Aku menunggu Mas Rafli di meja pojok yang dekat pintu keluar. Aku memilih tempat ini agar pandangan ke depan sekolah Zayn dan Ziyan mudah terpantau. Tempat ini lumayan menjadi favoritku di kala menunggu anak kembarku sekolah. Terkadang guru kelasnya memberi tugas atau pekerjaan yang melebihi jam pulang sekolah sehingga mau tak mau aku harus menunggu beberapa saat hingga mereka selesai. Agak trauma membuat mereka menunggu karena beberapa kali mereka mengatakan bahwa Mas Galih sempat ingin menjemput mereka dan mengajak mereka pulang ke rumah mantan mertuaku sebelum laki-laki itu masuk bui. Beruntung mereka sudah kuberitahu jika ayahnya menjemput harus benar-benar memastikan sudah meminta izin padaku. Bukan keterlaluan, hanya saja aku hapal perangai satu keluarga itu. Aku takut anak-anakku yang masih labil mendapat pengaruh buruk dari keluarga ayahnya. Kini saat Mas Galih sudah masuk penjara pun si kembar beberapa kali mengadu mereka mendapat cemoohan dari teman-temannya. Mereka sempa
Pukulan Telak Untuk Silvi[ Kamu nggak salah membuang Wita demi janda beranak tiga, Mas? Aku yakin kau tak sebodoh itu!] Aku yang tak sengaja membaca pesan masuk di ponsel Mas Rafli langsung menggigit bibirku kuat-kuat. Tadinya aku ingin memesan makanan online karena aku tak masak untuk makan malam. Jika wanita bernama Silvi itu di depanku, sudah pasti kuukir wajahnya yang glowing itu dengan ukiran dari tanganku. Aku menarik napasku perlahan untuk meredam gejolak emosiku. [ Maksudmu?] Aku berpura-pura seolah Mas Rafli yang membalas pesan tersebut. Aku ingin tahu apa yang akan dia katakan pada suamiku. [ Mas, serius kamu nggak ngerti? Jelas-jelas bedanya dengan Wita seperti langit dan bumi. Lihat Wita, Mas. Dia sempurna. Semua wanita bahkan iri dengan kecantikannya. Ingat, Mas. Kau pernah segila itu padanya. Jangan merendahkan harga dirimu seperti ini. Kau seperti bukan Mas Rafli yang kukenal. Kemana seleramu yang highclass itu? Ayolah, Mas. Kau sungguh mencederai selera laki-laki
[ Wahai wanita gatal, ada kepentingan apa ingin bertemu suamiku? ] Pesan berubah biru seketika. Setelah itu satu per satu pesan yang dia kirimkan mulai dihapus. Aku tersenyum licik. Kukirimkan sceenshootan yang tadi sudah kuambil. Kita lihat apa reaksi wanita itu. [ Kurang ajar. Kau mengerjaiku?! Apa maumu? Jangan macam-macam! ] Kelihatannya dia mulai panik. Tentu saja hanya kubaca pesan bernada kekhawatiran itu tanpa langsung kujawab. Kubayangkan wanita tersebut duduk di pojokan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku yakin dia tengah kelabakan karena aku sudah menyimpan bukti keusilannya menganggu suamiku. [ Mbak. Mohon dihapus screenshootannya. Aku janji nggak akan ke kantor Mas Rafli] Akhirnya dia mengirim pesan bernada pasrah. Lagi-lagi kubiarkan pesan tersebut setelah membacanya. Disaat yang bersamaan pesanan di aplikasi menunjukkan waktu pengantaran. Aku berjalan ke ruang tengah dan meminta Mas Rafli bersiap menunggu kurir yang mengantar makanan tersebut. [ Mbak ]
Akibat Berani Mengusikku"Kamu ngechat Silvi pakai hpku?" tanya Mas Rafli melalui sambungan telepon. Aku yang tengah berada di balik mesin kasir restoran cukup kaget saat Mas Rafli menghubungiku dan langsung menanyakan hal itu. Bahkan dia lupa menanyakan hal lain yang biasanya dia lakukan. Aku menarik napas cukup panjang dan bersiap menjelaskan pada suamiku. Bagaimana pun dia harus tahu karena aku telah memakai ponselnya tanpa meminta izin. "Silvi menghubungimu, Mas?" tanyaku balik bertanya. Kudengar suara tangis yang tak jauh dari posisi suamiku. Hatiku langsung panas menyadari siapa yang tengah berada dengan suamiku. "Sayang, Silvi ke kantorku. Dia mengatakan…," ucap Mas Rafli menggantung. Aku yakin dia mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan hingga ragu untuk menyampaikannya padaku. "Apa, Mas? Apa yang wanita itu katakan?" tantangku padanya. Aku ingin tahu reaksi Mas Rafli jika ada orang yang berkata tidak-tidak mengenai istrinya. "Vinda, apapun yang dia katakan aku lebih mem
