"Assalamu'alaikum." Ucapan salam dariku cukup membuat semua orang yang ada di sana terperangah. Tatapan mataku fokus pada ibu yang terlihat sedikit tak nyaman. Dewi mulai mendekati anaknya yang bermain dengan dua anak yang lebih tua dirinya. Sementara Silvi, dia memandangku dengan tatapan meremehkan. Senyumannya yang tak simetris cukup membuatku menyadari dia memang sedang berusaha menjatuhkan mentalku. "Ah Zoya… eyang kangen betul dengan anak cantik ini." Ibu meraih Zoya dalam pelukannya dan menciumi pipi manis anak itu. "Wah… ini anak gadisnya ayah Rafli ya? Cantik sekali. Beruntung sekali Mas Rafli. Baru menikah sudah dapat hadiah anak segede ini," ucap Silvi penuh basa-basi. Aku sangsi mulut itu betul-betul mengucapkan kalimat pujian atau justru sindiran mengenai statusku yang seorang janda beranak tiga saat dinikahi Mas Rafli. Dewi tak berucap banyak, hanya saja dari sikapnya dapat terlihat sekali dia berusaha menghindari tatapan mata denganku. Kubiarkan Dewi melakukan hal yan
"Zoya datang kemari tak membawa mainan apapun. Dia yang bergabung dengan Tiara, Zanita dan Kinan yang sudah asyik bermain bersama sebelum kedatangannya. Mengapa jadi anakku saja yang disalahkan? Anak ini juga pantas disalahkan. Nggak tahu sopan santun! Punya orang main embat saja!" lanjutnya sambil menatap murka anakku. Zoya amat ketakutan dengan tingkah tantenya. Aku pun kaget dengan reaksi yang diperlihatkan Dewi. "Dewi! Ibu dari tadi juga memperhatikan mereka bermain. Tadi Tiara tak mempermasalahkan Zoya memainkan boneka yang tak digunakan. Mengapa sekarang dia jadi seculas itu?" "Ibu! Bela terus Zoya dan ibunya! Ingat, Bu! Dia bukan cucu kandung Ibu! Dia cuma anak tiri Mas Rafli. Tak seharusnya Ibu memperlakukannya bak ratu yang selalu dibela. Anak ini juga harus diajari sopan santun. Jangan menginginkan barang yang bukan punyanya! Dia harus tahu diri! Jangan seperti ibunya!" Plak. Sebuah tamparan cukup keras mendarat di pipi Dewi. Ibu melayangkan tangan kanannya dengan cukup
SyokHari ini aku membulatkna tekad untuk mendatangi Silvi di rumahnya. Setelah pertemuan kami minggu kemarin di rumah ibu mertuaku, hampir tiap malam dia mengirimi pesan yang membuatku muak dan mual sekaligus. Belum lagi status whatsapp Dewi yang juga menyindirku dengan berbagai perumpamaan. Sungguh aku tak menyangka adik kandung Mas Rafli itu kurang atau bahkan tidak menyukaiku. Entah dari kapan, karena selama ini kami jarang sekali bertemu. Bahkan Mas Rafli dan Mbak Fatma kompak menanyaiku atas status yang dibuat oleh Dewi tersebut. Bukan hal yang sulit menebak siapa orang yang disindir dalam berbagai kalimat yang diunggah Dewi. Karena hubungannya dengan Mbak Fatma amat baik, tentu saja ketika dia menyebut ipar tak tahu malu seluruh praduga akan mengarah padaku. Bahkan dengan begitu frontalnya Dewi membuat status yang terlihat betul serangannya terhadapku. "Vin. Kamu ada masalah apa dengan Dewi? Mengapa status yang dia bagikan seperti ini?" Mas Rafli menyodorkanku sebait kalima
