Langkahku terhenti saat melewati display baby shop yang kumasuki menampilkan sebuah gaun lucu untuk bayi perempuan. Mataku menelisik setiap aksen yang membuat gaun tersebut nampak indah. Kubayangkan betapa anakku nanti amat lucu memakainya. Terkadang aku mengingat masa-masa sulit dimana Zoya kecil tak disambut semeriah ini. Tetapi aku tak boleh menyalahkan apapun di masa lalu. Aku tak bisa egois membandingkan kehidupan yang dijalani masing-masing anakku. Mereka punya rezekinya masing-masing. Yang harus kulakukan saat ini adalah bersyukur karena kehidupanku di masa lalu sudah berubah dengan sangat drastis. "Sayang," panggil Mas Rafki dari belakang. Aku terhenyak karena melihatnya mendorong satu troli penuh perlengkapan bayi yang kebanyakan baju untuk newborn. "Mas. Kamu kok bisa ngambil segitu banyak? Jangan berlebihan. Nggak boleh juga," ucapku yang kali ini tak tahan karena melihatnya yang amat berlebihan. Kuteliti satu persatu belanjana di trolinya. Dia mengambil tiap jenis paka
Apakah yang Menimpa Mereka? Mas Rafli mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah keluar dari baby shop tadi tak ada pembicaraan di antara kami berdua. Aku sendiri tak ada keinginan untuk memulai percakapan dengan suamiku. Moodku hancur setelah pertemuan dnegna wanita bernama Silvi tadi. Meski di akhir pertemuan sempat kulontarkan kalimat yang seharusnya cukup membuat telinganya panas, nyatanya hatiku tak benar-benar lega. Rasanya aku masih ingin menyalurkan emosiku. "Silvi itu sudah punya suami. Suaminya seorang pengusaha batubara di Kalimantan. Anaknya juga sudah dua, sudah besar-besar pula." Kalimat yang dilontarkan Mas Rafli membuatku mau tak mau menoleh ke arahnya. "Apakah aku bertanya?" tanyaku dengan nada cukup ketus. Mas Rafli menarik napasnya perlahan. Kulihat dia menahan senyumnya. "Lalu kenapa kau diam?" Mas Rafli menyentuh kepalaku dan berniat mengusapnya. Aku segera menjauhkan tangannya dengan gerakan cepat. "Jangan menyentuhku. Bahkan kamu belum mencuci
Aku menunggu Mas Rafli di meja pojok yang dekat pintu keluar. Aku memilih tempat ini agar pandangan ke depan sekolah Zayn dan Ziyan mudah terpantau. Tempat ini lumayan menjadi favoritku di kala menunggu anak kembarku sekolah. Terkadang guru kelasnya memberi tugas atau pekerjaan yang melebihi jam pulang sekolah sehingga mau tak mau aku harus menunggu beberapa saat hingga mereka selesai. Agak trauma membuat mereka menunggu karena beberapa kali mereka mengatakan bahwa Mas Galih sempat ingin menjemput mereka dan mengajak mereka pulang ke rumah mantan mertuaku sebelum laki-laki itu masuk bui. Beruntung mereka sudah kuberitahu jika ayahnya menjemput harus benar-benar memastikan sudah meminta izin padaku. Bukan keterlaluan, hanya saja aku hapal perangai satu keluarga itu. Aku takut anak-anakku yang masih labil mendapat pengaruh buruk dari keluarga ayahnya. Kini saat Mas Galih sudah masuk penjara pun si kembar beberapa kali mengadu mereka mendapat cemoohan dari teman-temannya. Mereka sempa
Pukulan Telak Untuk Silvi[ Kamu nggak salah membuang Wita demi janda beranak tiga, Mas? Aku yakin kau tak sebodoh itu!] Aku yang tak sengaja membaca pesan masuk di ponsel Mas Rafli langsung menggigit bibirku kuat-kuat. Tadinya aku ingin memesan makanan online karena aku tak masak untuk makan malam. Jika wanita bernama Silvi itu di depanku, sudah pasti kuukir wajahnya yang glowing itu dengan ukiran dari tanganku. Aku menarik napasku perlahan untuk meredam gejolak emosiku. [ Maksudmu?] Aku berpura-pura seolah Mas Rafli yang membalas pesan tersebut. Aku ingin tahu apa yang akan dia katakan pada suamiku. [ Mas, serius kamu nggak ngerti? Jelas-jelas bedanya dengan Wita seperti langit dan bumi. Lihat Wita, Mas. Dia sempurna. Semua wanita bahkan iri dengan kecantikannya. Ingat, Mas. Kau pernah segila itu padanya. Jangan merendahkan harga dirimu seperti ini. Kau seperti bukan Mas Rafli yang kukenal. Kemana seleramu yang highclass itu? Ayolah, Mas. Kau sungguh mencederai selera laki-laki
