Sebuah Kebenaran "Mas?! Tolong. Ada Zanita dan Kinan. Jangan perdengarkan anak kalian mengenai urusan orang dewasa. Tolong selesaikan masalah ini di rumah," ucapku sebelum berlalu. Sempat kulihat kedua anak perempuan Mas Tara dan Silvi menitikkan air mata karena ketakutan melihat orang tuanya saling berkata keras. "Aku dan Karina sepakat ke dokter. Tidak hanya satu dokter saja. Lima sekaligus kudatangi demi meyakinkan diriku. Kau tahu apa vonisnya padaku? Aku divonis tak bisa memiliki keturunan. Tak ada kemungkinan sama sekali. Jika aku divonis seperti itu, lalu anak siapa mereka itu?" Kalimat Mas Tara membuatku menghentikan langkah. Seketika bumi yang kupijak berputar lebih cepat. Kupaksakan diri untuk menoleh. Kedua orang itu masih saling melayangkan tatapan penuh kebencian. Yang tak kalah membuat miris adalah kedua anak mereka saling memeluk satu sama lain. "Mas! Bicarakan ini di rumah. Apa kalian berdua tak punya otak hingga membicarakan aib di tempat umum seperti ini?!" ucapk
"Jujur aku sangat menyayangkan sikapku kemarin. Seharusnya aku tak menyampaikan kecurigaanku di depan mereka. Bagaimana pun mereka hanya tau saya sebagai ayahnya." Suara Mas Tara bergetar, aku yakin hal ini cukup berat baginya. Menyayangi dua orang anak sekaligus seperti anak kandung sendiri, berusaha sebaik mungkin menjadi ayah yang baik untuk mereka, nyatanya kenyataan buruk itu tiba-tiba saja menyeruak. Tak tahu sehancur apa hati seorang laki-laki, jika mengetahui wanitanya berkhianat sejauh itu. "Penyesalan memang di akhir, Mas. Seharusnya memang Mas Tara memikirkan hal itu dari awal. Pun sudah kuingatkan di sana, Zanita dan Kinan akan sangat tersakiti, Mas. Entah benih darimana kedua anak tersebut, hanya saja yang mereka tahu Mas Tara adalah ayah mereka," ucapku pelan. Mas Tama memijit keningnya. Aku tahu laki-laki itu tengah bimbang dengan masalah yang menghimpitnya. "Dari dulu aku sudah memintanya untuk turut serta di Kalimantan. Ada saja alasan yang dia kemukakan, aku tahu…
Balasan Untuk Silvi "Kau kaget mendengar ucapanku, bukan? Kau tahu, aku sudah menyuruh orang memata-mataimu. Kau lupa, siapa aku dan keluargaku? Dengan sangat mudah kudapatkan informasi mengenai aktivitasmu, terlebih saat hasil dari dokter itu kudapat. Kalau aku tak meyakinkan diri untuk memeriksakan diri ke dokter, entah sampai kapan kebohonganmu akan terungkap." Silvi jatuh terduduk mendapat serangan dari suaminya."Apakah harus kusampaikan apa saja yang kau lakukan dengan Ardan, suami temanmu Dewi? Bahkan aku tahu kau sengaja menyusul laki-laki itu saat mengikuti pelatihan dari tempat kerjanya. Kau yakin Rafli akan diam saja saat kau bermain-main dengan suami adiknya." Napasku tercekat mendengar pernyataan yang diungkapkan Mas Tara barusan. Sepertinya aku tak percaya dengan kalimatnya itu, terlebih melihat kedekatan Silvi dengan Dewi. Tak mungkin rasanya Silvi yang dianggap seperti seorang kakak oleh Dewi mampu berkhianat separah itu. "M-Mas, jangan asal menuduhku. Tolong, jang
Lututku bergetar, tak bisa lagi berkata-kata. Jika benar Silvi sejahat itu membawa anak-anaknya saat ke hotel untuk bertemu Ardan, sudah kupastikan dia benar-benar ibu yang buruk. Tak ada lagi keistimewaannya sebagai seorang ibu tatkala mempertontonkan tingkah laku yang amat buruk itu pada anak-anaknya. "Bahkan yang lebih gila lagi, kau diam-diam mendatangi rumah mertua Dewi saat mereka tengah berkunjung ke rumah saudara yang menggelar pesta pernikahan . Ardan tak bisa ikut. Dia beralasan akan ada pertemuan penting dengan jajaran petinggi di kantor tempatnya bekerja. Kau mendatangi laki-laki itu di rumahnya saat tak ada orang. Kita bisa bayangkan apa yang selanjutnya mereka berdua lakukan!" "A-apa? Mas. Hentikan…""Lanjutkan, Mas Dirga. Aku ingin tahu apa saja yang sudah dia lakukan dengan suami adikku! Setelah itu baru akan kuputuskan hukuman apa yang akan menimpa mereka berdua selanjutnya. Kupastikan tak akan membiarkan kalian berdua melenggang begitu saja. Bahkan kalian berdua ak