Rencanaku harus kualihkan karena dia sedang keluar bersama Silvi dan dua anak mereka. Entahlah, mungkin itu agenda mereka saat sang ayah yang harus berpisah jarak itu pulang. Bagaimanapun aku harus mempertimbangkan psikologis anak-anak mereka yang pasti juga butuh kasih sayang ayahnya. Sudahlah, mungkin aku harus menyabarkan diriku beberapa saat. Kebetulan hari ini Melda meminta bertemu denganku. Dia yang akan menikah bulan depan meminta saran padaku beberapa printilan yang harus disiapkan menjelang hari bahagianya. Melalui perdebatan cukup alot dengan suami, akhirnya Mas Rafli memperbolehkan aku membawa mobil. Tentu saja dia memberi persyaratan berderet-deret yang hanya kujawab dengan anggukan kepala. Kafe yang dipilih Melda terletak tak jauh dari rumahku. Mungkin pemilihan tempat ini sebagian tempat kami janjian karena dia melihat kondisiku yang mulai kesusahan untuk menyetir jarak jauh. Sebenarnya tadi dia menawariku untuk menjemput. Aku menolaknya, karena aku punya rencana lain
"Mantan istrinya Mas Rafli apa kabar? Sudah sembuh mentalnya?" tanya Melda kembali membahas hal lain. Aku mendecak tak suka. Memang aku sedang malas membahas apapun yang membuatku moodku hancur. "Sudahlah. Aku malas membahas apapun yang membuat mentalku terguncang. Fokus saja dengan persiapanmu. Jangan sampai kisahku dan Mas Rafli bersama para mantan itu memberi pengalaman burukmu. Aku takut kisah kami yang ruwet ini memberi dampak ke alam bawah sadarmu. Cukup kami yang merasakan, kamu jangan. Berat." Setelahnya kami tertawa bersamaan. Kalimat yang kuucapkan memang mirip dengan kalimat seorang tokoh saat menggombali kekasihnya. Rasanya memang lucu kami yang sudah seusia ini membahas sesuatu yang bersifat kekanakan seperti itu. "Aduh, Vin. Maaf sekali, aku harus segera pulang. Ibunya Mas Aldo ngajak ketemuan di toko kain. Ada tambahan anggota keluarga yang harus diberi kain untuk acara nanti. Nggak papa aku duluan?" tanya Melda dengan raut penyesalan. "Tak masalah. Aku juga ada aca
Kecurangan Silvi Terungkap"Vinda?!" ucap laki-laki yang berada di sebelah Silvi. Aku mengingat-ingat wajah itu. Beberapa saat aku terpaku di tempat sebelum akhirnya menyadari sesuatu yang membuat jantungku bekerja lebih cepat. "Mas Tara?" Kini pandanganku ke arah Silvi yang tak kalah syok. "Jadi… Mas Dirga suamimu itu… Mas Tara?Dirgantara?!" Silvi semakin terlihat panik. Kurasakan wajahku mengembang sempurna. Aku yakin Silvi berada di genggamanku kali ini. Mas Tara atau yang Silvi memanggilnya Mas Dirga itu mempersilahkan aku duduk di sebelah anak-anaknya. Sekadar berbasa-basi aku mencoba beramah tamah dengan kedua anak Silvi tersebut. "Vinda. Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu lagi. Rasanya mustahil sekali bisa menemukanmu setelah belasan tahun berlalu. Kau tahu, aku dan keluargaku sangat kesulitan mencari jejak keluargamu. Sungguh kalian seperti hilang pindah ke alam lain, tak ada jejak sama sekali yang mengarahkan kami untuk menemukan kalian." Mas Dirga bahkan tak segan mera
"Ini yang membuatku malas pulang. Kau menuntutku terlalu banyak! Aku lelah menghadapimu!" Kalimat Mas Tara untuknya membuatku sedikit banyak mengetahui kehidupan seperti apa yang tengah mereka jalani. "Kau kelewatan, Mas. Bahkan kau merendahkan harga diriku di depan wanita tak tahu diri ini!" Silvi menunjuk ke arahku. Mata merahnya menatapku dengan penuh amarah. "Ada apa kau ini? Jangan bilang kau punya masalah dengan Vinda. Meski kau ini masih istriku, tetapi aku tahu persis Vinda. Aku yakin sumber masalahnya berada di tanganmu.""Jangan kelewatan, Mas. Aku tak suka kamu dekat-dekat dengannya. Dia itu racun. Aku takut kau terkena pengaruh buruk darinya!" Wanita itu kembali menunjukkan tangannya ke arahku. Aku hanya diam, mendengar pertikaian sepasang suami istri ini.Terlihat tak berperasaan memang, tetapi sakit hatiku pada Silvi yang sudah menganggu rumah tanggaku dan menjauhkanku pada keluarga suamiku membuat akal sehat serta nuraniku berhenti bekerja. "Apakah lebih baik aku pul
