Rencanaku harus kualihkan karena dia sedang keluar bersama Silvi dan dua anak mereka. Entahlah, mungkin itu agenda mereka saat sang ayah yang harus berpisah jarak itu pulang. Bagaimanapun aku harus mempertimbangkan psikologis anak-anak mereka yang pasti juga butuh kasih sayang ayahnya. Sudahlah, mungkin aku harus menyabarkan diriku beberapa saat. Kebetulan hari ini Melda meminta bertemu denganku. Dia yang akan menikah bulan depan meminta saran padaku beberapa printilan yang harus disiapkan menjelang hari bahagianya. Melalui perdebatan cukup alot dengan suami, akhirnya Mas Rafli memperbolehkan aku membawa mobil. Tentu saja dia memberi persyaratan berderet-deret yang hanya kujawab dengan anggukan kepala. Kafe yang dipilih Melda terletak tak jauh dari rumahku. Mungkin pemilihan tempat ini sebagian tempat kami janjian karena dia melihat kondisiku yang mulai kesusahan untuk menyetir jarak jauh. Sebenarnya tadi dia menawariku untuk menjemput. Aku menolaknya, karena aku punya rencana lain
"Mantan istrinya Mas Rafli apa kabar? Sudah sembuh mentalnya?" tanya Melda kembali membahas hal lain. Aku mendecak tak suka. Memang aku sedang malas membahas apapun yang membuatku moodku hancur. "Sudahlah. Aku malas membahas apapun yang membuat mentalku terguncang. Fokus saja dengan persiapanmu. Jangan sampai kisahku dan Mas Rafli bersama para mantan itu memberi pengalaman burukmu. Aku takut kisah kami yang ruwet ini memberi dampak ke alam bawah sadarmu. Cukup kami yang merasakan, kamu jangan. Berat." Setelahnya kami tertawa bersamaan. Kalimat yang kuucapkan memang mirip dengan kalimat seorang tokoh saat menggombali kekasihnya. Rasanya memang lucu kami yang sudah seusia ini membahas sesuatu yang bersifat kekanakan seperti itu. "Aduh, Vin. Maaf sekali, aku harus segera pulang. Ibunya Mas Aldo ngajak ketemuan di toko kain. Ada tambahan anggota keluarga yang harus diberi kain untuk acara nanti. Nggak papa aku duluan?" tanya Melda dengan raut penyesalan. "Tak masalah. Aku juga ada aca
Kecurangan Silvi Terungkap"Vinda?!" ucap laki-laki yang berada di sebelah Silvi. Aku mengingat-ingat wajah itu. Beberapa saat aku terpaku di tempat sebelum akhirnya menyadari sesuatu yang membuat jantungku bekerja lebih cepat. "Mas Tara?" Kini pandanganku ke arah Silvi yang tak kalah syok. "Jadi… Mas Dirga suamimu itu… Mas Tara?Dirgantara?!" Silvi semakin terlihat panik. Kurasakan wajahku mengembang sempurna. Aku yakin Silvi berada di genggamanku kali ini. Mas Tara atau yang Silvi memanggilnya Mas Dirga itu mempersilahkan aku duduk di sebelah anak-anaknya. Sekadar berbasa-basi aku mencoba beramah tamah dengan kedua anak Silvi tersebut. "Vinda. Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu lagi. Rasanya mustahil sekali bisa menemukanmu setelah belasan tahun berlalu. Kau tahu, aku dan keluargaku sangat kesulitan mencari jejak keluargamu. Sungguh kalian seperti hilang pindah ke alam lain, tak ada jejak sama sekali yang mengarahkan kami untuk menemukan kalian." Mas Dirga bahkan tak segan mera
"Ini yang membuatku malas pulang. Kau menuntutku terlalu banyak! Aku lelah menghadapimu!" Kalimat Mas Tara untuknya membuatku sedikit banyak mengetahui kehidupan seperti apa yang tengah mereka jalani. "Kau kelewatan, Mas. Bahkan kau merendahkan harga diriku di depan wanita tak tahu diri ini!" Silvi menunjuk ke arahku. Mata merahnya menatapku dengan penuh amarah. "Ada apa kau ini? Jangan bilang kau punya masalah dengan Vinda. Meski kau ini masih istriku, tetapi aku tahu persis Vinda. Aku yakin sumber masalahnya berada di tanganmu.""Jangan kelewatan, Mas. Aku tak suka kamu dekat-dekat dengannya. Dia itu racun. Aku takut kau terkena pengaruh buruk darinya!" Wanita itu kembali menunjukkan tangannya ke arahku. Aku hanya diam, mendengar pertikaian sepasang suami istri ini.Terlihat tak berperasaan memang, tetapi sakit hatiku pada Silvi yang sudah menganggu rumah tanggaku dan menjauhkanku pada keluarga suamiku membuat akal sehat serta nuraniku berhenti bekerja. "Apakah lebih baik aku pul
