Lututku bergetar, tak bisa lagi berkata-kata. Jika benar Silvi sejahat itu membawa anak-anaknya saat ke hotel untuk bertemu Ardan, sudah kupastikan dia benar-benar ibu yang buruk. Tak ada lagi keistimewaannya sebagai seorang ibu tatkala mempertontonkan tingkah laku yang amat buruk itu pada anak-anaknya. "Bahkan yang lebih gila lagi, kau diam-diam mendatangi rumah mertua Dewi saat mereka tengah berkunjung ke rumah saudara yang menggelar pesta pernikahan . Ardan tak bisa ikut. Dia beralasan akan ada pertemuan penting dengan jajaran petinggi di kantor tempatnya bekerja. Kau mendatangi laki-laki itu di rumahnya saat tak ada orang. Kita bisa bayangkan apa yang selanjutnya mereka berdua lakukan!" "A-apa? Mas. Hentikan…""Lanjutkan, Mas Dirga. Aku ingin tahu apa saja yang sudah dia lakukan dengan suami adikku! Setelah itu baru akan kuputuskan hukuman apa yang akan menimpa mereka berdua selanjutnya. Kupastikan tak akan membiarkan kalian berdua melenggang begitu saja. Bahkan kalian berdua ak
Ancaman dari Silvi"Kita pastikan rekaman ini asli atau bukan di kantor polisi," ucap Mas Rafli dengan penuh keyakinan. Aku menutup mulutku karena teramat kaget dengan langkah yang direncanakannya. "Mas Dirga, bantu aku juga mengatakan hal ini pada ibunya. Aku ingin tahu, apakah wanita sombong itu masih mampu menegakkan wajahnya saat mengetahui anak yang dia banggakan itu berbuat serendah ini." Silvi luruh ke lantai tanpa tenaga. Sayangnya kami yang berada di ruangan itu tak peduli. "Mas Dirga, kau dengar? Dia akan membawaku ke kantor polisi!" Suami Silvi memandang nanar ke arahnya. Sepertinya dia tak tersentuh dengan tangisan wanita itu. "Maaf, Silvi. Aku menyerah. Sudah waktunya aku melepasmu. Benar kata Rafli, kita tinggal memastikan kebenaran video itu di kantor polisi. Dan soal ibumu, aku setuju. Aku pun lelah dengan segala tuntutannya padaku. Dia selalu menuntutku menjadi menantu sempurna untuknya, sementara dia lupa bagaimana mendidik anak perempuannya agar menjadi istri y
Aku meletakkan secangkir kopi untuk Mas Rafli yang masih termenung di balkon rumah kami. Semilir angin cukup memberi ruang yang memudahkan kami bernapas di tengah himpitan masalah yang tengah menimpa. "Mas, diminum kopinya," ucapku perlahan. Kusentuh bahunya dengan lembut. Mas Rafli meraih tanganku dan menautkan jemarinya. Aku tersenyum mencoba memberikan sedikit ketenangan padanya. Aku tahu sekali hatinya tidak baik-baik saja. Perkataan Mas Rafli yang seolah mengabarkan pada Silvi bahwa Dewi tak akan sehancur itu akibat perselingkuhan suaminya hanyalah isapan jempol belaka. Aku yakin dia sangat tahu kondisi adiknya. Betapa Dewi amat tergantung pada laki-laki yang kukira sangat baik itu. "Vinda. Apakah langkah kita sudah benar? Apakah rencana kita melaporkan Silvi tak akan berbalik menghancurkan Dewi?" Benar dugaanku. Mas Rafli tengah meragu dengan rencananya. Kutarik napas perlahan dan bersiap memberikan pendapatku. "Bandingkan jika dia mengetahui dari orang lain. Bayangkan jika
Memberitahu DewiIbu mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Aku dan Mas Rafli memutuskan memberi tahu ibu secepatnya. Kami tahu tipikal ibu, dia akan makin marah jika mengetahui informasi perselingkuhan Ardan dan Silvi dari orang lain. Bisa ditebak bagaiman reaksi wanita itu, dalam diamnya dia menyimpan murka yang siap meledak. Aku saja yang menantu dibelanya sampai titik darah penghabisan, apalagi putri bungsunya. Anak perempuan satu-satunya yang dia miliki. Aku tak tahu rencana apa yang dia miliki, yang pasti Ardan ataupun Silvi berada di fase tidak aman. Aku yakin mereka berdua tak akan tenang setelah ibu mengetahui kebusukkan mereka. Mata ibu menatap datar ke arah depan. Dia tak bisa menyembunyikan rasa kecewanya lagi. Tangannya meremas ujung sofa warna krem yang didudukinya. Berkali-kali dia terlihat kesulitan menarik napasnya. Tak mudah menerima kenyataan ini, hanya saja tak ada alasan lain selain menghadapinya. Meski Dewi bersikap kurang baik padaku akhir-akhir ini, aku yakin sep