Sebuah Kebenaran "Mas?! Tolong. Ada Zanita dan Kinan. Jangan perdengarkan anak kalian mengenai urusan orang dewasa. Tolong selesaikan masalah ini di rumah," ucapku sebelum berlalu. Sempat kulihat kedua anak perempuan Mas Tara dan Silvi menitikkan air mata karena ketakutan melihat orang tuanya saling berkata keras. "Aku dan Karina sepakat ke dokter. Tidak hanya satu dokter saja. Lima sekaligus kudatangi demi meyakinkan diriku. Kau tahu apa vonisnya padaku? Aku divonis tak bisa memiliki keturunan. Tak ada kemungkinan sama sekali. Jika aku divonis seperti itu, lalu anak siapa mereka itu?" Kalimat Mas Tara membuatku menghentikan langkah. Seketika bumi yang kupijak berputar lebih cepat. Kupaksakan diri untuk menoleh. Kedua orang itu masih saling melayangkan tatapan penuh kebencian. Yang tak kalah membuat miris adalah kedua anak mereka saling memeluk satu sama lain. "Mas! Bicarakan ini di rumah. Apa kalian berdua tak punya otak hingga membicarakan aib di tempat umum seperti ini?!" ucapk
PERNIKAHAN Pernikahan yang cukup sederhana itu digelar di halaman belakang rumah Soraya yang megah. Tak ada pesta seperti kebanyakan orang dari kalangan atas, kali ini yang terlihat justru kesakralan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Soraya mengenakan baju pengantin berwarna putih dengan penutup kepala yang terlihat cantik menutupi rambutnya. Wanita itu tersenyum hangat pada kerabat yang datang menemuinya untuk memberi selamat.Tak ada keangkuhan sama sekali dari wajahnya. Wanita itu seolah terlahir sebagai sosok yang baru dalam kehidupannya. Sang Ibu, berkali-kali menyusut air mata yang mengalir tanpa henti di pipi. Dia tak menyangka anaknya akan menemukan tambatan hati dengan cara yang tak terduga sebelumnya.Laki-laki yang kini duduk sambil menggenggam tangannya itu pun terlihat bahagia. Salman, laki-laki yang merupakan teman sekolah anaknya saat duduk di bangku SMA itu ternyata diam-diam menyimpan perasaan khusus pada Soraya. Dokter yang pernah merawat luka-luka Soraya sa
SALMAN "Apakah aku menganggu?" "Langsung saja. Kau membuntutiku? Bagaimana bisa kau tahu aku di sini sedangkan aku tak memberitahu siapapun." Kuberanikan membalas tatapannya. Aku ingin mendengar jawaban darinya. Kota ini luas. Amat luas. Itulah yang membuatku yakin bahwa pertemuan kami kali ini bukanlah sebuah kebetulan. Amat sangat dipaksakan jika aku percaya seandainya Salman beralasan bahwa kedatangannya ke kafe ini hanya sebuah kebetulan semata. "Aku tidak suka dibuntuti seperti ini. Jangan beralasan bahwa kedatanganmu kemari hanya sebuah kebetulan. Aku tidak sebodoh itu ,dokter Salman." Sengaja kutekan kata 'dokter Salman' di akhir kalimatku. Kami memang berteman sudah cukup lama. Meski selepas Sekolah menengah atas aku tak pernah tahu lagi bagaimana kabarnya. Pertemuan kami diawali kembali sejak dia sudah bertugas sebagai seorang dokter di rumah sakit yang kudatangi. Sejak itulah aku seringkali bertemu dengannya. "Kenapa tak balas pesan dariku? Kau hanya membacanya tanpa be