[ Wahai wanita gatal, ada kepentingan apa ingin bertemu suamiku? ] Pesan berubah biru seketika. Setelah itu satu per satu pesan yang dia kirimkan mulai dihapus. Aku tersenyum licik. Kukirimkan sceenshootan yang tadi sudah kuambil. Kita lihat apa reaksi wanita itu. [ Kurang ajar. Kau mengerjaiku?! Apa maumu? Jangan macam-macam! ] Kelihatannya dia mulai panik. Tentu saja hanya kubaca pesan bernada kekhawatiran itu tanpa langsung kujawab. Kubayangkan wanita tersebut duduk di pojokan sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. Aku yakin dia tengah kelabakan karena aku sudah menyimpan bukti keusilannya menganggu suamiku. [ Mbak. Mohon dihapus screenshootannya. Aku janji nggak akan ke kantor Mas Rafli] Akhirnya dia mengirim pesan bernada pasrah. Lagi-lagi kubiarkan pesan tersebut setelah membacanya. Disaat yang bersamaan pesanan di aplikasi menunjukkan waktu pengantaran. Aku berjalan ke ruang tengah dan meminta Mas Rafli bersiap menunggu kurir yang mengantar makanan tersebut. [ Mbak ]
Akibat Berani Mengusikku"Kamu ngechat Silvi pakai hpku?" tanya Mas Rafli melalui sambungan telepon. Aku yang tengah berada di balik mesin kasir restoran cukup kaget saat Mas Rafli menghubungiku dan langsung menanyakan hal itu. Bahkan dia lupa menanyakan hal lain yang biasanya dia lakukan. Aku menarik napas cukup panjang dan bersiap menjelaskan pada suamiku. Bagaimana pun dia harus tahu karena aku telah memakai ponselnya tanpa meminta izin. "Silvi menghubungimu, Mas?" tanyaku balik bertanya. Kudengar suara tangis yang tak jauh dari posisi suamiku. Hatiku langsung panas menyadari siapa yang tengah berada dengan suamiku. "Sayang, Silvi ke kantorku. Dia mengatakan…," ucap Mas Rafli menggantung. Aku yakin dia mendengar sesuatu yang tidak mengenakkan hingga ragu untuk menyampaikannya padaku. "Apa, Mas? Apa yang wanita itu katakan?" tantangku padanya. Aku ingin tahu reaksi Mas Rafli jika ada orang yang berkata tidak-tidak mengenai istrinya. "Vinda, apapun yang dia katakan aku lebih mem
"Vinda. Ibu minta maaf atas segala kejadian tak mengenakkan di masa lalu," ucapnya terlihat penuh penyesalan. Ada ragu yang harus cepat-cepat kututupi mengingat selama ini dia tak pernah menunjukkan rasa sukanya padaku. Bahkan dengan sangat terang-terangan dia meminta anaknya menceraikanku karena aku bukan memenuhi kriteria menantu yang diinginkannya. "Vinda. Mungkin kau sudah mendengar kabar mengenai kondisi keluarga kami saat ini. Bapakmu saat ini sakit, kondisinya amat buruk." Bapakmu? Sejak kapan laki-laki yang memiliki perangai amat buruk dengan ego yang luar biasa itu mengaku aku sebagai anaknya? Bahkan kalimat penghinaan itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Sifat sombongnya yang tak ada lawan pun semakin mengukuhkannya menjadi laki-laki paling arogan yang pernah kukenal. Bahkan selama aku menjadi menantunya saja tak pernah kudapatkan perlakuan manusiawi. Lalu kini dengan sangat percaya diri dia menyebut suaminya sebagai bapakku? Rasanya aku ingin mengingatkannya mengena
"Tolong Vinda. Hanya kamu harapan Ibu satu-satunya. Jika saja Galih tak menghianati Soraya karena digoda oleh Mita… .""Bu. Tidak hanya Mita yang salah dalam hal ini. Mas Galih juga salah. Jangan menyalahkan orang lain sementara anak sendiri selalu Ibu bela. Selingkuh itu perbuatan dua orang. Dua-duanya juga harus disalahkan. Seperti aku dulu menyalahkan Mas Galih dan Soraya karena perbuatan jahat mereka. Bahkan orang-orang di sekitar yang mendukung perselingkuhan mereka pun kusalahkan. Ibu lihat hasilnya saat ini, sesuatu yang diawali dengan menyakiti perasaan orang lain maka tak akan ada keberkahan di dalamnya. Dan sekarang Ibu merasa bersalah pada Soraya hingga tak mau meminta tolong padanya, lalu mengapa padaku Ibu tak terkesan merasa bersalah sedikit pun? Bahkan dengan percaya diri Ibu meminta sesuatu yang selamanya tak akan kukabulkan. Maaf, Bu. Dengan sangat tegas aku menolak meminta tolong suamiku untuk membantu kebebasan Mas Galih. Dia layak berada di tempatnya saat ini. Du