"Vinda. Ibu minta maaf atas segala kejadian tak mengenakkan di masa lalu," ucapnya terlihat penuh penyesalan. Ada ragu yang harus cepat-cepat kututupi mengingat selama ini dia tak pernah menunjukkan rasa sukanya padaku. Bahkan dengan sangat terang-terangan dia meminta anaknya menceraikanku karena aku bukan memenuhi kriteria menantu yang diinginkannya. "Vinda. Mungkin kau sudah mendengar kabar mengenai kondisi keluarga kami saat ini. Bapakmu saat ini sakit, kondisinya amat buruk." Bapakmu? Sejak kapan laki-laki yang memiliki perangai amat buruk dengan ego yang luar biasa itu mengaku aku sebagai anaknya? Bahkan kalimat penghinaan itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Sifat sombongnya yang tak ada lawan pun semakin mengukuhkannya menjadi laki-laki paling arogan yang pernah kukenal. Bahkan selama aku menjadi menantunya saja tak pernah kudapatkan perlakuan manusiawi. Lalu kini dengan sangat percaya diri dia menyebut suaminya sebagai bapakku? Rasanya aku ingin mengingatkannya mengena
"Tolong Vinda. Hanya kamu harapan Ibu satu-satunya. Jika saja Galih tak menghianati Soraya karena digoda oleh Mita… .""Bu. Tidak hanya Mita yang salah dalam hal ini. Mas Galih juga salah. Jangan menyalahkan orang lain sementara anak sendiri selalu Ibu bela. Selingkuh itu perbuatan dua orang. Dua-duanya juga harus disalahkan. Seperti aku dulu menyalahkan Mas Galih dan Soraya karena perbuatan jahat mereka. Bahkan orang-orang di sekitar yang mendukung perselingkuhan mereka pun kusalahkan. Ibu lihat hasilnya saat ini, sesuatu yang diawali dengan menyakiti perasaan orang lain maka tak akan ada keberkahan di dalamnya. Dan sekarang Ibu merasa bersalah pada Soraya hingga tak mau meminta tolong padanya, lalu mengapa padaku Ibu tak terkesan merasa bersalah sedikit pun? Bahkan dengan percaya diri Ibu meminta sesuatu yang selamanya tak akan kukabulkan. Maaf, Bu. Dengan sangat tegas aku menolak meminta tolong suamiku untuk membantu kebebasan Mas Galih. Dia layak berada di tempatnya saat ini. Du
Pelajaran Pertama Untuk Silvi "Dia kenapa? Kok bisa-bisanya minta uang padamu?" Kutatap wajah penuh make up di depanku. Wajah yang tadi malam sempat ingin kucakar-cakar karena chat busuknya itu berada tepat di hadapanku. "Kau tahu, wanita itu sekarang jatuh miskin. Suaminya saat ini terkenal stroke. Tak bisa beranjak dari manapun tanpa dibantu. Untuk berobat saja tak mampu. Sedangkan mantan suamiku saat ini berada di dalam bui karena dilaporkan oleh istrinya akibat selingkuh! Karirnya hancur, jadi narapidana pula! Kau lihat, seperti itulah nasib orang-orang yang berani mengusik kehidupanku!" Aku menyeringai seiring terbitnya wajah pucat wanita gatal itu. "Aku minta waktumu sebentar," ucapnya dengan wajah gugup yang terlihat sekali berusaha ditutupi. Aku mempersilahkan dia duduk di sofa yang kutunjuk di ruangan pribadiku. "Mas Rafli sudah menghubungimu, 'kan?" tanyanya penuh percaya diri. Aku tak menanggapi pertanyaannya. "Aku minta maaf. Tolong jangan perpanjang urusan ini. Aku
"Kau benar-benar wanita tak tahu diri. Hubungan pertemananku dengan Mas Rafli jauh sebelum kamu memasuki kehidupannya. Mengapa sekarang kau seolah berusaha menjauhkan posisi kami? Memang wanita dari kalangan rendahan selamanya tak akan mampu memahami gaya pertemanan kalangan atas. Kau berbeda sekali dengan Wita. Dia sangat membebaskan suaminya bergaul dengan siapapun tanpa adanya rasa cemburu yang berlebihan. Ya… Aku tahu. Sikapmu yang berlebihan itu karena kau yang tak berharga itu takut di tinggal oleh Mas Rafli hingga kau over protektif seperti ini. Sayangnya kau justru terlihat konyol dan tak berkelas sama sekali." Wajah cantiknya menyunggingkan senyum penuh kemenangan setelah mengucapkan kalimat itu untukku. Aku menetralkan emosi yang menggelegak tak terkontrol. "Kalau boleh tahu, seperti apa gaya pertemanan kalangan atas? Tak saling menjaga privasi, bebas melakukan apapun tanpa dibatasi norma dan adab, termasuk saling bertukar suami seperti yang dilakukan oleh sahabatmu itu?