MENEPI Perceraian Ayah dan Ibu membuat kabar mengejutkan semua orang. Siapa yang tak mengenal ayah, dia anggota dewan yang cukup disegani di kota ini. Bahkan dia sudah bersiap mencalonkan di bursa pemilihan kepala daerah tahun besok. Berita tersebut mewarnai pemberitaan lokal kota ini. Aku tak ambil pusing lagi. Penghianatan Ayah sudah tak bisa dimaafkan. Bagaimana dia setelah ini, aku berusaha tak peduli. Itu urusannya bersama Linda. Wanita yang dia gadang-gadang sebagai wanita idaman yang sesuai dengan impiannya. Aku hanya berkewajiban menjaga Ibu agar kejiwaannya tidak terguncang akibat perceraian ini. Sementara hidupku, aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa sekolahku sungguh berbeda dengan sekolahku sebelumnya. Aku terbiasa melihat anak-anak berlarian saat guru sudah ada di dalam ruangan.Aku mulai berdamai dan bertekad memperbaiki hidupku. Aku belajar dari kesalahan-kesalahanku. Aku tak ingin mengulangi semua itu. Sekali waktu aku masih mendengar bagaimana kabar orang-ora
“Apapun itu, Soraya. Aku tetap mendukungmu untuk meminta kedua orangtuamu berpisah. Mereka tak akan menjadi keluarga yang utuh, terlebih ayahmu amat menyayangi wanita itu. Ada anak pula di antara mereka. Aku hanya kasihan pada ibumu jika terus-menerus bertahan dalam pernikahan yang sudah tak sejalan.” Akhirnya Kiran mengurai pendapatnya yang sama denganku. Wanita itu menatapku lekat-lekat. “Dukunglah ibumu, Soraya. Kau memang gagal menjadi wanita dan istri yang baik, tetapi aku yakin kau tak akan pernah gagal menjadi anak yang baik untuk kedua orangtuamu.” Hatiku bergetar mendengar kalimat bijak Kiran. Benar, aku memang sudah gagal menjadi seorang wanita. Aku gagal menjaga dan mempertahankan harga diri. Saat menjadi istri Mas Galih pun aku jauh dari kata sempurna. Aku pun mendapatkannya dengan cara yang amat hina. Bodohnya lagi, aku pun mengulangi hal yang sama terhadap Mas Arya dan Mbak Cintya. Aku berusaha menghancurkan rumah tangga mereka meski awalnya aku tak berniat sampai ke
Aku sudah mewanti-wanti pada ARTku agar tak memberi akses Ibu keluar rumah dengan alasan apapun. Dari semalam wanita itu bungkam tak menjawab semua pertanyaan dariku. Aku sungguh khawatir dia akan melakukan hal yang membahayakan dirinya lagi. Aku juga khawatir dia tengah menyiapkan rencana untuk membalas dendam pada Ayah dan istri mudanya. Kupakai sweater warna coklat yang kurasa cocok dengan acara pertemuanku dengan Kiran sore ini. Rintik hujan di luar tak menghalangi niatku untuk untuk segera bertemu dengan temanku itu. Beberapa saat yang lalu Kiran sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di kafe baru yang sudah kami sepakati. Ada hal yang sudah kutugaskan untuknya dan kali ini saatnya dia memberikan laporan. Segila apapun dia, aku tahu untuk hal-hal tertentu dia cukup bisa diandalkan. Tak butuh waktu lama, aku sudah berhasil sampai di parkiran kafe. Entah efek gerimis yang membuat beberapa orang malas keluar atau memang kebetulan sedang sepi hingga membuatku tak perlu mencari pa
Salman membantuku membawa Ibu ke mobil. Laki-laki itu sigap saat melihat Ibu terlihat lemah tak berdaya setelah pengusiran yang dilakukan Ayah. Tadinya aku hampir meledak menanggapi kata-kata kasar dari Ayah untuk ibuku. Tetapi kesadaranku bahwa rumah sakit ini butuh ketenangan, aku mengurungkan niatku. Apalagi Ibu memang pihak yang bersalah dalam hal ini. Semarah apapun dia,tak seharusnya dia menyerang Linda dan mengacau di tempat anak wanita itu dan ayah dirawat. "Pastikan dia aman di rumah dan tidak bepergian. Ayah khawatir dia akan mengulangi hal ini. Ingat, Soraya. Mudah sekali pencari berita menjadikan ini sebagai bahan untuk gorengan mereka di media. Ayah tak akan memaafkan Ibumu jika hal ini sampai terjadi." Aku menghentikan langkah dan memutar tubuhku. Kubiarkan Salman mengambil alih wanita itu dan membawanya keluar terlebih dahulu. "Ayah, tidakkah Ayah sadar orang yang tengah Ayah bicarakan adalah ibuku? Dia istri ayah. Istri pertama Ayah. Dialah wanita yang menemani pe