Sebuah Kebenaran "Mas?! Tolong. Ada Zanita dan Kinan. Jangan perdengarkan anak kalian mengenai urusan orang dewasa. Tolong selesaikan masalah ini di rumah," ucapku sebelum berlalu. Sempat kulihat kedua anak perempuan Mas Tara dan Silvi menitikkan air mata karena ketakutan melihat orang tuanya saling berkata keras. "Aku dan Karina sepakat ke dokter. Tidak hanya satu dokter saja. Lima sekaligus kudatangi demi meyakinkan diriku. Kau tahu apa vonisnya padaku? Aku divonis tak bisa memiliki keturunan. Tak ada kemungkinan sama sekali. Jika aku divonis seperti itu, lalu anak siapa mereka itu?" Kalimat Mas Tara membuatku menghentikan langkah. Seketika bumi yang kupijak berputar lebih cepat. Kupaksakan diri untuk menoleh. Kedua orang itu masih saling melayangkan tatapan penuh kebencian. Yang tak kalah membuat miris adalah kedua anak mereka saling memeluk satu sama lain. "Mas! Bicarakan ini di rumah. Apa kalian berdua tak punya otak hingga membicarakan aib di tempat umum seperti ini?!" ucapk
"Jujur aku sangat menyayangkan sikapku kemarin. Seharusnya aku tak menyampaikan kecurigaanku di depan mereka. Bagaimana pun mereka hanya tau saya sebagai ayahnya." Suara Mas Tara bergetar, aku yakin hal ini cukup berat baginya. Menyayangi dua orang anak sekaligus seperti anak kandung sendiri, berusaha sebaik mungkin menjadi ayah yang baik untuk mereka, nyatanya kenyataan buruk itu tiba-tiba saja menyeruak. Tak tahu sehancur apa hati seorang laki-laki, jika mengetahui wanitanya berkhianat sejauh itu. "Penyesalan memang di akhir, Mas. Seharusnya memang Mas Tara memikirkan hal itu dari awal. Pun sudah kuingatkan di sana, Zanita dan Kinan akan sangat tersakiti, Mas. Entah benih darimana kedua anak tersebut, hanya saja yang mereka tahu Mas Tara adalah ayah mereka," ucapku pelan. Mas Tama memijit keningnya. Aku tahu laki-laki itu tengah bimbang dengan masalah yang menghimpitnya. "Dari dulu aku sudah memintanya untuk turut serta di Kalimantan. Ada saja alasan yang dia kemukakan, aku tahu…
Balasan Untuk Silvi "Kau kaget mendengar ucapanku, bukan? Kau tahu, aku sudah menyuruh orang memata-mataimu. Kau lupa, siapa aku dan keluargaku? Dengan sangat mudah kudapatkan informasi mengenai aktivitasmu, terlebih saat hasil dari dokter itu kudapat. Kalau aku tak meyakinkan diri untuk memeriksakan diri ke dokter, entah sampai kapan kebohonganmu akan terungkap." Silvi jatuh terduduk mendapat serangan dari suaminya."Apakah harus kusampaikan apa saja yang kau lakukan dengan Ardan, suami temanmu Dewi? Bahkan aku tahu kau sengaja menyusul laki-laki itu saat mengikuti pelatihan dari tempat kerjanya. Kau yakin Rafli akan diam saja saat kau bermain-main dengan suami adiknya." Napasku tercekat mendengar pernyataan yang diungkapkan Mas Tara barusan. Sepertinya aku tak percaya dengan kalimatnya itu, terlebih melihat kedekatan Silvi dengan Dewi. Tak mungkin rasanya Silvi yang dianggap seperti seorang kakak oleh Dewi mampu berkhianat separah itu. "M-Mas, jangan asal menuduhku. Tolong, jang
Lututku bergetar, tak bisa lagi berkata-kata. Jika benar Silvi sejahat itu membawa anak-anaknya saat ke hotel untuk bertemu Ardan, sudah kupastikan dia benar-benar ibu yang buruk. Tak ada lagi keistimewaannya sebagai seorang ibu tatkala mempertontonkan tingkah laku yang amat buruk itu pada anak-anaknya. "Bahkan yang lebih gila lagi, kau diam-diam mendatangi rumah mertua Dewi saat mereka tengah berkunjung ke rumah saudara yang menggelar pesta pernikahan . Ardan tak bisa ikut. Dia beralasan akan ada pertemuan penting dengan jajaran petinggi di kantor tempatnya bekerja. Kau mendatangi laki-laki itu di rumahnya saat tak ada orang. Kita bisa bayangkan apa yang selanjutnya mereka berdua lakukan!" "A-apa? Mas. Hentikan…""Lanjutkan, Mas Dirga. Aku ingin tahu apa saja yang sudah dia lakukan dengan suami adikku! Setelah itu baru akan kuputuskan hukuman apa yang akan menimpa mereka berdua selanjutnya. Kupastikan tak akan membiarkan kalian berdua melenggang begitu saja. Bahkan kalian berdua ak