku atas status yang dibuat oleh Dewi tersebut. Bukan hal yang sulit menebak siapa orang yang disindir dalam berbagai kalimat yang diunggah Dewi. Karena hubungannya dengan Mbak Fatma amat baik, tentu saja ketika dia menyebut ipar tak tahu malu seluruh praduga akan mengarah padaku. Bahkan dengan begitu frontalnya Dewi membuat status yang terlihat betul serangannya terhadapku. "Vin. Kamu ada masalah apa dengan Dewi? Mengapa status yang dia bagikan seperti ini?" Mas Rafli menyodorkanku sebait kalima