Deg. Hatiku memanas seketika mendengar tuduhannya. Meski bukan kali pertama, namun rasa yang ditimbulkannya tak pernah gagal membuatku sakit. Jika aku boleh jujur, aku ingin memberontak dari keadaan ini. "Jangan menuduh istriku semau mulutmu, Dewi! Dia istriku, kamu harus menghormatinya seperti kau menghormatiku!" teriak Mas Rafli cukup lantang. Aku yang dibelanya hanya bisa mengusap lengannya dengan pelan. "Aku tak ingin sikapmu makin keterlaluan. Sebagai seorang adik, kau sudah cukup memalukan!" Dewi menatap wajah kakaknya dengan mata menantang. Tak ada penyesalan dari sorot matanya."Mas. Apakah kau tak sadar, semenjak ada Mbak Vinda keadaan keluarga kita makin kacau?" Brak. Ibu melemparkan ponselnya tepat di meja. Kami bertiga cukup kaget dengan sikap kerasnya. "Lihat! Kau akan tahu mengapa kami memintamu kemari!" Ibu meminta Dewi melihat video yang sudah dikirimkan Mas Rafli padanya. Dengan tangan bergetar, dia mengambil ponsel milik ibunya. Kulihat dia mulai melihat video
Rencana DewiAku melihat Bu Maya, ibu mertua Dewi tengah memeluk tubuh ramping ibu mertuaku. Tangisnya tak terbendung sesaat setelah dia mendengar kisah perselingkuhan anaknya dan Silvi. Wanita itu meraung dan berkali-kali menepuk dadanya dengan keras. Aku sempat khawatir dia jatuh pingsan karena tak sanggup menahan beban yang pasti menghimpit dirinya. Ibu mertuaku duduk tegak dengan tatapan kosong. Wajahnya kaku, seolah percuma membuatnya melunak saat ini. Dewi yang melihat pemandangan antara ibu kandung dan mertua yang amat dicintainya itu duduk sambil memangku Tiara. Beruntung sepertinya anak itu paham dengan kondisi yang sedang terjadi. "Sungguh, Mbak Pur. Saya benar-benar tak menyangka anak yang saya besarkan dengan penuh kasih sayang dan kelembutan itu akan melakukan hal sekotor itu. Saya minta maaf, saya telah gagal. Saya tak bisa mendidiknya dan membuat putrimu tersakiti olehnya. Saya minta maaf, saya tak punya muka lagi sekadar untuk menampakkan wajah di hadapanmu seperti
"Lho, ada Ibu juga?" tanya Ardan sambil mencium tangan ibunya. Dia berusaha menutupi wajah gugupnya. "Dari mana kamu, Ardan?" tanya sang ibu dingin. Ardan mengusap dahinya yang mulai berkeringat. Sementara Silvi, dia terlihat santai duduk di antara kami tanpa ada rasa bersalah sedikit pun. Kedua anaknya terlihat mendekati Tiara yang masih dijaga ketat oleh ibunya. Bahkan kulihat Dewi menghalau tangan Zanita yang akan mengajak Tiara bermain. "Kebetulan pulang kerja Silvi bilang mau ke rumah ambil barang yang masih tertinggal saat liburan kemarin, tetapi di tengah perjalanan Dewi menghubungiku untuk langsung kemari, jadi… ""Jadi… apa?" Bu Maya kembali mencecar anaknya. "Jadi Silvi ikut kemari, Bu. Silvi bilang dia juga sering kemari." Ardan tertunduk memainkan kedua jemarinya. "Kau tak tahu jika pertemuan seperti ini hanya untuk anggota keluarga? Mengapa membawa orang lain? Jangan posisikan dia seolah menjadi bagian dari keluarga ini. Dia bukan siapa-siapa dan selamanya tak akan m
Keputusan Dewi"Apa? Kau bilang khilaf, Mas? Kita melakukannya berulang kali! Kau bilang servisku lebih baik dari Dewi! Dia terlalu kaku di atas ranjang! Kau ingat kata-kata itu yang selalu kau ucapkan!" Ucapan Silvi membuatku mual. Bahkan dia tak mempedulikan lagi harga dirinya. Dewi menepuk dadanya dengan kasar. Aku beringsut mendekatinya dan memberinya bahu untuk bersandar. "Lihatlah, bahkan kau berani mengatakan hal seharasia itu pada wanita ini. Kau berani memandingkan istrimu dnegan wanita lain. Kau sudah gila? Dimana nuranimu sebagai seorang suami dan ayah? Bahkan kau membuat Tiara harus bermain dengan anak pelakor ini? Kau tak takut anakmu akan sangat membencimu?" Bu Maya memberi pertanyaan yang tak mampu dijawab oleh anaknya. "Maaf, Mas. Aku sudah berkorban banyak. Bukankah konsekuensi hubungan ini sudah kita bahas berkali-kali? Bahkan Mas Dirga sudah melayangkan gugatannya untukku. Sekarang tinggal kau melakukannya untuk Dewi! Sampai kapan kita harus sembunyi-sembunyi? Ak