Sepulang dari membereskan berkas-berkas yang memang harus disiapkan pasca mutasi, aku tak kunjung menemui Ibu di rumah. Asisten rumah tangga yang bekerja di rumahku pun tak tahu kemana perginya wanita itu. Berulang kali kuhubungi ponselnya tak ada tanda-tanda ibu mengangkat panggilannya. Terpaksa aku hubungi Ayah bermaksud menanyakan keberadaan Ibu. Meskipun kenyataannya justru aku mendapatkan jawaban yang membuatku bereaksi keras. "Maaf, Soraya. Ayah belum pulang seharian ini. Mungkin nanti malam baru pulang. Adikmu sakit, dia harus dirawat di rumah sakit." Sial! Lagi-lagi ayahku menyebut anak hasil perselingkuhannya itu sebagai adikku tanpa rasa malu. Telingaku berdengung rasanya mendengar Ayah yang amat peduli dengan anak itu. "Yah. Tapi Ibu belum pulang dari pagi!"Tak ada tanggapan apapun sebelum akhirnya Ayah memutuskan panggilanku. Aku benar-benar kecewa pada laki-laki itu. Pantas saja Ibu sefrustasi ini. Sekali lagi kuhubungi Ibu dan hasilnya tetap nihil. Aku benar-bena
Rahang kokoh Ayah makin mengeras saat aku duduk berhadapan dengannya di meja makan. Ibu tak ada di antara kami. Dia langsung menuju ke kamarnya dan tak keluar lagi setelah kepulangannya dari hotel. "Apakah kau dan ibumu yang melakukannya?" tanya Ayah dengan suara baritonnya. Bukan suatu pertanyaan biasa, lebih pada sebuah penghakiman. Cinta laki-laki itu terhadap wanita selingkuhannya telah berhasil membuatnya sedingin itu terhadapku. Kutarik napas dalam-dalam. Pantas saja Ibu sakit hati, nyatanya ayah sudah mulai melalaikan perasaan kami, orang-orang yang selama ini mendukung kariernya. "Apakah Ayah sengaja pulang lebih awal dari biasanya hanya karena ingin menghakimi kami?" Kutatap wajah itu lekat-lekat. Ayah mengusap wajahnya dengan kasar. Kepulan asap dari tembakau yang dihisapnya makin menambah kesan dingin di tengah-tengah perbincangan kami. "Bahkan Linda tidak berbicara apapun setelah kepulangannya. Dia langsung menuju ke arah adikmu karena terlampau mengkhawatirkan anakny
Lututku lemas seketika. Ibu membiatku tergidik ngeri. Buru-buru kututup pintu kembali agar tak terlihat dari luar apa yang tengah terjadi di ruangan yang cukup luas ini. "Astaga, Ibu! Apakah Ibu sudah gila?" Aku menarik tangan Ibu yang tengah mendongakkan wajah wanita yang sudah terlihat ketakutan itu. Tak ada lagi tatapan penuh cinta wanita yang pernah melahirkanku ke dunia. Ibu berubah amat mengerikan. Bahkan aku hampir tak mengenali wanita yang tak pernah berbuat kasar ini. "Bu, Ibu akan mendapatkan masalah. Jangan bertindak bodoh. Negara ini negara hukum, Bu!" Kucoba menyadarkan Ibu agar menghentikan aksinya. Aku beringsut mundur saat kudapati tumpukan rambut yang kusadari itu rambut wanita selingkuhan Ayah yang kuyakin dipangkas paksa oleh Ibu. Gunting berwarna hitam terletak di dekat kaki wanita itu. "Tenang saja. Ibu hanya sedikit bermain-main.""Bu! Kumohon. Hentikan. Aku tak ingin Ibu berurusan dengan polisi. Kumohon, Bu. Ini salah!" Aku memohon pada Ibu sekali lagi. Sa