Ancaman dari Silvi"Kita pastikan rekaman ini asli atau bukan di kantor polisi," ucap Mas Rafli dengan penuh keyakinan. Aku menutup mulutku karena teramat kaget dengan langkah yang direncanakannya. "Mas Dirga, bantu aku juga mengatakan hal ini pada ibunya. Aku ingin tahu, apakah wanita sombong itu masih mampu menegakkan wajahnya saat mengetahui anak yang dia banggakan itu berbuat serendah ini." Silvi luruh ke lantai tanpa tenaga. Sayangnya kami yang berada di ruangan itu tak peduli. "Mas Dirga, kau dengar? Dia akan membawaku ke kantor polisi!" Suami Silvi memandang nanar ke arahnya. Sepertinya dia tak tersentuh dengan tangisan wanita itu. "Maaf, Silvi. Aku menyerah. Sudah waktunya aku melepasmu. Benar kata Rafli, kita tinggal memastikan kebenaran video itu di kantor polisi. Dan soal ibumu, aku setuju. Aku pun lelah dengan segala tuntutannya padaku. Dia selalu menuntutku menjadi menantu sempurna untuknya, sementara dia lupa bagaimana mendidik anak perempuannya agar menjadi istri y
Aku meletakkan secangkir kopi untuk Mas Rafli yang masih termenung di balkon rumah kami. Semilir angin cukup memberi ruang yang memudahkan kami bernapas di tengah himpitan masalah yang tengah menimpa. "Mas, diminum kopinya," ucapku perlahan. Kusentuh bahunya dengan lembut. Mas Rafli meraih tanganku dan menautkan jemarinya. Aku tersenyum mencoba memberikan sedikit ketenangan padanya. Aku tahu sekali hatinya tidak baik-baik saja. Perkataan Mas Rafli yang seolah mengabarkan pada Silvi bahwa Dewi tak akan sehancur itu akibat perselingkuhan suaminya hanyalah isapan jempol belaka. Aku yakin dia sangat tahu kondisi adiknya. Betapa Dewi amat tergantung pada laki-laki yang kukira sangat baik itu. "Vinda. Apakah langkah kita sudah benar? Apakah rencana kita melaporkan Silvi tak akan berbalik menghancurkan Dewi?" Benar dugaanku. Mas Rafli tengah meragu dengan rencananya. Kutarik napas perlahan dan bersiap memberikan pendapatku. "Bandingkan jika dia mengetahui dari orang lain. Bayangkan jika
Memberitahu DewiIbu mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Aku dan Mas Rafli memutuskan memberi tahu ibu secepatnya. Kami tahu tipikal ibu, dia akan makin marah jika mengetahui informasi perselingkuhan Ardan dan Silvi dari orang lain. Bisa ditebak bagaiman reaksi wanita itu, dalam diamnya dia menyimpan murka yang siap meledak. Aku saja yang menantu dibelanya sampai titik darah penghabisan, apalagi putri bungsunya. Anak perempuan satu-satunya yang dia miliki. Aku tak tahu rencana apa yang dia miliki, yang pasti Ardan ataupun Silvi berada di fase tidak aman. Aku yakin mereka berdua tak akan tenang setelah ibu mengetahui kebusukkan mereka. Mata ibu menatap datar ke arah depan. Dia tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya lagi. Tangannya meremas ujung sofa warna krem yang didudukinya. Berkali-kali dia terlihat kesulitan menarik napasnya. Tak mudah menerima kenyataan ini, hanya saja tak ada alasan lain selain menghadapinya. Meski Dewi bersikap kurang baik padaku akhir-akhir ini, aku yakin sep
Deg. Hatiku memanas seketika mendengar tuduhannya. Meski bukan kali pertama, namun rasa yang ditimbulkannya tak pernah gagal membuatku sakit. Jika aku boleh jujur, aku ingin memberontak dari keadaan ini. "Jangan menuduh istriku semau mulutmu, Dewi! Dia istriku, kamu harus menghormatinya seperti kau menghormatiku!" teriak Mas Rafli cukup lantang. Aku yang dibelanya hanya bisa mengusap lengannya dengan pelan. "Aku tak ingin sikapmu makin keterlaluan. Sebagai seorang adik, kau sudah cukup memalukan!" Dewi menatap wajah kakaknya dengan mata menantang. Tak ada penyesalan dari sorot matanya."Mas. Apakah kau tak sadar, semenjak ada Mbak Vinda keadaan keluarga kita makin kacau?" Brak. Ibu melemparkan ponselnya tepat di meja. Kami bertiga cukup kaget dengan sikap kerasnya. "Lihat! Kau akan tahu mengapa kami memintamu kemari!" Ibu meminta Dewi melihat video yang sudah dikirimkan Mas Rafli padanya. Dengan tangan bergetar, dia mengambil ponsel milik ibunya. Kulihat dia mulai melihat video